Tetapi, saat baru saja memutar badannya tiba-tiba saja Intan pun muncul. "Intan, kamu tidak mengurus suami mu? Pagi-pagi sudah di sini," omel Sinta. "Dia udah berangkat lagi ke luar negeri, Ma," jawab Intan. Kemudian tatapan mata Intan pun mengarah pada Salsa. "Kok dia masih di sini sih, Ma?" sinis Intan. "Dia siapa?" tanya Sinta. "Wanita jahat ini!" jawab Intan dan yang dia maksud adalah Salsa. "Kok ngomong begitu? Kamu nggak boleh begitu, dia itu istri Kakak mu juga!" terang Sinta. Akan tetapi Intan membalasnya dengan tatapan mata yang sinis. "Dia yang udah mencelakakan Kak Indri, Ma. Dia ini wanita jahat," balas Intan lagi yang tak hentinya menyalahkan Salsa. "Intan, sudahlah. Oma tidak mau kamu terus seperti ini pada Salsa, kasihan dia," sahut Oma Mala. Oma Mala pun tak mengerti mengapa selalu saja Intan menyalahkan Salsa, padahal tidak ada hal yang dilakukan oleh Salsa hingga membuat Intan tersinggung. "Belain aja terus itu pelakor!" kesal Intan kemudian di
Indri pun telah dibawa pulang ke rumah setelah dokter mengatakan menyerah, sebab tak ada lagi cara yang bisa menyembuhkan Indri selain keajaiban. Meskipun demikian tetap saja dokter menyarankan agar terus memeriksa keadaan Indri setiap 7 hari sekali. "Kamu istirahat disini," kata Sinta. Indri pun mengangguk pelan, sebab dia memang tak dapat berbicara. Yang bisa dilakukan oleh Indri hanya menganggukkan kepalanya dengan pelan sebagai jawaban, kemudian duduk di kursi roda dan pastinya sangat kesulitan untuk melakukan sesuatu sendirian. Setiap kali menginginkan sesuatu tidak bisa melakukan secara langsung, dia membutuhkan bantuan orang lain. Begitu pun juga saat ini, untuk bangkit dari kursi roda dan berpindah ke atas kasur pun dia membutuhkan bantuan orang lain. Sinta dan Mayang harus bersusah payah untuk membantunya. "Istirahat dulu," kata Sinta setelah kini Indri berbaring di atas ranjang. "Nyonya, memanggil saya," kata Salsa yang muncul. Sinta pun mengangguk setela
"Apa yang akan terjadi?" tanya Salsa bingung. Mayang pun mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban. Padahal sebelumnya sudah menakut-nakuti Indri. Lihat saja kini bibir Indri seakan ingin mengatakan sesuatu, sayangnya tidak bisa. Indri seperti sangat berusaha keras untuk bersuara, sayangnya masih saja sia-sia. Keadaannya sangat buruk sulit untuk melakukan sesuatu, bahkan hanya untuk berbicara saja dia sangat kesulitan. "Sudahlah, ayo kita makan. Takutnya telat makan jadi masuk angin," ucap Salsa. Kemudian Salsa pun duduk di sisi ranjang agar memudahkan dirinya untuk menyuapi Indri. Sayangnya Indri tidak mau menerima suapan dari Salsa. Bibirnya tertutup rapat seperti menolak untuk menelan bubur tersebut. Apa lagi alasannya jika bukan karena takut pada yang dikatakan oleh Mayang benar adanya, racun! "Kenapa, Nyonya tidak suka bubur?" tanya Salsa. Dia memang tak tahu apa-apa, andai saja dia tahu apa yang diucapkan Mayang saat dirinya sedang di dapur pasti dia akan sa
Salsa masih saja larut dalam pikirannya, sepertinya dia masih sedih dengan penolakan Indri. Mungkin juga dia yang terlalu mendramatisir keadaan, maklum saja saat keadaannya sedang hamil seperti ini membuatnya menjadi sensitif. Kadang dia memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan, begitu pun juga dengan saat ini. Sebenarnya jika Indri menolak untuk dia rawat, dia tak perlu merawat karena tidak ada untungnya juga. Justru niat baiknya ditolak jadi tak harus bersusah untuk melakukannya bukan? Sayangnya bumil itu sedang tidak berpikir demikian, dia hanya ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak akan membenci Indri atas semuanya. Bahkan, Salsa tidak pernah dendam. Apa lagi berniat menguasai Raka sendiri. Dia tak mau disebut sebagai seorang pelakor. Salsa pusing karena isi pikirannya sendiri, kini dia pun berdiri di depan pintu kamar dan tangannya yang hendak memutar gagang pintu. "Sayang," Raka pun segera menarik Salsa untuk segera masuk ke dalam kamar. "Abang!"
Melumat bibirnya tanpa ampun. Akan tetapi Salsa yang dibuat bingung harus bagaimana. Antara melanjutkan atau tidak, karena ada rasa gengsi yang luar biasa. "Abang!" kesal Salsa sambil mendorong dada Raka. Raka pun menjauh sambil mengangkat kedua tangannya. Ia berharap istrinya itu tak lagi marah-marah. "Damai," kata Raka. "CK!" Salsa pun berdecak kesal, kemudian menarik kerah kemeja Raka agar ikut dengannya. Raka pun harus mengikuti langkah kaki Salsa tanpa berani untuk membantah. "Sayang, kita kemana?" tanya Raka meskipun tetap saja dia mengikuti Salsa. "Ke kamar, ngapain di sini, mau di lihat orang?" tanyanya. "Ngapain ke kamar?" tanya Raka lagi dengan bodohnya. Mungkin karena terlalu cinta hingga otaknya sulit untuk bisa berpikir jernih jika sudah bersama dengan Salsa. "Tidur!" jawab Salsa kesal. "Salsa," panggil Sinta saat tanpa sengaja melihat nya. Salsa pun cepat-cepat melepaskan Raka dia tak mau jika orang lain berpikir bahwa dirinya tidak menghorm
"Sudah lebih baik?" tanya Raka. Raka pun segera mengoleskan minyak kayu putih pada dahi Salsa. Setelahnya dibagian perut, dia bisa merasakan ada sesuatu yang bergerak di dalam perut istrinya tersebut. Ada rasa bahagia yang tak dapat terucapkan jika sudah berbicara tentang calon anaknya. Kemudian Raka pun berpindah mengoleskan pada bagian kaki Salsa. "Udah agak baikan," kata Salsa. Kemudian Raka pun mengoleskan minyak kayu putih pada bagian tengkuk Salsa. Dia terlihat lebih tahu bagian mana yang membutuhkan olesan miyang kayu putih. "Baguslah kalau begitu." "Abang, pijitin dong," pinta Salsa. Dia sudah lebih membaik, tapi bisa lebih baik jika sedikit mendapatkan pijitan. Setelah muntah-muntah kini dirinya merasa kelelahan. "Kamu mau dipijit?" tanya Raka. "Iya," jawab Salsa. Kemudian Raka pun meletakkan minyak angin ditangannya pada ranjang. Sesaat kemudian dia pun benar memijat Salsa, tapi yang dia pijat bukan bagian pundak. Melainkan bagian dada. "Aba
Benar-benar sangat melelahkan tapi cukup memuaskan. Melakukan hal seperti ini adalah sebuah keharusan untuk mempertahankan rumah tangga yang harmonis. Siapa pun kalian yang sudah menikah pasti ingin memiliki keluarga yang bahagia. Cara utamanya adalah dengan bercinta, baik dalam keadaan sedih, kesal maupun marah besar. Meluangkan waktu bersama pasangan adalah solusi yang paling penting. Terutama Raka yang begitu banyak menghabiskan waktu dalam bekerja. Dia butuh seorang istri yang bisa dijadikan sebagai tempat melepas lelahnya. Melepas gairah, serta semua rasa yang bergelora. Hingga akhirnya lebih bersemangat dalam bekerja. "Abang, haus," kata Salsa. "Biasa aja mintanya, nggak usah mendesah," jawab Raka. "Kok ngomong begitu? Salsa biasa aja!" balas Salsa. "Mana ada biasa, suara kamu mancing," kata Raka lagi. "Mancing?" Salsa semakin bingung saja dengan jawaban Raka. "Iya, bilang aja kalau kamu mau tambah lagi." "Tau ah!" Salsa pun putus asa dalam berdebat
"Kamu kenapa?" tanya Raka saat melihat wajah Salsa tampak panik dipagi hari yang cerah ini. "Abang, Salsa malu banget kalau ketemu sama Mama," ungkapnya. "Kenapa?" tanya Raka lagi. "Iya, soalnya tadi malam Mama masuk ke kamar," Salsa pun kembali mengingatkan apa yang terjadi tadi malam. Sepertinya sampai pagi ini Salsa masih belum bisa melupakannya."Terus kenapa?""Kok nggak ngerti sih?" Salsa pun mendesah frustasi mendengar jawaban Raka."Itu salah Mama, siapa suruh masuk ke kamar orang sembarangan.""Abang, bisa nggak jawabnya yang bener gitu," ingin rasanya Salsa menangis jika mengingat kembali bagaimana wajah terkejut mertuanya. "Sudahlah, Mama juga pasti sudah lupa. Dia kan sudah tua," jawab Raka dengan asal. "Abang, ngomong apa sih! Nggak pernah ngomong bener, yang lurus kalau ngomong!" Salsa yang kesal pada jawaban Raka rasanya tidak sopan berbicara seperti itu. "Faktanya begitu," kata Raka lagi, "ayo kita sarapan," Raka pun segera menarik tangan Salsa agar seger
Salsa merasa sedih karena Indri telah memutuskan untuk pergi. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya, meskipun telah berusaha untuk meyakinkan Indri tapi hasilnya tetap sia-sia. *** Kini Salsa telah menjadi istri satu-satunya, pernikahannya pun tak lagi menjadi rahasia, semua orang juga telah mengetahui bahwa Salsa lah istri Raka yang sah. Hingga beberapa bulan kemudian Salsa pun melahirkan seorang anak perempuan, keluarga besar Januartha sangat berbahagia menyambutnya. Salsa juga tidak lagi merasa takut, jelas terlihat semua anggota keluarga suaminya menerima anaknya penuh kehangatan. Salsa melahirkan anaknya secara normal, tapi Raka merasa kasihan terhadap istrinya tersebut karena menyaksikan sendiri bagaimana sebelumnya Salsa menahan sakit sendirian. Andai saja rasa sakit itu bisa dibagi dia mau mengurangi rasa sakitnya. "Terima kasih," ucap Raka sambil menggenggam tangan Salsa dengan sangat erat. Salsa pun tersenyum sebagai jawaban, dia merasa sempurna
"Kak Indri," ucap Salsa sambil berjalan masuk ke kamar Indri. Krang! Piring di tangannya seketika terjatuh dari tangganya, tak menyangka melihat Indri telah berdiri tegak. Dirinya seperti sedang dikejutkan dengan apa yang kini dia lihat. "Salsa," panggil Indri. Saat itu Salsa pun mulai tersadar dari keterkejutannya. Dia tak menyangka jika kini Indri bisa berdiri sendiri. "Salsa, ada apa?" tanya Sinta yang menyusul masuk setelah mendengar suara pecahan. Sinta takut jika saja Salsa yang terpeleset, bagaimana dengan keadaan janinnya? Bahkan Sinta juga sangat mengkhawatirkan keadaan Salsa. Semua pikiran buruknya benar-benar membuatnya panik bukan main. Tapi dia pun dibuat terkejut melihat Indri sudah bisa berdiri. Rasanya tak percaya dengan apa yang telah dia lihat saat ini. Ini seperti tidak mungkin, tapi itulah yang terjadi. "Indri?" Sinta menatap tidak percaya tapi inilah kenyataannya. Matanya membulat sempurna tanpa bisa berkedip sama sekali, sekarang dia men
Salsa pun tersenyum bahagia karena hari ini dirinya telah menjadi seorang sarjana, tidak ada yang menyangka bahwa dirinya mampu untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan dirinya sendiri sekalipun merasa ini adalah sebuah hal yang mengejutkan, siapa sangka ternyata disaat dirinya merasa terjatuh-sejatuh-jatuhnya ternyata ada setitik cahaya yang membawanya sampai di hari ini. Hari dirinya menjadi salah satu dari mereka yang menyelesaikan pendidikan seperti yang diinginkan oleh sang Nenek. Ya, air mata Salsa juga menetes haru seiring mengenang kembali wajah mending sang Nenek yang telah menghadap sang illahi. Semua ini juga tak lepas dari peran penting dalam proses pencapaian pendidikannya. Mendukungnya dalam segala hal, sayang kini Neneknya tak bisa mengucapkan selamat padanya. Padahal Salsa juga ingin mengucapkan selamat juga pada sang Nenek karena perjuangan Neneknya tidak sia-sia. Kini hasilnya dirinya telah seperti ini, bahagia rasanya tak dapat terucap oleh kata-kata.
Salsa langsung mengambil ponselnya dia tidak lagi menggunakan ponsel lamanya, karena kata Raka sudah butut. Lagi pula ponsel seharga 1 m nya juga harus digunakan, sebab dia sudah membayarnya mahal tadi malam. Tentu saja mahal karena dirinya harus bergoyang seperti orang gila, ah sudahlah. Salsa pun tidak lagi bisa berkata-kata. Dan ketika panggilan telepon tersambung dia langsung saja berbicara. "Abang, Salsa mau kasih tahu hal yang penting," ucap Salsa dengan cepat. "Kamu sakit? Mau melahirkan?" tanya Raka panik. Dia takut terjadi sesuatu pada istrinya tersebut. "Kok melahirkan? Hamil juga masih 6 bulan," gerutunya. "Jadi berapa bulan baru bisa melahirkan?" tanya Raka dengan bodohnya. Inilah Raka jika sudah berbicara dengan Salsa otaknya tak akan bisa bekerja dengan baik lagi. "Sembilan bulan, Abang!" kesal Salsa. "Oh iya, lupa," ucap Raka sambil menggaruk kepalanya. Dia sendiri bingung kenapa bisa bodoh seperti ini, tapi sudahlah saat ini dia ingin berbicar
Salsa pun tersenyum sambil melangkahkan kakinya, dia tak dapat menahan kebahagiaan yang tengah dia rasakan. Bahkan tidak menyangka jika hari ini keluarga suaminya begitu menyayangi dirinya. Hingga akhirnya langkah kakinya pun terhenti saat melihat Indri tengah berjemur di halaman. Segera Salsa pun melangkah mendekati Indri.Dia ingin melihat bagaimana keadaan Indri, semoga saja ada kemajuan. "Nyonya Indri, apa kabar?" tanya Salsa. Sebab, kemarin tidak bertemu dengan Indri sama sekali. Rasanya ada banyak hal yang harus dia tanyakan, terutama apakah sudah ada kemajuan.Meskipun sadar Indri tidak bisa menjawab pertanyaannya, tidak apa yang terpenting adalah kesehatan Indri baik. "Sa, aku ke toilet bentar ya," kata Mayang yang bertugas membantu Indri untuk melakukan segala sesuatunya. Termasuk berjemur juga. "Iya, nggak papa aku juga pengen berjemur dulu. Kamu istirahat dulu aja sekalian, nanti kalau ada sesuatu aku panggil kamu ya," jawab Salsa. "Siap, makasih Nyonya
Pagi ini rasanya sangat melelahkan karena malam panjang yang terlalu panas. Namun, meskipun sedemikian Salsa juga harus bangun pagi-pagi karena perutnya terasa lapar. Tentunya setelah dia mandi pagi. "Lho, kamu sudah sarapan pagi?" tanya Sinta ketika melihat Salsa sudah selesai sarapan. Padahal dirinya baru saja bangun dan sarapan pun tengah disiapkan oleh para Art. Sepertinya Salsa membuat sarapannya sendiri dan untuk dirinya sendiri saja agar lebih cepat prosesnya. "Iya, Ma. Maaf ya, Salsa sarapan duluan. Soalnya laper banget," ucap Salsa dengan perasaan tidak enak karena biasanya sarapan pagi bersama. "Tidak masalah, bahkan itu sangat bagus karena cucu Mama butuh nutrisi juga," balas Sinta. Kemudian dia pun segera duduk di samping Salsa Tentu saja karena ingin memegang perut buncit Salsa. "Cucu, Oma," katanya dengan senyuman penuh kebahagiaan. "Ma," panggil Salsa dengan ragu, dia ingin tahu apakah benar Sinta sudah tahu jenis kelamin calon anaknya seperti yan
Dengan terpaksa Salsa pun harus menuruti keinginan Raka. Bukan, mungkin lebih tepatnya dia harus memenuhi janji yang telah dia ucapkan sendiri dengan penuh kesadaran. Jika mungkin waktu bisa diputar kembali maka dia akan menarik ucapannya. Sayangnya itu tidak mungkin. Karena kenyataan kini Raka terus menagih janjinya. Malu rasanya tidak terkira dan tidak dapat terucapkan oleh kata-kata. Lihatlah kini dirinya harus memakai lingerie, warnanya begitu kontras dengan warna kulitnya. Dan membuat Raka semakin bersemangat untuk melihatnya. "Mana goyangannya?" pinta Raka sekaligus menggoda Salsa. Semakin Salsa merasa malu maka semakin membuatnya merasa gemas. "Aku tidak bisa gerak," ucap Salsa memberi alasan. "Benarkah?" tanya Raka lagi. "Hu'um," Salsa pun mengangguk cepat. Berharap Raka memintanya untuk segera menghentikan semua kekonyolan ini. "Coba dulu," ucap Raka. Ah! Batinnya pun mendesah pasrah karena ternyata Raka tidak memintanya untuk menghentikan semu
"Salsa." "Ya, Oma," jawab Salsa. Salsa pun merasa bahagia karena kedatangan Oma Mala cukup membantunya. Artinya dia bisa lolos dari Raka. "Ini Oma bawakan rujak, barusan Oma dan yang lainnya ngerujak," Oma Mala pun tersenyum sambil berjalan ke arah Salsa. "Wah terima kasih, Oma. Melihatnya saja udah ngiler," kata Salsa. Bertempat dengan Raka yang keluar dari kamar mandi, tentunya setelah menyelesaikan mandinya. "Kalau gitu Oma keluar dulu," pamit Oma Mala. "Lho, kok buru-buru?" tanya Salsa dengan panik. Padahal sebelumnya sudah begitu bersemangat karena merasa mendapatkan bantuan. Sayangnya tidak. "Memangnya kenapa?" Oma Mala terlihat bingung dengan pertanyaan Salsa. Salsa pun tersenyum kecut sambil menatap wajah Raka dengan horor. Padahal pria tampan itu hanya diam saja menyaksikan dirinya dan Oma Mala tengah berbicara. Tapi kenapa dia merasa bulu kuduknya berdiri? "Oma, jadikan ngajakin Salsa masak?" tanya Salsa tiba-tiba. Membuat sang Oma pun bingung
Perlahan Salsa pun mulai tersadar dari ingatannya, dia pun mengedarkan pandangannya untuk mencari ponsel yang telah dia jatuhkan. Hingga akhirnya menemukan ponsel tersebut. Kakinya pun kembali melangkah dan tangannya pun bergerak untuk meraih ponsel tersebut. Namun, karena perutnya yang sudah begitu membuncit membuatnya kesulitan untuk berjongkok. Raka yang dari tadi hanya berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan seperti apa reaksi Salsa pun kini mulai melangkah lebih maju. Dengan cepat membantu Salsa untuk mengambil ponsel tersebut. Tapi Salsa yang dibuat sok bukan main, bukan karena takut pada Raka. Namun, ada ingatan yang membuatnya menjadi sulit untuk bernafas sekalipun. Bahkan untuk menerima ponsel yang diberikan Raka padanya pun sulit rasanya untuk menerimanya. "Ambil," kata Raka sambil menggerakkan ponsel di tangannya. Glek! Salsa dibuat meneguk saliva dengan begitu pahitnya, padahal Raka tidak marah, apa lagi suka memukulnya. Namun, tetap sa