Zara menggenggam erat kertas hasil pemeriksaan tes kehamilannya yang dikeluarkan oleh rumah sakit di Las Vegas.Arkana dan Zara sedang berada di kota ini untuk berlibur sekaligus menemani Kai-adik Arkana—berbulan madu bersama Zhafira-istrinya setelah menikah bulan lalu.Bukan hanya Zara dan Arkana, Kakak kembar Arkana juga ikut bersama suami dan istri mereka lalu ada Kejora beserta suaminya tidak ingin ketinggalan menemani Kai dan Zhafira berbulan madu yang kedua.Liburan yang tidak direncanakan ini tercetus begitu saja saat pesta pernikahan Kai dan ternyata pada waktu yang telah ditentukan mereka memiliki waktu senggang.Dan tadi, ketika para wanita saja sedang makan siang di sebuah resto ternama di Kota itu untuk istirahat sejenak setelah menghabiskan uang suami di butik brand ternama—Zara mengalami muntah hebat.Secara tidak sengaja Kejora menyodorkan sebuah tespack yang ada di tasnya kepada Zara.Anehnya, Zara yang mengetahui dirinya tidak bisa hamil lagi malah menuruti keingin Ke
KEHAMILAN ZARA DUA BELAS MINGGU“Dok, udah ditungguin suaminya di depan.” Seorang suster memberitau Zara.Zara melirik arloji di pergelangan tangan kirinya kemudian mengembuskan napas panjang.Arkana meninggalkan kantor lagi sebelum jam pulang kerja.Suaminya sangat over protective semenjak mengetahui jika dirinya dinyatakan hamil kembali.Zara sampai harus berdebat dengan Arkana selama berminggu-minggu untuk dapat meneruskan internshipnya karena pria itu melarangnya beraktifitas selama hamil.Padahal dokter tidak mengatakan resiko apapun mengenai kehamilannya tidak seperti ketika Zara mengandung Arasha yang saat itu kandungannya sangat lemah sehingga Zara harus sering bedrest di rumah sakit.“Makasih ya, sebentar lagi saya keluar.” Suster itu mengangguk disertai senyum lalu pergi setelah mengabari Zara tentang keberadaan suaminya yang tampan.Zara menanggalkan jas dokternya untuk ia gantung di sudut ruangan.Saat ini memang sudah waktunya pulang, tapi tadinya Zara masih ingin berdis
"Kak, kok belum pergi kerja?" Zara terjaga dari tidurnya.Matahari sudah meninggi tapi Zara masih merasakan pelukan Arkana dan hembusan napas pria itu di lehernya."Aku cuti, Yang." Arkana bergumam, masih sangat mengantuk karena semalam suntuk Zara gelisah dalam tidurnya.Sang istri mengatakan pinggangnya panas dan pegal sehingga sepanjang malam Arkana memijat pinggang Zara tanpa lelah."Cuti apa? Bukannya baru minggu kemarin Kak Ar cuti?" Susah payah Zara memutar badan demi menghadap Arkana."Aku ambil cuti hamil." Arkana menjawab masih dengan mata terpejam erat sulit terbuka."Kan yang hamil aku, kok bisa Kak Ar yang cuti?" Zara mengangkat tangan, jemarinya bergerak menyentuh wajah sang suami tampan, menikmati keindahan ciptaan sang Maha Kuasa.Terkadang Zara merasa insecure karena kehamilan ini membuat tubuhnya membengkak tapi Arkana selalu memujinya dan memperlakukannya begitu mesra dan mendamba membuat perlahan rasa insecure itu memudar.“Iya donk, perusahaan aku ya suka-suka ak
“Sakit, Yang?” Arkana mengerutkan wajahnya sambil meringis.Melihat ekspresi Zara yang kesakitan membuat Arkana juga seperti merasakan apa yang tengah mendera Zara saat ini.Zara menggelengkan kepala dengan mata terpejam erat dan kerutan di antara alis.Sesekali menggelinjang akibat dari rasa sakit karena Bee sedang mencari jalan keluarnya.Arkana meraih tangan Zara, menggenggam erat seraya memijat punggung Zara.Ia juga mengelap pelipis Zara yang dipenuhi buliran keringat.“Tahan ya sayang,” bisik Arkana kemudian mengecup kening Zara berulang kali.Zara mengangguk tapi genggaman tangannya mengerat dengan geraham bergeretak saat rasa sakit sudah tidak mampu ia tahan lagi.Andai Arkana bisa menggantikan Zara, ia akan melakukannya dengan suka rela dari pada melihat Zara menderita seperti ini.“Sayang ... sayang ....” Arkana melirih, air matanya tumpah sambil memeluk Zara.Istrinya akan bertaruh nyawa demi melahirkan anak mereka ke dunia, bukan hanya itu—Zara juga pernah berkorban untuk
Baby shower yang diadakan Arkana untuk putranya, Ghazanvar Nawasena Gunadhya diselenggarakan di sebuah resort bintang lima miliknya di Sentosa Island, Singapura.Tidak tanggung-tanggung, harga kamar yang semalamnya dibanderol tiga puluh empat juta rupiah itu disediakan Arkana untuk setiap keluarga yang hadir.Acara yang digelar semi outdoor itu menggunakan dresscode serba biru yang mencerminkan pesta untuk kelahiran anak laki-laki.Ghazanvar Nawasena Gunadhya terlelap dalam gendongan sang oma yang sangat bahagia atas kelahirannya.Setiap hari Maya berkunjung ke rumah Arkana untuk merawat cucu pertamanya.“Bayi yang tampan,” ucap Bianco, pria itu duduk di samping Maya.“Akhirnya, aku memilikinya juga.” Maya menanggapi.“Tapi aku tidak bisa memiliki kamu,” pancing Bianco membuat Maya menoleh lalu tersenyum.“Seperti ini lebih baik ... tidak ada yang akan terluka, aku akan menjadi sahabatmu selamanya.” Maya menyenggol lengan Bianco dengan tangannya meminta persetujuan.“Baiklah, tapi sa
“Aaay, Ghaza nangis.” Zara bergumam dengan mata terpejam erat masih sangat mengantuk karena baru saja beberapa menit lalu selesai menyusui si bungsu Arnawarma Byakta Gunadhya.“Heeem.” Arkana membalas dengan gumaman, ia juga baru saja terlelap beberapa jam lalu sepulang pulang lembur.“Aaaay, cepetan.” Zara menendang kaki suaminya pelan mendengar tangis Ghaza yang kian kencang.Ghaza yang baru berumur satu tahun lebih masih suka bangun malam, perutnya tidak pernah kenyang meski sebelum tidur menghabiskan satu botol besar susu formula.Arkana mengembuskan napas berat tapi tak urung menegakan tubuhnya lalu turun dari ranjang.Rasanya begadang ini tidak pernah selesai karena dari Ghaza terus bersambung pada Nawa.Hanya empat bulan kosongnya rahim Zara dan langsung hamil kembali anak kedua.Arkana keluar dari kamar menuju kamar Ghaza, tangis bayi gempal itu kian kencang mengetahui sosok sang Daddy muncul seakan sedang mengadu jika dirinya lapar.“Bentar sayang, Daddy buat susunya dulu.”S
“Kenapa anak-anak nangis?” Arkana bertanya kepada dua Nanny yang bertugas menjaga Ghaza dan Nawa.“Enggak tau, Pak ... enggak biasanya, mungkin lagi mau tumbuh gigi.” Nannynya Ghaza yang lebih senior memberi alasan tapi Arkana bisa melihat kilat kebohongan dari pendar matanya.Arkana lantas meraih Ghaza dan Nawa, menggendong keduanya sekaligus di kiri dan kanan.Ghaza yang berumur tiga tahun dan Nawa berumur dua tahun lantas melingkarkan kedua tangan dan kakinya di tubuh sang daddy.“Abang sama Mas kenapa nangis?” Akhirnya Arkana bertanya langsung kepada kedua anaknya sambil membawa mereka ke kamar Ghaza.“Mommy ... tadi marah trus teriak ... Abang takut, Dad.”Ghaza yang sudah pintar bicara di usianya yang baru menginjak tiga tahun mengadu kepada Arkana.“Mommy nanis ... Sayang Mommynya cama Daddy.” Disela tangisnya yang seperti sedang merasa bersalah, Nawa juga berusaha menjelaskan apa yang baru saja terjadi.Langkah Arkana berhenti di depan kamar Ghaza, ia memutar tubuh menghadap
“Mommy,” bisik Ghaza membuat Zara buru-buru menghapus air matanya.“Jangan menangis, Mommy ... maafkan Ghaza ya.” Ghaza menegakan tubuhnya lantas mengangkat tangan mengusap air mata di pipi Zara.Bayi tiga tahun yang sudah pandai bicara sejak usia dua tahun itu kemudian memberikan pelukan untuk sang Mommy.Matanya tampak sayu mengantuk tapi Ghaza masih memaksakan diri terjaga dari tidurnya hanya untuk meminta maaf kepada Zara.“Ghaza maafin Mommy juga, kan?” Zara bertanya dengan suara parau.“Tentu saja Mommy, Ghaza sayang Mommy.”“Mommy juga sayang Ghaza.” Zara memeluk erat si sulung, memberikan banyak kecupan di wajah mungil anak tampannya.“Ghaza tidur lagi ya, udah malem ... besok Mommy anter Ghaza ke sekolah dulu sebelum ke kampus.”Ghaza mengangguk, menarik pipi Zara untuk memberikan kecupan di sana.Zara balas dengan memberikan kecupan di kening Ghaza lalu menyelimuti hingga dada dan membenarkan selimut Nawa yang tidak terusik dari mimpinya.Zara menyalakan lampu tidur dan mema