"Apa dia istri mu? ko wanitanya beda lagi Dewa? Pertanyaan wanita yang ada di depannya dengan Dewa, membuat kening Arumi berkerut penuh keheranan. Karena dia tidak mengerti maksudnya. Wajah Dewa memerah seperti udang rebus, saat Clarisa meledek dirinya tepat di depan Arumi. "Diam, kamu ini sudah datang terlambat bicara ngawur lagi," bentak Dewa menatap tajam, sepi memberi kode pada sahabat wanitanya itu agar tidak membahas tentang kisah asmaranya. Tapi bukan Clarisa jika tidak julid dengan sahabat kecilnya, bahkan dengan sengaja wanita bertubuh sek-si itu, sengaja melontarkan pertanyaan pada Arumi. "Hay! aku Clarisa, kamu pasti Arumi kan? bagaimana rasanya jadi istri Dewa? jengkel tidak dia banyak ngatur dan banyak bicara bukan?" tanya Clarisa meledek sembari menyeringai. "Clarisa! kamu bicara apa? jangan bicara sembarangan lihat tempat!" tegur Dewa dengan nada membentak. Arumi sama sekali tidak mengerti apa hubungan Dewa dan wanita itu, membuatnya malah ikut pusing d
Clarisa terdiam, saat mendengar pertanyaan Arumi yang sungkan untuk dia jawab. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang Dewa dan beberapa mantan kekasihnya. "Kenapa diam, dari tadi nona Clarisa begitu bersemangat membahas tentang mas Dewa," Arumi masih menanti. Seketika Clarisa merasa tidak enak hati, saat melihat Arumi yang masih menunggu jawaban. Clarisa pun berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Aku hanya bercanda Arumi, sebenarnya Dewa adalah tipikal pria yang sulit untuk jatuh cinta, hanya wanita yang beruntung saja bisa dia cinta, dan termasuk kamu jadi istrinya," kata Clarisa berusaha menghibur Arumi. "Benarkah, aku sangat penasaran kira-kira wanita seperti apa yang jadi cinta pertama mas Dewa, aku sangat penasaran sekali," lirih Arumi. seraya diam-diam menatap Dewa yang saat ini tengah sibuk membahas beberapa keunggulan project barunya. Clarisa menatap Arumi yang merasa jika wanita yang ada di sampingnya, terasa sangat begitu tulus pada Dewa. Sebagai sahaba
Suara lengguhan terlontar dari bibir merah Arumi, saat ia merasakan sentuhan hangat dari seorang pria, yang terlihat samar di kedua manik mata bening coklatnya.Kedua jemari lentik sang gadis yang baru genap berusia dua puluh satu tahunan itu, spontan menahan dada bidang menjeda aktifitas sang pria yang tidak bisa dia hindari lagi.“Hentikan!” Arumi memohon dengan suara serak parau dan netra berkabut saat kesadaran dirinya perlahan mulai menghilang berharap sang pria mengabulkan permintaannya.Namun nihil bukannya berhenti, pria itu malah semakin menuntaskan hasrat yang menyelimuti dirinya saat ini.Buliran air mata membasahi wajah Arumi. Saat merasakan hal yang sangat berharga dalam dirinya telah hilang di tengah-tengah ketidakberdayaannya. Beberapa kali Arumi berusaha meronta, namun tenaganya tak sebanding dengan sang pria. Hingga membuat pandangannya yang jelas perlahan menjadi buram dan..Suara desahan dan erangan memenuhi kamar hotel dalam suasana pencahayaan temaram saat kedua
Tatapan Nanar Arumi tertuju pada Daniel, saat mendengar pertanyaan yang di lontarkan menusuk hati. Mustahil juga ia menjawab jujur atas apa yang telah terjadi semalam tadi. “Sa-sakit mas, tolong lepaskan aku,” pinta Arumi memekik kesakitan dalam tangisnya. Daniel melepaskan cengkraman tangan sampai Arumi terjatuh dan tersungkur ke bawah lantai. Tapi gadis cantik itu berusaha untuk bangun dan menjelaskan kembali. “Mas, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, aku bisa menjelaskan jika aku..” Belum sempat Arumi menuntaskan perkataan dan memohon di bawah kaki calon suami yang sangat ia cintai. Namun alih-alih Daniel mau mendengar dia seolah tidak ingin menggubris. Yang ada dia sangat jijik saat melihat tanda-tanda merah serta penampilan Arumi yang terlihat sangat berantakan. Daniel menatap dan memasang wajah sedih penuh kecewa pada pak Harun, jika dirinya tidak bisa melanjutkan lagi rencana pernikahannya dengan Arumi dengan alasan Arumi yang tidak suci lagi. “Om, Tante kalian lihat se
Satu jam sudah Arumi berjalan tanpa arah tujuan di tengah hujan badai dan kilatan petir mengiringi, alam pun seolah ikut menangisi kesedihannya saat ini. Wanita cantik itu benar-benar sangat bingung ke mana harus dia pergi atau hanya sekedar berkeluh kesah, setelah sang kekasih dan ayah yang selalu ia sayangi tidak percaya dan tidak peduli atas penjelasannya. “Semuanya sudah hancur, aku benci dengan semua ini,” teriak Arumi menatap langit dengan wajah yang mendongak, seluruh tubuhnya basah kuyup. Melihat dari atas ke bawah trotoar jalan sana cukup tinggi membuat Arumi gelap pikiran dan mata. Mengakhiri hidup saat ini adalah jalan tepat menurutnya, kehilangan kesucian, kekasih yang tak percaya dan ayah yang tak peduli lagi membuat ia sudah tak punya alasan lagi untuk menata masa depan. “Mah, maafin Arumi,” Arumi memejam kedua mata seraya melentangkan kedua tangannya, selangkah demi selangkah ia berdiri di atas besi penyangga jalan. Terdengar suara seruan beberapa orang di bawah s
Batas kesabaran Arumi sudah habis, saat ia di tuduh dan di pandang rendah oleh pria di depannya. Sampai melepas infus yang menempel di tangan lalu beranjak dari atas brankar dan berjalan dengan langkah terhuyung. Dewa terkejut, apa lagi saat Arumi hampir terjatuh karena masih merasa pusing dan lemas karena demam terkena hujan kemarin. Beruntung Dewangga spontan meraih dan menahan pinggang ramping Arumi, tatapan mereka berdua tak sengaja bertemu dan saling memandang, sampai merasakan nafas hangat satu sama lain tubuh mereka menempel tak menyisakan ruang. Suasana di ruangan itu hening dan sangat canggung. Jantung Arumi berdegup sangat kencang, beberapa kali ia menelan Saliva saat melihat dekat dan lebih jelas lagi wajah pria yang telah mengambil hal berharga dalam dirinya. Mengingat tuduhan dan kata-kata menyakitkan tadi, membuat Arumi segera melepaskan lengan Dewa dan segera menjaga jarak. “Jangan menyentuh ku!” Bentak Arumi. Dewa menyeringai sembari menggelengkan
Arumi masih duduk termenung, dia terlihat bingung kemana lagi dia harus pergi. Melihat ada telepon di meja samping membuat ia meraih dan mencobanya untuk menelpon ke rumah. Berharap sang ayah hanya marah dan emosi sesaat saja. Namun setelah sambungan telepon terhubung tidak ada jawaban, membuat air mata Arumi kembali menetes. "Sepertinya ayah benar-benar marah pada ku," lirihnya. Setelah beberapa menit Dewa berpikir, dengan berat hati lelaki tampan itu akhirnya mengambil keputusan dan menatap wajah wanita yang sudah merawat dan mendidiknya sampai saat ini. "Nenek, aku setuju dengan mu, aku akan menikahinya." Ungkap Dewa dengan kedua tangan yang terkepal. Senyuman bahagia terpancar di wajah nyonya Rima, saat mendengar jawaban cucu kesayangannya. "Keputusan yang tepat Dewa, selain untuk meredam skandal mu. Nenek juga tidak ingin jika sampai kedua pamanmu menatap posisi mu. Sekarang bicarakan dengannya baik-baik, sisanya biar nenek yang mengatur pernikahan kalian," imbuhnya.
Jantung Arumi berdegup sangat kencang, saat menginjakkan kedua kakinya di gedung pesta pernikahan. Wanita cantik itu terlihat menelan saliva-nya beberapa kali. Saat melihat sosok pria mengenakan Tuxedo hitamnya duduk menunggu dirinya untuk melangsungkan janji suci yang akan mereka langsungkan. Nyonya Rima menyambut hangat kedatangan Arumi, dia memperlakukan gadis itu dengan sangat baik sebagai cucu mantunya. "Arumi kau sangat cantik sekali, kemarilah Dewa sudah menunggu mu," sanjung nyonya Rima mengulurkan tangan. Arumi yang sempat ragu dalam hati. Tanpa banyak berpikir lagi perlahan ia mendekat dan duduk tepat di samping Dewa. Seketika Dewa melirik, penampilan Arumi saat ini memang sangat cantik dan anggun sebagai mempelai pengantin wanita. Tapi karena Arumi bukan wanita yang dia cintai membuat ekspresi wajahnya datar dan dingin. Arumi menghela nafas berat, saat acara pernikahannya di mulai yang hanya di hadiri oleh saudara serta kerabat dekat Dewangga saja. Sumpah dan janji
Clarisa terdiam, saat mendengar pertanyaan Arumi yang sungkan untuk dia jawab. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang Dewa dan beberapa mantan kekasihnya. "Kenapa diam, dari tadi nona Clarisa begitu bersemangat membahas tentang mas Dewa," Arumi masih menanti. Seketika Clarisa merasa tidak enak hati, saat melihat Arumi yang masih menunggu jawaban. Clarisa pun berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Aku hanya bercanda Arumi, sebenarnya Dewa adalah tipikal pria yang sulit untuk jatuh cinta, hanya wanita yang beruntung saja bisa dia cinta, dan termasuk kamu jadi istrinya," kata Clarisa berusaha menghibur Arumi. "Benarkah, aku sangat penasaran kira-kira wanita seperti apa yang jadi cinta pertama mas Dewa, aku sangat penasaran sekali," lirih Arumi. seraya diam-diam menatap Dewa yang saat ini tengah sibuk membahas beberapa keunggulan project barunya. Clarisa menatap Arumi yang merasa jika wanita yang ada di sampingnya, terasa sangat begitu tulus pada Dewa. Sebagai sahaba
"Apa dia istri mu? ko wanitanya beda lagi Dewa? Pertanyaan wanita yang ada di depannya dengan Dewa, membuat kening Arumi berkerut penuh keheranan. Karena dia tidak mengerti maksudnya. Wajah Dewa memerah seperti udang rebus, saat Clarisa meledek dirinya tepat di depan Arumi. "Diam, kamu ini sudah datang terlambat bicara ngawur lagi," bentak Dewa menatap tajam, sepi memberi kode pada sahabat wanitanya itu agar tidak membahas tentang kisah asmaranya. Tapi bukan Clarisa jika tidak julid dengan sahabat kecilnya, bahkan dengan sengaja wanita bertubuh sek-si itu, sengaja melontarkan pertanyaan pada Arumi. "Hay! aku Clarisa, kamu pasti Arumi kan? bagaimana rasanya jadi istri Dewa? jengkel tidak dia banyak ngatur dan banyak bicara bukan?" tanya Clarisa meledek sembari menyeringai. "Clarisa! kamu bicara apa? jangan bicara sembarangan lihat tempat!" tegur Dewa dengan nada membentak. Arumi sama sekali tidak mengerti apa hubungan Dewa dan wanita itu, membuatnya malah ikut pusing d
"Aku sudah membelikan mu buah-buahan, ayo sekarang di makan dulu," Ajak Dewa yang sengaja merangkul bahu Arumi tepat di depan Adrian dengan sangat mesra. Namun sebelum Dewa pergi, dia juga tak lupa mengingatkan Adrian, Agar menunggunya bersama rekannya yang lain dengan tatapan dan nada sinis. Arumi merasa tidak enak hati dengan sikap Dewa yang terlihat jelas tidak suka pada Kaka seniornya dulu. Andrian hanya memancarkan senyum getir seraya menggelegkan kepala, saat melihat sikap Dewa yang seolah sedang mengajak perang dingin dengannya. Setelah sampai di tempat duduk yang ada di area pembangunan hotel itu, Dewa menyuruh Arumi untuk duduk dan makan buah-buahan yang dia beli. "Silahkan Nona Arumi, bukankah tadi kamu ingin makan ini? sekarang ayo makanlah yang banyak," Sindir Dewa kesal menatap tajam istri kontraknya itu. Sebagai seorang pria, entah kenapa setelah cape-cape mencari apa yang di inginkan oleh Arumi, ternyata setelah kembali malah tengah asik mengobrol dengan rek
"Kenapa hanya diam? apa yang aku katakan benarkan?" Dewa menghela nafas kasar, saat mendengar pertanyaan yang terus dilontarkan oleh Laura dengan nada penuh penekanan. Tak ingin berdebat di dalam telepon Dewa sengaja mencari waktu yang tepat untuk berbicara empat mata dengan pikiran yang jernih dan tenang. "Laura, aku masih ada pekerjaan penting setelah pekerjaan ini selesai lebih baik kita bertemu secara langsung," tegas Dewa mematikan sambungan telepon. Lalu kembali mengemudikan mobilnya ke arah Mini market. Laura semakin marah, saat Dewa semakin jauh darinya sampai mematikan panggilan telepon sebelum dia puas bertanya. "Aakkkh, mas Dewa keterlaluan, aku tidak terima jika dia benar punya akan dari ja-lang itu," Teriak Laura yang sedikit frustasi. Sebagai seorang wanita yang lebih dulu mengisi hari Dewa, Laura tidak ingin membiarkan Arumi menjadi seorang ibu dari anak lelaki yang sangat dia cintai. Seketika wanita itu mempunyai sebuah ide. Dengan penuh amarah, Laira pe
Dewa benar-benar tak habis pikir dengan keinginan seorang wanita hamil, membuat ia tidak bisa di tolak apa lagi di depan pria yang pernah menjadi senior Arumi. Kalau Dewa menolak di kiranya bukan suami siaga, terlebih lagi di sana juga banyak para tetua yang spontan memberikan pendapat juga padanya agar keinginan istri sedang hamil tidak boleh di abaikan. "Tuan, istri kalau sedang hamil di turuti keinginannya. Takutnya nanti Bayi-nya ileran kalau kemauan ibunya tidak terpenuhi." "Iya benar tuan, ayo semangat beli buah-buahan untuk istrinya." Ujar beberapa rekan Dewa dengan selorohnya. Arumi yang awalnya hanya ingin mengalihkan perhatian sang suami, agar tidak berdebat dengan Adrian, tapi tanpa ia pikirkan akan menjadi pusat perhatian semua orang di sana. "Aduh! gawat, kenapa aku asal bicara ya? jadinya malah begitu," batin Arumi merutuki diri sendiri karena merasa sang bersalah. Dewa tidak ingin di bilang menjadi pria yang tidak perhatian pada sang istri, kini ia pun me
Suara dering ponsel Dewa membuat Arumi yang sedang membereskan beberapa dokumen project baru merasa terganggu, karena dari tadi tidak berhenti-berhenti. Membuat wanita cantik itu memberanikan diri untuk mengingatkan. "Tuan, itu kenapa tidak di angkat teleponnya?" tanya Arumi terheran. Dewa menelan ludah setelah tadi mengintip nama id yang ada di ponselnya dari Laura, agar tidak membuat Arumi sedih Dewa berusaha mencari alasan yang tepat. "Ini dari teman ku, nanti saja tidak terlalu penting juga, sekarang apa kamu sudah siapkan semua kontrak kerja sama dengan Adrian?" jelas Dewa yang sengaja berbalik tanya. Dengan sikap disiplin dan penuh tangung jawab, Arumi pun mengatakan jika semuanya sudah beres, tinggal kedua belah pihak menandatanganinya. "Bagus, ternyata kamu juga lumayan berpengalaman pekerjaan." Sanjung Dewa, ia juga bertanya dari mana Arumi memiliki pengalaman kerja. Arumi terdiam, saat mendengar pertanyaan Dewa. Sekilas ia Dejavu saat bekerja dengan Daniel
Hera terkejut, saat melihat ada beberapa pria berjas hitam tengah berada ruang resepsionis, dia begitu penasaran hingga perlahan menghampiri. Baru saja akan bertanya, salah satu dari pria berjas hitam itu menghampirinya, lalu menjelaskan jika bos mereka telah membayar lunas semua biaya pengobatan. Membuatnya sangat kecewa karena tidak bisa mencurangi-nya. "Nyonya, biaya pengobatan pak Harun sudah di lunasi tuan Dewa berpesan agar anda tidak lagi menelpon dan mengirim pesan pada nona Arumi, jika ada hal lain lagi anda bisa menghubungi kami," peringat salah satu dari ke empat pengawal Dewa. Hera menggangguk dan mengiyakan semua perintah pria itu, bahkan dia juga mengucapkan terima kasihnya pada pria kepercayaan Dewa. Setelah perintah sang tuan di laksanakan, para pengawal itu pergi. Hera yang masih mematung terlihat sangat kecewa karena tidak bisa menyelipkan uang biaya rumah sakitnya. "Sial, kenapa tidak Arumi yang datang ke sini, setidaknya aku bisa berbohong dan meminta
Keesokan harinya, Hera sangat terkejut saat mendengar perkataan sang Dokter setelah mengetahui hasil medis yang lebih baru jika pak Harun terserang struk ringan juga membuat wanita paruh baya itu kecewa. "Dok! sampai kapan suami saya mengalami struk seperti ini?" Hera memastikan, karena ia sangat lelah saat membayangkan bagaimana mengurusnya juga. "Kami tidak bisa memastikan kapan pasien bisa sembuh total, dan sangat disarankan sekali harus sering cek up, dan di bantu dengan dukungan keluarga juga agar pasien memiliki semangat yang tinggi untuk membantu rasa ingin sembuhnya," imbuh sang Dokter. Hera mengerucutkan bibirnya, dia sangat kesal karena harus banyak menghabiskan banyak waktu dan banyak uang yang harus di keluarka Meskipun ragu, Hera memberanikan diri untuk bertanya apakah pak Harun sudah bisa di bawa pulang. Tentu saja Dokter tidak setuju dan perlu beberapa hari lagi untuk pak Harun di rawat. . "Baiklah Dokter, saya akan mendiskusikan dulu dengan anak-anak saya
Rini akhirnya menemukan identitas Arumi sesuai keinginan Laura, setelah dia mencari beberapa album prewedding di akun media sosial Dewa. "Nona Laura, lihatlah aku sudah menemukan wanita itu," teriak Rini yang terlihat begitu antusias. Laura yang sedang duduk merias dirinya pun sejenak dia menghentikan aktifitasnya, setelah asisten pribadinya itu menemukan wanita yang sudah membuatnya marah dan kesal. "Bawa ke sini, aku ingin melihatnya!" perintah Laura. Rini beranjak dari sofa, lalu dia membawa laptop lalu memperlihatkan foto pernikahan Dewa dan Arumi yang menjadi trending topik beberapa waktu lalu. Laura menatap tajam penuh kebencian saat melihat Arumi yang berdiri di samping lelaki yang sangat dia cintai. "Dasar wanita penggoda, berani sekali dia mengambil posisi yang seharusnya menjadi milik ku," Geram Laura mengepalkan kedua tangan sembari menggertakkan gigi menahan emosi yang sudah membakar dirinya, rasanya ingin sekali dia menjambak rambut Arumi jika ada di depannya.