“Biarkan istriku yang mengambil keputusan. Apakah dia bersedia bertemu dengan Papa atau tidak.”Praba tidak akan bertindak gegabah atau bahkan mengambil keputusan sendiri agar Sinar menemui orang tuanya. Baik dia atau bahkan Sinar, mereka sama-sama tahu jika yang mereka lakukan sekarang ini semata hanya untuk membalas Talita. Mereka memiliki misi yang sama sehingga bekerja sama.Begitulah kira-kira yang ada di dalam pikiran mereka masing-masing. Jadi, segala tindakan mereka harus benar-benar dipikirkan dengan matang.“Aku pergi dulu,” pamit Praba kepada orang tuanya karena merasa tidak ada hal yang perlu dibicarakan lagi.Dia sudah menjelaskan semuanya tanpa ada yang tersisa. Bahkan dia tak menutupi kejadian tentang pengobatan Surya yang ditanggung oleh Talita. Dia sudah mengungkapkan segalanya. Mungkin saja pikiran orang tua Praba sekarang tetap pada pendirian mereka jika Praba tidak bisa bercerai. Namun, Praba tidak akan peduli dengan apa pun karena keputusannya sudah jelas. Talit
Sinar tampak tenang tanpa merasa terusik dengan keberadaan Talita dan orang tua Praba di rumahnya. Setelah beberapa hari lalu membuat janji temu, akhirnya mereka hari ini bisa bertatap muka.Menyadari tiga orang tersebut menatapnya dengan tatapan menilai, tidak senang, sinis, dan berbagai macam bentuk tatapan diberikan kepadanya, Sinar sama sekali tidak terusik. Belum juga mereka mulai bicara, tetapi ketegangan sudah terasa.“Pa, Ma, jadi dia yang namanya Sinar. Dia istri keduaku dan kami menikah atas persetujuan Talita.” Praba mengawali pembicaraan lebih dulu.“Lalu, di mana anakmu?” tanya Dimas tanpa peduli dengan keberadaan Sinar.“Dia ada di kamar dan sedang tidur. Nanti akan aku bawa dia ke sini. Jadi, mari selesaikan dulu apa yang perlu kita selesaikan.”Praba bertindak tegas meskipun dia sekarang tengah berbicara dengan kedua orang tuanya. Keberadaan orang tua praba di sana seperti sebuah perisai yang digunakan oleh Talita untuk menyembunyikan sikap buruknya yang selalu dilakuk
Sinar tidak menjawab dan membuat teka-teki baru untuk kedua orang tua Praba. Membiarkan mereka berasumsi dengan pikiran mereka sendiri apa yang sebenarnya diinginkan oleh Sinar. Sinar tidak peduli dengan reputasinya.“Papa sedang bertanya sama kamu, Sinar. Kamu tidak dengar itu?” Talita geram karena kebungkaman Sinar. “Atau jangan-jangan memang kamu bersedia tetap bersama dengan Mas Praba karena uang. Astaga, Sinar. Kamu benar-benar tidak tahu malu!”“Siapa yang tidak tahu malu, Talita?” Sinar membuang panggilan ‘Bu’ di depan nama Talita karena sudah terlewat kesal. “Aku atau kamu?”Talita merah padam mendengar betapa tidak sopannya Sinar kepadanya. Apa yang dia miliki sampai dia bisa bersikap seperti itu?“Kamu juga bukan perempuan suci yang tidak melakukan kejahatan demi mendapatkan Pak Praba. Ingatlah segala dosa yang sudah kamu perbuat kepada orang-orang yang sudah kamu sakiti. Kamu bahkan tidak punya malu ketika memberikan perangsang kepada Pak Praba.”“Hentikan! Sialan kamu, Sin
“Di mana Askara!”Talita yang baru saja keluar dari dapur itu terkejut mendengar suara Praba. Tak hanya itu, lelaki itu muncul dengan wajah biru-biru di beberapa bagian. Aura permusuhan itu kental luar biasa dan tampak akan menghabis semua orang.“Di mana Askara!” Praba berteriak membentak Talita yang sejak tadi hanya menatapnya tanpa bicara. Rasa kesal dan lelah bercampur menjadi satu menjadikan Praba tidak bisa mengendalikan dirinya.Ini untuk pertama kalinya lelaki itu meninggikan suaranya di depan Talita. Jika biasanya dia bisa menahan diri, maka sekarang tentu beda lagi. Ini sudah menyangkut anaknya dan itu sudah melewati batasnya.Praba naik ke lantai atas dan mencari Askara di kamarnya. Namun, keberadaan bayi itu tidak ada.“Mas, dia ada di kamar Mama.” Talita mencekal tangan Praba yang sejak tadi mondar-mandir kesana-kemari.“Kenapa tidak bicara dari tadi!” Praba lagi-lagi membentak Talita dengan kasar tak peduli jika perempuan itu tampak terkejut luar biasa.“Kok kamu jadi ka
“Saya ingin mengurus perceraian saya dengan Talita.”Kalimat itu terucap secara lugas dan tegas. Seorang pengacara sudah duduk di depan Praba dengan ekspresi terkejut luar biasa. Tidak pernah ada slentingan apa pun yang terjadi antara hubungan Praba dengan Talita. Namun, tiba-tiba Praba mengeluarkan keputusan yang mengejutkan.“Apa yang terjadi? Kenapa harus sampai bercerai?” tanya pengacara tersebut dengan kening mengernyit.“Karena memang sudah waktunya untuk bercerai,” jawab Praba dengan santai.“Kalau begitu, ceritakan masalahnya.”Praba tidak menunda lagi apa yang perlu dikatakan kepada pengacara yang akan mengurus semua masalah perceraian tersebut. Semuanya, tanpa ada yang tersisa. Pengacara itu pun mengangguk dan mengerti.“Saya mengerti. Saya akan menangani ini sampai selesai.”Pengacara tersebut undur diri dan menyisakan Praba di dalam ruangannya yang tengah mendesah panjang. Ingatannya mengarap pada Sinar yang pagi ini tampak kuyu dan banyak pikiran. Sepanjang malam, perempu
“Saya Ramon. Saya pengacara yang akan mendampingi Pak Praba untuk mengurus perceraian dengan Ibu Talita.”Seperti dilempari bom tepat di atas kepalanya, Talita merasa dunia hancur berkeping-keping. Suaranya mendadak hilang dan tubuhnya seolah kaku tak bisa digerakkan. Dia menatap lelaki di depannya dengan tatapan dalam dan kosong.Ramon tidak bersuara, menunggu Talita menjawab ucapannya. Lelaki itu pasti tahu tidak akan mudah menerima keputusan sepihak yang diambil oleh suami yang sudah dinikahinya selama tiga tahun.“Ini … nggak mungkin, Pak Ramon. Mas Praba tidak mungkin menceraikan saya.” Meskipun dengan suara bergetar, tetapi Talita masih bisa menyangkal atas ucapan Ramon. Surat cerai sudah ada di depan mata tanda jika Ramon bukan hanya mengatakan suatu kebohongan.“Di mana Mas Praba sekarang? Saya harus bertemu dengannya!” Talita hampir beranjak dari tempat duduknya ketika Ramon mengeluarkan tanya.“Segala urusan perceraian, Ibu perlu berbicara dengan saya karena Pak Praba sudah
“Datang kamu ke rumah! Papa ingin bicara.”Praba yang ingin menghabiskan waktunya bersama dengan Sinar di rumah akhirnya harus ditunda karena panggilan dari sang ayah. Mau tak mau dia harus datang dan mungkin bisa mencari celah untuk mengambil Askara dari rumah orang tuanya.Sampai di sana, orang tua Praba sudah duduk di ruang keluarga bersama dengan Talita. Perempuan itu tampak menangis dan sesekali mengusap bulir bening yang menetes dari netranya.“Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranmu, Praba? Kenapa kamu tiba-tiba menceraikan istrimu?” Tanpa menunggu waktu, Dimas langsung mengutarakan pertanyaannya.Alih-alih datang menemui Praba, Talita nyatanya memilih untuk datang ke rumah mertuanya. Dia lagi-lagi mengadukan kepada mereka tentang gugatan yang dilayangkan oleh Praba. Tentu saja, hal itu membuat orang tua Praba merasa kesal luar biasa.“Aku memang ingin berpisah dengan Talita sejak dulu. Hanya saja, aku berusaha menahannya. Sekarang, setelah semua yang terjadi, aku sudah tida
Sinar bisa merasakan bibir Praba menempel di bibirnya dengan lembut. Hanya menempel tanpa ada pergerakan apa pun. Lelaki itu seolah tengah memberikan waktu kepada Sinar untuk menolak atau bahkan mempertahankan.Sayangnya, Praba tidak merasakan apa pun. Sinar pasif dan benar-benar masih belum pengalaman. Ini yang kedua kalinya mereka berciuman, tetapi Sinar masih tidak paham apa pun.“Sepertinya kamu perlu diajari bagaimana membalas sebuah ciuman, Sinar.” Praba menjauhkan wajahnya dari wajah Sinar tanpa mengalihkan tatapannya dari gadis itu. Namun, Sinar memilih untuk memutus tatapannya lebih dulu.Sinar berdecak dan lagi-lagi menatap bulan. Semilir angin membuat matanya menjadi berat. Tidak ingin menghiraukan ucapan suaminya, Sinar memilih tidak memasukkan ke dalam hati. Biarkan saja Praba berbicara sesukanya.Meskipun ucapan Praba memang benar, tetapi Sinar merasa tidak perlu membahas masalah seperti itu yang terlalu vulgar.“Seandainya Askara sulit untuk kita ambil, apa kamu marah,