Endara dan para pengawalnya sedang menuju ke lokasi di mana tempat Dara di sekap. Lelaki itu baru saja mengetahui dari salah satu pengawalnya yang sudah ia sebar ke seluruh daerah Bandung yang terdapat bekas pabriknya. Tidak hanya Endara dan pengawalnya saja, tapi juga ada sekelompok polisi yang sudah dia bawa untuk mengawal perjalanannya agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Julian sengaja tidak Endara bawa, karena wanita itu sudah cukup tertekan dengan kabar menghilangnya Dara.“Kepung tempatnya dan jangan ada yang mengambil tindakan sebelum saya sampai di sana!” perintah Endara, dari telepon genggam yang ia gunakan untuk berkomunikasi dengan yang lainnya.“Tuan, apa tidak sebaiknya anggota kami dulu yang bergerak untuk melumpuhkan orang-orang yang ada di sana? Kami tidak mau Tuan dan Nona terjadi suatu hal yang buruk,” kata salah satu orang yang ada di dalam mobil bersama Endara. Niatnya sangat baik, tapi bukan itu yang Endara rencanakan.“Aku ingin menyelamatkan is
Endara terlihat mengendap masuk ke dalam salah satu ruangan kosong untuk memeriksa apakah di dalamnya terdapat Dara di sana, namun nyatanya Endara tidak menemukan siapa pun di sana. Endara tidak mau menyerah begitu saja, lelaki itu tetap terus mencari Dara di seluruh ruangan kosong yang ada, meskipun hasilnya tetap sama, tapi lelaki itu tetap tidak menyerah.“Bagaimana, apa kalian menemukan istri saya?” tanya Endara, kepada anak buahnya yang baru saja datang menghampirinya dengan napas terengah. Mereka juga ikut mencari keberadaan Dara, sementara untuk anggota yang lain berada di luar untuk menyelesaikan masalah di sana.“Coba kita naik ke atas, siapa tahu Dara ada di sana.” Endara melihat tepat di seberang ada tangga menuju kearah lantai selanjutnya. Endara mempunyai firasat jika Dara berada di sana. Semua anak buahnya pun mengangguk mengikuti langkah kaki Endara menuju lantai selanjutnya.Keadaan di sana sama, sama-sama berdebu dan banyak barang-barang tidak terpakai. Bahkan Endara
Hampir saja Dara dan Endara sampai di pintu keluar, angkah mereka harus berhenti ketika melihat Vega sedang berdiri tidak jauh dari mereka masih dengan topeng yang menutupi wajahnya. Endara sigap berdiri di depan Dara untuk melindungi istrinya dari serangan Vega.“Mau kemana?” tanya Vega, nadanya dibuat sangat ramah seolah ia adalah sosok wanita yang baik, padahal di dalam hatinya tersimpan sosok iblis yang sangat kejam dan tidak mempunyai hati nurani. Di balik topengnya Vega tersenyum licik saat melihat raut wajah Dara dan Endara seperti ketakutan. Baru kali ini Vega sangat puas melihat ekspresi orang yang sedang berdiri di depannya saat ini. Vega semakin melangkah maju, sementara Endara dan Dara melangkah mundur untuk menjauh dari Vega.“Stop, jangan mendekat!” perintah Endara, ke dua tangan lelaki itu membentang untuk melindungi Dara yang masih setia berada di belakangnya. Sampai mati pun Endara akan tetap melindungi Dara, apa pun itu yang terjadi Endara harus menjadi temang utama
Di saat Endara lengah, di saat itu juga Vega memanfaatkan keadaan untuk menusuk mantan suaminya itu, tapi untunglah Endara cepat menghindar sehingga hanya lengannya saja yang tersayat.“Belum puas juga kamu Vega padahal kamu sudah membuat Dara tidak berdaya seperti itu,” kata Endara, menatap Vega sengit. Endara tidak lagi memperdulikan lengannya, lelaki itu berusaha keras agar bisa sampai di tempat Dara untuk menolong istrinya itu yang sedang tidak berdaya.“Sebelum kamu mati aku tidak akan pernah puas. Lihat lah istrimu itu yang sudah tidak berdaya, apakah kamu juga tidak mau menyusulnya, Mas?” Vega tertawa bahagia, bahagia melihat penderitaan orang lain. wanita itu mendekati Endara, masih berusaha untuk melumpuhkan mantan suaminya.“Berhenti di sana atau kamu akan menyesal.” Endara terus melangkah dengan tatapan waspada kearah Vega. Meskipun badannya sudah terluka, tapi Endara tidak takut untuk menghadapi Vega sendirian.“Sebelum aku menyesal kamu yang akan lebih dulu lenyap dari mu
Kesedihan pun masih menyelimuti hari Endara danjuga Dara, ke duanya sangat kehilangan bauh hati mereka. Bahkan tidak hanya Dara dan Endara, semua orang yang dekat dengan mereka pun juga ikut merasakannya. Terlebih lagi Julian, wanita itu betul-betul terpukul karena kehilangan cucu pertama yang sudah dia nantikan sejak lama. Sampai detik ini wanita paruh baya itu masih terduduk lemas dengan perasaan yang tidak karuan.“Mah.” Endara berjalan mendekati Julian yang sedang menangis tersedu di sana. Memegang bahu sang mama mencoba untuk menguatkan meskipun dirinya sendiri tidak baik-baik saja. keluarganya sekarang sedang diselimuti kabut kesedihan, cobaan yang sangat berat bagi Endara adalah kehilangan sang calon bayi.“Mama tidak apa, Mama baik-baik saja,” kata Julian, mulutnya memang bisa berkata demikian, tapi di dalam hatinya teramat hancir sampai tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Semua calon nenek pasti akan merasakannya ketika cucu pertama yang sudah dinantikan sejak lama dinyatak
Setelah kondisinya dinyatakan membaik pun Dara diizinkan pulang ke rumah dan sekarang wanita itu sudah tiba di kediaman suaminya dan disambut penuh rasa bahagia oleh orang-orang di dalam sana. Julian juga sudah berada di sana untuk menyambut kedatangan menantunya, tidak hanya Julian Afifa juga berada di sana sebagai teman dan sahabat Dara. Sama sekali Afifa tidak ada niatan untuk kembali, karena wanita itu sekarang sudah menemukan kebahagiaannya sendiri.“Pelan-pelan,” kata Julian, saat Endara membantu Dara untuk turun dari mobil. Endara terlihat sangat telaten sekali mengurus Dara di saat sakit, bahkan lelaki itu yang menggantikan baju sekaligus mengelap basah seluruh tubuh Dara.Endara segera membawa Dara masuk ke dalam rumah karena lelaki itu mau Dara bisa istirahat dengan nyaman di sana. Selama berada di rumah sakit Endara melihat Dara tidak bisa tidur dengan tenang karena suasananya sangat berbeda dengan rumah jika di rumah lebih tenang.“Ssshh, aw.” Dara meringis menahan sakit s
Tiga minggu kemudian ….Sekarang Endara sedang mempersiapkan resepsi untuk pernikahan mereka. Tidak hanya itu, Endara berniat untuk mengundang semua rekan bisnis beserta semua karyawannya untuk menghadiri resepsi pernikahannya. Endara sudah menyiapkan tempat yang besar dan juga megah untuk menyambut para tamu yang akan datang nanti.“Sayang, lebih baik kamu duduk saja pasti nanti kamu lelah berkeliling di sini,” kata Endara, kepada Dara yang selalu setia mengekor di belakangnya. Tidak hanya itu, Dara juga ikut serta memeriksa dekorasi acara resepsi pernikahan mereka yang akan di selenggarakan beberapa hari lagi.“Nggak kok Mas, Dara masih kuat.” Dara sengaja menolak, karena ia ingin ikut serta menjadi saksi dari awal sampai akhir dekorasi pernikahan mereka selesai. Dara sangat bahagia, karena akhirnya ia bisa memiliki pendamping hidup yang bisa menyayangi dan mencintainya dengan tulus, tidak hanya itu, Julian yang merupakan mertuanya sangat menyayangi Dara apa adanya.“Sayang, jangan
Hari pesta pernikahan pun tiba, Dara terlihat anggun dan cantik menggunakan gaun bak putri di negeri dongeng sementara Endara terlihat tampan dan gagah terlihat lebih muda dari usianya. Ke duanya terlihat sangat bahagia menyambut hari bahagia mereka yang sempat tertunda.“Tamunya yang datang banyak sekali Mas.” Dara berbisik tepat di depan telinga Endara, wanita itu sempat terkejut dengan tamu undangan yang hadir sangat banyak. Entah berapa ratus atau bahkan ribu orang yang diundang suaminya untuk menghadiri acara pesta pernikahan mereka.Endara tersenyum mendengar ucapan istrinya, sudah Endara duga Dara pasti akan terkejut dengan tamu undangan yang hadir. Sebenarnya Endara belum sepenuhnya mengundang temannya, yang datang hari ini hanyalah sebagian saja. bayangkan jika semua teman Endara yang hadir di hari itu, pasti tempat yang sudah ia siapkan akan sesak dan penuh.“Kan teman aku banyak sayang, jadi wajar saja kalau tamu yang aku undang juga banyak,” kata Endara, lelaki itu terus
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-
Setelah mobil Roy selesai diperbaiki, lelaki itu langsung pulang ke rumah orang tuanya dan membawa Afifa ikut bersama. Bukan tanpa alasan Roy membawa Afifa ke rumah orang tuanya, karena tadi Jasmin bilang mau bertemu dengan wanita itu katanya kangen. Wajar saja, karena sudah beberapa hari tidak bertemu.Sekarang Roy dan Afifa sudah sampai di kediaman ke dua orang tua Roy. Afifa sangat disambut baik oleh Mariam dan suami. Meskipun suami Mariam belum pernah bertemu dengan Afifa sebelumnya, tapi lelaki itu bisa sudah seperti mengenal Afifa cukup lama. Aryan, adalah nama papa Roy.“Selama kamu bersama dengan anak ini dia tidak macam-maca kan sama kamu?” tanya Aryan lelaki itu menatap Roy tajam. Bagaimana bisa putranya itu sangat ceroboh membawa seorang wanita menginap di hotel di dalam kamar yang sama? sangat gila sekali bukan? Aryan tahu Roy sudah lama menduda, tapi tidak seperti ini cara melampiaskannya.“Memangnya Papa berpikir seperti apa? Roy tidak segila itu,” kata Roy, menatap sang
Roy dan Afifa masih berada di tempat yang sama, meskipun hari sudah larut malam, tapi acara di tempat pesta itu masih terlihat ramai oleh tamu yang datang. Sejak tadi Afifa tidak pernah jauh dari Roy, wanita itu terus berada di sisi Roy karena tidak mau hal buruk terjadi padanya. Pandangan mata lelaki yang berada si sekitar Afifa masih sama, masih menatap penuh minat. Sampai-sampai membuat Afifa risih dan ingin secepatnya pergi dari tempat itu.“Apa kita masih lama di sini?” tanya Afifa dia sudah bernar-benar tidak betah berada di sana. Bukan karena banyak orang yang berkerumun, tapi tatapan mata lelaki hidung belang yang penuh minat itu seolah Afifa adalah seorang perempuan yang bisa dibawa dengan mudah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Roy lelaki itu bisa melihat jelas Afifa sedang dalam keadaan gelisah. Wajar saja, karena memang sejak tadi banyak laki-laki yang memandangi Afifa. Roy tidak menyangka ternyata pesona Afifa bisa menarik perhatian para lelaki yang hadir di sana. Pesona
Tiga hari telah berlalu …. Afifa sedang mempersiapkan diri untuk istirahat karena besok ia harus semangat untuk bekerja. Pada saat wanita itu ingin memposisikan tubuhnya untuk tiduran di kasur, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. “Iya, halo.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. “Afifa, apakah besok kamu ada acara?” Roy bertanya dengan suara yang cukup tenang. Ya, yang menelepon Afifa malam-malam adalah Roy, entah kepentingan apa yang membuat lelaki itu menghubungi Afifa di saat jam tidur seperti ini. “Seperti biasa berangkat kerja,” jawab Afifa, terdengar santai. Sesekali wanita itu menahan kantuk yang sudah mulai menyerangnya, Afifa berharap Roy akan segera mengakhiri panggilannya agar Afifa segera mengistirahatkan tubuhnya. “Besok malam ada acara pesta salah satu rekan bisnis saya, saya berniat untuk mengajak kamu untuk menghapus rumor bahwa saya adalah laki-laki penyuka sesama jenis,” jelas Roy sebenarnya lelaki itu malu mengatakan hal yang