“Makasih, lho, kamu sudah nolong aku!” kata Yuna.Yuna merasa cara Lisa menggambarkan situasi sangat lucu, tapi apa pun itu, yang jelas dia melakukannya atas niat baik.Lisa pun memperlihatkan senyumannya yang manis dan berkata, “Nggak usah terima kasih! Kamu cukup ajarin aku gimana caranya bikin wangi-wangian ini sudah cukup. Aku belajar gimana cara bikinnya biar bisa mirip kayak yang kamu bikin, tapi nggak pernah berhasil.”“Papa kamu kan peracik parfum, masa parfum yang dia bikin nggak ada yang kamu suka?” tanya Yuna.“Ada, sih, tapi parfum sama wangi-wangian yang kamu bikin nggak sama. Yang kamu bikin bisa dibawa ke mana-mana dan aromanya juga awet. Waktu tidur pun aku bisa taruh di samping ranjang. Yuna, jangan-jangan kamu taruh ramuan rahasia di dalamnya ya? Aku sampai kecanduan!”“Hahaha, kalau aku taruh ramuan rahasia, papa kamu pasti bisa langsung tahu!” balas Yuna sambil melihat sekeliling, tapi dia sudah tidak bisa menemukan Will.“Kamu boleh pulang. Papaku datang uma untuk
“Kamu … siapa?” tanya Lisa kebingungan.Tiba-tiba Valerie memasang tampang seolah mereka adalah teman lama dan tersenyum sambil menepuk bahu Lisa, “Sudah lupa sama teman kamu? Aku Valerie!”Lisa, “….”Yuna, “….”Valerie ini memang paling pandai sok kenal sok dekat! Saat itu mana pernah Valerie dekat dengan Lisa. Lebih tepatnya, waktu masih kuliah Valerie lebih banyak berteman dengan pria, sedangkan untuk teman wanita, dia lihat dulu apakah orang yang ingin berteman dengannya bisa memberikan keuntungan atau tidak. Jika tidak, Valerie tidak akan mau bicara dengan mereka sepatah kata pun.Saat itu pengalaman Yuna dalam bersosialisasi masih sangat minim dan belum tahu betapa jahatnya hati manusia itu. Dia mengira Valerie mau berteman dengannya karena dia adalah orang yang ramah, jadi Yuna pun menganggapnya sebagai teman baik. Namun siapa sangka ternyata itu hanyalah taktik yang sudah Valerie rancang sejak dulu.Sekarang Valerie sengaja sok kenal dengan Lisa pasti karena tahu kalau Lisa ada
Valerie juga buru-buru mengeluarkan ponselnya dan meminta kontak Lisa, “Oh iya, aku juga add kamu, ya.”Sayangnya, sebelum Valerie sempat meminta nomor WhatsApp Lisa, Lisa sudah menyimpan kembali ponselnya dan berkata kepada Yuna, “Yuna, aku pulang dulu, ya. Kalau nggak, nanti papaku nyariin aku lagi. Keep in touch, ya!”“Lisa, aku belum ….”Namun, Liisa sama sekali tidak memedulikan Valerie dan hanya melambaikan tangannya kepada Yuna, lalu berlari ke arah berlawanan secepat kilat. Melihat Lisa yang sudah pergi jauh, Valerie menggenggam ponselnya sekuat tenaga seakan ingin meremas ponselnya sampai hancur.“Silakan saja kalau kamu mau jadiin Lisa sebagai batu loncatan, tapi jangan harap semua orang bisa jadi batu loncatan kamu!” ucap Yuna menyindir.“Aku mau nginjak siapa suka-suka aku, selama aku bisa. Yna, kamu nggak berhak ngomongin aku. Kamu pikir kamu sudah berhasil ngejilat si Will? Apa bedanya kamu sama aku yang ngandalin koneksi buat dapat apa yang kamu mau? Nggak usah sok suci!
“Bu Yuna, biarpun hari ini kita bisa lolos tanpa kena masalah, aku harus ingatkan sesuatu. Kelakuan Bu Yuna hari ini sangat nggak pantas. Asal Bu Yuna tahu, semua jerih payah perusahaan hampir saja sia-sia cuma gara-gara kecerobohan Ibu tadi,” protes Reni selama perjalanan mereka kembali ke hotel.“Memangnya separah itu?” balas Yuna sambil tertawa kecil. Dia tahu kalau Reni orangnya cukup bawel, tapi dia tidak menyangka ternyata Reni sebawel ini.Melihat Yuna yang masih tidak menyadari betapa parahnya situasi mereka tadi, Reni pun jadi semakin serius dan berkata pada Yuna, “Bu Yuna, aku nggak ngerti kenapa di saat kayak begini Ibu masih bisa ketawa. Ibu pikir ini nggak bakal jadi masalah? Untung saja Ibu kenal sama anaknya Pak Will, kalau nggak kenal, gimana? Atau mungkin anaknya Pak Will nggak muncul tadi, atau ternyata dia nggak kenal Bu Yuna datang? Kita harus bersikap lebih tahu diri di negara orang. Pihak panitia memang lalai, tapi kita seharusnya menyampaikan pendapat kita setela
Setelah berguling-guling di atas kasur dengan pikiran yang kalut, akhirnya Yuna tak kuat lagi dan membuka chat-nya dengan Brandon. Di era modern seperti sekarang apa wanita masih harus jual mahal? Kalau memang Yuna yang merindukan Brandon, untuk apa dia harus menahan diri?!Yuna pun mengirimkan pesan singkat sebanyak tiga kata yang berisi “Aku sudah sampai!”Namun apa yang Yuna rasakan setelah mengirim pesan tersebut malah seperti sedang tenggelam di lautan yang sangat dalam. Dia tidak mendapatkan balasan apa pun, bahkan sekadar emoji saja tida ada.Yuna merasa malu menatap tiga kata yang baru dia kirimkan tadi. Padahal dia sudah berinisiatif mengabari Brandon, tapi Brandon hanya mengabaikannya!Di tengah perasaan galaunya itu, tiba-tiba ponsel Yuna berbunyi dan terlihat nama Brandon tampil di layar. Spontan, Yuna pun hendak menekan tombol itu menerima panggilannya, tapi ketika jarinya hampir menyentuh layar, tiba-tiba dia berhenti.Tidak bisa! Kalau Yuna buru-buru mengangkatnya, bukan
“Di dalam koper kamu ada kartu hitam. Kartu itu nggak ada PIN-nya, kamu pakai saja.”Yuna kaget tidak menyangka Brandon akan berkata seperti itu. Dia pun buru-buru bangun dari kasur dan mencari kartu itu di kopernya, dan benar saja, dia menemukan sebuah kartu berwarna hitam dengan garis tipis berwarna keemasan. Dari penampilan kartunya saja, Yuna tahu kalau ini bukan kartu biasa.“Kapan kamu masukkin kartunya ke koperku?” tanya Yuna.“Itu nggak penting, kamu tinggal pakai saja. Jangan terlalu sering keluar. Ingat untuk tidur dan makan yang benar. Kamu harus jaga diri selama aku nggak ada.”Ucapan itu benar-benar membuat Yuna terharu. Dari kecil Yuna selalu dididik untuk mandiri, tapi sekarang dia sudah punya seseorang yang selalu perhatian padanya seperti menanyakan apakah Yuna sudah makan dan sebagainya.“Iya, kamu juga,” balas Yuna, tanpa menyadari suaranya terdengar begitu lemah lembut.“Oh ya, katanya panitia acara ini yang namanya Will bakal datang. Dia agak nyusahin orangnya. Kal
Bahkan Yuna sendiri juga cukup terkejut dengan kejadian yang dia alami sendiri. Teman Yuna bisa dibilang tidak terlalu banyak, tapi bisa-bisanya dia bertemu dengan temannya di negara orang lain, dan ternyata dia memiliki peran yang begitu penting.“Mungkin ini karma baik, anggap saja ini sesuatu yang kamu tuai dari bibit yang kamu tanam dulu.”Apa pun itu, yang jelas sekarang Brandon merasa lega karena dengan adanya hubungan antara Yuna dengan Lisa, seharusnya Will tidak akan terlalu mempersulit Yuna.“Apanya yang karma baik! Justru sekarang masalahku jadi makin rumit. Mau aku menang atau kalah, dua-duanya sama-sama nggak menguntungan.”“Kamu takut?” tanya Brandon sambil memutar kursinya ke belakang. Di hadapannya terdapat sebuah kaca besar yang membentang dari atap sampai lantai. Di balik kaca itu terlihat sebuah pemandangan kota di malam hari yang sangat luas. Waktu sudah mendekati tengah malam, tapi Brandon tidak ada niat untuk pulang ke rumahnya karena dia hanya akan merasa hampa t
Spontan, gadis itu berhenti dan menolehkan senyumannya ke arah Brandon sambil berkata, “Oke, pintunya nggak aku tutup.”Dia pun kembali ke meja dan membuka kantung berisi kotak makan besar yang tadi dia taruh di atas meja.“Kalau sudah fokus kerja, kamu sudah nggak peduli lagi sama yang lain. Aku tahu kamu pasti belum makan, ‘kan?”Seketika melihat segelas kopi yang ada di depan Brandon, dia pun langsung membuang semua isinya dan berkata, “Minum kopi pas perut kosong nggak bagus. Kamu ini, ya, memang nggak bisa jaga diri sendiri!”Di dalam kotak makan yang dia bawa ada nasi beserta lauk pauk yang masih hangat. Tak hanya warna makanannya yang menggugah selera, tapi aromanya juga sangat menggoda.“Aku sudah bikinin iga asam manis kesukaan kamu, terus ada juga ayam suwir, ayo dimakan,” ujar gadis itu dengan wajah yang ramah sembari menyiapkan segala macam peralatan makan di atas meja.“Ini semua kamu yang masak?” tanya Brandon.“Iya, ayo cobain.”“Kamu yang masak?”Brandon mengulangi pert
Yuna memiringkan kepalanya sedikit sembari menarik tangan Juan, lalu menatap wajahnya dan berkata dengan penuh amarah, “Kamu dipukuli?!”“Nggak apa-apa!”“Apanya nggak apa-apa! Kamu dipukuli mereka?!”Yuna spontan mengubah posisi duduk, tetapi dia baru saja sadar dari koma dan tubuhnya masih lemah, alhasil napasnya jadi sedikit terengah-engah.“Siapa? Fred?!”“Kamu kira aku nggak bisa menangkis? Kalau aku serius, dia nggak bakal bisa mengenaiku sedikit pun!”“Beraninya dia memukulmu?!”Jelas sekali ucapan Juan sama sekali tidak digubris oleh Yuna. Dia sudah terlanjur diselimuti oleh kemarahan melihat gurunya disakiti oleh orang lain. Mulut Yuna memang sering kali kasar ketika sedang berbicara dengan Juan, tetapi jauh di lubuk hati dia sangat menghormati gurunya. Waktu Yuna berguru dengan Juan memang tidak terlalu lama dan putus nyambung, tetapi dia sudah belajar banyak sekali darinya. Bagi Yuna, Juan adalah senior yang sangat berjasa dalam hidupnya. Yang lebih membuat Yuna marah, di us
“Hus! Amit-amit! Siapa yang ajarin kamu ngomong begitu! Yuna yang aku kenal nggak begini, sejak kapan kamu jadi sentimental!”“Kamu sendiri juga biasanya nggak pernah percaya sama yang begituan. Jadi, kenapa kamu mau datang ke sini?”“Aku … cuma mau lihat saja apa yang terjadi di sini!”Yuna tidak membalas sanggahan Juan dan hanya tersenyum, sampai-sampai membuat Juan panik dan menyangkal, “Oke, oke. Aku datang untuk lihat keadaan kamu, puas?! Kamu nggak tahunya pasti punya tenaga untuk bikin aku marah. Kayaknya kamu sudah sehat, ya.”“Iya, aku sudah mendingan!” kata Yuna, dia lalu hendak mencabut jarum-jarum yang masih tertancap di badannya.”“Eh, jangan bergerak!” seru Juan, emudian dia mencabut jarumnya satu per satu sesuai dengan urutan dia menusuk sambil menggerutu, “Aku dengar kamu tiba-tiba koma. Bikin aku takut saja. Aku juga dengar dia bilang detak jantung kamu hampir berhenti. Biar kutebak, kamu …. Ah, biarlah. Kamu ini, nggak pernah peduli sama badan sendiri. Bisa-bisanya ka
“Tahan dia, dia masih bisa berguna,” kata Fred.“Aku nggak akan pergi dari kamar ini!” Tiba-tiba Juan memberontak dan akhirnya melawan perintah Fred. “Kalau kamu mau aku angkat kaki dari kamar ini, lebih baik bunuh aku saja sekalian!”“Kamu pikir aku nggak berani?”“Terserah kamu saja!”Juan langsung duduk bersila di lantai dan tangannya memeluk ujung kasur dengan erat. Mau diapa-apakan oleh mereka pun Juan tidak akan mau berpindah tempat. Jangan remehkan tubuhnya yang sudah menciut akibat usia, walau begitu pun tenaganya masih lumayan besar sampai ditarik oleh banyak orang pun dia tetap tak berpindah. Namun keributan itu membuat Yuna merasa terganggu.“Pak Tua … hentikan!”Fred melompat kegirangan akhirnya mendengar Yuna sudah bisa bicara. Dia segera meminta mereka untuk berhenti dan berjalan menghampiri Yuna.“Akhirnya kamu bangun juga. Mau ngomong juga kamu sekarang? Yuna, kamu sudah keterlaluan! Kamu pikir dengan bunuh diri, kamu berhasil merusak rencana besarku?”“Aku nggak ngerti
Namun Yuna masih sangat lemah meski jantungnya sudah kembali berdenyut. Dia kelihatan sangat lesu seperti orang yang sedang mengalami depresi berat. Fred pun menyadari itu, dan dia langsung memberi perintah kepada para dokternya, “Hey, cepat periksa dia!”Para dokter itu pun berbondong-bondong datang dan melakukan berbagai macam pemeriksaan, lalu mereka menyimpulkan, “Pak Fred, untuk saat ini dia baik-baik saja. Nggak ada kondisi yang membahayakan, tapi dia masih sangat lemah dan butuh waktu istirahat.”“Perlu berapa lama? Apa dia masih bisa pulih seperti semula?”“Itu … kurang lebih minimal setengah bulan.”“Setengah bulan? Lama banget!”Setengah bulan terlalu lama dan malah mengganggu pekerjaannya. Fred tidak punya cukup kesabaran untuk menunggu selama itu. Namun sekarang tidak ada jalan lain yang lebih baik, mau tidak mau dia harus bersabar. Dia lantas berbalik dan melihat ke arah Juan. Dia mendekatinya dan menarik kerah bajunya seraya berkata, “Hey, tua banga, aku menganggap kamu s
Anak buahnya yang berjaga di luar ruangan juga langsung masuk dan menghentikan Juan begitu mereka mendapat arahan dari Fred. Fred sendiri juga langsung berlari ke kamar itu secepat mungkin, tetapi sayang dia terlambat.Monitor ICU mengeluarkan bunyi nyaring dan garis detak jantung Yuna juga sudah menjadi garis lurus.“Nggak, nggak!” Fred langsung berlari memegang bahu Yuna dan menggoyangkan tubuhnya.“Kamu belum boleh mati! Kamu nggak boleh mati tanpa perintah dariku!”Fred berteriak-teriak seperti orang gila, dan tim medisnya juga masuk melakukan resusitasi jantung, tetapi garis horizontal di monitor ICU tetap tidak berubah, yang berarti Yuna sudah mati.“Nggak mungkin ….”Fred berbalik menatap Juan yang sudah ditahan oleh pengawal dan membentaknya, “Kenapa? Kenapa?! Dia itu muridmu, murid kesayanganmu! Kamu datang ke sini untuk menolong dia, bukan membunuh dia!”Di tengah gempuran emosi yang dahsyat, Fred melayangkan pukulan telak di wajah Juan sampai Juan mengeluarkan darah segar da
Juan meletakkan jarinya di atas bagian pergelangan tangan Yuna dan menekannya sedikit. Kedua matanya sedikit tertutup seperti orang yang hendak tidur, tetapi dia hanya sedang menenangkan diri agar bisa fokus merasakan setiap dentuman pembuluh darah yang melewati tangan.Tak lama berselang, Juan mengangkat tangannya dan mendekat untuk menatap wajah Yuna lebih dekat, kemudian menaruh jarinya di leher Yuna.Semua itu Fred amati melalui tampilan kamera pengawas. Dia menundukan kepala dengan dagu bertopang di tangannya. Dia sedang berpikir keras. Si tua itu kelihatannya seperti sedang memeriksa Yuna, tetapi di sisi lain juga tidak dan lebih terlihat seperti sedang sok pintar saja.Dokter-dokter yang ada di sini setiap kali memeriksa pasien selalu menggunakan peralatan canggih dan bisa dilihat apa hasil diagnosisnya melalui angka dan data yang pasti. Namun pengobatan tradisional tidak demikian. Mereka hanya meraba nadi untuk melihat penyakitnya, atau menanyakan beberapa pertanyaan ke pasien
Mana mungkin Fred akan membiarkan itu terjadi! Kalau Yuna mati, usahanya selama ini akan sia-sia, dan tahap akhir dari R10 tidak akan bisa berjalan.“Pak Fred ….”Para dokter tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Masuk-masuk mereka hanya berusaha untuk memasangkan kabelnya kembali. Mereka masih bingung bagaimana kabel yang terpasang dengan baik bisa lepas, atau memang ada orang yang mencabutnya.“Pak Fred ….”“Keluar!”Para dokter itu pun ta berani banyak bicara dan langsung kelar. Sekarang ruangan itu kembali seperti sebelumnya, hanya ada tiga orang saja.“Kamu juga keluar!” kata Fred kepada pengawalnya.Pengawal itu awalnya sempat bingung, tetapi dia menuruti saja apa pun perintah yang diberikan. Maka tanpa banyak protes dia pun undur diri. Juan yang tak lagi dikekang oleh si pengawal kembali mendekati Yuna dan memeriksa nadinya. Fred pernah melihat cara pemeriksaan itu dan mengakui kehebatannya. Meski dari sudut pandang kedokteran modern itu agak sulit untuk dipahami, sudah begitu
Langkahnya pelan tapi pasti, selangkah demi selangkah dia mendatangi ranjang di mana Yuna sedang tertidur lelap. Wajahnya pucat seperti baru saja kehilangan darah dalam jumlah yang sangat banyak. Napasnya pun pelan dan lemah. Mesin yang menunjukkan detak jantungnya juga bergerak memperlihatkan denyutnya yang luar biasa lemah, seakan-akan bisa berhenti kapan saja tanpa ditebak.Juan tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetapi di saat itu dia mengerti mengapa orang asing ini memaksanya untuk ikut dengannya. Mereka masih belum memeras Yuna sampai habis, makanya mereka tidak akan membiarkan Yuna mati begitu saja. Bagi kedokteran modern mungkin ini jalan buntu, makanya Fred meminta bantuan dia. Dengan memanfaatkan hubungan yang dia dan Yuna miliki, Fred memaksanya untuk datang.“Dia ini murid kesayanganmu, jadi kamu pasti nggak mau lihat dia mati di usia yang masih muda, ‘kan?”Kata-kata Fred terkesan simpatik, tetapi siapa pun yang mendengarnya pasti dapat merasakan bau-bau sarkas dari mulu
Mereka sepakat menggelengkan kepala. Seharusnya itu tidak mungkin.“Apa ada kemungkinan Pak Juan pergi ke sana untuk mengobati Yuna?” tanya Brandon.“Sewaktu aku pergi dari kedutaan, Fred kelihatan sehat-sehat saja, nggak kelihatan seperti lagi sakit. Kalau mamaku, seharusnya lebih nggak mungkin lagi. Dia sudah punya dokter khusus, dan semestinya Fred nggak akan mau repot-repot cari dokter lain. Kalau muridnya yang sakit dan perlu diobati, makanya dia mau pergi ke sana, itu lebih masuk akal,” ujar Ross.“Tapi selama ini Yuna sehat-sehat saja. Dia bisa mengobati diri sendiri, kayaknya agak mustahil kalau dia tiba-tiba sakit. Lagi pula kalaupun jatuh sakit, di sana ada banyak dokter yang hebat-hebat, rasanya agak di luar nalar kalau Fred sampai harus jauh-jauh membahayakan dirinya sendiri menemui Pak Juan,” tutur Shane berpendapat. “Mungkin kita cuma bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi kalau pergi ke sana langsung.”Jika analisis mereka itu tepat, berarti memang Yuna yang jatuh sakit.