Bab 70Namun, Veronica tidak mengindahkan permintaan Jeff.“Heh, turun, saya tidak perlu diantar!” sentak Jeff begitu Veronica muncul di lobby apartemen mengendarai mobilnya.Veronica turun dari mobil dan membantu Jeff menaikkan koper di bagasi.“Aku akan mengantarkan kau, adik yang manis,” katanya setelah menaikkan koper-koper Jeff.Ah, Jeff kesal sekali dipanggil begitu.Dia mendengus tapi harus menerima apa yang ditawarkan oleh Veronica. Mata Jeff melirik ke belakang jok penumpang.“Mana Celine?”“Kau bilang, si pengurus apartemen bisa lakukan pekerjaan lain. Lagi pula aku lihat dia cukup baik dan perhatian.”Jeff menghela napas, topi cap yang dipakai terbalik dia turunkan sampai bisa menutupi wajahnya.“Jangan bilang kalau pipimu menghangat saat ini,” ledek Veronica sambil menoleh ke arah adiknya.Veronica makin menjadi saat melihat rona di pipi Jeff. “Astaga! Kau benar-benar menyukainya,” ledek Veronica lagi.“Heh, pipiku merah bukan berarti aku menyukainya. Ini karena ledekanmu,
Season IIBab 71Felix menuruti perintah atasannya. Dari jarak beberapa meter mengikuti Andini ke manapun wanita itu pergi. Setiap hari, Felix selalu melapor kepada StefanTermasuk ke Kalimantan.Felix ada di penerbangan biasa, kelas ekonomi. Untungnya, Andini tidak terlalu memperhatikan keadaan penumpang sekitarnya.Jadi, Felix leluasa mengawasi gerakan Andini dan … “Lelaki itu,” bisik Felix sambil memperhatikan sekitar kelas bisnis.Tidak habis pikir, mengapa Andini secepat itu menerima lelaki baru dalam hidupnya.Ketika mendarat, Felix tidak tahu kalau Jeff sudah menyediakan kendaraan khusus.Jadi, Felix kehilangan jejak Andini dan Jeff.“Sial!” maki Felix, saat dia mengejar sampai sisi darat bandara dan kendaraan Jeff hilang begitu saja.***Tidak ada alasan untuk Felix tetap tinggal di Kalimantan.Felix kembali ke Jakarta, bertepatan dengan kepulangan Stefan dari Jepang.“Selamat datang kembali, Pak,” sapa Felix, sementara ada sopir yang membantu menaikkan barang ke bagasi mobil.
Bab 72Anya terus menerus meracau tidak jelas sepanjang sisa hari itu.“Harusnya aku singkirkan saja perempuan itu,” katanya sendirian, Anya tidak menyadari ada Laras dalam ruangannya.“Maaf, Bu, hari ini ada meeting dengan klien baru,” Laras mengingatkan. Dahinya mengerut menatap Anya.Anya mendengar suara Laras, tidak dengan apa yang dikatakannya.“Beritahu Bagus, harusnya dia yang bekerja saat ini.”Laras gelagapan, “Baik, Bu.”Begitu Laras meninggalkan ruangan, ponsel Anya berdering.Di layarnya muncul nomor yang tidak dikenal. Dahi Anya mengerut. “Siapa?”Anya menghela napas, lalu menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan itu.“Hallo?” sapanya di telepon ada keraguan dalam hatinya. Dan entah apa yang akan dihadapi Anya selanjutnya.“Sayang,” sapa seseorang diseberang sana.Sapaan itu mnampu membuat badan Anya membeku. Aliran darahnya seperti berhenti, membuat jantungnya berdetak lebih keras.Anya mengenai suara itu, “Aska?” hanya itu kata yang keluar dari mulutnya.“Sayang,
Season II Bab 73“Wah, wah, wah, Anya Winata ada di sini,” sambut seseorang ketika Anya datang. Dia adalah asisten hakim wilayah, Faisal. “Kehormatan bagiku kamu sampai berkunjung ke sini.”“Apa kabar, Pak?” tanya Anya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.“Jujur saja, aku belum menjadi hakim yang sesungguhnya,” bela si hakim itu, sambil mengerling ke arah Anya. “Dan kamu tahu, tidak mudah meluangkan waktu untuk bertemu.”“Ah, ya, pertama-tama terima kasih kamu mau meluangkan waktu. Dan aku membawakanmu sesuatu,” Anya mengeluarkan kopi dingin kesukaan Faisal.Kebetulan sekali Faisal adalah teman SMA Anya.“Paling tidak kau bisa membantuku,” Anya berkata sambil memberikan berkas perkara Aska. Barangkali ada titik terang kali ini.Dan Anya tidak harus mendekam dalam penjara.Si hakim itu menerima berkas yang Anya berikan. Membacanya sekilas, putusan hakim yang pertama kali dia lihat.“Setidaknya, kau bisa bertanya …” Anya menggantung perkataannya, karena tatapan tajam si asisten ha
Season IIBab 74“Hih ….” Dengus Andini setelah membaca semua berita di internet. “Semua berita ini membuatku makin frustasi!” bisik Andini suaranya menekan.Semua berita itu menjemukan dan membuat dirinya cemas tak karuan. Yang paling Andini khawatirkan adalah calon anak yang ada dalam kandungannya.Namun, Andini mau tidak mau harus menerima situasi dan kondisi di Kalimantan.Meredakan amarahnya, Andini menelepon Pak Tarso.“Ndak apa, Nduk. Asal kamu bisa membawa diri,” kata ayahnya yang terkesan kuat, tidak bersedih saat Andini meneleponnya.“Doa ayah selalu melindungi kamu. Walau kita berjauhan sekali pun.”Hingga Andini berpikir apa yang dikatakan ayahnya benar. Dia terdiam, lalu menghela napas. “Iya. Bapak jaga diri baik-baik, ya.”Sambungan telepon itu terputus. Andini lalu mengusap perutnya yang masih rata. Kekhawatirannya sedikit hilang. “Kita akan baik-baik saja, Nak,” katanya lirih.Meski kemarin Jeff sudah mencarikan dokter kandungan yang terkenal di Kalimantan, Andini teta
Season IIBab 75“Jadi mau ke mana kita?” tanya Andini riang dan percaya diri.Jeff tersenyum lebar begitu melihat ekspresi Andini. “Coba tebak. Atau kau mau tidur saja?”“Nggak, dong! Aku mau menikmati perjalanan. Baru kali ini, kan, aku jalan-jalan di sekitar provinsi ini.”Jeff menghela napas, “Baik kalau begitu. Nikmati saja. Kita bisa beli camilan dulu.”“Stop. Aku bisa muntah, jalan saja. Kalau haus atau lapar aku akan bicara. Okay?” wajah Andini seperti memohon.“Oke,” jawab Jeff, lalu memutar kemudi ke tempat tujuan yang Andini pun tidak tahu.Namun, pemandangan sepanjang perjalanan menghibur Andini.“Bagus,” pujinya ketika dia melihat pantai. “Kenapa airnya bersih-bersih? Di Ancol airnya nggak begini.”Jeff berpikir Andini lugu sekali. “Beda. Di sini rakyatnya bahu membahu untuk bersihin pantainya.”“Maksudnya?” tanya Andini dengan dahi yang mengerut. “Mereka membersihkan dengan?”Jeff tertawa menanggapi respon Andini.“Jujur saja, Jeff. Apa yang mereka lakukan untuk pantai i
Season IIBab 76“Cari Andini sekarang! Dia adalah istri saya.” Felix yang memegangi tangan Stefan sepanjang perjalanan ke rumah sakit, susah payah menelan ludah.“Apa bapak ingat?”Stefan mengangguk lemah, keringat dingin muncul disemua bagian wajahnya.Beberapa menit kemudian, mobil Stefan sampai di sebuah rumah sakit.Felix langsung mengarahkan Stefan agar masuk ruang Instalasi Gawat Darurat.“Langsung panggil Dr. Rudi Sutedja,” kata Felix ketika nakes membaringkan Stefan di brankar dan didorong ke ruang IGD.Kalau sudah sebut nama dokter itu, Stefan langsung ditangani dengan baik. Dokter yang dimaksud datang hanya dalam hitungan menit.Sementara menunggu, Felix meminta seseorang untuk memenuhi permintaan Stefan. Siapa lagi kalau bukan Alex.“Ya, terakhir dia ada di Kalimantan. Tapi, aku kehilangan jejaknya di bandara karena kendaraan yang membawanya melaju sangat cepat.”Alex di seberang sana mendengarkan dengan seksama. “Bisa kamu ulangi di bandara mana?” tanya Alex sambil mencat
Season IIBab 77“Sayang … kapan aku keluar dari tempat menjijikan ini?”Anya masih ada di ruang perawatan Stefan, menungguinya semalaman. Pagi-pagi sekali Aska menelepon Anya jengkel sekali. Untung Stefan masih tidur.Tadi malam lelaki itu terjaga hingga jam dua pagi. Hingga dokter jaga memberinya penenang, dan Stefan bisa tidur lelap.Anya keluar dari kamar perawatan, tidak ingin percakapannya dengan lelaki sial ini membangunkan Stefan.“Tenang dulu. Aku sedang berusaha,” jawab Anya berbisik namun nada suaranya menekan.“Usaha apa? Aku sudah tak tahan,” rajuk Aska. “Aku ingin secepatnya keluar dari tempat ini.”Anya mendecak dan memutar bola mata. “Kuatkan dirimu, Aska!”Sambungan telepon itu lantas diputus sepihak oleh Anya.Meski kelihatannya tidak ada orang dan Stefan sedang tidur. Diam-diam, lelaki itu menguping pembicaraan Anya.Dugaan Stefan selama ini benar, kalau istrinya ada hubungan dengan Aska.Berhubung sudah dilakukan DNA, Stefan mengira kalau Prayan adalah anak Anya da
Season IIBab 117“Mau beli apa?” tanyanya pedagang wanita itu dengan kasar.Stefan melirik Andini yang sedang salah tingkah, dia mengambil sembarang sayuran.Lelaki itu menahan tangan Andini.“Biasanya, pengasuh Adam membeli wortel, jagung dan brokoli untuk kebutuhan sehari-hari.”Andini terpaku dengan analisa Stefan, “Dari mana kamu ….”“Saya, kan, ayahnya, masa tidak tahu,: seloroh Stefan. “Walau saya sibuk bekerja, tapi, saya juga memperhatikan apa saja kebutuhan anak saya.”Andini tidak bisa menyimpan kebahagiaan yang ada di hatinya. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu mencium pipi Stefan.“Kamu tahu, kan, kita ada di tempat umum,” peringat Stefan tetapi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Pipinya menghangat.Andini menoleh ke arah penjual sayuran, wajahnya makin memerah. Napasnya berembus cepat.“Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kalau suamiku perhatian,” kata Andini malu-malu.“Jadi, tiga puluh ribu,” kata si penjual ketus. Lalu menaruh barang yang dibeli Stefan dengan k
Season IIBab 116Andini merasa asing, pagi ini terbangun di ranjang yang berbeda.Ah, terang saja ini masih di rumah mertuanya.Tidak seperti Andini yang merasa asing, Stefan malah masih tidur dengan pulas. Jadi, Andini memutuskan untuk ke kamar mandi, cuci muka, sikat gigi, dan mandi.Sekalian saja, karena dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan.Jadi, apa yang harus dilakukan dihari pertama menginap di rumah mertua? Pikir Andini.Mungkin keluar dari kamar adalah ide yang tidak buruk.“Memangnya kamu mau ke mana?”Andini hampir melonjak mendengar pertanyaan Stefan yang tiba-tiba. Sejak kapan dia bangun?“Kamu …”“Saya sudah bangun dari tadi. Kamu saja yang tidak tahu.”Andini mengedikkan bahu. Acuh tak acuh, ini adalah balasan atas ketidak acuhan Stefan tadi malam.Ranjang mereka malam ini pun rasanya dingin. Sangat dingin.Memang, Stefan itu kenapa, sih, begini?Andini membatin, sambil becermin, matanya melirik ke arah suaminya yang perlahan bangkit, lalu ke kamar mandi.Apa
Season II Bab 115Sepanjang perjalanan, Andini hanya bisa mengira-ngira akan ke mana.Arahnya, si, akan ke rumah pantai. Tapi, untuk apa Stefan bilang, katanya akan mengungkap masa lalunya.Apa masa lalunya dengan perempuan dekat pantai?Andini memicing menatap Stefan.Lagian, awas saja kalau Stefan ternyata punya pacar sebelum Andini.Stefan hari ini setir sendiri. Adam dengan pengasuhnya di jok belakang.“Mungkin, kamu akan kaget nanti kalau kita sudah sampai di tempat tujuan.”Andini makin curiga ketika Stefan berkata demikian.“Kamu belum pernah bertemu dengan orang tua saya, kan? Dan dua adik saya.”Andini membeku, menatap Stefan dari samping. Astaga! Jadi, selama ini Andini salah sangka.“Jadi ini adalah jalan ke ….” Andini tidak bisa meneruskan perkataannya.“Ya,” jawab Stefan singkat. “Selama ini, saya selalu minta cuti dalam satu bulan 2 atau 3 hari untuk mengunjungi orang tua. Apa kamu tidak memperhatikan?”Andini membuang pandangan ke arah jendela. Ternyata prasangkanya sa
Season IIBab 114“Saya rasa, perlu bawa baju untuk kita, And,” kata Stefan tetiba sambil menatap ke laptop.Andini sudah menyiapkan keperluan Adam sejak malam. Karena Stefan mengubah jadwal kepergiannya menjadi besok.“Baju ganti untuk kita?” Andini sekadar mengkonfirmasi. “Sebenarnya kita mau ke mana?”Stefan menutup laptopnya, lalu menatap Andini. “Sudah saya bilang, kan, ini kejutan.”Andini menghela napas dan memutar bola mata.Stfena bisa melohat kejengkelan istrinya yang penasaran. Lelaki itu tersenyum tipis, lalu bangkit dari ranjang menghampiri istrinya.Berlutut, memperhatikan Andini yang sedang sibuk mengepak pakaian. “Apa yang kamu perlukan biar saya ambilkan,” tawar Stefan.Andini menggaruk kepala, “Baju yang kamu mau pakai selama di sana dan baju aku. Lalu pakaian dalam.”“Baik, saya akan ambilkan di lemari,” ucap Stefan sambil berjalan menuju lemari besar yang ada di kamar itu.“Terima kasih,” ucap Andini begitu Stefan memberikan beberapa pakaian untuk dimasukkan ke kop
Season IIBab 113“Bisa saya bertanya sesuatu?” tanya Stefan, lalu menopang kepala di tangan sambil menatap Andini.“Ada apa?” tanya balik Andini, “Sesuatu yang serius?”Stefan mengangguk pelan.Tubuh mereka belum berpakaian lengkap, hanya pakaian dalam yang masih melekat dan ditutupi selimut.“Pertanyaan serius macam apa yang mau kamu tanyakan?” Andini meledek Stefan, dia pikir suaminya akan bercanda, setelah itu menggodanya lagi untuk babak kedua.“Di mana kamu tinggal selama tidak bersama saya?” suara Stefan tegas, namun, seperti ada senyuman singkat terulas di bibirnya.Andini tahu, kalau Stefan pasti akan menanyakan hal ini cepat atau lambat. Wanita itu melemaskan badan, tatapannya lurus ke langit-langit kamar.“Apa aku harus jujur kepadamu?”“Saya suamimu, tentu saja kamu harus jujur kepada saya. Walaupun kejujuran itu akan menyakiti saya.”“Baiklah ….” Andini menarik napas, menyiapkan kata. “Tapi, sungguh ini semua keinginanku sendiri, bukan karena suruhan atau tawaran orang la
Season IIBab 112Beberapa minggu kemudian ….“Harusnya kamu tidak perlu bawa barang dari rumah kamu. Di sini semuanya sudah saya sediakan,” ucap Stefan ketika melihat Andini repot mengatur barang yang masuk ke rumah barunya.Andini menghela napas, “Kamu ini, kan suami, jadi diam saja. Aku yang atur semua. Ingat, kan?” sambil menatap Stefan, Andini mengerling. Stefan mencibir, Adam dalam gendongannya. “Apa mamamu selalu begitu?” candanya, bayi itu hanya tersenyum, lalu menguap. “Karena kita lelaki bagaimana kalau kita tidur siang dulu?”“Itu lebih baik,” sambar Andini sambil menunjuk ke sisi rumah yang masih kosong.Pekerja yang dia bayar lalu lalang di rumah yang Stefan sudah renovasi itu.Andini cukup terkesan dengan penataan ruangan di rumah ini. Stefan yang membuatnya demikian. Ada jendela besar di ruang tamu, jadi rumah ini terang oleh sinar matahari. Kolam renang yang terkoneksi dengan kamar utama.Rumah ini serasa bagai Surga.Andini tidak berhenti bersyukur Stefan bisa member
Season IIBab 111Beberapa bulan lalu di Kalimantan ….Andini gelisah dan terganggu dengan sikap Jeff yang tidak membalas pesan dan tidak menjawab telepon. Selain itu, dia juga merasa bersalah, tidak bisa membalas perasaan Jeff.Karena yang ada dalam pikiran Andini selama berjauhan hanya Stefan. Walau Andini bersikeras ingin menceraikannya, bayangan lelaki itu melekat di kepala Andini.Walau Jeff adalah pria yang baik, peduli dan sangat penyayang. Tidak ada celah dalam kepriadian Jeff. Namun, sulit sekali menyukai Jeff seperti Andini mencintai Stefan.Hah, salahnya sendiri, belum apa-apa sudah bilang cinta. Padahal, Stefan tidak benar-benar menikahinya.Sebelum antar ayah ke bandara, Veronica mampir ke rumah Jeff.Andini yang mendengar bel pintu berdentang membukakan pintu. Matanya langsung membesar ketika membuka pintu, Veronica.“Silakan masuk,” ujar Andini ramah, penuh senyuman.Veronica wajahnya datar. Dibilang tidak menyenangkan juga tidak.Andini yang tidak enak, langsung mencar
Season IIBab 110Andini menepati janjinya memasak beberapa menu saat Stefan datang ke rumah.Ayah menyambut kedatangan Stefan dengan wajah yang datar. Pak Tarso tahu ini bukan sepenuhnya kesalahan Stefan. Dalam pernikahan, Pak Tarso berpikir, pasangan suami istri seperti kaki yang berjalan mengarungi kehidupan.Jadi, di antaranya tidak ada yang salah. Kalau pun perceraian itu harus terjadi, artinya itu adalah keputusan terbaik yang Stefan dan Andini ambil.“Tidak sangka, kan, aku bisa masak?” celetuk Andini begitu Stefan menghela napas sambil memegang perutnya.Stefan tersenyum, “Ya. Harus saya akui kalau ini enak.” Ingatan Stefan tersedot ke masa beberapa tahun lalu. Ketika Anya menyiapkan kejutan untuknya.“Apa kamu ingat kejutan untuk saya beberapa tahun lalu? Anya bilang dia masak sendiri, apa itu ….”Andini tertawa kecil dan mengangguk, “Ya. Itu aku yang memasaknya.”“Harusnya saya yang memuji kamu waktu itu,” timpal Stefan melirik ke arah Pak Tarso yang berwajah suram.“Pak, ja
Season IIBab 109“Mbak! Mbak!” panggil Edo di luar kamar Andini. “Ditanyain sama Mbak Sarah, tuh!”Andini berpikir, apa yang sudah dia lakukan sampai Sarah menghubungi Edo?“Masuk aja, Do, aku lagi gantiin baju Adam,” kata Andini memekik.Edo masuk begitu Andini izinkan, “Mbak, ini Mbak Sarah, katanya Mbak Andini nggak bisa dihubungi. Jadi … Mas Stefan juga mencari Mbak Andini.”“Hah?” Andini merasa tak percaya, Adam ada dalam gendongannya, mulai menangis.Konsentrasi Andini pecah antara tangisan dan mengingat antara di mana ponselnya.Perlahan, Andini duduk di kursi, lalu menerima ponsel dari Edo.“Hallo?” sapa Andini. “Ah, iya, maaf, Sarah, rasanya ponselku terselip, entah di mana. Ada yang penting?”Andini melirik Edo yang keluar dari kamarnya. Karena Andini bersiap akan menyusui Adam.“Stefan, dia menghubungiku secara langsung. Dia tidak bisa menghubungi kamu. Aku pikir kamu sedang dalam masa … berpikir?” tebak Sarah.Andini diam sejenak, “Ya … aku hanya lupa di mana menaruhnya.