Pagi-pagi sekali Dara sengaja berjalan kaki di depan rumah sambil menikmati udara segar dan hangatnya sinar matahari. Endara sendiri yang meminta Dara agar rajin-rajin berjemur di depan sambil berjalan kaki untuk mendapatkan vitamin dari matahari yang. Saat Dara sedang berada di depan, ke dua matanya tidak sengaja melihat sosok laki-laki berkulit hitam manis sedang sibuk menyiram tanaman di rumah sebelah. Parasnya manis, dengan kulit sawo matang membuat lelaki itu terlihat seperti lelaki pekerja keras. Sejak tadi Dara tidak berhenti memandangi lelaki itu sampai pada akhirnya pandangan mata mereka berdua bertemu dan membuat Dara salah tingkah. Karena tidak mau terlihat salah tingkah di depan lelaki itu, Dara pun langsung masuk ke dalam rumah. “Sudah selesai berjemurnya?” Suara Endara mengejutkan Dara sampai wanita itu menghentikan langkahnya dengan napas terengah seperti orang baru saja selesai berlari. Napas Dara yang naik turun dengan cepat menyita perhatian Endara membuat lelaki it
“Loh Mas, Mbak Vega sama Mbak Afifa kok perginya mendadak sih?” tanya Dara, karena pagi ini ia melihat Vega dan Afifa akan berangkat untuk liburan ke luar negeri.“Iya, baru kemarin Vega minta izin sama saya untuk pergi liburan,” kata Endara.“Kenapa mendadak banget seperti ini Mas?” Dara masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. di pikiran Dara sudah berkecamuk hal-hal yang buruk. Dara berpikir dirinya lah yang sudah membuat Vega dan Afifa memutuskan untuk pergi berlibur mendadak seperti ini.“Vega dan Afifa sudah lama tidak saya ajak jalan-jalan, jadi mereka berdua mempunyai inisiatif sendiri untuk pergi berlibur,” jelas Endara.Dara kembali bernapas lega, ternyata alasan Vega dan Afifa pergi berlibur mendadak seperti ini hanya karena ingin mencari udara segar saja. setidaknya Dara bisa lebih tenang sekarang.“Berarti kita di rumah hanya berdua dong, Mas?” tanya Dara, sambil menatap Endara yang sedang duduk di sampingnya.Setelah pagi buta tadi mengantar Vega dan Afifa ke
“Lepas Mas, sakit tau.”Endara menghentikan langkahnya tepat di depan pintu masuk rumah miliknya. Lelaki itu menoleh ke belakang dan melayangkan tatapan tajam untuk Dara. Entah mengapa melihat senyum manis Dara yang ditunjukkan untuk lelaki lain membuat hati Endara terbakar.“Kenapa kamu tidak minta ke saya langsung, kepada harus lelaki itu yang mencarikan keinginan kamu?” tanya Endara, masih dengan tatapan mata yang tertutupi oleh kabut amarah. Setengah mati lelaki itu mencoba untuk menutupi rasa marahnya hanya untuk membuat Dara tetap merasa aman di dekatnya.“Dara juga tiba-tiba ngidamnya Mas, mau minta tolong sama Mas Endara, tapi Mas Endara lagi sibuk sama kerjaan,” kata Dara, tidak ingin disalahkan karena Dara merasa tidak salah. Menurutnya janin yang ada di dalam kandungannya tidak bisa diajak untuk bekerja sama, jadilah dirinya yang menjadi sasaran Endara.“Apa pernah saya menolak keinginan kamu demi pekerjaan?” tanya Endara.Dara diam beberapa saat, lalu menggeleng sebagai j
Keesokan paginya jam sembilan tepat.Dara baru saja keluar dari kamar dalam keadaan masih setengah sadar. Setelah shalat subuh, wanita itu kembali tidur setelah semalam penuh tidak bisa terlelap akibat tidak ada Endara di sampingnya. Beberapa hari ini Dara tidak akan bisa tidur juga tidak ada Endara di sampingnya, padahal dulu dirinya tidak semanja itu.Semua ruangan sudah terang itu tandanya Endara sudah bangun, tapi Dara cari di ruang kerja lelaki itu tidak ada di sana. Akhirnya Dara memutuskan untuk ke dapur mencari cemilan dan air dingin, tapi wanita itu dikejutkan dengan sosok laki-laki yang sedang memakai kaos dan celana pendek sedang berdiri membelakanginya.“Mas Endara masak?” tanya Dara, sambil menghampiri lelaki itu penuh rasa penasaran. Dara berdiri di samping Endara yang sedang sibuk memasak tumis kangkung sambil mencium aroma masakan yang sangat enak bahkan Dara langsung bisa menebak masakan Endara cukup enak untuk dimakan.“Iya, memangnya kenapa?” tanya Endara, dengan su
“Pelan-pelan makannya,” kata Dara, sambil memperhatikan cara makan bocah itu yang grasak grusuk akibat kelaparan.Setelah bujuk rayu yang Dara lakukan, akhirnya bocah laki-laki itu mau diajak makan. Entah sudah berapa jam lamanya bocah itu ada di sana, di sudut yang memang tidak semua orang bisa melihat. Untung saja mata Dara melihat bocah itu sedang berada di sana, jika tidak melihat entah bagaimana nasib bocah itu selanjutnya.“Kok kamu bisa sih pisah dari orang tua kamu?” tanya Endara, masih penasaran mengapa bocah itu bisa hilang dari pengawasan orang tua. Apakah orang tua tidak memperhatikan anaknya saat mereka berbelanja? Itu lah yang ada di dalam pikiran Endara. Saat nanti anaknya lahir, Endara tidak akan membiarkan anaknya berkeliaran dengan bebas di tempat umum, takut kejadian seperti ini akan menimpa anaknya di masa depan.“Riki tidak tahu, Om,” kata bocah itu yang bernama Riki.“Jadi, nama kamu Riki?” tanya Dara, dengan suara lembut. Sejak awal pertemuan mereka memang belum
“Sudah kan Mas belanja hari ini?” tanya Dara, kepada Endara yang sedang membawa troli yang terisi penuh dengan belanjaan mereka hari ini untuk beberapa hari ke depan. Padahal sejak tadi Dara sudah memberi peringatan agar Endara tidak mengambil semua yang terlihat di depan mata, tapi lelaki itu tidak mengindahkan ucapan Dara pada akhirnya untuk belanja mingguan hari ini cukup menguras kantong.“Sepertinya sudah,” kata Endara, sambil menatap trolinya yangs udah penuh. Raut wajah Endara seperti tidak yakin apakah barang belanjaannya hari ini sudah lengkap atau belum.“Mas, belanjaan untuk mingguan kali ini Dara rasa lebih dari cukup. Biasanya tidak sebanyak ini,” kata Dara.“Sudahlah, kamu diam saja. soalnya yang makan bukan Cuma kamu dan saya tapi anak saya yang ada di dalam perut kamu juga ikut makan,” kata Endara, lagi-lagi lelaki itu tidak mengindahkan ucapan Dara. Memang jika seseorang masih memiliki cukup uang untuk membeli sesuatu pasti tidak keberatan untuk membeli barang yang be
Tepat jam tujuh malam, Endara bertanya-tanya sebab sejak pulang dari supermarket siang tadi Dara tidak terlihat. Tanpa berpikir panjang lelaki itu langsung menuju kamar Dara untuk memeriksa apakah wanita itu ada di sana atau tidak. Pada saat Endara membuka pintu kamar Dara, tidak Endara sangka ternyata Dara sedang terlelap di bawah selimut tebal.“Ya ampun, kenapa dia masih tidur? Apakah tidak tahu hari sudah gelap?” gumam Endara, sambil melangkah masuk ke dalam kamar Dara. Endara tidak berani menyalakan lampu terang karena takut menganggu Dara yang sedang tidur.“Pasti Dara sangat kelelahan belanja tadi.” Endara kembali bergumam, kini lelaki itu duduk di tepian ranjang melihat Dara lebih dekat. Cahaya remang-remang yang menyoroti wajah Dara membuat gadis itu terlihat semakin manis. Kecil, mungil, tapi sering membuat Endara darah tinggi dan senam jantung akibat ulahnya.“Hey, bangun yuk, hari sudah petang dan kamu belum makan malam.” Endara mengguncang pelan bahu Dara agar wanita itu
Dara masuk ke dalam kamarnya untuk berbincang dengan orang tuanya. rasa bahagia menyelimuti hatinya karena sudah cukup lama Dara tidak berbicara kepada orang tuanya. Sebab, setelah menikah Dara tidak memiliki cukup waktu untuk berbicara kepada orang tua melalui telepon genggam.“Assalamualaikum, Ibu.” Dara menyapa wanita paruh baya di seberang sana dengan perasaan bahagia. Senyumnya sejak tadi tidak pernah luntur. Melihat raut wajah seorang wanita yang sudah melahirkannya ke dunia.“Waalaikumsalam, Nduk. Kok kamu jarang banget sih telepon Ibu sama Bapak?” seorang wanita paruh baya yang ada di seberang sana menitihkan air mata karena rindu kepada putrinya. Putri yang rela banting tulang untuk keluarga. Padahal seusia Dara masih senang bermain dengan teman-teman seusianya.“Maaf Bu, Dara belum ada waktu. Ini saja Dara pinjam ponselnya Mas Endara buat video call sama Ibu, soalnya Dara belum beli ponsel android,” jelas Dara, wanita itu juga ikut meneteskan air mata. Rasanya sesak sekali d
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-
Setelah mobil Roy selesai diperbaiki, lelaki itu langsung pulang ke rumah orang tuanya dan membawa Afifa ikut bersama. Bukan tanpa alasan Roy membawa Afifa ke rumah orang tuanya, karena tadi Jasmin bilang mau bertemu dengan wanita itu katanya kangen. Wajar saja, karena sudah beberapa hari tidak bertemu.Sekarang Roy dan Afifa sudah sampai di kediaman ke dua orang tua Roy. Afifa sangat disambut baik oleh Mariam dan suami. Meskipun suami Mariam belum pernah bertemu dengan Afifa sebelumnya, tapi lelaki itu bisa sudah seperti mengenal Afifa cukup lama. Aryan, adalah nama papa Roy.“Selama kamu bersama dengan anak ini dia tidak macam-maca kan sama kamu?” tanya Aryan lelaki itu menatap Roy tajam. Bagaimana bisa putranya itu sangat ceroboh membawa seorang wanita menginap di hotel di dalam kamar yang sama? sangat gila sekali bukan? Aryan tahu Roy sudah lama menduda, tapi tidak seperti ini cara melampiaskannya.“Memangnya Papa berpikir seperti apa? Roy tidak segila itu,” kata Roy, menatap sang
Roy dan Afifa masih berada di tempat yang sama, meskipun hari sudah larut malam, tapi acara di tempat pesta itu masih terlihat ramai oleh tamu yang datang. Sejak tadi Afifa tidak pernah jauh dari Roy, wanita itu terus berada di sisi Roy karena tidak mau hal buruk terjadi padanya. Pandangan mata lelaki yang berada si sekitar Afifa masih sama, masih menatap penuh minat. Sampai-sampai membuat Afifa risih dan ingin secepatnya pergi dari tempat itu.“Apa kita masih lama di sini?” tanya Afifa dia sudah bernar-benar tidak betah berada di sana. Bukan karena banyak orang yang berkerumun, tapi tatapan mata lelaki hidung belang yang penuh minat itu seolah Afifa adalah seorang perempuan yang bisa dibawa dengan mudah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Roy lelaki itu bisa melihat jelas Afifa sedang dalam keadaan gelisah. Wajar saja, karena memang sejak tadi banyak laki-laki yang memandangi Afifa. Roy tidak menyangka ternyata pesona Afifa bisa menarik perhatian para lelaki yang hadir di sana. Pesona
Tiga hari telah berlalu …. Afifa sedang mempersiapkan diri untuk istirahat karena besok ia harus semangat untuk bekerja. Pada saat wanita itu ingin memposisikan tubuhnya untuk tiduran di kasur, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. “Iya, halo.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. “Afifa, apakah besok kamu ada acara?” Roy bertanya dengan suara yang cukup tenang. Ya, yang menelepon Afifa malam-malam adalah Roy, entah kepentingan apa yang membuat lelaki itu menghubungi Afifa di saat jam tidur seperti ini. “Seperti biasa berangkat kerja,” jawab Afifa, terdengar santai. Sesekali wanita itu menahan kantuk yang sudah mulai menyerangnya, Afifa berharap Roy akan segera mengakhiri panggilannya agar Afifa segera mengistirahatkan tubuhnya. “Besok malam ada acara pesta salah satu rekan bisnis saya, saya berniat untuk mengajak kamu untuk menghapus rumor bahwa saya adalah laki-laki penyuka sesama jenis,” jelas Roy sebenarnya lelaki itu malu mengatakan hal yang