“Ayang, jaga diri ya.”Jefri terhenyak, Clarissa melambaikan tangan padanya sembari tersenyum lembut.“Nona? Nona mau kemana?” Tanyanya dengan langkah cepat setengah berlari, berusaha menahan kepergian Clarissa yang menyeret koper, menjauhinya.Clarissa menoleh ke belakang pada Jefri, namun masih tetap berjalan. “Jauh, mungkin ini terakhir kalinya kita bertemu. Ayang berbahagialah selalu, selamat tinggal.”“NONA!!”Jefri tersentak dari mimpi buruknya, segera mendudukkan diri di atas tempat tidur dengan napas naik turun dan tubuh berkeringat meski suhu ruangan cukup dingin.Ia mengusap kasar wajahnya, mengedarkan pandangan ke seantero kamar yang gelap dan sunyi.Jantungnya masih berdebar kencang, masih jelas diingatannya mimpi saat Clarissa akan pergi jauh meninggalkannya.Jefri tersadar jika hatinya tak rela dan takut jika benar-benar kehilangan wanita itu.Ternyata dirinya memang sudah terjerat dalam pesona Clarissa yang sempat ia tolak karena merupakan putri dari Haris Nugroho dan s
Barra langsung mendekati Olivia yang tadinya hendak duduk di sofa.Mereka menunggu Syifa memanggil tamu yang ingin bertemu Barra tersebut, agar dipersilahkan masuk.Keduanya kini berdiri berdampingan, detak jantung mereka terasa meningkat saat Pintu ruang kerja Barra perlahan terbuka.Tangan Barra langsung menggenggam jemari Olivia. Mata mereka terpaku pada sosok yang masuk, seorang pria dengan wajah pucat pasi dan tubuh yang tampak lebih kurus, Haris Nugroho, yang berjalan dengan langkah pelan diiringi oleh Ayuma yang setia mendampingi.Tangan Ayuma menggenggam erat lengan Haris Nugroho, seolah memberikan dukungan kepada suaminya yang tampak rapuh itu.Barra berwajah dingin, sorot matanya tajam ketika bertemu pandang dengan mata Haris. Rasa amarah dan sakit hati yang sempat terpendam, kembali menguak di hatinya.Haris Nugroho adalah pria yang pernah mencoba menjebak dan menfitnahnya, otak dari perbuatan busuk Azalea.Dan kini dia datang dengan aura yang begitu berbeda, tak ada seoran
“Saya merasa kelemahan Anda ada pada Azalea. Saya yakin, kalau Azalea menggoda Anda sedikit lebih agresif Iagi, Anda pasti akan langsung masuk dalam jebakannya,” Sambung Haris dengan wajah tak enak hati. “Saya ajak Azalea bekerjasama untuk menjebak Anda di penginapan itu. Dia berhasil masuk ke dalam kamar Anda dan merekam dengan handphonenya saat dia mencoba merayu Anda di kamar. Hal tak terduga, ternyata Anda menolak godaannya mentah-mentah. Itu cukup mencengangkan sebenarnya karena saya pikir Anda akan terayu dan akhirnya mengkhianati Oliv. Tak sampai di situ, Anda yang marah besar dengan ulah Azalea, membuatnya sampai ditahan polisi setempat. Sayalah orang yang sudah membebaskannya dari sana!” Ungkap tak akan menutupi apapun dari Barra.Barra menyipitkan mata, masih diam. Membiarkan Haris bercerita sesuai versinya, karena sebenarnya dirinya pun sudah tahu semuanya.Ayuma dan Olivia saling melempar pandang. Mereka merasa malu dan miris dengan pengakuan Haris barusan.“Saya memutuska
“Masuk?” Tanya Jefri, menunggu jawaban seorang karyawati di bagian resepsionis.Karyawati itu menggeleng pelan. “Gak masuk teleponnya, Pak Jef. Nomornya gak aktif,” Jawabnya masih dengan memegang gagang telepon yang ditempelkan di telinga.“Kenapa sekarang nomor teleponnya jadi tidak aktif?” Jefri mengernyit heran, bingung, semakin resah.“Ada nomor lain gak, Pak?”Jefri diam, berpikir sejenak, kemudian menggeleng. “Tidak ada, cuma itu,” Jawabnya lalu menghela napas panjang. Dirinya tak bisa melakukan panggilan telepon ke nomor kontak Clarissa karena sepertinya nomornya sudah diblokir oleh wanita itu.Kali ini ia meminta bantuan bagian resepsionis untuk menelepon Clarissa dengan nomor telepon kantor saja, berharap Clarissa mau menerima dan dirinya bisa bicara serius. Namun sayang, nomor kontak yang dituju tidak aktif.“Lalu sekarang gimana, Pak Jef?” Karyawati tersebut menunggu titah Jefri selanjutnya.Dua orang karyawati bagian resepsionis lainnya, diam-diam mencuri dengar pembicaraa
“Hem, ada apa ini?” Barra mengulum senyum melihat Olivia bermanja-manja padanya.Istrinya itu tengah duduk di atas pangkuannya di kursi kerja.Olivia mengalungkan kedua tangannya di pundak Barra, memeluk dan menciumi wajah Barra dengan gemas.“Aku tuh suka klepek-klepek kalau lihat Mas kalem banget menyelesaikan masalah. Tadi itu Mas udah bersikap tegas dan stay cool. Mas berhasil menahan emosi. Di mata aku, Mas kelihatan seksi banget, jadi pengen aku peluk cium terus...” Olivia dengan tingkah manjanya, mengeluarkan perasaan bahagianya karena tadi Barra memilih memaafkan Haris tanpa harus membalas perbuatan pria itu.Haris sendiri sudah mendapatkan balasan langsung dari apa yang telah dia perbuat. Rasanya tak perlu lagi memperpanjang masalah.Bukankah sudah cukup membuatnya sadar setelah kehilangan istrinya walaupun hanya dalam waktu satu bulanan? Tersiksa batin hingga sakit-sakitan, sudah cukup sebagai pelajaran berharga.“Oh, jadi itu sebabnya kenapa mau peluk-peluk dan cium Mas sep
“Ya, saya pikir Pak Barra akan marah besar dan merasa dikhianati kalau saya menjalin hubungan serius dengan Putri dari orang yang sudah mengganggu hidup Bapak dan Nyonya. Maafkan saya Pak,” Jefri tak enak hati. “Atas dasar apa aku harus marah apalagi merasa dikhianati? Dia wanita baik, dia juga tidak membela ayah dan adiknya yang sudah melakukan kesalahan. Kalau kamu memang sanggup masuk ke dalam keluarga Nugroho, ya lakukan! Itu hak kamu. Kamu harus siap menjadi Kakak ipar ELGARD MARIO NUGROHO!” Barra menahan senyum, membayangkan Jefri menjadi kakak ipar Elgard, seperti apa jadinya? “Saya tidak peduli pada Elgard. Saya cuma menginginkan Nona Clarissa. Dia memang wanita baik dan tidak memandang status sosial siapapun. Saya menyukai sifatnya yang tulus, apa adanya dan sikap berterus terangnya,” Jelas Jefri. “Hem, itu bagus. Kalau hati kamu sudah mantap dan yakin, lanjutkan! Tapi setelah kamu menolaknya, apa dia masih mau sama kamu?” Barra menaikkan sebelah alisnya. Bisa-bisanya Aspr
Jefri mengerti akan sikap dingin Clarissa. Semua memang salahnya yang membuat gadis itu bingung karena tiba-tiba saja datang mengungkapkan cinta setelah beberapa waktu lalu sempat menolak. Bahkan kini mengajak menikah dengan memasangkan cincin di jari manis Clarissa tanpa terduga. “Maafkan saya atas apa yang sudah saya lakukan sebelumnya terhadap Nona. Tapi kali ini saya benar-benar serius, saya mencintai Nona dan ingin memiliki Nona. Saya tidak ingin hidup dalam kehidupan yang tidak melibatkan Nona.” Jefri berucap dengan tulus, tanpa ada kepura-puraan di sorot matanya yang Clarissa amati. Sedang Clarissa berusaha menenangkan debaran jantungnya yang kian tak beraturan setelah mendengar Jefri kembali menyatakan bahwa pria itu mencintainya dan ingin memilikinya. Sungguh perasaannya saat ini dibuat melambung setinggi langit, seperti terbang melayang ke angkasa. Namun, ia tak ingin memperlihatkannya pada Jefri. Berpura-pura tidak terlalu tertarik, itulah yang akan ia lakukan. Jual ma
Clarissa yang baru saja duduk di dalam mobil Jefri, hanya bisa tertegun. Diam seribu bahasa melihat Jefri yang bersamanya hari ini, berbeda dengan Jefri sebelumnya yang tampak begitu sederhana dengan sepeda motornya. Pria yang satu bulan lalu ia pikir adalah seorang office boy, sekarang sudah terang-terangan menunjukkan siapa dirinya sebenarnya dengan menggunakan mobil mewah miliknya sendiri, dan penampilannya yang sempurna. Jefri memasukkan koper Clarissa ke bagasi, lanjut menutup pintu mobil bagian Clarissa yang ia persilahkan untuk masuk ke dalam mobil terlebih dulu. Setelahnya, ia pun ikut masuk dan duduk di bangku kemudi. Tak buang waktu, Jefri langsung memasang sabuk pengamannya, bersiap untuk pergi meninggalkan bandara dengan perasaan penuh semangat. “Nona?” Jefri terheran melihat Clarissa di sampingnya masih terdiam seperti orang bengong. “Kenapa Nona tidak pakai seatbelt? Kita akan berangkat sekarang,” Ucapnya lembut. “Jefri, ini mobil kamu apa mobil Pak Barra?” Tanya Cl
“Udah, Sayang. Oliv jangan terlalu banyak diajak bicara. Lihatlah dia masih pucat sama lemas gitu,” tegur Virendra, ingin menghentikan Syafira yang masih saja mengajak Olivia mengobrol. Virendra begitu iba melihat menantu perempuannya dalam keadaan lelah. Pasti sangat sangat capek dan inginnya tidur tenang untuk merehatkan badan setelah berjuang melahirkan bayi yang ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak keluarga. “Waduh, maafkan Mommy ya Sayang. Kamu jadi terganggu,” Ucap Syafira pada Olivia. “Enggak kok, Mom.” Olivia terkekeh, dirinya malah selalu senang jika ibu mertuanya itu ada. Membuat suasana semakin hidup dan ramai. Syafira mengusap lembut lengan menantunya, kemudian mendekati Amanda yang berdiri di samping box bayi Olivia. Virendra mengambil kesempatan. la dekati Olivia, lalu membelai dan mengecup pucuk kepala menantunya. “Istirahat yang cukup ya, Nak,” ucapnya lembut, tersenyum dengan sorot mata penuh kasih sayang. “Ya, Dad,” Jawab Olivia ikut tersenyum. Di saat
Olivia ditempatkan di ruang rawatan President Suite-Royal Hospital dengan segala fasilitas lengkapnya. Aroma harum khas bayi baru lahir, menyebar ke seluruh penjuru ruangan, memberi ketenangan tersendiri. Ibu muda itu berbaring dengan kepala sedikit ditinggikan di atas tempat tidur pasien, tubuhnya nyaman ditutupi selimut halus. Di sampingnya, Barra duduk sambil menggenggam tangannya dengan mesra. Mata pria yang kini telah resmi menjadi seorang ayah itu, tak lepas memandangi wajah lelah Olivia yang tampak sedikit pucat. Cinta dan perhatian tergambar jelas dalam tatapan hangat Barra. la sesekali mengecup tangan Olivia, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang semakin besar saja pada istrinya itu. Rasa bangga terhadap Olivia yang telah melahirkan buah cinta mereka, kian membuncah. Sedang Olivia yang telah melewati proses persalinan, tampak lelah namun sumringah. Mata sayunya tertuju pada bayi yang kini berada dalam dekapan sang kakek. Tampak bayi mungil mereka tertidur lelap d
Dengan hati-hati, Barra membantu Olivia berjalan ke mobil, sambil terus memastikan bahwa istrinya itu merasa nyaman. “Udah yakin gak ada yang tertinggal, Sayang?” tanya Amanda sebelum pintu mobil ditutup. “InsyaAllah yakin, Bu.” “Ok. Jagain Oliv ya Bar. Ibu dan Kakek di belakang ngikutin mobil kalian.” “Ya, Bu.” Barra mengangguk, berdebar-debar karena Olivia menahan sakit sambil menggenggam kuat jemarinya. Amanda menutup pintu mobil Barra dari luar. Mobil pun segera melaju, menuju rumah sakit Royal Hospital. Amanda dan Tuan Rawless dengan mobil mereka sendiri, akan ikut ke rumah sakit untuk menunggui persalinan Olivia. Wajah keduanya cukup tegang, ini waktunya cucu Amanda sekaligus cicit Tuan Rawless akan hadir ke dunia ini. Sebentar lagi. Hujan masih terus mengguyur, menambah dramatis perjalanan mereka ke rumah sakit di dini hari yang dingin dan basah itu. “Aduh Mas, makin sakiiiit...” Olivia menggenggam erat tangan Barra. Kontraksinya terasa semakin kencang daripada sebelumn
_Dua bulan kemudian_ Pukul 01.00 wib. Suara gemericik hujan di luar jendela kediaman Rawless, semakin membuat malam terasa pekat. Di dalam kamar yang temarm oleh lampu tidur, Barra dan Olivia masih berbaring di bawah selimut tebal yang membalut tubuh keduanya. AC yang sejak awal diatur dengan suhu rendah, menambah kesejukan ruang kamar yang luas itu, serasi dengan dinginnya malam yang diselimuti hujan. Olivia dengan perutnya yang besar menonjol, tidur miring ke kiri membelakangi Barra dengan kepala bertumpu pada lengan suaminya sebagai bantal empuk. Sedang Barra memeluknya dari belakang, seperti salah satu kebiasaan mereka saat tidur. “Uugh...” Olivia mulai menggeliat. Rasa tak nyaman di perut yang dirasakannya sebelum tidur tadi, kembali lagi, malah semakin intens. Perutnya seperti mengencang, seakan menjadi sebuah tanda bahwa kontraksi sesungguhnya telah dimulai. “Nak, kok gerak-gerak terus ya? Apa udah mau lahir?” lirihnya dengan mengusap-usap perut. Dengan wajah meringis
Tampak penghulu datang, langsung disambut ramah oleh Tuan Rawless, Virendra dan Haris. Setelah berbasa basi, semuanya akhirnya duduk di tempat masing-masing. Penghulu, Barra dan Tuan Rawless sebagai saksi nikah. Yang terpenting, Jefri dan Haris duduk berhadap-hadapan untuk mengucapkan ijab qobul sebentar lagi. Sementara keluarga besar sudah menempati kursi mereka masing-masing, ikut tak sabar menyaksikan acara sakral ini. Tak berselang lama, Syafira dan Ayuma masuk ke dalam ballroom hotel. Suara riuh hadirin di dalam ruangan megah itu, sontak menarik perhatian Jefri. Ada ungkapan takjub dengan melafazkan kalimat MasyaAllah, terdengar dari suara-suara mereka yang melihat ke arah pintu masuk. Degup Degup Jantung Jefri berdegup sekencang mungkin. la menelan saliva, matanya tak berkedip. Clarissa masuk digandeng Syafira dan Ayuma, itu gadis yang sebentar lagi akan ia halalkan. Tak sampai hitungan jam lagi. ‘Ya Allah!’ ‘Indahnya cıptaanMu...’ Batin Jefri, terpesona melihat calon
Tiga minggu berlalu... Ballroom hotel bintang lima tempat Jefri dan Clarissa akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi pernikahan, telah bertransformasi menjadi sebuah mahakarya keindahan, seperti sebuah istana mewah bak pernikahan putri raja. Di sekeliling ballroom, meja-meja tamu tersusun rapi dan elegan, ditata dengan linens putih bersih dan peralatan makan perak yang berkilau, dihiasi centerpiece yang terdiri dari bunga-bunga segar dan lilin-lilin yang menambahkan nuansa romantis. Di setiap sudutnya, terdapat rangkaian bunga yang mewah berwarna-warni sedemikian rupa, menambah semerbak aroma floral yang menggoda indra. Di bagian depan ballroom, sebuah meja berukuran sedang namun unik, telah disiapkan dengan kursi spesial untuk calon pengantin pria yang akan melangsungkan ijab qobul bersama wali nikah pengantin perempuan, tak lupa kursi khusus penghulu dan dua orang saksi nikah. Atmosfer di aula ini bukan hanya tentang keindahan visual, namun juga perasaan penuh harapan y
Kini mereka tengah berkumpul di kediaman Virendra sambil mengobrol. Jefri yang sudah disuruh beristirahat oleh sang Mommy, masih tetap bergabung dalam obrolan meski hanya menjadi pendengar. Wajahnya tampak tegang, sedikit gugup. “Jef, kamu kenapa? Dari tadi diem aja, disuruh rehat gak mau.” Syafira terheran melihat raut wajah gugup pemuda yang sudah ia anggap sebagai putra keduanya itu. “Um, Mommy, Daddy,” Jefri mencoba menetralkan sikap, harus tetap tenang. “Tell us. Kamu biasanya kalau mau ngomong sesuatu, gak pake basa basi, Jef. Kenapa sekarang gugup gitu, ada masalah lain?” Virendra cukup penasaran melihat ekspresi tegang Jefri. “Begini. Ada yang mau Jef sampaikan.” Jefri menatap satu persatu wajah Virendra dan Syafira yang menunggu apa yang akan ia sampaikan. “Jangan bikin Mommy penasaran ah, Jef! Cepetan ngomongnya,” Desak Syafira. Sudah tahu dirinya tak bisa dibuat penasaran. Jiwa keponya berontak. Jefri menarik napas dalam-dalam, membuat Syafira semakin penasaran. “Dad
“Dan sekarang, saya semakin yakin kalau saya tidak bisa kehilangan Nona Clarissa. Saya ingin bersamanya, memilikinya sebagai istri saya. Karena tidak mau membuang-buang waktu lagi, begitu tau Nona Clarissa akan meninggalkan Indonesia, saya langsung bergegas menyusul ke Bandara untuk membawanya kembali bersama saya. Tidak akan saya lepaskan lagi dia. Akan saya perjuangkan dia dengan cara mengikatnya ke dalam ikatan yang halal, karena saya sangat mencintainya, lebih dari segalanya. Sudah cukup bagi saya untuk mengenal kepribadiannya, tahu tentang harapan dan mimpinya, dan saya ingin menjadi bagian dari itu semua. Saya tidak hanya mencintai dia, tapi juga menghormati dia sebagai individu. Saya siap berbagi suka dan duka bersamanya, di setiap langkah yang akan kami tempuh bersama.” Jefri berucap dengan sorot mata penuh keseriusan, mengungkapkan seluruh perasaan dan keinginannya. Tanpa sadar, rasa gugup dan khawatir akan ditolak, menghilang begitu saja. Berganti menjadi rasa percaya diri d
“Begitupun saya, Nona. Sejak kecil, saya selalu berharap ada pasangan suami istri yang mau mengambil saya menjadi anak mereka, tetapi tidak pernah dilirik sama sekali. Mungkin karena saya kurus seperti anak kurang gizi. Dekil dan sering sakit dibanding anak panti lainnya. Tidak ada yang tertarik untuk mengadopsi saya. Tidak ada kelebihan yang saya punya selain otak yang mampu, tapi tidak seimbang dengan fisik saya yang lemah. Setelah bersama Pak Barra, saya berubah menjadi seperti sekarang. Kuat dan bisa beliau andalkan. Kalau tidak bertemu beliau dan Tuhan tidak menggerakkan hatinya untuk memasukkan saya ke dalam keluarga Virendra, mungkin sekarang pun saya juga bukan siapa-siapa. Belum tentu saya bisa bertemu circle orang-orang hebat. Dan belum tentu saya bisa bertemu dengan Nona,” Jefri menatap wajah Clarissa. Mata Gadis itu tengah berkaca-kaca mendengar kisah hidupnya. “Kamu hebat! Kamu pantas dipertemukan dengan orang-orang hebat pula seperti Pak Barra dan keluarga Virendra. Aku