Sementara itu Raka dan Salsa telah kembali ke kamar. Setelah membilas tubuhnya kini Salsa pun membantunya untuk mengeringkan Raka. "Makasih ya, Mas udah mau ngabulin keinginan Salsa," ucap Salsa penuh dengan kebahagiaan yang tak terkira. Padahal yang diberikan Raka hanya sebuah keinginan sederhana, tapi sangat berharga bagi Salsa. Disini Raka sadar bahwa kebahagiaan itu tidak semua diukur dengan materi. Hidup seperti ini justru membuatnya merasa berharga dan nyaman. Kini Raka merasa beruntung bisa dipertemukan dengan Salsa. Sederhana dan tidak banyak tingkah. "Iya sayang, panggil Abang dong!" "Ish, Abang," Salsa pun memperbaiki panggilannya membuat Raka yang mendengar pun merasa gemas. Kemudian Raka pun mengangkat tubuh Salsa untuk duduk di atas pangkuannya. "Abang!" "Nggak papa, gini aja," Raka pun memegang pinggul Salsa saat ingin bergerak turun. "Tapi, susah." Protes Salsa. Sebenarnya dia ingin menjauhkan diri, tapi ternyata tidak mudah. "Enggak," kata
"Ahahahaha," Oma Sinta tertawa terbahak-bahak melihat Gio yang kini duduk di teras. Gio telah mengeringkan tubuhnya dan berpakaian setelah sempat hanya memakai celana bokser warna pink dengan gambar hello kitty. Sayangnya Oma Mala masih saja merasa lucu saat melihat dirinya. Sepertinya Oma Mala belum bisa melupakan saat Gio hanya memakai celana bokser berwarna pink dengan gambar hello kitty. "Minum obat, Oma!" kata Gio yang menatap sang Oma dengan sinis. "Sudah," jawab Oma Mala yang merasa telah menelan obatnya seperti biasanya. Kini dia pun ikut duduk bersebelahan dengan Gio. "Obat gangguan jiwanya, jangan lupa," kata Gio lagi. Oma Mala pun langsung saja menatap wajah Gio dengan tajam. "Maksudnya apa? Kamu mau bilang Oma Gila?" Oma Mala marah dan tak terima dengan maksud Gio. "Memangnya obat gangguan jiwa untuk apa?" tanya Gio santai sambil meneguk kopi hangat. "Untuk orang gila!" "Oma, sendiri yang ngomong gila. Gio nggak ada," ujar Gio. "Hey, kamu ini j
Gio pun menghentikan langkah kakinya saat melihat wajah Raka penuh dengan kebahagiaan melihat di hadapannya. Sepertinya Raka terlalu bahagia hingga bibirnya terus saja tersenyum. Tapi, dimata Gio sangat menjengkelkan sebab telah membuatnya membuang-buang waktu dan energi sia-sia karena membuatkan secangkir teh hangat untuk Raka. "Ini dia manusia nya, aku udah susah-susah bikinin minuman di dapur tapi kau kemana?!" geram Gio. "Kau tidak lihat aku ada di hadapan mu?" tanya Raka kembali. "Sekarang kau memang ada di hadapan ku, tapi tadi kemana? Bukannya nunggu aku kembali setelah membuatkan teh hangat dengan susah payah malah pergi!" gerutu Gio yang terlalu kesal terhadap Raka. Raka pun tersenyum sambil berkata, "Oh, iya kau kalah kan?" tanya Raka dengan senyuman penuh kebanggaan. Raka yang sedang berbahagia tentunya sangat bersemangat untuk mengejek Gio. "Hampir saja aku lupa kalau kau kalah," tambah Raka lagi dengan senyuman penuh kemenangan. Tetapi, Gio membalasnya d
"Aaaaaa!" terdengar suara dari arah dalam sana. Membuat Raka dan Salsa pun terkejut dan bertanya-tanya apakah yang terjadi di dalam sana. Begitu juga dengan Oma Mala dan Dara yang cepat-cepat bangkit dari duduknya. "Oma, itu suara siapa?" tanya Dara. "Sepertinya itu suara Intan, tapi apa mungkin?" Oma Mala pun tampak ragu, akan tetapi dia juga penasaran dengan apa yang terjadi hingga mendengar suara teriakan keras. "Abang?" Salsa juga ikut bertanya. "Coba kita lihat," Raka pun segera masuk ke dalam villa dengan langkah kaki yang cepat, begitu pun juga dengan yang lainnya yang juga ikut menyusul. Ternyata suara teriakan Intan yang terkunci di dalam kamar mandi. "Intan?" panggil Raka sambil memutar gagang pintu. Raka takut terjadi sesuatu hal buruk pada adiknya di dalam sana. Intan yang berada di dalam kamar mandi pun segera melihat daun pintu. "Kak, tolong cepat bukain pintunya! Di sini ada orang gila!" seru Intan saat mendengar suara Raka dari luar. Raka dan ya
"Aku tidak mau ini terulang lagi!" tegas Raka. "Apa lagi aku!" balas Gio. Kemudian dia pun segera pergi dari sana. "Kau mau kemana?" tanya Raka karena dia belum selesai berbicara. "Tadi aku mau buang air. Tapi, tidak jadi. Mulesnya hilang sesaat dan sekarang aku merasa mulesnya datang lagi, kenapa? Kak mau menemaniku buang air?" tanya Gio kesal terhadap Raka. Apa lagi mengingat kejadian tadi, dia sangat tak menyangka bisa masuk ke dalam kamar mandi dimana ada Intan di dalam sana. Belum lagi Intan sampai meludahi wajahnya, lebih dari biasanya yang hanya sekedar memakinya saja. Emosi Gio benar-benar meluap, bagaimana pun juga dia hanya manusia biasa yang bisa kehilangan kesabarannya. "Pergi sana!" usir Raka. Tentunya Raka tak akan pernah mau menemani Gio buang air, sebab itu sangatlah menjijikan sekali. "Ada apa dengan pintu ini?" Oma Mala pun dibuat geleng-geleng kepala sambil melihat pintu kamar mandi yang telah rusak akibat Raka mendobraknya. "Ada jin," jawab Ra
Villa yang cantik dengan pemandangan alam yang sangat indah. Salsa bahkan sangat nyaman berada di sana sekalipun untuk waktu yang lama. "Abang, apa Vila ini sudah lama dibangun?" tanya Salsa. "Sekitar 2 tahun yang lalu, yang membuat kami tertarik untuk membeli lahan ini saat itu adalah air terjun ini." Jelas Raka. "Oh gitu, karena memang indah sekali," ucap Salsa yang tak habisnya memuji tempat tersebut. "Iya, karena saat lelahnya bekerja butuh hiburan dan tempat ini sangat nyaman. Pemandangan yang sangat langka dimana air terjunnya bagus berdekatan dengan Villa," jelas Raka lagi. "Hu'um," Salsa pun mangguk-mangguk mendengar penjelasan Raka. "Sepertinya kamu betah ya kalau lama-lama tinggal di sini?" "Iya, suasananya nyaman banget." "Iya, itu benar," Raka pun memeluk Salsa dari belakang sambil menikmati pemandangan yang begitu indah ini. "Segar sekali udaranya." "Iya, anak Papa pasti suka," Raka pun mengelus perut Salsa dengan perasaan bahagia, tak sabar rasanya
Tangan Indri semakin mencengkram erat pisau di tangannya melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah Salsa dan Raka. Keputusannya untuk melenyapkan Salsa benar-benar sudah bulat, tak ada lagi tawar-menawar. Semakin hari semakin tidak karuan saja dengan dua orang tersebut. Apa lagi yang bisa dia lakukan terhadap kejahatan Salsa yang telah merebut posisinya sebagai istri Raka. Percuma saja meminta Raka untuk segera melepaskan Salsa, sebab itu tak akan pernah terjadi. Perjanjian awal yang mereka buat kini tak lagi berlaku. Dirinya yang seharusnya menjadi pengendali antara hubungan Raka dan Salsa kini sudah jauh berbeda. Rasa sesal tak bisa lagi dia tahan, kini akan dia akhirnya dengan kematian. "Jika tidak bisa berpisah dengan perceraian, maka kematian bisa memisahkan mereka berdua!" kata Indri. Saat itu langkah kaki Salsa pun terhenti kala melihat wajah Indri. Begitu pun juga dengan Raka. Senyuman di bibir dua orang itupun ikut menghilang saat melihat wajah Indri
"Kau akan mati, ayo berdoa sebelum ajal menjemput mu," kata Indri dengan senyuman penuh dengan kebencian. "Mati?" tanya Salsa yang tampak terkejut mendengar ucapan Indri. "Iya, kau akan mati dan aku akan menjadi malaikat pencabut nyawa untuk mu!" "Nyonya Indri, bukankah aku disini karena, anda? Lalu, kenapa aku dijadikan tersangka?" tanya Salsa yang ingin berdamai dengan Indri. "Benar, kau disini karena aku. Sehingga tidak salah pula aku menyingkirkan mu!" jawab Indri. "Sudahlah, aku tidak mau ada drama. Aku muak, pergi dari sini?!" usir Raka. "Nanti aku akan pergi jika dia mati!" balas Indri. Plak! Raka pun menampar wajah Indri, rasanya sangat menjengkelkan dan sudah cukup untuk semuanya. Hari ini semuanya benar-benar berakhir, Raka akan menceraikan Indri dengan atau tanpa persetujuan Mamanya. Raka mengulur waktu bukan karena kasihan pada Indri, tapi karena ingin berlibur bersama Salsa dengan nyaman. Dia bermaksud akan mengurus perceraian dengan Indri setelah li
Salsa merasa sedih karena Indri telah memutuskan untuk pergi. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya, meskipun telah berusaha untuk meyakinkan Indri tapi hasilnya tetap sia-sia. *** Kini Salsa telah menjadi istri satu-satunya, pernikahannya pun tak lagi menjadi rahasia, semua orang juga telah mengetahui bahwa Salsa lah istri Raka yang sah. Hingga beberapa bulan kemudian Salsa pun melahirkan seorang anak perempuan, keluarga besar Januartha sangat berbahagia menyambutnya. Salsa juga tidak lagi merasa takut, jelas terlihat semua anggota keluarga suaminya menerima anaknya penuh kehangatan. Salsa melahirkan anaknya secara normal, tapi Raka merasa kasihan terhadap istrinya tersebut karena menyaksikan sendiri bagaimana sebelumnya Salsa menahan sakit sendirian. Andai saja rasa sakit itu bisa dibagi dia mau mengurangi rasa sakitnya. "Terima kasih," ucap Raka sambil menggenggam tangan Salsa dengan sangat erat. Salsa pun tersenyum sebagai jawaban, dia merasa sempurna
"Kak Indri," ucap Salsa sambil berjalan masuk ke kamar Indri. Krang! Piring di tangannya seketika terjatuh dari tangganya, tak menyangka melihat Indri telah berdiri tegak. Dirinya seperti sedang dikejutkan dengan apa yang kini dia lihat. "Salsa," panggil Indri. Saat itu Salsa pun mulai tersadar dari keterkejutannya. Dia tak menyangka jika kini Indri bisa berdiri sendiri. "Salsa, ada apa?" tanya Sinta yang menyusul masuk setelah mendengar suara pecahan. Sinta takut jika saja Salsa yang terpeleset, bagaimana dengan keadaan janinnya? Bahkan Sinta juga sangat mengkhawatirkan keadaan Salsa. Semua pikiran buruknya benar-benar membuatnya panik bukan main. Tapi dia pun dibuat terkejut melihat Indri sudah bisa berdiri. Rasanya tak percaya dengan apa yang telah dia lihat saat ini. Ini seperti tidak mungkin, tapi itulah yang terjadi. "Indri?" Sinta menatap tidak percaya tapi inilah kenyataannya. Matanya membulat sempurna tanpa bisa berkedip sama sekali, sekarang dia men
Salsa pun tersenyum bahagia karena hari ini dirinya telah menjadi seorang sarjana, tidak ada yang menyangka bahwa dirinya mampu untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan dirinya sendiri sekalipun merasa ini adalah sebuah hal yang mengejutkan, siapa sangka ternyata disaat dirinya merasa terjatuh-sejatuh-jatuhnya ternyata ada setitik cahaya yang membawanya sampai di hari ini. Hari dirinya menjadi salah satu dari mereka yang menyelesaikan pendidikan seperti yang diinginkan oleh sang Nenek. Ya, air mata Salsa juga menetes haru seiring mengenang kembali wajah mending sang Nenek yang telah menghadap sang illahi. Semua ini juga tak lepas dari peran penting dalam proses pencapaian pendidikannya. Mendukungnya dalam segala hal, sayang kini Neneknya tak bisa mengucapkan selamat padanya. Padahal Salsa juga ingin mengucapkan selamat juga pada sang Nenek karena perjuangan Neneknya tidak sia-sia. Kini hasilnya dirinya telah seperti ini, bahagia rasanya tak dapat terucap oleh kata-kata.
Salsa langsung mengambil ponselnya dia tidak lagi menggunakan ponsel lamanya, karena kata Raka sudah butut. Lagi pula ponsel seharga 1 m nya juga harus digunakan, sebab dia sudah membayarnya mahal tadi malam. Tentu saja mahal karena dirinya harus bergoyang seperti orang gila, ah sudahlah. Salsa pun tidak lagi bisa berkata-kata. Dan ketika panggilan telepon tersambung dia langsung saja berbicara. "Abang, Salsa mau kasih tahu hal yang penting," ucap Salsa dengan cepat. "Kamu sakit? Mau melahirkan?" tanya Raka panik. Dia takut terjadi sesuatu pada istrinya tersebut. "Kok melahirkan? Hamil juga masih 6 bulan," gerutunya. "Jadi berapa bulan baru bisa melahirkan?" tanya Raka dengan bodohnya. Inilah Raka jika sudah berbicara dengan Salsa otaknya tak akan bisa bekerja dengan baik lagi. "Sembilan bulan, Abang!" kesal Salsa. "Oh iya, lupa," ucap Raka sambil menggaruk kepalanya. Dia sendiri bingung kenapa bisa bodoh seperti ini, tapi sudahlah saat ini dia ingin berbicar
Salsa pun tersenyum sambil melangkahkan kakinya, dia tak dapat menahan kebahagiaan yang tengah dia rasakan. Bahkan tidak menyangka jika hari ini keluarga suaminya begitu menyayangi dirinya. Hingga akhirnya langkah kakinya pun terhenti saat melihat Indri tengah berjemur di halaman. Segera Salsa pun melangkah mendekati Indri.Dia ingin melihat bagaimana keadaan Indri, semoga saja ada kemajuan. "Nyonya Indri, apa kabar?" tanya Salsa. Sebab, kemarin tidak bertemu dengan Indri sama sekali. Rasanya ada banyak hal yang harus dia tanyakan, terutama apakah sudah ada kemajuan.Meskipun sadar Indri tidak bisa menjawab pertanyaannya, tidak apa yang terpenting adalah kesehatan Indri baik. "Sa, aku ke toilet bentar ya," kata Mayang yang bertugas membantu Indri untuk melakukan segala sesuatunya. Termasuk berjemur juga. "Iya, nggak papa aku juga pengen berjemur dulu. Kamu istirahat dulu aja sekalian, nanti kalau ada sesuatu aku panggil kamu ya," jawab Salsa. "Siap, makasih Nyonya
Pagi ini rasanya sangat melelahkan karena malam panjang yang terlalu panas. Namun, meskipun sedemikian Salsa juga harus bangun pagi-pagi karena perutnya terasa lapar. Tentunya setelah dia mandi pagi. "Lho, kamu sudah sarapan pagi?" tanya Sinta ketika melihat Salsa sudah selesai sarapan. Padahal dirinya baru saja bangun dan sarapan pun tengah disiapkan oleh para Art. Sepertinya Salsa membuat sarapannya sendiri dan untuk dirinya sendiri saja agar lebih cepat prosesnya. "Iya, Ma. Maaf ya, Salsa sarapan duluan. Soalnya laper banget," ucap Salsa dengan perasaan tidak enak karena biasanya sarapan pagi bersama. "Tidak masalah, bahkan itu sangat bagus karena cucu Mama butuh nutrisi juga," balas Sinta. Kemudian dia pun segera duduk di samping Salsa Tentu saja karena ingin memegang perut buncit Salsa. "Cucu, Oma," katanya dengan senyuman penuh kebahagiaan. "Ma," panggil Salsa dengan ragu, dia ingin tahu apakah benar Sinta sudah tahu jenis kelamin calon anaknya seperti yan
Dengan terpaksa Salsa pun harus menuruti keinginan Raka. Bukan, mungkin lebih tepatnya dia harus memenuhi janji yang telah dia ucapkan sendiri dengan penuh kesadaran. Jika mungkin waktu bisa diputar kembali maka dia akan menarik ucapannya. Sayangnya itu tidak mungkin. Karena kenyataan kini Raka terus menagih janjinya. Malu rasanya tidak terkira dan tidak dapat terucapkan oleh kata-kata. Lihatlah kini dirinya harus memakai lingerie, warnanya begitu kontras dengan warna kulitnya. Dan membuat Raka semakin bersemangat untuk melihatnya. "Mana goyangannya?" pinta Raka sekaligus menggoda Salsa. Semakin Salsa merasa malu maka semakin membuatnya merasa gemas. "Aku tidak bisa gerak," ucap Salsa memberi alasan. "Benarkah?" tanya Raka lagi. "Hu'um," Salsa pun mengangguk cepat. Berharap Raka memintanya untuk segera menghentikan semua kekonyolan ini. "Coba dulu," ucap Raka. Ah! Batinnya pun mendesah pasrah karena ternyata Raka tidak memintanya untuk menghentikan semu
"Salsa." "Ya, Oma," jawab Salsa. Salsa pun merasa bahagia karena kedatangan Oma Mala cukup membantunya. Artinya dia bisa lolos dari Raka. "Ini Oma bawakan rujak, barusan Oma dan yang lainnya ngerujak," Oma Mala pun tersenyum sambil berjalan ke arah Salsa. "Wah terima kasih, Oma. Melihatnya saja udah ngiler," kata Salsa. Bertempat dengan Raka yang keluar dari kamar mandi, tentunya setelah menyelesaikan mandinya. "Kalau gitu Oma keluar dulu," pamit Oma Mala. "Lho, kok buru-buru?" tanya Salsa dengan panik. Padahal sebelumnya sudah begitu bersemangat karena merasa mendapatkan bantuan. Sayangnya tidak. "Memangnya kenapa?" Oma Mala terlihat bingung dengan pertanyaan Salsa. Salsa pun tersenyum kecut sambil menatap wajah Raka dengan horor. Padahal pria tampan itu hanya diam saja menyaksikan dirinya dan Oma Mala tengah berbicara. Tapi kenapa dia merasa bulu kuduknya berdiri? "Oma, jadikan ngajakin Salsa masak?" tanya Salsa tiba-tiba. Membuat sang Oma pun bingung
Perlahan Salsa pun mulai tersadar dari ingatannya, dia pun mengedarkan pandangannya untuk mencari ponsel yang telah dia jatuhkan. Hingga akhirnya menemukan ponsel tersebut. Kakinya pun kembali melangkah dan tangannya pun bergerak untuk meraih ponsel tersebut. Namun, karena perutnya yang sudah begitu membuncit membuatnya kesulitan untuk berjongkok. Raka yang dari tadi hanya berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan seperti apa reaksi Salsa pun kini mulai melangkah lebih maju. Dengan cepat membantu Salsa untuk mengambil ponsel tersebut. Tapi Salsa yang dibuat sok bukan main, bukan karena takut pada Raka. Namun, ada ingatan yang membuatnya menjadi sulit untuk bernafas sekalipun. Bahkan untuk menerima ponsel yang diberikan Raka padanya pun sulit rasanya untuk menerimanya. "Ambil," kata Raka sambil menggerakkan ponsel di tangannya. Glek! Salsa dibuat meneguk saliva dengan begitu pahitnya, padahal Raka tidak marah, apa lagi suka memukulnya. Namun, tetap sa