Andreas menyunggingkan senyum sembari menghampiri Ayuni dan mengambil map tersebut. Membacanya dengan saksama dan mengadahkan wajahnya menatap Ayuni yang terlihat lebih serius dari biasanya.“Kenapa? Baru sadar, kalau kamu hanya dimanfaatkan oleh orang yang selama ini selalu kamu bela, heum?”Ayuni menghela napas kasar. “Aku hanya ingin pergi jauh dari kalian berdua. Aku mau minta maaf karena sudah membuat Gita keguguran.”“Santai aja. Gita bentar lagi juga hamil lagi. Nggak usah pikirkan hal yang nggak bisa kamu berikan.”Ayuni menelan saliva dengan pelan. “Ya udah, tanda tangan karena aku udah menerima permintaan kamu untuk jangan menikah dengan Ryan. Kamu nggak percaya?”Andreas terkekeh dengan pelan. “Nggak percaya karena kamu lengket banget sama dia.”“Udah nggak. Dia udah punya yang baru.”Andreas kembali tertawa. “Mana buktinya kalau Ryan udah punya yang baru?”Ayuni menghela napasnya kemudian mengambil ponselnya. Menghubungi Biru yang sudah mengirim pesan kepadanya memberi tah
“Mas. Kamu mau ke mana lagi hari ini?”Gita menghampiri Andreas yang tengah merapikan jasnya karena di pagi buta itu dia sudah rapi.“Ke Surabaya, Gita. Aku udah bilang sama kamu dari seminggu yang lalu.”“Nggak ada, Mas. Kamu bilang sama siapa? Kamu punya yang baru lagi, yaa? Mas! Aku kan masih bisa hamil.”Andreas kemudian menarik napasnya dalam-dalam kemudian menatap Gita dengan datar. “Emang hanya Ayuni yang terbaik. Tapi, mau gimana lagi. Dia udah nggak mau dan gue juga nggak bisa memaksakan kehendak.”Andreas bergumam sembari berkacak pinggang menatap Gita yang masih mengoceh tak karuan.“Andreas?”Lelaki itu menoleh ke belakang kemudian menaikan sebelah alisynya kala melihat Ryan ada di rumahnya.“Ada apa?” tanyanya datar.Ryan melangkah menghampiri Andreas seraya menatapnya. “Kamu tahu, di mana Ayuni tinggal? Berkali-kali aku tanyakan kepada mamanya, nggak mau memberi tahu di mana Ayuni sekarang tinggal.”Andreas tersenyum miring. “Nggak tahu. Andai pun gue tahu, nggak akan gu
“Ryan. Ayuni kenapa?”Vita tiba di rumah sakit setelah dihubungi Ryan karena Ayuni tak sadarkan diri saat dirinya tiba di rumah.“Dehidrasi,” jawabnya dengan pelan. “Ayuni harus dirawat di sini sampai kondisinya benar-benar pulih.”Vita menghela napasnya dengan pelan seraya menatap Ayuni yang masih belum sadarkan diri di atas bangsal rumah sakit.“Ya udah. Biar aku aja yang jaga dia,” ucapnya kemudian duduk di bangku samping bangsal Ayuni.“Pak Damian sudah tahu kondisi Ayuni. Semua kerjaan bisa ditunda dan aku bisa jaga dia dan harus bahas soal ini dengan Ayuni. Aku nggak mau dia terus menerus salah paham padaku karena Biru.”Vita mengangguk sembari tersenyum tipis kepada Ryan. “Ayuni orangnya nggak mudah percaya kalau nggak ada bukti. Aku rasa karena hormone aja sih. Banyak soalnya yang hamil jadi benci sama suaminya. Meski kalian belum menikah, tetap aja itu anaknya kamu.”Ryan tersenyum tipis kemudian menoleh kepada Ayuni yang akhirnya membuka matanya. “Ayuni.” Ryan mengulas senyu
Dokter Mia menerbitkan cengiran kepada Biru. Setelahnya, keduanya kabur dari kamar rawat Ayuni karena tidak mau terkena masalah karena kepergian Ayuni.“Taksi!”Ayuni benar-benar pergi setelah menyelesaikan administrasinya.Bukan kembali ke rumah. Ayuni memilih pergi ke café yang tak jauh dari toko buku miliknya.Tak lama setelahnya, dering ponselnya berbunyi.“Selamat sore, Bu Ayuni. Sidang pertama untuk proses perceraian Anda akan dilaksanakan di minggu depan. Hari Rabu jam sepuluh pagi ya, Bu.”Ayuni menghela napas lega mendengarnya. “Baik, Pak. Saya akan menghadirinya. Jam sepuluh, kan?”“Betul, Bu. Kuasa hukum untuk Pak Andreas sudah saya siapkan dan akan datang menghadiri sidang pertama itu.”Ayuni menerbitkan senyumnya kemudian menghela napas panjang. “Baik, Pak. Terima kasih. Semoga sidangnya berjalan dengan lancar.”Ia lalu menutup panggilan tersebut dan menyimpan ponselnya kembali.Namun, tak lama setelahnya Ryan menghubunginya. Ia yang tidak ingin diganggu itu lantas menona
“Sekarang kamu pulang. Jangan ganggu aku lagi. Silakan sibukan diri kamu dengan kerjaan kamu itu dan … anggap saja kalau aku lagi nggak hamil. Nggak ada janin yang harus aku pertahankan.”Ryan menggelengkan kepalanya seraya menatap Ayuni dengan tatapan intens. “Nggak, Ayuni. Kamu kenapa sih? Dulu kamu nggak begini. Malah support aku yang udah lelah banget karena setiap hari pulang larut malam.”“Aku support kamu. Tapi, kamunya malah main gila sama perempuan lain. Udahlah, Ryan. Friska jauh lebih baik dari aku, kali. Jangan karena wasiat dari Arumi, kamu pura-pura mempertahankan aku kayak gini. Nggak perlu.”“Pura-pura? Apanya yang pura-pura? Aku nggak pernah pura-pura mencintai dan berjuang untuk kamu. Aku nggak pernah main gila sama Friska atau dengan siapa pun. Please, Ayuni. Jangan bersikap seperti ini. Aku mohon.”Ryan menggenggam erat tangan Ayuni seraya menundukan kepalanya. Lelehan air mata yan
Hidung Ayuni kembang kempis mendengar ucapan dari Ryan barusan. Membuatnya jadi salah tingkah lalu membalikan tubuhnya tak ingin melihat lelaki itu.“Bilang aja salting. Aku mau lamar kamu setelah kamu resmi bercerai, Ayuni. Lebih cepat lebih baik. Agar aku bisa jaga dan rawat kamu. Rumah baru untuk kita juga hampir seratus persen selesai.”Ayuni lalu menolehkan kepalanya. “Kalau bisa, temani aku sidang pertama hari Rabu depan.”Tidak ingin melakukan kesalahan yang membuat Ayuni semakin membencinya, Ryan memilih untuk mengirim pesan yang telah dia buat berjadwal. Meski hanya mengabarinya saja. Tidak peduli meski hanya dibaca saja oleh perempuan itu.“Selamat malam, Pak Sutto. Keperluan medis untuk satu bulan ke depan sudah saya email dan sudah saya approve ya, Pak.”Ryan menghubungi kepala purchasing sembari merapikan meja kerjanya karena waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Sabtu malam dan masih di rumah saki
Sidang pertama Ayuni dan Andreas akan dilaksanakan hari ini.“Saya ada keperluan sebentar.”“Mau ke mana, Pak? Ini ada meeting jam—““Jam dua, kan? Saya sudah tahu.” Ryan menyela ucapan Friska kemudian keluar dari ruangannya.“Saya harus tahu Anda ke mana, Pak Ryan. Kalau tidak, bagaimana saya menjawab pertanyaan bila ada yang bertanya Anda di mana.”Ryan menghela napas kasar. “Ke pengadilan,” jawabnya singkat kemudian melangkah dengan lebar menuju lift.“Kamu masih di rumah, kan? Aku jemput kamu, yaa.” Ryan menghubungi Ayuni sembari melangkah dengan lebar keluar dari area rumah sakit.“Ya.”Ayuni kemudian menutup panggilan itu karena sudah tidak tahan lagi ingin mengeluarkan cairan di mulutnya.“Sshht!” Ayuni meringis pelan seraya memegang perutnya. “Papa kamu memang mau tanggung jawab. Tapi, Mama rasanya nggak tahan banget, Nak. Maaf ya, Sayang. Tapi, Mama udah ngg—““Arrgghh!” Ayuni meringis lagi. Menekan perutnya yang tidak bisa ia tahan lagi. Air mata di pipinya bahkan sudah mene
Biru memijat-mijat keningnya. Masih mengingat permohonan bantuan Ryan tiga hari yang lalu. Ia lalu mengembungkan pipinya seraya menghela napas kasar.“Kenapa?” tanya Dokter Firman menghampiri sang keponakan.Biru menoleh kepada lelaki itu. “Nggak ada, Kak. Mual aja lihat darah.”Dokter Firman terkekeh pelan. “Operasi Bu Ayuni, lancar? Katanya sudah siuman. Sudah dipindahkan ke kamar rawat.”“Oh, yaa? Kenapa nggak bilang dari tadi!” Biru lantas beranjak dari duduknya dan segera menghampiri Ayuni yang katanya sudah siuman.Tampak perempuan itu tengah menatap kosong setelah tahu bila calon bayinya sudah tidak ada.“Hei!” Biru mengulas senyumnya kepada perempuan itu.Ayuni membalasnya dengan senyum lemas. “Hei. Lagi nggak sibuk?” tanyanya pelan.“Nggak. Lagi kosong. Makanya ke sini.”Ayuni manggut-manggut dengan pelan. “Thanks, yaa. Udah bantu operasi.”“Yang paling banyak kerja itu laki elo, Ay. Gue sih cuma jadi asistennya aja. Dia nggak mau ada satu orang pun yang nyentuh elo. Nggak ma
“Habis kamu nyebelin! Aku tuh kangen sama kamu, Ryan. Tapi, kamunya nggak peka!” Ayuni lantas mengerucutkan bibirnya seraya membuang muka.Ryan yang melihatnya lantas terkekeh. “Setiap hari aku selalu menanyakan kabar kamu ke Mama Rini. Kamu sih, blokir nomor aku. Gimana mau kasih kabar. Kamu buka saja, blokiran aku. Pasti banyak pesan yang masuk ke HP kamu selama dua bulan ini.”Ayuni kemudian mengambil ponselnya dan membuka blokiran nomor Ryan. “Sampai lupa, kalau nomor kamu aku blokir.”Ting!Notifikasi pesan masuk di ponselnya. Ryan lantas mengintipnya karena ingin tahu.“Katanya percaya. Kok kepo?” sindirnya kemudian.“Hanya ingin tahu, bukan berarti nggak percaya, Sayang.”Ayuni kemudian mengecurutkan bibirnya. “Bilang aja kepo karena takut kehilangan.”“Tanpa harus ingin tahu pun aku selalu takut kehilangan kamu.”Pipi Ayuni lantas memerah dengan ucapan manis Ryan yang akhirnya bisa ia dengar kembali setelah dua bulan libur menggombal.“Dari Mama. Katanya dia lagi packing baju.
Ryan berbalik badan dan melangkah dengan rasa yang tak karuan yang tiba-tiba saja membuatnya merasa sia-sia datang ke sana.“Kamu mau pergi lagi?” tanya Ayuni setelah lama berdiam diri.Ryan lantas menghentikan langkahnya kemudian membalikan badannya. “Aku tidak pernah pergi, Ayuni. Kamu sendiri yang memilih untuk pergi. Kedatangan aku ke sini ingin minta maaf karena sudah membuat kamu kecewa.”Ayuni kemudian menghela napasnya. Ia lantas menarik tangan lelaki itu dan membawanya jauh dari sana. Pergi ke sebuah pantai yang jaraknya hanya lima ratus meter saja dari tempat tadi.“Ryan. Sekarang aku mau tanya sama kamu.” Ayuni menatap Ryan dengan lekat.“Tanya apa?” ucapnya dengan pelan.Ayuni menghela napasnya dengan panjang. “Kamu cemburu, lihat aku sama laki-laki tadi yang padahal kami hanya duduk di café. Di sana juga sangat ramai, bukan hanya kita berdua saja yang ada di sana. Itu pun sedang membahas kerjaan Papa.”“Oh! Nggak kok. Aku nggak cemburu. Aku hanya takut mengganggu kesibuka
Pagi hari ….Waktu telah menunjuk angka delapan pagi. Ayuni bersama dengan kedua orang tuanya tengah sarapan bersama dan Rini belum memberi tahu soal kedatangan Ryan yang sudah tiba di sana untuk menjemput perempuan itu.“Hari ini kamu ada jadwal apa, Nak?” tanya Marcel—sang papa kepada Ayuni.“Nggak ada kayaknya. Kenapa, Pa?”“Papa mau minta tolong untuk gantikan Papa ketemu sama Pak Samuel. Masih orang Indonesia juga. Cuma kasih dokumen ini saja. Papa ada keperluan lain soalnya. Mau kan, bantu Papa?”Ayuni menganggukkan kepalanya. “Kebetulan hari ini aku lagi free, Pa. Ketemu di mana?”“Di café dekat apartemen kita. Mungkin jam sembilanan dia ke sana. Kamu tunggu duluan saja.”“Oke, Pa.” Ayuni kemudian menoleh kepada Rini yang tengah menatapnya. “Ada apa, Ma? Mama mau aku antar ke salon langganan Mama itu?”Rini menggelengkan kepalanya. “Nggak kok. Kamu kapan balik ke Indonesia? Minggu depan Shakira ulang tahun lho.”Ayuni menaikan kedua alisnya. “Mama sama Papa sendiri, emangnya ng
“Ryan. Kamu nggak lupa kan, satu minggu lagi Shakira ulang tahun?”Melinda menghubungi sang anak hendak memberi tahu perihal hari ulang tahun Shakira.“Iya, Ma. Aku nggak pernah lupa. Tapi, Shakira masih belum mau ketemu sama aku, kan?”Melinda menghela napasnya di seberang sana. “Nak. Mending kamu susul Ayuni aja ke Australia. Shakira mau adain ulang tahun kalau ada Ayuni. Kalau nggak ada, katanya dia mau mogok makan selama seminggu. Kamu mau, kehilangan anak satu-satunya kamu?”Ryan lantas memijat keningnya. “Ma. Kalau masalah tidak mau merayakan ulang tahun itu bagiku tidak masalah. Tapi, jangan sampai Shakira mogok makan.”“Kalau begitu kamu jemput Ayuni. Memangnya kamu nggak rindu, sama calon istri kamu itu?”Ryan tersenyum lirih. “Calon istri. Memangnya dia masih mau, memanggilku calon suami?”“Mau. Dia masih cinta sama kamu masa iya nggak mau manggil kamu calon suami. Berangkat sekarang, susul Ayuni. Biar minggu besok udah bisa pulang.”“Tap—tapi, Ma ….”Melinda menutup panggil
Satu bulan berlalu ….Ryan dan Ayuni masih terpisah jarak yang cukup jauh. Hanya bertukar kabar melalui orang tua Ayuni sebab hingga kini perempuan itu masih enggan menghubungi lelaki itu.Di sebuah pantai yang cukup indah. Australia memang terkenal dengan pantai-pantainya yang indah. Ayuni tengah duduk di pesisir pantai sembari memandang ombak yang menggulung dengan indahnya.“Kok kayak kenal,” gumam seseorang kala melihat Ayuni seorang diri di sana.“Ayuni?”Perempuan itu lantas menoleh dengan pelan. “Lho! Mas Andreas?” Ayuni menunjuk lelaki itu hingga Andreas ikut duduk di samping Ayuni.“Kamu lagi ngapain di sini? Liburan? Sendirian? Nggak sama Ryan? Atau lagi bulan madu?”Ayuni menghela napas kasar. “Nggak. Nikah aja belum.”“Kenapa?” tanyanya tak tahu.“Kamu ini gimana sih! Gara-gara kamu juga, menunda-nunda cerai. Ada masa idah yang mengharuskan aku untuk menunda pernikahan. Selama tiga bulan. Sisa sebulan lagi. Baru bisa menikah!” sengal Ayuni kesal.Andreas lantas tertawa. “Y
“Pak Damian! Dengarkan saya dulu. Saya sudah mencegahnya dan melarang dia untuk resign. Tapi, sudah dua minggu ini dia tidak pernah datang.”Rifky mencoba menjelaskan kepada Damian karena diamuk telah membiarkan Ryan mengundurkan diri di sana.“Ya sudah! Sekarang jelaskan kenapa Dokter Ryan mengundurkan diri? Kalau tidak ada alasan yang membuatnya mengundurkan diri, dia tidak akan melakukan itu!” pekik Damian lagi.“Pak Edrick di mana? Rasanya percuma, saya bicara dengan Anda!” Damian lantas mengambil ponselnya dan menghubungi orang kepercayaannya di sana.“Ke ruangan saya sekarang juga!” titahnya kemudian menutup panggilan tersebut.Tak lama setelahnya, Biru dan Dokter Firman masuk ke dalam ruangan Ryan. Menghampiri Damian untuk memberi tahu alasan mengapa Ryan mengundurkan diri.“Saya tahu, alasan Dokter Ryan mengundurkan diri, Pak Damian,” kata Dokter Firman kepada Damian.Rifky menolehkan kepalanya kepada Dokter Firman. “Tahu apa, Anda? Saya tahu, Anda sahabatnya Pak Ryan.”Dokter
Dua minggu berlalu ….Ayuni masih berada di Sidney, Australia. Bersama dengan orang tuanya yang masih berada di sana. Rini menyusul anaknya satu minggu setelah Shakira sudah diperbolehkan pulang.“Kondisi Shakira sudah membaik, Ma?” tanya Ayuni yang sebenarnya mengkhawatirkan anak itu.“Sudah, Ay. Dia sudah diperbolehkan pulang makanya Mama bisa ke sini menemui kamu dan papa kamu. Shakira masih mencari keberadaan kamu. Meskipun Mama sudah kasih tahu kamu selamat, tapi dia masih ingin bertemu sama kamu.”Ayuni menelan saliva dengan pelan seraya menatap foto Shakira di ponselnya. “Aku juga rindu. Udah dua minggu nggak pernah lihat dia. Yang penting sekarang dia udah sehat, Ma.”Rini mengangguk sembari mengulas senyumnya. “Iya, Nak. Shakira tinggal bersama Mama Melinda. Sampai kamu kembali, Shakira tidak mau bertemu dengan papanya. Dia sudah memutus hubungan dengan papanya. Dia bilang begitu. Ada lucunya dan juga sedihnya.”Ayuni menghela napasnya dengan panjang. “Gimana kabar dia, Ma?”
Shakira sudah sadarkan diri. Akan tetapi, anak kecil itu tidak mau bertemu dengan papanya lagi karena sudah membuatnya kehilangan Ayuni untuk selamanya.Ryan tidak diberi akses masuk ke dalam ruang rawat anaknya sendiri karena permintaan dari Shakira sendiri. Hati Ryan benar-benar hancur berkeping-keping karena telah dibenci dan tidak diterima kehadirannya oleh anaknya sendiri.Di kediaman Ryan ….Lelaki itu tengah mengenakan kemeja hitam dengan celana senada. Hendak pergi ke rumah sakit, menemui sang pemilik rumah sakit di mana ia bekerja.“Kamu mau ke mana?” tanya Melinda kepada sang anak yang tengah mengambil kunci mobilnya.“Mau ke rumah sakit, Ma. Mengundurkan diri dari jabatan itu dan tidak akan menjadi dokter di sana lagi,” jawabnya dengan pelan.Melinda menelan saliva dengan pelan. “Nak. Ayuni masih hidup. Dia gagal naik pesawat karena lupa bawa passpor. Rini baru saja memberi tahu Mama tadi pagi.”Ryan menoleh cepat kepada sang mama. “Mama tidak bercanda, kan?”“Tidak, Nak. M
Di bandara ….Perempuan itu tengah merenung memikirkan hal yang mengejutkan yang baru saja ia alami di hari ini. Selama ini dia selalu menutup telinga akan rumor itu. Namun, kini sudah tak perlu lagi menutupnya karena sudah melihat sendiri adegan mengejutkan itu.Suara pramugari memberi tahu keberangkatan menuju Australia sudah menggema. Ayuni kemudian beranjak dari duduknya dan menggeret koper, masuk ke bagian check in counter.“Mohon menunjukan passport-nya, Bu.”“Oh, iya tunggu sebentar.” Ayuni lupa mengeluarkan passport miliknya. Ia lantas membuka tasnya terlebih dahulu dan meminta yang lain dulu saja duluan.“Duh! Pake acara ketinggalan segala lagi,” gerutunya kemudian mengambil ponselnya karena passport miliknya tertinggal di rumah.“Halo, Vit. Elo lagi di mana? Gue mau minta tolong sama elo.” Ayuni menghubungi Vita.“Elaaah! Malam-malam gini elo mau minta tolong apaan lagi, Ayuni?”“Gue lupa bawa passport.” Ia lalu menoleh pada pesawat yang sudah terbang dan menghela napas pasr