"...." Begitu kalimat itu keluar, Yohanes langsung menyadari bahwa perempuan itu hanya sedang menggodanya saja. Sayangnya, mulut lebih cepat dari otak, dan sudah terlambat bagi dirinya untuk menarik kembali ucapan itu.Pria itu mendelik ke arah Yuna dengan tidak senang, sambil melepas ransel di pundaknya, "Ini untukmu!" Yohanes melemparkan tas beserta seluruh isinya hingga membuat Yuna terkejut, "Apa ini?" "Hal yang kamu mau!" ucapnya.Tas itu cukup berat, ketika Yuna tadi menangkapnya dengan satu tangan, tas tersebut langsung tergelincir dan hampir terjatuh. Perempuan itu pun buru-buru menahan tas tersebut dengan tangan yang lain. "Apakah tas ini boleh dibuka?" tanya Yuna sambil menatap pria itu."Sudah kubilang itu untukmu, mau buka atau nggak, terserah kamu!" ucap pria itu dengan sedikit canggung.Yuna tersenyum tipis sambil membuka sedikit ritsleting tas tersebut. Sepotong kayu besar, yang dibungkus dan dijejalkan secara paksa ke dalam tas itu langsung mencuat keluar. Pantas saja
“….”Jelas-jelas pria itu masih tidak rela untuk melepasnya. Mulutnya pun menjadi kaku menahan kata-kata yang ingin diucapkan.“Ini adalah hadiah pribadi dari aku, jadi bukan mewakili hadiah dari keluarga Kusumo,” ucap Yohanes yang tiba-tiba menjelaskan. Yuna dapat melihat ada yang tidak beres dengan suasana hati pria yang ada di hadapannya ini. Namun perempuan itu juga tidak bisa bertanya, sehingga Yuna pun hanya bisa berkata, "Terima kasih, aku sangat menyukainya."Sudut bibir pria itu sedikit berkedut ke atas, dia tersenyum puas lalu berbalik dan pergi. Namun baru saja berjalan dua langkah, pria itu kembali membalikkan badannya dan bertanya, "Apakah kamu yakin mau menikah dengan Brandon?""...." Yuna menatap pria itu dengan bingung."Nggak apa-apa." Pria itu buru-buru menggelengkan kepalanya, lalu berkata dengan raut wajah yang terlihat sangat bimbang, "Aku pergi dulu."“???” Yuna menatap punggung pria itu dengan tanda tanya yang besar di kepala. Perempuan itu merasa bahwa kedatang
“Cut!” Setelah sutradara berteriak, dia menoleh untuk melihat artisnya dengan raut wajah yang tak berdaya.Setelah memberikan sedikit arahan, sutradara berjalan menghampiri dengan cepat, dan berusaha berkata dengan nada suara yang setenang mungkin, “Sharon, akting kamu barusan tadi kurang menghayati. Mendapatkan pernyataan cinta dari seseorang yang diam-diam kamu sukai, seharusnya kamu merasa senang, bahagia, seolah mimpi telah menjadi kenyataan, benar ‘kan? Kamu harus bisa membuat orang juga ikut merasakan kebahagiaan yang kamu rasakan.”“Apanya yang menyenangkan, itu semua hanyalah sebuah mimpi! Bagaimana mungkin bisa begitu banyak mimpi yang menjadi kenyataan!” ucap perempuan itu sambil mendengus dengan sedih.Sutradara, “....”Asisten Sharon yang berada di samping buru-buru menyelamatkan situasi, “Pak Sutradara, Sharon sepertinya kelelahan, perlu istirahat dulu, setelah istirahat dan menyesuaikan suasana hati baru kita lanjut lagi, boleh ‘kan?”“Boleh saja, tapi hanya untuk adegan
“Baiklah, kita nggak akan membicarakan hal ini. Kapan kamu selesai syuting hari ini?” tanya Cecilia yang mengubah topik pembicaraan.“Kayaknya masih lama!” ucap Sharon. Dirinya sudah menunda waktu syuting begitu banyak, ditambah lagi emosinya yang sedang tidak stabil, benar-benar tidak tahu kapan mereka baru akan berhasil menyelesaikan syuting ini. “Kenapa?”Cecilia bangkit berdiri dan menepuk kedua tangannya sambil melihat ke sekeliling. “Nggak apa-apa, aku akan menunggu kamu sampai selesai syuting, lalu aku akan menemani kamu pergi berbelanja.”Belanja? Sharon langsung menggelengkan kepalanya dengan kencang, “Aku lagi nggak berniat pergi belanja!"Memang benar katanya cara terbaik untuk menyembuhkan rasa sakit seorang perempuan adalah dengan berbelanja, beli, beli dan beli. Namun orang yang dirinya cintai akan segera menikah, dan mempelai perempuan bukanlah dirinya, jadi tidak ada hal apa pun yang dapat menyembuhkan rasa sakit yang ada di hatinya ini.“Nggak peduli kamu mau pergi ata
Mereka berdua pun berbelanja seharian penuh dan membeli banyak barang. Selain membeli hadiah untuk Nenek Setiawan, para tetua di keluarga Setiawan yang lain juga mendapat bagian. Dalam hal mengambil hati orang, khususnya mengambil hati orang yang lebih dewasa, bisa dibilang Sharon adalah ahlinya.Ketika mereka sudah selesai berbelanja dan bersiap untuk pulang, mereka melewati sebuah konter parfum. Sharon langsung menghentikan langkah kakinya, sepasang matanya tertuju pada rangkaian parfum yang mempesona.Sementara itu, Cecilia yang sudah berjalan jauh di depan, baru menyadari bahwa Sharon tertinggal di belakang, Cecilia buru-buru kembali dan menemukan perempuan itu tengah berdiri termangu di depan konter parfum.“Apa? Mau beli parfum?” Cecilia langsung berdiri di samping sambil membantu Sharon memilih parfum.Perempuan yang menjaga konter parfum itu langsung menyapa mereka berdua dengan semangat, “Kakak suka wangi yang seperti apa? Produk kami mempunyai berbagai jenis wangi, Kakak bole
“Sudahlah, aku tahu dia itu peracik parfum. Paling dia bikin sendiri parfumnya dan nggak dijual di tempat lain!” kata Sharon kecewa.“Kamu, mah, memang gampang nyerah. Dari dulu kamu nggak pernah ngerjain sesuatu sampai tuntas. Waktu itu kenapa kamu bisa ngejar Brandon sampai bertahun-tahun?”Saat itu … Sharon mengira tidak ada wanita lain yang ada di hati Brandon, makanya dia yakin dirinya masih punya kesempatan, yakin bahwa dia ditakdirkan untuk bersama dengan Brandon. Akan tetapi, semenjak menyadari seperti apa tatapan mata Brandon ke wanita itu, kepercayaan diri yang selama ini Sharon miliki langsung hancur tak tersisa.Dari dulu tidak pernah satu kali pun Brandon menatap Sharon seperti itu, tidak pernah!“Biarlah, mungkin memang dia bikin sendiri. Aku nggak mungkin bisa dapat barangnya, dan aku juga nggak bisa bikin!” ujar Sharon meledek dirinya sendiri. Dia sendiri masih tak habis pikir masa iya hanya sebotol parfum bisa memikat hati seorang pria begitu kuat?“Kamu ini bodoh, ya?
“Ah, itu … aku belum tentuin tanggalnya,” sahut Yuna terkesiap tiba-tiba ditanya seperti itu.Belakangan ini Yuna sendiri selalu sibuk dari pagi sampai malam dan tidak punya waktu untuk memikirkan pernikahannya. Apalagi, dia juga sudah lama menikah secara sipil, dan acara resepsi semata-mata hanya untuk menyenangkan orang lain saja.“Nggak ada salahnya berhati-hati sedikit,” kata Clinton, “Waktu itu kamu diculik sewaktu di Prancis?”“Eh?”Sudah cukup lama waktu berlalu semenjak kejadian itu, jadi Yuna juga sudah tidak begitu ingat. Dia tidak mengira Clinton akan menanyakan hal itu lagi. Berhubung Clinton menanyakan hal itu, berarti dia punya bukti yang kuat untuk mengetahuinya, dan Yuna tidak merasa harus menyangkal hal itu.“Iya, tapi itu sudah lewat.”“Kenapa kamu nggak kasih tahu orang rumah?”“Aku bisa selesaikan sendiri.”Lagi pula kalaupun saat itu Yuna memberi tahu kepada anggota keluarganya, mereka juga tidak akan keburu datang. Ditambah lagi para penculik itu hanya terdiri dar
Ketika Lisa baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba dia membalikkan badan dan menarik tangan Yuna, “Ikut aku!”Yuna dibawa oleh Lisa sampai ke ruang rias yang berada di belakang panggung. Bisa dibilang fasilitas yang Lisa dapatkan di sini cukup baik. Dia memiliki ruang rias pribadi, hanya saja ruangan ini dipenuhi dengan bau dari berbagai macam make-up yang aromanya kurang mengenakkan.“Aku rasa parfum ini bakal cocok buat kamu, tapi aku nggak tahu kamu bakal suka atau nggak,” ujar Yuna seraya mengeluarkan sebuah botol parfum berwarna ungu dari tasnya. “Isinya nggak terlalu banyak karena ini masih tahap awal. Kalau ada yang kamu rasa kurang pas, aku bisa perbaiki lagi. Tapi kayak yang aku bilang sebelumnya, tetap butuh waktu!”“Oke, oke. Aku percaya saja sama kamu. Apa pun yang kamu bikin pasti bagus!” Lisa pun dengan tidak sabaran segera membuka botol parfum itu dan menyemprotkannya ke pergelangan tangan, lalu menghirupnya.Yuna tidak banyak bicara dan hanya fokus melihat ekspr
“Apa lagi ini?”Dalam berkas yang berisikan surat wasiat tersebut tertulis jelas bahwa sang Ratu mengetahui kesehatannya yang makin menurun dan sudah dekat ajalnya, karena itu selagi masih sadar, sang Ratu dengan sukarela menyerahkan posisinya kepada keturunannya, dan Fred diberikan kepercayaan penuh untuk menjadi penasihat mereka.“Kamu masih berani mengaku nggak mau merebut posisiku?! cucuku usianya baru empat tahun, tahu apa merea? Lagi pula bukannya menurunkan ke anakku, tapi malah langsung ke cucuku. Orang waras pasti sudah tahu apa maksudnya ini.”“Nggak juga, cucu Yang Mulia sangat pintar dan punya bakat untuk jadi penguasa yang baik. Saya cuma bertugas memberi nasihat, tapi pada akhirnya kekuasaan tertinggi tetap jatuh kepada mereka. Terkait masalah pewaris, apa Yang Mulia masih nggak sadar juga seperti apa mereka? Mereka sama sekali nggak cocok untuk jadi penguasa!”“Fred, kenapa baru sekarang aku sadar kalau ternyata ambisimu setinggi itu, ya?”“Bukan, Yang Mulia. Yang Mulia
Ketik sang Ratu tersadar, dia sudah berada di atas kasur. Dia berbaring dengan sangat nyaman ditutupi oleh selimut yang rapi. Di sampingnya ada semacam alat medis yang mengeluarkan suara nyaring. Walau demikian, sang Ratu tidak merasa nyaman.“Fred! Fred!” sahutnya.Mengira tidak akan ada yang datang, tak disangka Fred sendiri yang muncul di hadapannya.“Ada yang bisa dibantu, Yang Mulia?”“Lepasin aku!”“Wah, sayang sekali Yang Mulia, tapi nggak bisa! Eksperimennya sudah mau kita jalankan dua hari lagi. Yang Mulia nggak boleh ke mana-mana sampai dua hari ke depan.”“Eksperimen apaan. Kamu cuma mau membunuhku dan mengambil alih jabatanku, bukan?”“Yang Mulia, saya mana berani melakukan itu. Kalau saya membunuh Yang Mulia, apa saya perlu menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membangun lab dan semua eksperimen ini? Saya benar-benar berniat baik untuk Yang Mulia, tapi Yang Mulia malah terbuai sama omongan si cewek licik itu dan nggak percaya lagi sama saya. Sayang sekali!” kata Fre
“Aku?” kata Chermiko. “Nggak, aku cuma merasa itu terlalu aneh! Apa pun yang keluar dari mulut cewek gila itu, aku ….”Kata-kata yang hendak Chermiko katakan tersangkut di lehernya saat ditatap oleh Shane. Tadinya dia mau bilang tidak akan menganggap serius apa pun yang Rainie katakan, tetapi setelah dipikir-pikir, dia juga akan berpikir hal yang sama dengan Shane.“Oke, mau dia benar-benar bisa menghilang atau nggak, selama masih ada kemungkinan itu benar sekecil apa pun, kita harus cari tahu!” kata Brandon. Dia tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang patut ditertawakan. Kalau sampai Rainie melarikan diri, maka bahaya terhadap masyarakat akan sangat besar.“Shane, jaga anak-anak!”Brandon pertama-tama langsung menghubungi Edgar agar dia bisa mengerahkan koneksinya untuk mencari Rainie di setiap sudut kota. ***Pintu kamar di mana Ratu sedang tidur siang diketuk sebanyak tiga kali, kemudian pintu itu dibuka begitu saja tanpa seizinnya. Sang Ratu membuka matanya sejenak dan langsung
“Seaneh apa pun ini pasti ada penjelasannya,” kata Brandon. Dia mengamati bantal di atas kasur itu dan menaruhnya kembali, lalu berkata, “Ayo kita keluar dulu sekarang!”Di kamar itu sudah tidak ada orang dan sudah tidak perlu dikunci lagi. Mereka berdua pun satu per satu keluar dan setela mereka kembali ke tempat Shane berada.“Rainie benar-benar menghilang?” tanya Shane.“Iya,” jawab Chermiko menganggu.“Kok bisa? Apa ada orang lain dari organisasi itu yang menolong dia?”“Aku nggak tahu.”Tidak ada satu orang pun di antara mereka yang tahu mengapa Rainie bisa menghilang. Mereka bertiga sama bingungnya karena tidak ada penjelasan yang masuk di akal. Brandon tak banyak bicara, dia mengerutkan keningnya membayangkan kembali ada apa saja yang dia lihat di kamar itu. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, tetapi dia tidak tahu apa itu.Shane, yang entah sedang memikirkan apa, juga tiba-tiba berkata, “Apa mungkin …? Nggak, itu mustahil ….”“Apaan? Apa yang nggak mungkin?” Cher
Chermiko sudah menahannya sebisa mungkin, tetapi suara gemetar bercampur dengan napas terengah-engah tetap saja menakutkan untuk didengar. Saat mendengar itu, Shane langsung terbelalak dan menyahut, “Apa?!”“Rainie … Rainie nggak ada di kamarnya!” kata Chermiko sembari menunjuk ke belakang.“Ngomong yang jelas, kenapa dia bisa nggak ada?” Ucapan ini datang dari belakang, membuat Chermiko kaget dan menoleh, dan menemukan ternyata Brandon sudah ada di belakangnya entah dari kapan.Brandon baru tidur sebentar dan belum lama terbangun. Semua masalah yang mereka alami membuat kualitas tidurnya terganggu. Anak dan istri tidak ada, dan sekarang ditambah lagi dengan sekian banyak masalah serius yang datang tak habis-habis. Bagaimana dia bisa tidur lelap? Apalagi sekarang ada dua bayi yang entah anaknya atau bukan datang membutuhkan penjagaan.Tidur singkat sudah cukup untuk memulihkan energinya, setelah itu Brandon mandi dan mengganti pakaian, lalu turun untuk melihat anak-anaknya, dan ternyat
Chermiko mulai menyadari Shane lagi-lagi terbawa oleh perasaan sedihnya. Dia pun segera melurusan, “Eh … maksudku. Aku cuma nggak menyangka ternyata kamu bisa ngurus anak juga. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah panik. Tapi kalau dilihat-lihat lagi, dua anak ini mukanya lumayan mirip sama Brandon, ya. Menurut kamu gimana?”Mendengar itu, Shane melirik kedua bayi yang sedang tertidur pulas dan melihat, benar seperti yang tadi Chermiko bilang, bagian kening mereka sedikit mirip dengan Brandon, sedangkan mulut mereka mirip dengan Yuna.“Kelihatannya memang mirip, ya. Tapi kita jangan tertipu dulu. Aku merasa makin lama kita lihat jadi makin mirip. Kalau sekarang aku bilang mereka nggak mirip, apa kamu masih merasa mereka mirip?”Benar juga, andaikan mereka bukan anaknya Brandon, dengan sugesti seperti itu Chermiko percaya saja kalau mereka tidak mirip.“Waduh, aku rasanya kayak lagi berhalusinasi!” ucapnya.“Makanya sekarang kita jangan berpikir mirip atau nggak mirip dulu. Lebih baik k
“Itu normal. Dulu waktu Nathan masih kecil juga aku kayak begini,” kata Shane. “Hampir semalaman penuh kamu nggak mungkin bisa tidur. Begitu kamu taruh mereka, mereka pasti langsung nangis, jadi kamu harus gending mereka terus. Waktu itu tanganku juga sudah mau patah rasanya.”“Kamu gendong anak sendiri? Bukannya pakai pengasuh?!”“Waktu itu aku masih belum sekaya sekarang, istriku nggak mau pakai pengasuh, jadi aku yang gendong.” Shane tidak mau mengingat masa lalunya lagi karena itu hanya akan membuatnya sedih. Shane lalu menghampiri Brandon dan hendak mengambil anak itu dari tangannya. “Sudah pagi, biar aku yang jagain. Kamu istirahat dulu.”“Nggak usah!”“Jangan begini lah! Kalau kamu merasa berutang sama Yuna dan anak-anak kamu, masih ada waktu lain untuk menebus, tapi sekarang kamu harus istirahat! Kalau kamu sampai tumbang, siapa lagi yang bisa jagain mereka, dan siapa yang bisa nolongin Yuna!”Ketika mendengar itu, akhirnya Brandon mengalah dan memberikan kedua anaknya kepada S
Kemampuan medis Yuna tak diragukan membuat Fred kagum kepadanya, tetapi Yuna punya perang yang lebih penting dari itu. Lagi pula sifat Yuna yang sangat keras membuatnya tidak mungkin dijadikan kawan oleh Fred. Dibiarkan hidup juga tidak ada gunanya.“Bagus … bagus sekali!”Setelah memahami apa yang sesungguhnya terjadi, Fred menarik napas panjang dan mengatur kembali emosinya. Dia mengucapkan kata “bagus” berulang kali, dan ini merupakan pelajaran yang sangat berharga baginya. Selama ini selalu dia yang mengerjai orang lain. Tak pernah sekali pun Fred berpikir dirinya tertipu oleh sebuah trik murahan. Bukan berarti Fred bodoh karena tidak menyadari hal itu, hanya saja terlalu banyak hal yang harus dia kerjakan sehingga dia tidak bisa berpikir dengan jernih.“Yuna, kali ini kamu menang! Tapi sayang sekali kamu nggak akan bisa melihat akhir dari semua ini! Sebentar lagi kita sudah mau masuk ke tahap terakhir dari R10. kamu sudah siap?”Fred menyunggingkan seulas senyum yang aneh di waja
“Tadi kamu ada diare lagi?” Yuna bertanya.“Nggak ada,” jawab Fred menggeleng, tetapi dia marah menyadari dirinya malah dengan lugu menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan. “Itu nggak ada urusannya! Sekarang juga aku mau obat itu!”“Sudah nggak sakit perut dan nggak diare, rasa mual juga sudah mendingan, ya? Paling cuma pusing sedikit dan kadang kaki terasa lemas. Iya, ‘kan?”Fred tertegun diberikan sederet pertanyaan oleh Yuna, dia pun mengingat lagi apa benar dia mengalami gejala yang sama seperti Yuna sebutkan.“Kayaknya … iya!”Meski sudah berkat kepada dirinya sendiri untuk tidak terbuai oleh omongannya, tetap saja tanpa sadar Fred menjawab dengan jujur. Setelah Fred menjawab, Yuna tidaklagi bertanya dan hanya tersenyum.“Kenapa kamu senyum-senyum?! Aku tanya mana obatnya, kamu malah ….”“Pencernaan kamu sehat-sehat saja, nggak kayak orang yang lagi keracunan!”“Kamu ….”Fred lantas meraba-raba perut dan memukul-mukul dadanya beberapa kali. Dia merasa memang benar sudah jauh lebi