“Mas, Dara sudah kenyang.” Tangan kanan Dara menjauhkan sendok yang terisi penuh oleh bubur yang diberikan rumah sakit. Rasa mual itu yang membuat Dara enggan untuk makan kembali.“Tapi kamu harus makan biar ada tenaganya,” kata Endara.“Kasihan yang ada di dalam sini kalau kamu tidak makan.” Lelaki itu mengusap permukaan perut rata Dara penuh dengan kelembutan dan kasih sayang.Tanpa mereka sadari, Vega sudah berdiri di sana sejak beberapa menit yang lalu, melihat semua kemesraan yang tercipta di dalam sana. Rasanya Vega ingin meruntuhkan dan membakar rumah sakit itu tanpa sisa. Vega benar-benar cemburu, apa lagi pada saat Endara mengusap permukaan perut Dara.“Tapi Dara benar-benar tidak bisa makan lagi, Mas, rasanya mual.” Lagi-lagi Dara mengeluhkan rasa yang sama. rasanya wajar untuk seorang ibu hamil mengalami mual dan muntah.“Baiklah, bubur ini akan saya habiskan.” Akhirnya Endara mengalah, dari pada lelaki itu harus melihat Dara menderita akibat mual dan muntah yang berkepanja
Kabar kehamilan Dara sudah menyebar ke semua keluarga, terutama keluarga Endara tanpa terkecuali. Sekarang Dara menjadi anak menantu kesayangan orang tua Endara, karena sudah lama mereka menantikan seorang cucu akhirnya sekarang terkabul juga doa-doa yang sudah dipanjatkan.“Dara, vitaminnya sudah diminum apa belum?” Julian tiba-tiba saja masuk ke kamar Dara, tanpa mengetuk pintunya terlebih dahulu. Kebiasaan itu sudah terjadi sejak kemarin, sebenarnya Dara kurang nyaman, tapi ketika Dara mau protes rasa takutnya lebih besar.“Sudah, kok Mah,” jawab Dara, senyumnya terlihat terpaksa.Julian duduk di tepian ranjang, wanita itu selalu menampilkan senyum penuh kebahagiaan setelah sekian lama hilang. Endara pun ikut masuk ke dalam kamar Dara ketika melihat sang mama berada di sana.“Mama sedang apa di sini?” tanya Endara, sambil mencium kening sang mama.“Mama hanya ingin menunggu cucu Mama saja,” jawabnya.“Cucu Mama akan baik-baik saja di dalam sana,” kata Endara.Mendengar percakapan a
Malam harinya, setelah makan malam selesai. Dara langsung masuk ke dalam kamar karena dirinya merasa lelah padahal seharian ini tidak melakukan pekerjaan berat. Rasa lelah yang Dara rasakan berbeda dari biasanya, mungkinkah karena faktor hamil muda?Suara ketukan pintu terdengar dan tidak berselang lama Endara masuk ke dalam kamar Dara membawa segelas susu rasa coklat di tangannya.“Tadi kamu belum minum susu ibu hamilnya ‘kan?” Endara duduk di tepian ranjang, memberikan susu buatannya untuk Dara.“Iya Mas, terima kasih.” Dara menerimanya dengan senang hati, lalu susu itu dihabiskan tanpa tersisa.“Wajah kamu terlihat lelah sekali,” kata Endara, mengamati wajah Dara yang terlihat sangat kelelahan.“Dara juga merasa seperti itu, Mas. Padahal Dara tidak mengerjakan pekerjaan berat,” ucap Dara.“Pengaruh bayi yang ada di dalam kandungan kamu. Itu tandanya kamu tidak boleh kelelahan.” Endara mengusap permukaan perut Dara yang masih terlihat rata dengan penuh kasih sayang. Terjadi kehening
Hari ini adalah jadwal Dara ke dokter kandungan untuk pertama kalinya setelah dinyatakan hamil beberapa waktu lalu. Sekarang Dara sedang bersiap di kamarnya dan Endara ikut menemani Dara di dalam kamar.“Jangan memakai rok yang terlalu ketat,” kata Endara, lelaki itu melihat rok yang dipakai Dara seperti tidak nyaman.“Tapi Dara nyaman Mas pakai rok ini,” kata Dara, menunduk melihat roknya.“Saya tahu rok itu sudah ada sejak awal pertama kali kamu datang ke sini. Cepat ganti! Saya tidak mau anak saya tersiksa di dalam sana karena kamu.” Setiap kata yang Endara ucapan penuh ketegasan karena Endara tidak mau anak yang ada di dalam kandungan Dara sekaligus calon ibunya tidak nyaman selama perjalanan nanti.“Iya deh Dara ganti roknya.” Dara melangkah kearah lemari dengan lesu. Padahal Dara sangat ingin memakai rok pemberian ibunya, tapi ya sudah lah.Endara menunggu dengan sabar di tepian kasur sambil memainkan ponselnya. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya Dara keluar dengan rok yan
Tiga bulan kemudian ….Perhatian Endara untuk Dara semakin menjadi-jadi, dan semakin membuat Vega merasa iri dan cemburu. Seperti pagi ini, Endara rela cuti kerja selama beberapa hari untuk menemani Dara karena selama beberapa ini Dara perutnya sesekali terasa kram.“Dara, kamu itu semenjak hamil menyusahkan semua orang ya.” Vega berucap, berniat untuk menyindir Dara. Kebetulan sekarang Dara sedang berada di dapur sendirian, maka dari itu Vega memanfaatkan waktu untuk meluapkan kekesalannya.“Maksudnya Mbak Vega apa?” Dara menghadap Vega dengan raut wajah penuh tanda tanya.“Tidak usah berlagak polos, aku tahu isi otakmu itu rencana busuk semua.”“Mbak, Dara memang benar-benar tidak tahu apa yang Mbak maksud.”Vega meraih pisau kecil yang ada di sampingnya, sedikit memainkan pisau tersebut sampai membuat Dara bergidik ngeri. Ditambah lagi tatapan Vega seperti ingin menguliti Dara hidup-hidup akibat rasa bencinya kepada Dara sangat besar.“Semenjakkamu hamil, kamu itu sangat manja seka
“Mas.”Suara dari dalam kamar Vega membuat langkah Endara berhenti, kebetulan sekali pintu kamar Vega tidak tertutup, jadi Endara bisa langsung mengetahui yang memanggilnya adalah Vega sendiri.“Iya, sayang, kenapa?” Endara masuk ke dalam kamar Vega dan menghampiri istrinya itu yang sedang ada di pinggiran ranjang.“Mas, sini sebentar deh.” Vega menepuk-nepuk tempat di sampingnya meminta Endara untuk duduk di sana.Endara pun menuruti keinginan istrinya, lelaki itu duduk di sana menunggu Vega berbicara. Melihat suaminya sudah duduk di sampingnya, Vega mengambil ponsel untuk diperlihatkan kepada sang suami.“Mas, tadi aku kan nggak sengaja buka-buka sosial media, terus aku baca nama-nama bayi lucu ini,” kata Vega, penuh antusias memperlihatkan deretan nama baik laki-laki dan perempuan kepada Endara.“Dara kan masih lama melahirkannya sayang,” kata Endara. Bukan lelaki itu tidak menghargai perjuangan Vega mencari nama untuk anak yang ada di dalam kandungan Dara, tapi rasanya tidak pant
Endara menutup pintu kamar rawat Dara dengan gerakan perlahan agar tidak mengganggu istirahat Dara. Endara duduk di samping brankar rumah sakit, menatap wajah Dara yang terlihat pucat pasi. Lelaki itu masih merasa bersalah atas kejadian yang hampir melenyapkan nyawa calon buah hatinya. Tidak jarang juga Endara menyalahkan dirinya sendiri yang bodoh tidak bisa menjaga Dara dengan baik.Sambil terus menatap Dara, di dalam hati Endara selalu mengucapkan kata maaf atas kebodohannya. Endara semakin takut meninggalkan Dara sendirian, takut kejadian serupa akan terulang kembali.Perlahan kelopak mata Dara mulai terbuka saat wanita itu merasakan ada sebuah tangan yang mengusap punggung tangannya. Dara melihat sekeliling dan matanya terpaku pada sosok laki-laki yang sedang duduk di sampingnya yang sedang menunduk.“Mas.” Dengan suara yang parau Dara memanggil suaminya lirih. Atas kejadian yang baru saja menimpanya tadi membuat Dara merasa sangat bersalah karena ketidak hati-hatiannya hampir sa
“Aduh Dara, hati-hati dong nanti jatuh lagi,” kata Vega, saat membantu Dara turun dari brankar rumah sakit. Hari ini adalah hari kepulangan Dara ke rumah setelah dinyatakan kondisinya semakin membaik oleh dokter. Sekarang Vega sedang membantu Dara untuk turun dari kasur.“Iya Mbak,” ucap Dara, turun perlahan agar tidak membahayakan dirinya lagi. sikap Vega kali ini sangat berbeda Dara bisa merasakan perbedaan itu. Dara bahagia akhirnya Vega bisa menerima kehadirannya.“Sayang, terima kasih ya kamu sudah membantu Dara untuk turun dari brankar.” Endara menghampiri Vega mengecup kening wanita itu dengan penuh kasih sayang.“Sama-sama, Mas.” Bahagia sekali Vega akhirnya bisa kembali mendapatkan simpati Endara.“Mas tidak perlu khawatir, selama Mas bekerja nanti Dara akan aman bersamaku,” sambung Vega, dengan senyum di bibirnya untuk meyakinkan Endara tentang niat baiknya itu. Vega memang memutuskan untuk baik kepada Dara, tapi tidak akan pernah Vega biarkan Dara bahagia selama berada di t
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-
Setelah mobil Roy selesai diperbaiki, lelaki itu langsung pulang ke rumah orang tuanya dan membawa Afifa ikut bersama. Bukan tanpa alasan Roy membawa Afifa ke rumah orang tuanya, karena tadi Jasmin bilang mau bertemu dengan wanita itu katanya kangen. Wajar saja, karena sudah beberapa hari tidak bertemu.Sekarang Roy dan Afifa sudah sampai di kediaman ke dua orang tua Roy. Afifa sangat disambut baik oleh Mariam dan suami. Meskipun suami Mariam belum pernah bertemu dengan Afifa sebelumnya, tapi lelaki itu bisa sudah seperti mengenal Afifa cukup lama. Aryan, adalah nama papa Roy.“Selama kamu bersama dengan anak ini dia tidak macam-maca kan sama kamu?” tanya Aryan lelaki itu menatap Roy tajam. Bagaimana bisa putranya itu sangat ceroboh membawa seorang wanita menginap di hotel di dalam kamar yang sama? sangat gila sekali bukan? Aryan tahu Roy sudah lama menduda, tapi tidak seperti ini cara melampiaskannya.“Memangnya Papa berpikir seperti apa? Roy tidak segila itu,” kata Roy, menatap sang
Roy dan Afifa masih berada di tempat yang sama, meskipun hari sudah larut malam, tapi acara di tempat pesta itu masih terlihat ramai oleh tamu yang datang. Sejak tadi Afifa tidak pernah jauh dari Roy, wanita itu terus berada di sisi Roy karena tidak mau hal buruk terjadi padanya. Pandangan mata lelaki yang berada si sekitar Afifa masih sama, masih menatap penuh minat. Sampai-sampai membuat Afifa risih dan ingin secepatnya pergi dari tempat itu.“Apa kita masih lama di sini?” tanya Afifa dia sudah bernar-benar tidak betah berada di sana. Bukan karena banyak orang yang berkerumun, tapi tatapan mata lelaki hidung belang yang penuh minat itu seolah Afifa adalah seorang perempuan yang bisa dibawa dengan mudah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Roy lelaki itu bisa melihat jelas Afifa sedang dalam keadaan gelisah. Wajar saja, karena memang sejak tadi banyak laki-laki yang memandangi Afifa. Roy tidak menyangka ternyata pesona Afifa bisa menarik perhatian para lelaki yang hadir di sana. Pesona
Tiga hari telah berlalu …. Afifa sedang mempersiapkan diri untuk istirahat karena besok ia harus semangat untuk bekerja. Pada saat wanita itu ingin memposisikan tubuhnya untuk tiduran di kasur, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. “Iya, halo.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. “Afifa, apakah besok kamu ada acara?” Roy bertanya dengan suara yang cukup tenang. Ya, yang menelepon Afifa malam-malam adalah Roy, entah kepentingan apa yang membuat lelaki itu menghubungi Afifa di saat jam tidur seperti ini. “Seperti biasa berangkat kerja,” jawab Afifa, terdengar santai. Sesekali wanita itu menahan kantuk yang sudah mulai menyerangnya, Afifa berharap Roy akan segera mengakhiri panggilannya agar Afifa segera mengistirahatkan tubuhnya. “Besok malam ada acara pesta salah satu rekan bisnis saya, saya berniat untuk mengajak kamu untuk menghapus rumor bahwa saya adalah laki-laki penyuka sesama jenis,” jelas Roy sebenarnya lelaki itu malu mengatakan hal yang