Misi gagal untuk pelarian pertama, tapi Danila tetap berpegang teguh pada tujuan awalnya. Pagi ini, ia kembali menemui Adriana. Mengambil kesempatan sewaktu Hugo pergi ke perusahaan. Hanya ada ia dan wanita itu serta Haga yang berada didalam kediaman utama.Langkah kaki Danila berjalan gontai menuju ke lantai bawah. Ia mencari-cari Adriana, tapi tak kunjung menemukan wanita itu. Sampai akhirnya, Danila dikejutkan oleh suara seseorang dari arah belakangnya."Kau mencariku?" ujar seseorang itu yang ternyata ialah...."Adriana?" gumam Danila dalam hati.Adriana berjalan mendekatinya dengan raut wajah sinisnya seperti biasa. Dalam gejolak hatinya Adriana tertawa renyah sebab Danila benar-benar membutuhkan bantuannya. "Aku menunggumu hampir satu jam lamanya dibawah tangga tadi hanya berdiam diri dan menunggumu sampai jenuh," cetus Adriana berkata dengan nada penekanan."Maaf, aku tidak tahu kalau Tuan Hugo juga ikut terbangun saat aku mencoba pergi keluar kamar," tutur Danila merasa bersal
Danila pergi meninggalkan kediaman utama tanpa membawa apapun dari sana. Pandangannya menatap keluar jendela helikopter milik Andriana. Gejolak hatinya merasakan kebebasan dalam bernapas. Tak ada rasa tertekan seperti saat berada didalam rumah besar itu. Namun tiba-tiba hatinya terpikirkan pada kehidupan berikutnya."Apa yang akan kulakukan setelah kabur dari pria itu? Aku tidak mungkin kembali ke rumahku. Ayah dan Ibu pasti akan mengembalikanku pada Hugo," gumam Danila dalam hati berkata.Sampai akhirnya pikiran Danila tertuju pada Bagas. Hatinya merasa bersalah karena sudah mematahkan cintanya pada Bagas. Dalam hubungan mereka berdua yang tidak berlanjut sampai pernikahan. "Aku harus bertemu Bagas! Ya, hanya Bagas yang bisa menolongku," batin Danila.Di sisi lain, Hugo mendengar kabar Danila yang pergi menaiki helikopter milik Adriana yang tiba di kediaman rumahnya pagi tadi. Pak Zan yang melaporkan kejadian itu. Beliau tentu saja tak tinggal diam. Karena pak Zan bukan hanya sekedar
“Kumohon, bantulah aku. Aku tidak mau pulang ke rumah,” ucap Danila memohon dalam dekapannya Bagas.“Kita pergi ke rumah Nenekku saja. Beliau tinggal didekat pedesaan. Pria itu tidak mungkin bisa menemukan keberadaanmu di sana,” usul Bagas tiba-tiba. Spontan Danila memagutkan kepalanya pelan.“Kau juga ikut bersamaku, kan?” tanya Danila seraya mendongak dan menatap Bagas. Pemuda itu tampak terdiam sejenak. Kemudian mengerjapkan kedua matanya sambil mengembuskan napasnya panjang.“Tentu saja, aku akan menemanimu ke mana pun kau pergi,” ujar Bagas terdengar sedu.Sepertinya Bagas tengah menutupi sesuatu dari Danila. Entah apa yang dia tutupi. Tapi pasti, waktu akan menjawabnya. Lambat laun, Danila juga mengetahuinya.Keduanya saling bergandengan tangan dan keluar dari dalam telepon umum itu. Bagas mengajaknya pergi ke stasiun terdekat di sana. Danila yang begitu bersemangat sampai akhirnya ia mual dengan tiba-tiba. Ketika mereka teringin menaiki ke dalam busway kota untuk tiba di stasiun
“Bersembunyilah didalam sana! Aku akan mengawasinya dari sini,” titah Bagas pada Danila setelah keduanya memasuki ke dalam sebuah ruko tempat usaha yang berada disekitar stasiun kereta. Sebab tidak mungkin bagj mereka untuk melarikan diri keluar dari area itu. Orang-orangnya Hugo mengawasi tak hanya dari luar saja, tapi juga dari atas helikopter miliknya. Bagas memperhatikan situasi disekitarnya. Terlihat dari sudut pandang matanya, beberapa orang pria memakai baju hitam ala bodyguard tampak berjalan ke arahnya. Mereka semua tampak memegangi sebuah pistol ditangannya. Sontak Bagas langsung merunduk ke bawah sana. “Permisi, apa kau melihat wanita ini?” tanya pria itu yang tidak lain ialah orang-orangnya Hugo. Dia bertanya pada seorang pedagang yang menjadi tempat persembunyian Bagas dan Danila sekarang. “Tidak, Tuan. Saya baru saja membuka kedai ini. Tanyakan saja pada yang lain. Mungkin saja mereka melihatnya.” Untung saja, Bagas sudah meminta tolong pada pedagang itu. Agar beliau
Danila memagut paham seraya tersenyum tipis menatap Bagas. “Terima kasih, ini saja sudah cukup untukku,” kata Danila. “Sama-sama,” balas Bagas sambil menampilkan senyumnya yang terkesan canggung.Tak ada obrolan lagi setelah keduanya melakukan percakapan itu. Danila mulai asyik menikmati makanannya. Dengan lahap ia mengunyah pizza dan susu yang dibuatkan oleh Bagas tadi. “Pelan-pelan, nanti kalau tersedak bagaimana?” Bagas mengingatkan. Namun detik kemudian....SETSentuhan tangan tiba-tiba menyentuh bibir Danila yang berlepotan karena susu putih yang ia minum itu. Sontak Danila membelalakkan kedua matanya seketika. Tapi langsung ia tepis dan menjauh sedikit jaraknya dari posisi Bagas duduk saat ini.“Maaf ... aku refleks hanya mencoba membersihkan sisa-sisa makanan yang kau makan tadi,” tutur Bagas seraya tertunduk canggung. Danila spontan terdiam sejenak.Banyak orang yang tidak sadar apa yang mereka punya sampai ia kehilangan. Namun, itu bukan berarti mereka harus mendapat
“Lepaskan aku!” teriak Danila memberontak terhadap para pengawalnya Hugo. “Nona muda, saya harap Anda tidak melawan. Karena itu akan membuat Tuan muda semakin segan untuk melakukan hal lebih daripada ini untuk Anda,” cetus salah seorang pengawal itu pada Danila. Dalam sekejap mata, Danila lantas terdiam. Matanya berkaca-kaca menatap lurus ke depan. Tubuhnya begitu lemah dan tak bertenaga untuk kembali memberontak seperti tadi. Berbagai rasa penyesalan pada dirinya karena sudah melibatkan Bagas ke dalam permasalahan hidupnya. “Kumohon, lepaskanlah Bagas! Jangan sentuh sedikit pun dia. Atau aku akan bunuh diri di sini!” ancam Danila pada para pengawal itu. Nyalinya sudah menggila sekarang. Ia tidak lagi memikirkan dirinya sendiri. Melainkan mantan kekasihnya Bagas, yang sudah banyak menolongnya kemarin hari. “Jangan memberikan kami perintah yang tidak akan pernah kami lakukan, Nona. Karena kami hanya akan mendengarkan kata-kata dari Tuan muda saja,” tutur salah seorang pengawal Hugo
"Katakan lagi nama orang itu! Katakan sekali lagi!" gertak Hugo dengan suara lantang membentak Danila seraya menggigit lekukan tubuhnya. "Awh! Hiks ... hiks! S-sakit ... sudah cukup," tutur Danila sedu meringis kesakitan.Hugo tidak menggubris perkataannya. Pria itu semakin brutal menyentuhnya. Hal yang membuat Danila bertambah membencinya. "Bagian termanis dari menjadi pasangan adalah berbagi hidupmu dengan orang lain. Tapi hidupku ternyata, tidak cukup baik untuk dibagikan," gumam Danila dalam hati sedu."Apa kau tahu? Semakin kau membelanya, semakin berkeinginan untuk melenyapkan orang itu dari dunia ini," bisik Hugo tiba-tiba ditelinga Danila.DEG!Kedua bola mata Danila membulat lebar. Degupan jantungnya berdebar kencang tak beraturan. Danila spontan mendongak menatap Hugo dengan tatapan tajam. Tangannya bergetar kuat, detik kemudian....Plak!Sebuah tamparan mendarat pada wajah Hugo. Ya, Danila dengan berani menamparnya tanpa ragu. Entah sudah kemasukan setan apa Danila bisa me
“Bagas, sadarlah. Dia sudah jadi Istri orang lain. Kenapa kau belum sadar pula? Aku ini tunanganmu! Kita akan menikah beberapa hari lagi. Tapi kamu malah membicarakan ini padaku?” Kania tiba-tiba mengumpatnya dengan raut wajah kesalnya. Seraya beranjak bangun dari sana dan bersiap untuk pergi keluar dari rumah itu. “Aku sebaiknya kembali saja. Kau ... istirahatlah sampai lukamu sembuh,” lanjutnya berkata. Tidak ada penahanan dari Bagas terhadap Kania. Lelaki itu hanya terdiam mematung sambil mencerna ucapan Kania barusan. Bahkan sampai Kania menghilang dari balik pintu itu, Bagas tak kunjung mengejarnya. “Kau benar, aku harusnya sadar. Tapi sayangnya, rasa cintaku untuk Danila tetap tidak berubah, Kania.” Bagas bergumam seraya tertunduk sedu. "Dia mengajariku cara mencintai, tapi bukan cara untuk berhenti," lanjutnya lagi berkata sambil menekan keningnya.Hal yang dilakukan Bagas, begitu nekat untuk merebut kembali seseorang yang dia cintai. Tanpa sadar, kapasitas dirinya tidak bisa
Memaafkan adalah perjalanan melalui lorong kepedihan yang dalam, dan melupakan seperti menelan pahitnya pil kesalahan yang terus menghantui. Dalam redupnya hati, memaafkan terasa seperti mencari cahaya di tengah malam, sementara melupakan adalah luka yang tak pernah lekas sembuh, merajut kisah kesedihan."Jika dipikir-pikir lagi, seharusnya aku sudah benar-benar berpisah dari pria ini. Lantas apa yang terjadi sekarang? Begitu mudahnya dia memaksaku untuk menerimanya kembali sementara semua luka yang pernah dia goreskan untukku masih menyisakannya," tutur Danila dalam hati sedu. Raut wajahnya langsung berubah begitu saja. Namun Hugo menyadari akan hal itu."Ada apa denganmu?" tanya Hugo seolah tak pernah melakukan kesalahan untuknya. Danila menggeleng pelan dan menjauhkan tubuhnya sedikit dari pria itu. "Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin beristirahat saja." Danila beralasan. Walau sebenarnya dia masih berduka atas kejadian lalu. Jika diingat lagi, tak mudah baginya untuk melawan semua
Dokter pribadi keluarga Danila tiba di kediaman rumahnya. Seorang pria muda berwajah tampan rupawan yang memakai jas putih ala kedokteran, memasuki diri ke dalam kamar sana. Diikuti oleh kepala pelayan yang bertugas untuk mengantarkannya sampai menemui nona rumah.Tok! Tok! Tok!"Nona muda, dokter pribadinya sudah datang. Apakah beliau boleh masuk sekarang?" teriak sang pelayan wanita itu didepan pintu kamar Danila."Masuk saja. Pintunya tidak dikunci," sahut dari dalam. Terdengar suara bariton khas pria dewasa. Itu pasti Hugo. Ya, ya, ya. Serigala satu ini memang terdengar cukup seksi, suaranya. Eh.Kriek!Pintu kamar terbuka lebar. Terlihat, Danila tengah berbaring diatas ranjang sana dengan tubuh yang tertutupi oleh selimut tebal dari ujung leher hingga kaki. Dokter itu terdengar menghela napas panjang. Lalu mendekati ke arah Danila dan Hugo berada. "Apa keluhan Anda, Nona?" tanya dokter itu pada Danila seraya mengeluarkan alat-alat dari dalam tasnya. Danila justru terdiam sambil
"Selamat pagi, Tuan Hugo! Aku minta maaf karena hanya baju itu yang bisa kuberikan pada Anda, Tuan. Itu adalah baju terbagus yang tak pernah saya gunakan selama ini didalam lemari," tutur ayah mertua pada Hugo. Pria itu tak memberikan reaksi apapun, hanya mengerjapkan kedua matanya sejenak. Danila tiba-tiba menggenggam erat jari jemarinya dibawah sana. Yang kini keduanya tengah duduk bersebelahan di ruang makan ini sekarang."Ayah, tapi bajunya sedikit kebesaran," gumam Danila merasa tidak enak hati dengan Hugo. Sang ayah langsung mengubah ekspresi wajahnya. Tampaknya, beliau takut jika Tuan Hugo tak menyukainya."B-benarkah? K-kalau begitu Ayah akan berikan lagi yang baru."Hugo lantas menoleh dan menatap dalam Danila sambil mengeratkan genggaman tangannya. "Tidak perlu. Ini sudah cukup untukku. Terimakasih, Ayah mertua." Hugo berkata dingin. Yeah, pria itu memang selalu begitu, kan. Menampilkan ekspresi wajah dinginnya. "T-tidak ... akulah yang seharusnya berterimakasih pada Tuan
Tok! Tok! Tok!Suara pintu kamar Danila diketuk dari arah luar. Wanita itu mencoba beranjak bangun untuk membukakan pintunya. Namun Hugo langsung menepisnya. "Aku saja yang membukanya," katanya seraya berjalan ke sana.Kriek!"Tuan Hugo, m-maaf ... i-ini ... saya hanya mengantarkan baju ini untuk Nona muda. Tuan besar memintaku agar membawakannya ke sini," ujar seorang pelayan wanita berkata gugup padanya. suaranya tampak terdengar gemetar ketakutan.Serigala satu itu memang senang membuat orang lain ketakutan. Dasar mengesalkan!"Terima kasih. Katakan pada Ayah mertuaku, aku menyukai bajunya," ucap Hugo membalasnya. Pelayan itu mengangguk paham sambil membungkukkan sedikit bahunya."B-baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi pergi." Hugo mengibaskan tangannya ke arah pelayan itu. "Ayah sudah mengirimkannya?" tanya Danila yang saat ini tengah berada diatas ranjang sana. Bermain dengan Dilan sembari menyusuinya."Ya. Aku akan memakainya." Danila mengangguk mengiyakan.Hugo lantas memasu
GREP!Pelukan Danila langsung mengubah suasana hati Hugo dalam sekejap mata. Pria itu berubah kaku dan terdiam ditempatnya. Detik kemudian, Hugo berbalik badan menghadapnya. Keduanya lantas tampak saling pandang sekarang. Cup!Hugo mengecup lembut bibir ranum Danila setelah menatap matanya agak lama. Perasaan aneh yang tumbuh didalam hati Danila. Yang sebenarnya benci, namun enggan melupakannya apalagi menjauhkan dirinya dari pria itu."Kau menikmati ciumanku. Apa itu berarti aku diberikan kesempatan?" ucap Hugo tanpa melepaskan aktivitasnya. Danila tak berkata apa-apa. Wanita itu terdiam kaku dan mempererat pelukannya."Huh ... hah!" deru napas Danila memburu. Setelah melepaskan ciumannya dari Hugo tadi."Bukankah Tuan sudah tahu apa jawabannya? Kenapa masih berta..." tutur Danila langsung terpotong sebab Hugo kembali membungkam bibirnya dengan ciuman. Namun kali ini agak kasar. Hingga menimbulkan beberapa tanda kissmark dibagian leher jenjangnya."Jangan memanggilku dengan sebutan i
"Beri aku waktu untuk memikirkannya," ujar Danila seraya menjauhkan dirinya dari Hugo. Pria itu menatapnya nanar sesaat, lalu mengembuskan napasnya yang terdengar cukup berat."Baiklah. Aku tunggu jawabanmu besok pagi." Danila lantas membelalakkan matanya lebar-lebar. "Aku tidak suka menunggu lama," lanjutnya lagi berkata. Danila mengembuskan napasnya panjang. "Dilan membutuhkanku. Kalau begitu aku pergi," kata Danila sambil membuka pintu mobilnya. Namun Hugo tiba-tiba berkata...."Haga selalu menunggu kedatanganmu. Dia bilang ... merindukan Bundanya," gumam Hugo dengan suara pelan. Bahkan hampir tak terdengar jelas ditelinga Danila. "A-apa?" ucap Danila berbalik tanya. Hugo lantas melengos dan mulai menyalakan mesin mobilnya."Pergilah. Dia pasti lebih membutuhkanmu," kilah Hugo mengganti topik. Danila terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk mengiyakan."Aku pergi." Hugo tak membalasnya. Namun raut wajahnya tampak berubah memerah sekarang.Hei, hei, hei! Lihat itu, serigala gila ini
"Apa yang kau lakukan?" cetus Danila bertanya. Hugo lantas semakin bertindak melebihi batas. Pria itu menenggelamkan kepalanya pada bahu Danila. Sosok arogan yang biasanya ia tampakkan untuk menindas istri kecilnya kini berubah bertekuk lutut dihadapannya. Dalam hati, Danila tersenyum penuh kemenangan. Merasa puas dengan melihat sosoknya yang lemah. Itulah bayaran dari perlakuannya terhadap Danila pada kehidupan sebelumnya."Maaf..." gumam Hugo sambil mendekap erat tubuh Danila dengan melingkarkan kedua tangannya pada perutnya yang rata. Saat semuanya sudah terjadi, kata maaf saja tak mampu bisa menghapus segala ingatan memori yang sudah terlanjur tenggelam dalam benak Danila. Hugo sudah melewati batas kesabarannya. Dengan mudahnya dia mengatakan kata-kata maaf. Setelah melakukan semua yang terjadi. Kasus penculikan, bahkan Danila hampir saja keguguran karena perencanaan aborsi itu."Hujan semakin deras. Sebaiknya kau kembali ke rumahmu," sanggah Danila mengalihkan obrolan. Tapi reak
Hugo melakukan pertemuan dengan dokter yang menangani laboratorium uji tes DNA pada bayinya Danila secara rahasia. Tampaknya, pria itu masih belum percaya dengan hasilnya. Aura serta raut wajah yang dingin begitu menyergap di meja pertemuan itu. Dokter Reno terlihat memberikan secarik surat berisi hasil tes uji coba yang kedua. Hugo lantas mengambilnya sambil menatap dokter tampan ini dengan tatapan tajam pada kedua mata elangnya.“Apa kau tahu, aku benci dengan kesalahan. Kau harusnya tahu, kan. Apa akibatnya jika kau benar-benar melakukan kesalahan?” ujar Hugo menggertak. Dokter tampak meneguk salivanya, lalu menunduk ke bawah sana sembari mengangguk pelan.Hei, hei, hei! Dia mengatakan itu karena dia sendiri tidak pernah melakukan kesalahan. Yang benar saja, orang perfeksionis sepertinya membandingkan dirinya dengan orang lain. Benar-benar serigala yang menyebalkan!“I-iya, Tuan. S-saya yakin seratus persen, kalau saya tidak melakukan kesalahan.” Hugo mengernyit sambil membaca isi d
Yang pergi akan tetap pergi, walaupun kau telah menjaganya dengan begitu kuat. Dan yang datang akan datang, walaupun kau tidak menginginkan kedatangannya. Bukan berarti hatinya tak sakit, bukan pula hatinya tak hancur, bukan pula hatinya tak perih, namun hanya kepasrahan yang mengiringi. Danila telah tiba didepan halaman kediaman rumah keluarganya. Tubuh kecil dan lemah itu terlihat menggendong makhluk mungil dengan penuh ketulusan. Sekretaris Jo mengantarkannya sampai didepan pintu saja. Bahkan para pengawal itu pun tak membawakan barang-barang miliknya sampai ke dalam sana. Mereka pasti begitu malu, dan tak punya wajah untuk melihat kedua orang tua Danila yang sampai detik ini masih belum mengetahui kehamilan serta kelahiran cucu pertama mereka. “Terima kasih, sekretaris Jo.” Danila berkata sungkan seraya menundukkan pandangannya. Tatapan sekretaris Jo justru tampak bimbang menatap ke arahnya. Seperti orang yang kehabisan kata-kata tuk menjawabnya. “Tak perlu berterima kasih, Nona