“Mau saya bantu ke kamar mandi?” tanya Endara, pada dini hari ketika lelaki itu merasakan kasur di sebelahnya bergoyang. Ternyata Dara hendak pergi ke kamar mandi.“Dara bisa sendiri kok Mas.” Mencoba untuk terlihat mandiri di depan suaminya sendiri, meskipun nyatanya Dara sangat kesulitan untuk bangun dari posisi tidurnya.“Kamu belum bisa bergerak dengan bebas, Dara. Biarkan saya bantu.” Endara turun dari kasur berjalan ke sisi tempat di mana Dara tidur. Lelaki itu membantu Dara untuk bangun dan menuntun gadis itu sampai ke kamar mandi.“Saya akan tunggu di sini.” Endara keluar dari kamar mandi dan Dara menutup pintu setelah mengucapkan kata terima kasih.Endara melirik jam yang ada di dinding ternyata sudah pukul dua pagi dank e dua mata Endara terasa sangat berat sekali, tetapi lelaki itu tetap menunggu Dara sampai selesai buang air kecil. Tidak berselang lama Dara pun keluar.“Sudah selesai?” tanya Endara, dan dijawab anggukan kepala oleh Dara.Kemudian Endara kembali menuntun Da
Setelah mengelilingi jalanan kota akhirnya Endara memutuskan untuk membawa Dara ke sebuah taman besar di sana. Meskipun hanya berkunjung ke sebuah taman, Endara yakin dara pasti akan suka dengan pemandangan di sana.“Kita mau jalan-jalan di sini, Mas?” tanya Dara, menatap sebuah tulisan besar di pintu masuk utama.“Iya, kamu nggak suka ya?” Endara menatap Dara kecewa, karena ia pikir Dara akan menyukainya. Pada saat di tengah jalan tadi pun Endara tidak mengatakan ingin singgah di mana.“Dara suka kok Mas, sebenarnya udah lama Dara pengen datang ke sini, tapi nggak tahu jalan, jadi Cuma bisa lihat di internet saja,” jelas Dara, dengan mata berbinar.“Benarkah?” tanya Endara, seketika hatinya kembali bahagia mendengar penjelasan Dara. Tidak Endara sangka ternyata membahagiakan Dara semudah ini, tidak perlu membawa gadis itu ke sebuah mall besar untuk membeli barang-barang ternama, hanya dibawa ke sebuah taman saja sudah membuat wajah Dara bersinar bahagia.“Terima kasih, Mas.” Pancaran
Cuaca yang cerah tiba-tiba saja berubah menjadi mendung. Angin yang berhembus terasa sangat dingin itu pertanda bahwa hujan akan segera turun. Dara dan Endara mengemasi barang-barang mereka agar segera pergi ke mobil untuk berteduh agar tidak terkena percikan air hujan. Saat ke duanya baru tiba di dalam mobil, hujan turun dengan derasnya.“Sepertinya kita tidak mungkin menerobos hujan sederas ini. Mau tidak mau harus mencari penginapan dulu menunggu esok,” ujar Endara, memprediksi hujan tidak akan segera reda.Dara menggigit bibir bagian dalamnya, gadis itu cemas karena mengingat ucapan Endara kepada Vega tadi sebelum pergi.“Tapi Mas, bagaimana dengan Mbak Vega? Bukankah tadi Mas Endara hanya bilang mau mengantar Dara cek ke dokter?” tanya Dara, fakta yang sejak tadi ia pendam kini harus terungkap.“Kamu mendengar percakapan saya bersama Vega tadi?” tanya Edara.Dara mengangguk pelan, lalu menjawab dengan suara lirih, “Tidak sengaja.”“Vega biar menjadi urusan saya. Tidak mungkin sa
Keesokan paginya, Dara sudah lebih bangun, tetapi ia tidak berani beranjak dari kasur akibat mengingat kejadian semalam yang membuat dirinya tersipu malu. Sepanjang malam kegiatan itu berlangsung cukup lama membuat Dara sangat kelelahan. Saat Dara sedang diam memikirkan kejadian semalam, tiba-tiba saja ada yang memeluknya dari belakang siapa lagi pelakunya kalau bukan Endara. Sedekat ini dengan lelaki itu dalam keadaan sadar membuat jantung Dara berdebar sangat kuat.“Sudah bangun?” lelaki yang sedang memeluk Dara dari belakang itu bertanya dengan suara lirih dan serak.“He’em?” Dara bergumam, masih belum ingin membalikkan tubuhnya. Posisinya Dara miring membelakangi Endara.“Sudah jam berapa?” tanya Endara, lagi-lagi dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.“Jam tujuh,” jawab Dara, lagi-lagi ia tidak mau menoleh ke belakang.Endara semakin mengeratkan pelukannya. Hujan di luar masih sangat deras, nampaknya semalam penuh bumi ibu kota sedang diguyur air hujan yang sangat deras
Sesampainya Dara dan Endara di rumah, mereka berdua langsung berhadapan langsung dengan Vega dengan muka masam. Dara menjadi tidak enak hati ketika melihat wajah tidak mengenakkan Vega.“Kalian berdua kemana saja sih, kenapa jam segini baru pulang?” tanya Vega, dengan nada sewot. Ke dua matanya menatap Dara dan Endara tajam, bak busur panah yang siap menancap di tubuh lawan.“Tadi aku sudah bilang di sana sedang hujan dan angin kencang di tambah lagi banjir aku tidak mungkin memutuskan untuk pulang,” jelas Endara, lelaki itu juga kesal karena saat dirinya baru tiba di rumah langsung mendapat omelan dari Vega.“Apa salahnya memberi tahu aku terlebih dahulu? Aku khawatir,” ujar Vega.“Sudahlah, Vega, aku lelah ingin istirahat. Dara, masuk ke kamar dan langsung istirahat.” Lalu Endara melenggang pergi di susul Dara.Vega yang masih berada di tempat yang sama menggerutu kesal di tinggal sendiri. Vega marah karena Endara tidak memberitahukan terlebih dahulu akan pulang sore. Padahal sejak
“Mas Endara tumben sendirian malam-malam di sini?”Suara itu membuat lamunan Endara buyar. Lelaki itu menoleh ke belakang dan tersenyum mendapati Dara menghampirinya.“Kok belum tidur?” tanya Endara.“Belum ngantuk Mas,” jawab Dara. Gadis itu duduk di samping Endara ikut memasukkan kaki ke dalam kolam yang sudah terasa dingin airnya.“Mbak Vega masih marah ya Mas?” Dara menatap Endara dengan wajah penuh rasa bersalah.Mendengar pertanyaan Dara membuat Endara tersenyum tipis lalu lelaki itu berkata dengan pasrah, “Yah, seperti itu lah.”“Vega itu wanita yang sangat pencemburu. Saat saya menikah dengan Afifa nyaris satu bulan penuh kita berdua tidak mengobrol. Saya pikir ketika menikah denganmu dia tidak akan cemburu, tapi nyatanya sama saja padahal dulu dia yang meyakinkan saya untuk menikah lagi.” Endara tersenyum miris dengan nasibnya seperti perahu kecil di tengah lautan.Tanpa sadar Dara menyentuh puncak Endara mengusapnya pelan untuk memberi sebuah kekuatan. Dara tahu betul apa ya
Keesokan harinya ….Vega terlihat sedang berjalan menghampiri Dara yang sedang mencuci piring di wastafel. Wajah perempuan itu masih terlihat belum bersahabat di depan semua orang. Rasa kecewa yang Endara berikan kepada Vega berimbas ke semua orang yang ada di rumah itu.“Ya ampun, Mbak Vega bikin Dara kaget saja.” Dara mengusap di mana letak jantungnya berada. Keberadaan Vega yang secara tiba-tiba di belakangnya membuat Dara sangat terkejut.“Senang kemarin bisa jalan berdua sama Mas Endara?” jelas sekali nada sindiran yang keluar dari mulut Vega.“Mbak Vega jangan salah paham dulu, kemarin Dara dan Mas Endara tidak ….”“Jangan menutupinya dariku, Dara! Kemarin saat pertama kali kamu kembali aku sudah tahu kamu dan Mas Endara sudah melakukannya kan?” ke dua mata Vega berkaca-kaca, tapi wanita itu mencoba untuk terlihat tegar.“M-Mbak ….” Dara nyaris tidak bisa berkata-kata, dari mana Vega tahu Dara sudah melakukan itu bersama Endara.“Jangan kamu pikir aku ini bodoh, Dara. Aku juga p
Satu bulan kemudian ….Satu rumah dibuat heboh mendengar kabar Dara sakit sampai demam tinggi. Nyaris Endara selama semalam penuh tidak tidur karena menunggu Dara yang sedang sakit. Afifa dan Vega juga ikut merawat Dara, tapi belum juga ada kabar baik.“Mas, sebaiknya Dara kita bawa ke dokter saja,” usul Vega. Usul yang sudah berkali-kali wanita itu utarakan, tapi Dara tidak mau juga dibawa ke rumah sakit.“Mbak, Dara baik-baik saja kok,” kata Dara, dengan suara paraunya.“Baik-baik saja bagaimana maksud kamu, Dara? Membuat semua orang yang ada di rumah ini khawatir, Mas Endara tidak tidur selama semalam suntuk, kamu kira semuanya baik-baik saja? jangan egois dan keras kepala, Dara, semua jadwal yang sudah Mas Endara susun sejak bulan lalu berantakan hanya karena kamu sakit!” Vega lepas kendali, karena sudah tidak ada lagi stok kesabaran di dalam hati wanita itu.“Cukup Vega! Tidak seharusnya kamu berkata kasar seperti itu sama Dara. Turunkan nada suaramu karena itu akan membuat Dara
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-
Setelah mobil Roy selesai diperbaiki, lelaki itu langsung pulang ke rumah orang tuanya dan membawa Afifa ikut bersama. Bukan tanpa alasan Roy membawa Afifa ke rumah orang tuanya, karena tadi Jasmin bilang mau bertemu dengan wanita itu katanya kangen. Wajar saja, karena sudah beberapa hari tidak bertemu.Sekarang Roy dan Afifa sudah sampai di kediaman ke dua orang tua Roy. Afifa sangat disambut baik oleh Mariam dan suami. Meskipun suami Mariam belum pernah bertemu dengan Afifa sebelumnya, tapi lelaki itu bisa sudah seperti mengenal Afifa cukup lama. Aryan, adalah nama papa Roy.“Selama kamu bersama dengan anak ini dia tidak macam-maca kan sama kamu?” tanya Aryan lelaki itu menatap Roy tajam. Bagaimana bisa putranya itu sangat ceroboh membawa seorang wanita menginap di hotel di dalam kamar yang sama? sangat gila sekali bukan? Aryan tahu Roy sudah lama menduda, tapi tidak seperti ini cara melampiaskannya.“Memangnya Papa berpikir seperti apa? Roy tidak segila itu,” kata Roy, menatap sang
Roy dan Afifa masih berada di tempat yang sama, meskipun hari sudah larut malam, tapi acara di tempat pesta itu masih terlihat ramai oleh tamu yang datang. Sejak tadi Afifa tidak pernah jauh dari Roy, wanita itu terus berada di sisi Roy karena tidak mau hal buruk terjadi padanya. Pandangan mata lelaki yang berada si sekitar Afifa masih sama, masih menatap penuh minat. Sampai-sampai membuat Afifa risih dan ingin secepatnya pergi dari tempat itu.“Apa kita masih lama di sini?” tanya Afifa dia sudah bernar-benar tidak betah berada di sana. Bukan karena banyak orang yang berkerumun, tapi tatapan mata lelaki hidung belang yang penuh minat itu seolah Afifa adalah seorang perempuan yang bisa dibawa dengan mudah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Roy lelaki itu bisa melihat jelas Afifa sedang dalam keadaan gelisah. Wajar saja, karena memang sejak tadi banyak laki-laki yang memandangi Afifa. Roy tidak menyangka ternyata pesona Afifa bisa menarik perhatian para lelaki yang hadir di sana. Pesona
Tiga hari telah berlalu …. Afifa sedang mempersiapkan diri untuk istirahat karena besok ia harus semangat untuk bekerja. Pada saat wanita itu ingin memposisikan tubuhnya untuk tiduran di kasur, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. “Iya, halo.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. “Afifa, apakah besok kamu ada acara?” Roy bertanya dengan suara yang cukup tenang. Ya, yang menelepon Afifa malam-malam adalah Roy, entah kepentingan apa yang membuat lelaki itu menghubungi Afifa di saat jam tidur seperti ini. “Seperti biasa berangkat kerja,” jawab Afifa, terdengar santai. Sesekali wanita itu menahan kantuk yang sudah mulai menyerangnya, Afifa berharap Roy akan segera mengakhiri panggilannya agar Afifa segera mengistirahatkan tubuhnya. “Besok malam ada acara pesta salah satu rekan bisnis saya, saya berniat untuk mengajak kamu untuk menghapus rumor bahwa saya adalah laki-laki penyuka sesama jenis,” jelas Roy sebenarnya lelaki itu malu mengatakan hal yang