Tepat jam tujuh malam, Endara bertanya-tanya sebab sejak pulang dari supermarket siang tadi Dara tidak terlihat. Tanpa berpikir panjang lelaki itu langsung menuju kamar Dara untuk memeriksa apakah wanita itu ada di sana atau tidak. Pada saat Endara membuka pintu kamar Dara, tidak Endara sangka ternyata Dara sedang terlelap di bawah selimut tebal.“Ya ampun, kenapa dia masih tidur? Apakah tidak tahu hari sudah gelap?” gumam Endara, sambil melangkah masuk ke dalam kamar Dara. Endara tidak berani menyalakan lampu terang karena takut menganggu Dara yang sedang tidur.“Pasti Dara sangat kelelahan belanja tadi.” Endara kembali bergumam, kini lelaki itu duduk di tepian ranjang melihat Dara lebih dekat. Cahaya remang-remang yang menyoroti wajah Dara membuat gadis itu terlihat semakin manis. Kecil, mungil, tapi sering membuat Endara darah tinggi dan senam jantung akibat ulahnya.“Hey, bangun yuk, hari sudah petang dan kamu belum makan malam.” Endara mengguncang pelan bahu Dara agar wanita itu
Dara masuk ke dalam kamarnya untuk berbincang dengan orang tuanya. rasa bahagia menyelimuti hatinya karena sudah cukup lama Dara tidak berbicara kepada orang tuanya. Sebab, setelah menikah Dara tidak memiliki cukup waktu untuk berbicara kepada orang tua melalui telepon genggam.“Assalamualaikum, Ibu.” Dara menyapa wanita paruh baya di seberang sana dengan perasaan bahagia. Senyumnya sejak tadi tidak pernah luntur. Melihat raut wajah seorang wanita yang sudah melahirkannya ke dunia.“Waalaikumsalam, Nduk. Kok kamu jarang banget sih telepon Ibu sama Bapak?” seorang wanita paruh baya yang ada di seberang sana menitihkan air mata karena rindu kepada putrinya. Putri yang rela banting tulang untuk keluarga. Padahal seusia Dara masih senang bermain dengan teman-teman seusianya.“Maaf Bu, Dara belum ada waktu. Ini saja Dara pinjam ponselnya Mas Endara buat video call sama Ibu, soalnya Dara belum beli ponsel android,” jelas Dara, wanita itu juga ikut meneteskan air mata. Rasanya sesak sekali d
Pagi-pagi sekali Endara dan Dara sudah bersiap untuk berangkat. Semua perlengkapan dan keperluan selama di kampung sudah siap. Benar yang dikatakan Endara, Dara tidak perlu menyiapkan semuanya karena nanti akan disiapkan oleh orang suruhan Endara dan ternyata lelaki itu menepati janjinya.“Mas, barang-barang ini apa tidak terlalu banyak? Kita kan di sana hanya beberapa hari saja,” kata Dara, sambil menoleh ke jok belakang melihat barang bawaan mereka yang sangat banyak.“Saya rasa tidak. Untuk berjaga-jaga Dara, pasti di sana mau beli apa saja sedikit susah. Barang yang paling banyak itu barang kamu. Mulai dari cemilan, susu hamil, perlengkapan nanto tidur supaya kamu tidak digigit nyamuk dan lain sebagainya,” jelas Endara, menjelaskan satu per satu perlengkapan yang dibawa.“Mas Endara sampai segitunya memperhatikan Dara. Tidur Dara pun sudah diperhatikan,” batin Dara. Merasa bahagia karena mendapatkan perhatian khusus dari suaminya.“Heh, kok kamu melamun sih? Ada yang kurang ya?”S
Hari semakin bertambah petang, namun ke dua orang tua Dara belum juga kembali. sambil menunggu kedatangan mereka berdua, Dara dan Endara memutuskan untuk mengeluarkan barang bawaan mereka dari dalam mobil dan menata kembali di dalam kamar Dara. Kamar yang dulu menjadi tempat Dara beristirahat di malam hari.“Ini kamar kamu?” tanya Endara, sambil menatap ke sekeliling kamar yang cukup sempit dan banyak sekali sarang laba-laba karena sudah lama tidak ditempati. Dengan pencahayaan seadanya Endara dan Dara menata barang bawaan mereka di sana.“Iya Mas, namanya juga di kampung,” kata Dara, dengan seulas senyum menghiasi wajah manisnya. Meskipun kecil dan sempit, tapi Dara selalu merindukan kamar itu. Kamar yang selalu ia jadikan tempat untuk pulang dan istirahat di kala lelah. Kamar yang menjadi saksi bisu semua cerita Dara tentang mimpinya.“Dara, apa tidak ada lampu yang lebih terang dari ini?” tanya Endara, lagi-lagi lelaki itu dibuat heran dengan penerangan seadanya di dalam kamar Dara
Setelah selesai membuat teh hangat Dara langsung membawa ke ruang depan di mana Endara dan sang bapak sudah berada di sana. Hari sudah semakin gelap, tapi belum ada tanda-tanda jika ibu Dara akan segera kembali.“Pak, sebenarnya Ibu itu kemana?” Dara bertanya sambil meletakkan dua cangkir berukuran sedang itu ke atas meja, tepatnya di hadapan Endara dan Edi.“Bapak juga kurang tahu, Nduk, katanya sih tadi Cuma pergi sebentar,” jelas Edi, yang ikut khawatir karena istri dan dua anak mereka belum juga kembali. Anin—ibu Dara—tadi hanya pamit karena ada keperluan sebentar, tapi nyatanya sampai saat ini belum juga kembali.“Ibu kemana ya, kok belum pulang juga,” kata Dara, sambil melihat ke arah luar berharap sosok sang ibu terlihat di balik kegelapan sana.“Nduk, sudah lah tidak perlu khawatir seperti itu Ibu dan adik-adik kamu pasti akan segera kembali,” kata Edi, untuk menenagkan hati Dara yang gelisah. Tidak seperti biasanya memang Ainin pergi malam cukup lama seperti ini, sebab tadi i
Esok paginya, Endara bangun tidur dalam keadaan menggigil, bukan karena sakit atau demam, tapi memang cuaca di sangat sangat dingin dan berkabut. Padahal jam sudah menunjukkan pukul tujuh, tapi kabut masih cukup tebal. Rasa dingin itu cukup menyiksa untuk Endara, biasanya kepanasan di Jakarta sekarang harus kedinginan di desa.“Ini jahe hangatnya Mas,” kata Dara, memberikan Endara secangkir jahe hangat yang sudah ia buat tadi. Jahe merah hangat yang sangat ampuh untuk menghangatkan badan dari cuaca dingin seperti ini.“Kenapa kamu tidak bilang kalau cuacanya sangat dingin seperti ini?” tanya Endara, dengan tatapan penuh protes. Tahu jika dinginnya seperti ini Endara akan membawa banyak baju tebal dari rumah.“Kan Mas Endara tahu sendiri kampung Dara itu dekat gunung. Dara pikir Mas Endara tahu dengan cuaca di sini,” kata Dara, sambil terkekeh pelan. Melihat Endara berpakaian tebal seperti ini membuat lelaki itu terlihat seperti kepompong yang akan berubah menjadi kupu-kupu.“Kenapa ka
Beberapa jam kemudian, tepatnya jam 10 pagi“Mas, nggak ke sawah bantuin Bapak?”Dani berdiri tepat di belakang Endara saat lelaki itu sedang meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal akibat kemarin mengendarai mobil tanpa ada penggantinya.“Oh, iya, mau sekarang berangkatnya?” tanya Endara, kini lelaki itu sudah menoleh ke belakang menatap Dani yang sedang berdiri di belakangnya.“Tahun depan,” kata Dani, dengan wajah datar. Mendengar pertanyaan Endara membuat hati Dani sangat kesal. Memangnya kapan lagi bisa membantu bapak di sawah? Memangnya orang kita seperti Endara memiliki banyak waktu untuk mengurus sawah di kampung?Mendengar jawaban Dani yang sangat ketus membuat Endara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sampai detik ini Endara belum bisa menyelami sifat ke dua adik laki-laki Dara, meskipun Dara sosok yang sangat hangat dan ramah, tapi ternyata sifat baik Dara tidak menurun pada sang adik.“Ayo Mas, tunggu apa lagi.” Dani melangkah lebih dulu, karena Endara sangat lelet
Ternyata benar apa kata Dara pagi tadi, jika sudah beranjak siang kabut pun menghilang dengan sempurna. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul satu siang dan Endara masih berada di sawah bersama Dani dan bapak mertuanya. Sepanjang Endara berada di sawah, lelaki itu harus masuk ke dalam lumpur untuk mencari keong kecil. Endara tidak mengerti mengapa Dani memintanya untuk mencarikan hewan sawah itu. “Mas, sudah dapat balum?” Dani berteriak dari jarak kurang lebih lima meter dari tempat Endara mencari keong kecil. Dani juga sedang mencari, namun tidak mau berdekatan dengan Endara. “Sudah, tapi belum banyak.” Endara juga berteriak. Endara menegakkan tubuhnya, pinggangnya terasa ngilu dan sakit akibat terus membungkuk untuk mencari keberadaan keong yang terbungkus dengan lumpur. Endara merasa Dani sedang mengerjainya, tapi Endara diam saja seolah tidak tahu apa-apa. Menjengkelkan memang, tapi Endara masih mencoba untuk sabar. “Ya, Mas gimana sih. Cemen.” Dani mengacungkan jari jempol terba
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-
Setelah mobil Roy selesai diperbaiki, lelaki itu langsung pulang ke rumah orang tuanya dan membawa Afifa ikut bersama. Bukan tanpa alasan Roy membawa Afifa ke rumah orang tuanya, karena tadi Jasmin bilang mau bertemu dengan wanita itu katanya kangen. Wajar saja, karena sudah beberapa hari tidak bertemu.Sekarang Roy dan Afifa sudah sampai di kediaman ke dua orang tua Roy. Afifa sangat disambut baik oleh Mariam dan suami. Meskipun suami Mariam belum pernah bertemu dengan Afifa sebelumnya, tapi lelaki itu bisa sudah seperti mengenal Afifa cukup lama. Aryan, adalah nama papa Roy.“Selama kamu bersama dengan anak ini dia tidak macam-maca kan sama kamu?” tanya Aryan lelaki itu menatap Roy tajam. Bagaimana bisa putranya itu sangat ceroboh membawa seorang wanita menginap di hotel di dalam kamar yang sama? sangat gila sekali bukan? Aryan tahu Roy sudah lama menduda, tapi tidak seperti ini cara melampiaskannya.“Memangnya Papa berpikir seperti apa? Roy tidak segila itu,” kata Roy, menatap sang
Roy dan Afifa masih berada di tempat yang sama, meskipun hari sudah larut malam, tapi acara di tempat pesta itu masih terlihat ramai oleh tamu yang datang. Sejak tadi Afifa tidak pernah jauh dari Roy, wanita itu terus berada di sisi Roy karena tidak mau hal buruk terjadi padanya. Pandangan mata lelaki yang berada si sekitar Afifa masih sama, masih menatap penuh minat. Sampai-sampai membuat Afifa risih dan ingin secepatnya pergi dari tempat itu.“Apa kita masih lama di sini?” tanya Afifa dia sudah bernar-benar tidak betah berada di sana. Bukan karena banyak orang yang berkerumun, tapi tatapan mata lelaki hidung belang yang penuh minat itu seolah Afifa adalah seorang perempuan yang bisa dibawa dengan mudah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Roy lelaki itu bisa melihat jelas Afifa sedang dalam keadaan gelisah. Wajar saja, karena memang sejak tadi banyak laki-laki yang memandangi Afifa. Roy tidak menyangka ternyata pesona Afifa bisa menarik perhatian para lelaki yang hadir di sana. Pesona
Tiga hari telah berlalu …. Afifa sedang mempersiapkan diri untuk istirahat karena besok ia harus semangat untuk bekerja. Pada saat wanita itu ingin memposisikan tubuhnya untuk tiduran di kasur, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. “Iya, halo.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. “Afifa, apakah besok kamu ada acara?” Roy bertanya dengan suara yang cukup tenang. Ya, yang menelepon Afifa malam-malam adalah Roy, entah kepentingan apa yang membuat lelaki itu menghubungi Afifa di saat jam tidur seperti ini. “Seperti biasa berangkat kerja,” jawab Afifa, terdengar santai. Sesekali wanita itu menahan kantuk yang sudah mulai menyerangnya, Afifa berharap Roy akan segera mengakhiri panggilannya agar Afifa segera mengistirahatkan tubuhnya. “Besok malam ada acara pesta salah satu rekan bisnis saya, saya berniat untuk mengajak kamu untuk menghapus rumor bahwa saya adalah laki-laki penyuka sesama jenis,” jelas Roy sebenarnya lelaki itu malu mengatakan hal yang