"Kau sudah tahu, kan? Maksud kedatangan ku kesini," tutur Hugo tiba-tiba setelah keduanya sampai di kantin.
Keadaan kantin ini sedang sepi sekarang. Hanya ada mereka berdua yang berada disini. Duduk saling berhadap-hadapan satu sama lain. Danila begitu gugup rasanya. Menatap wajah orang itu dari jarak yang bahkan tidak berjarak sedikit pun.Harus diakui, Hugo memang tampan. Kulit wajahnya begitu terawat dan bersih. Bahkan bibirnya terlihat berwarna pink. Aroma tubuhnya tercium wangi parfum mewah. Harum, tapi tidak menyengat."A-aku? Aku tidak tahu," balas Danila bingung seraya menggeleng pelan.Dia memang tidak tahu. Maka jangan salahkan dia jika mengatakan tak mengetahui apa-apa. Tapi, apa itu ada hubungannya dengan perjodohan?Hugo menghela napasnya panjang. Dia kemudian meneguk air mineral yang baru saja di pesan olehnya. Danila memperhatikan cara dia meminum air itu.Iya tahu, dia memang tampan."Hari rabu mendatang, adalah hari pernikahan kita. Apa Ayahmu tidak mengatakan apa pun soal itu?" ujarnya lagi pada Danila."Papa memang mengatakannya, tapi aku tidak tahu kalau kau akan datang ke sekolah ku seperti sekarang ini," balas Danila serius."Aku sebenarnya tidak ingin menikah lagi. Tapi Kakek yang memaksa ku agar menerima perjodohan tak jelas begitu. Lagi pula perjanjian itu sudah lama sekali, bukan? Aku bahkan sudah menikah dan mempunyai seorang Putra. Kau tahu, kan? Putraku seperti apa. Dia tidak suka jika aku menikahi wanita lain selain Ibunya sendiri." Hugo berceloteh banyak tentang perjodohan itu, juga mengenai putranya serta latar belakang kisah kehidupannya yang pernah menikah sebelumnya.Danila meneguk salivanya. Mendengar kata-kata terakhir Hugo yang terdengar tajam. Seperti menegaskan kalau dirinya tidak akan pernah mencintai nya, selain istrinya yang sudah tiada.Sebenarnya tak ada yang salah dalam kata-katanya. Karena tidak semua orang bisa dengan mudah mencintai orang baru. Terlebih lagi pada hati yang sudah terlanjur dalam mencintai seseorang. Meskipun orang itu sudah tiada.Karena kesetiaan, tak semua orang memilikinya. Dan Hugo, sangat menjaga dirinya untuk setia pada istrinya yang sudah tiada. Lalu Danila datang, seolah menjadikan dirinya penghalang untuk ayah dan anaknya. Dan itu semua bukan keinginan Danila.Tapi atas dasar perjodohan yang sudah tertulis pada janji kedua keluarga mereka sejak lama. Hingga membuat ikatan tali antar keduanya. Namun, akankah mereka berdua bisa menjadi pasangan yang sempurna?Jika gejolak di dalam hati Hugo sudah tertulis nama Sania, lantas bagaimana dengan Danila? Meskipun saat ini Danila masih mencintai Bagas. Tapi tak ada yang tahu, jika Danila tiba-tiba berubah cinta pada Hugo.Sebab hati seorang wanita itu rapuh, dan mudah sekali untuk luluh. Bahkan dengan hal-hal kecil sekali pun. Mereka akan mudah merasakan perasaan cinta. Meskipun di awali dari rasa nyaman."Ya, aku sudah mendengar tentang Anakmu yang bernama Haga. Bilang saja padanya, kalau pernikahan ini tidak serius. Ibunya tidak akan berubah. Tetap dengan Ibu lamanya," tutur Danila membalas ucapannya. Hugo tiba-tiba mengernyitkan dahinya sekejap."Ibu lamanya? Apa kau pikir dia mau menerima kehadiranmu sebagai Ibu barunya, begitu? Ck! Jangan terlalu berharap lebih! Haga tidak mudah di dekati. Dia lebih pandai dari anak lain yang berumur tiga tahun sepertinya." Hugo mengatakan tanpa ekspresi.Wajah tampannya begitu dingin dan datar. Danila meneguk salivanya, setelah mendapati kata-kata tajam dari Hugo barusan. Ia tidak menyangka jika seorang tuan muda sepertinya memiliki mulut setajam pisau."Sia-sia aku bertemu dengannya begini, kalau hanya di ceramahi dan di remehkan olehnya. Lagi pula, Papa masih saja menanggapi perjodohan itu. Lebih baik aku menikah dengan Bagas kalau begitu," dalam hati Danila menggerutu sebal."Apa yang kau katakan dalam hati mu? Menggerutu kesal dan memakiku dalam hati?" gumam Hugo membuat Danila terperanjat tak menyangka.Tangan Danila langsung bergetar gugup sekarang. Ia memekik kaget dengan wajah pias nya. Sebab pria menyebalkan itu bisa mengetahui apa yang di ucapkan Danila di dalam hatinya.Dia itu cocoknya jadi peramal, bukan jadi CEO nya Waseda Group."T-tidak, mana ada? Aku tidak berpikir dan mengatakan apapun dalam hati," pungkas Danila sedikit terbata seraya menggelengkan kepalanya cepat."Aku tunggu kau di helikopter! Ambil tasmu dan datangi aku kesana! Hari ini kau sudah diberikan izin oleh kepala sekolah mu," sambung Hugo tiba-tiba sambil beranjak bangun dari kursi itu. Danila lagi-lagi dibuat bingung oleh orang itu."Aku tahu kau sangat berkuasa di Negara ini. Tapi jangan seolah hanya kau saja yang kaya raya. Keluargaku juga kaya. Jangan pernah memberikan perintah sesukamu pada orang lain! Termasuk padaku!" Danila mengucapkan kata-kata itu keluar dari mulutnya dengan berani.Entah sudah kerasukan apa, tiba-tiba nyali Danila meninggi. Dirinya tak suka diberikan perintah oleh siapapun. Seorang gadis remaja yang sedang memasuki masa-masa pubertas, mengalami tekanan emosional yang lebih tinggi. Danila mengepal kuat kedua tangan nya. Hugo lantas menoleh dan berbalik menghadap Danila."Kau pikir aku mau? Menikahi seorang wanita sepertimu?! Jangan membuatku marah karena perilakumu yang tidak sopan padaku! Aku bahkan bisa menghancurkan perusahaan keluargamu, meski dalam sekejap mata. Harta keluargamu, juga ada campur tangan dari Waseda Group. Jangan jadi orang yang tidak tahu balas budi."Hugo mengatakan kalimat yang terdengar ancaman bagi Danila. Kata-katanya tajam, hingga menusuk ke bagian ulu hati. Dia lalu kembali berbalik badan dan berjalan pergi dari sana. Setelah mengucapkan semua itu pada Danila. Tinggallah Danila sendiri, yang masih berdiri mematung menatapnya pergi."Kenapa Papa memberikanku pria kejam sepertinya?! Apa dia tidak tahu, wajah asli dari seorang Hugo itu?! Kurasa semua orang tidak mengetahuinya. Tapi aku tahu. Dan sekarang, aku semakin membenci dirinya!" dalam hati Danila mengucapkan kata-kata itu.Ia tidak ingin perusahaan ayahnya hancur, hanya karena dirinya melawan serta menentang perjodohan itu. Danila sudah terjebak dalam situasi sulit sekarang. Sebagai seorang anak yang selalu di ratukan oleh keluarganya sendiri, kini harus berubah menjadi sesosok burung yang berada didalam sangkar. Dan harus selalu patuh dengan tuannya.Danila berjalan cepat kembali ke dalam kelasnya. Setibanya dia disana, rupanya sudah ada Hugo. Padahal orang itu bilang ingin menunggu di kendaraan miliknya. Tapi sepertinya dia sedang mencari muka dengan semua teman sekelas Danila.Tatapan Danila menatap ke bawah. Dia tidak ingin melihat wajah Hugo. Semua teman sekelasnya memanggilnya. Danila terdiam tanpa berkata apa-apa. Dia langsung mengambil tasnya."Danila, kau beruntung sekali, ya. Dapat seorang tuan Hugo. Wah, kalau aku jadi kamu, aku pasti akan memberitahukan berita bahagia ini pada semua orang. Tapi kau malah diam-diam saja.""Iya, kalau bukan tuan Hugo yang datang kesini, kami semua pasti tidak akan pernah tahu hubungan mereka berdua. Iya kan, teman-teman?"Kedua orang teman Danila memuji hubungannya dengan Hugo. Menganggap bahwa mereka adalah pasangan bahagia. Dan menilai Danila adalah wanita yang beruntung, karena bisa mendapatkan Hugo sebagai lelakinya."Kalian memujiku begitu karena kalian semua tidak tahu seperti apa wajah aslinya. Aku tidak seberuntung itu. Tak seperti yang kalian katakan barusan," tutur Danila dalam hati sedu.Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundaknya dari belakang. Danila terlonjak kaget, ia pun menoleh. Mendapati Hugo yang sudah ada di belakangnya. Lelaki itu sekarang ini sedang menggandeng bahu Danila. Memperlihatkan ke semua orang bahwa mereka berdua adalah pasangan yang mesra."Jangan pernah mengatakan apa pun tentang diriku pada semua orang. Atau kau ingin keluarga mu hancur berantakan?!" bisik Hugo di telinga Danila mengancam. Sontak membuat Danila yang lagi-lagi meneguk salivanya. Dan harus menahan diri agar tidak emosional karena perkataan tajamnya.Danila mengangguk pelan, dia berjalan mengikuti langkah Hugo yang keluar dari dalam kelasnya. Namun, sesampainya di tempat yang jauh dari keramaian orang-orang, Hugo langsung menjauhkan dirinya dari Danila. Pria itu lantas melepaskan tangannya dari bahu Danila."Kau jangan berharap lebih padaku! Aku menggandengmu hanya ingin menunjukkan pada semua orang bahwa hubungan ini baik-baik saja. Karena tak ada seorang pun yang boleh mengetahuinya," ujar Hugo sembari berjalan mendahului Danila menuju kendaraan helikopter miliknya.Danila tertunduk sedu, kedua tangannya meremas rok yang dia kenakan. Hatinya tidak merasa bahagia sekarang. Pikirannya mengenai sekolah sudah sirna. Sebab saat ini, hanya ada keraguan serta ketakutan. Mengenai pernikahannya yang sebentar lagi akan di gelar pada hari rabu mendatang.Hugo, kau pria tak berhati!Selama di perjalanan, Danila hanya memandangi ke bawah sana. Satu kota ini terlihat lebih jelas jika dilihat dari atas helikopter yang mereka naiki sekarang. Danila menghela napasnya panjang. Ia bingung, pernikahannya sudah akan di tetapkan. Dan pastinya, itu tidak akan mudah baginya untuk kabur dari sana.Sebab Hugo sudah menjemputnya. Mungkinkah mereka akan pergi ke kediaman rumah utamanya? Danila berharap Bagas bisa datang di hari pernikahannya. Dan membawanya kabur dari sana."Aku tidak ingin menikah dengannya. Bagaimana kisah kehidupanku selanjutnya? Apakah aku akan hidup bahagia?" gumam Danila dalam hati sedu.Hugo tidak mengatakan apapun. Dia tampak fokus melihat ke arah ponselnya. Danila mengintip sedikit dari kejauhan matanya. Wajah seorang anak kecil tertampak disana. Kelihatannya mereka sedang melakukan panggilan video call."Apa itu anaknya? Seorang balita genius. Aku tidak yakin akan diterima mudah olehnya," cicit Danila dalam hati lagi."Ayah akan pulang sebentar lagi. K
Danila meneguk salivanya, sebab Haga hampir tidak menganggap keberadaannya disini. Namun.... "Haga, kau belum menyelesaikan tugasmu? Ayo selesaikan dulu sekarang," panggil Hugo sang ayahanda pada anak genius itu. Danila mengerutkan keningnya sesaat.Tugas? Anak sekecil itu punya tugas apa memangnya? Bukankah anak-anak pada umumnya hanya bermain saja? Makan, tidur dan main. Lalu menonton film kartun kegemaran mereka. Tapi Haga, ternyata berbeda dengan anak-anak lainnya.Danila mengikuti ke mana langkah kaki Haga si anak genius itu pergi. Rupanya dia memasuki ke sebuah ruang kamar. Mungkinkah itu adalah kamarnya? Baru saja, Danila ingin mendekat ke dalam sana. Untuk membangun kedekatannya dengan Haga. Tapi Hugo, si manusia bermulut pisau itu langsung memanggilnya."Kau mau kemana?" tanya Hugo menepis langkah kaki Danila."Eh, a-aku ...," ucap Danila terbata dan menggantung."Kau harus masuk ke ruang ganti. Kamarnya ada di atas sana," titah Hugo pada Danila."Ruang ganti?" tanya Danila.
Tok tok tok!Danila mengetuk pintu itu. Ruang kerjanya Hugo, sebab sebelumnya dia sempat meminta Danila untuk menemuinya ke sana. Dengan langkah gontai, Danila membuka pintunya.Kriek!“T-tuan? Anda memanggil saya?” ujar Danila hati-hati bertanya. Kepalanya menyembul ke dalam pintu itu. Terlihat dari kejauhan sana, Hugo tengah duduk diatas kursi kerjanya seraya menatap pada layar monitor komputer miliknya.“Ya, masuklah!” sahut Hugo.Danila berjalan mendekatinya dengan wajah tertunduk. Seperti enggan untuk menatap ke arahnya. Namun....“Ada apa dengan wajahmu?” sambung Hugo bertanya, suaranya terdengar dingin. Bahkan tatapan matanya pun juga sama halnya. Spontan Danila menggelengkan kepalanya pelan.“T-tidak apa-apa, tuan.” Danila menyahuti ucapannya. Walau sebenarnya ia gugup dan takut ketika berhadapan dengan orang itu.“Aku tidak akan berlama-lama mengatakannya. Lihat dan bacalah dengan seksama!” tutur Hugo seraya melemparkan sebuah map berwarna cokelat keemasan. Danila terperanja
Singkatnya, Danila dan Hugo telah tiba di kediaman rumah keluarga Danila. Helikopter milik Hugo mendarat tepat disamping halamannya. “Ingat, jangan pernah katakan apapun pada kedua orang tuamu. Kalau kau ingin keluargamu tetap hidup baik-baik saja,” ujar Hugo menggertak Danila. Helaan napas terdengar keluar dari dalam mulutnya, ia tak menyangka bahwa Hugo akan sekejam itu. Dengan anggukan kepala, Danila menuruti perintahnya.Danila dan Hugo keluar secara bersamaan. Keduanya rupanya langsung disambut hangat oleh orang tua Danila. Yang tidak akan pernah tahu hubungan diantara putri dan calon menantunya sebenarnya seperti apa dan bagaimana. “Ayah, Ibu?” gumam Danila ketika pandangannya melihat kedua orang tuanya sudah berdiri di ambang pintu rumahnya. Menyambut kedatangan mereka berdua.“Danila, kau tidak berkata apapun pada Ayah sebelumnya? Kalau Tuan Hugo akan datang ke rumah kita,” ucap ayah Danila menanyakan itu pada putrinya. “Aku ... Tuan Hugo yang tiba-tiba datang menjemputku k
“Maaf, aku tidak bisa melakukan itu. Aku takut, keluargaku tidak baik-baik saja kalau aku pergi bersamamu. Sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini sekarang. Sebelum semuanya terlambat. Aku harus pergi, maaf.” Danila melepaskan pelukannya dari Bagas setelah mengatakan hal itu padanya. Bagas tercengang mendengarnya, tak bisa berkata-kata lagi selain helaan napas yang keluar dari mulutnya.Dengan berat hati, Bagas menerima keputusan Danila. Tubuhnya berdiri mematung menatap kepergian kekasihnya. Sejenak, Bagas mengerjapkan kedua matanya. Dia lalu berjalan pergi seusai berbicara pada Danila tadi. “Kau sudah memutuskan orang itu, apa kau tidak takut akan menyesal nantinya?” tiba-tiba Hugo bertanya setelah Danila kembali memasuki dirinya ke dalam rumah. “Aku lebih menyesal jika tidak mendengarkan kata-kata Ayahku,” balas Danila dengan ekspresi datar. Walau sebenarnya dalam hati ia benar-benar bimbang. Langkah kakinya gontai menaiki tangga, menuju kamarnya. Namun....“Danila! Apa yang kau
Tanpa terasa, hari pernikahan Danila dan Hugo telah tiba. Sejak pagi, Danila sudah sibuk dengan persiapannya. Seperti boneka yang hanya akan menuruti, perintah dari tuannya. Helaan napas panjang keluar dari mulut Danila. Ia kelihatan lebih cantik dari biasanya. Memakai gaun pengantin berwarna putih, membuatnya tampak bagaikan peri. “Percayalah pada Ibu, Danila. Kau akan hidup bahagia setelah menikah dengan Tuan Hugo nanti. Ayo, kita harus bergegas menuju hotel. Helikopter Tuan Hugo sudah menunggu didepan,” ujar ibu Danila. Gadis itu hanya terdiam mematung, lalu berjalan mengikuti arahan dari sang ibu. Ketika sudah tiba didepan pintu rumahnya, seorang pria memakai jas hitam tengah berdiri seraya menatap ke arahnya. Sesaat, orang itu memberikan salam hormatnya pada Danila. Baru kali ini, seorang pengantin datang ke acara pernikahannya menaiki helikopter. Bak seperti di negeri dongeng, yang pergi menunggangi kuda poninya. Danila dan ibunya masuk ke dalam helikopter itu. Sementara ayahn
Malam semakin larut, suhu ruang didalam kamar juga semakin dingin menelusuk ke dalam pori-pori kulit. Danila sudah tertidur lelap dalam mimpinya. Tubuhnya masih berbalut gaun pengantinnya. Namun ia tidak tahu bahwa sepasang mata tengah menatap ke arahnya sekarang. Ya, seseorang memasuki ke dalam kamar. Wajah dingin serta senyum kecut terukir pada bibirnya. Orang itu adalah, Hugo. “Ck, dia memakai pakaian begitu untuk dibawa tidur. Apa dia sengaja melakukannya?” cerca Hugo mendengus sebal. Ia tampak merogoh ponselnya dan menelepon seseorang dibalik telepon itu. “Cepat datang ke kamarku, wanita ini tertidur dalam keadaan masih memakai gaun,” ujarnya lagi berbicara pada orang yang tersambung ditelepon itu. Ia lalu berjalan dan menaruh ponselnya diatas meja kecil yang letaknya berada disebelah ranjang sana. Tok Tok Tok Suara ketukan pintu diketuk dari luar. Hugo menoleh, helaan napasnya terdengar berat. Langkah kakinya berjalan gontai mendekati pintu itu dan membukanya. Terlihat seoran
Suara teriakan Haga rupanya terdengar sampai ke lantai atas. Membuat sepasang telinga mendengarnya dengan tajam. Hugo yang baru saja keluar dari dalam kamarnya langsung berlari kecil menuruni anak tangga itu. “Apa yang terjadi dengan Haga?” suara Hugo sang ayah yang panik berjalan mendekati putranya. “Ayah! Wuwu ... aku tidak suka dia, Ayah!” sahut Haga si kecil seraya memeluk ayahnya. GREP! “Dia? Kenapa? Apa yang terjadi memangnya?” tanya Hugo sembari menatap ke arah Danila yang tampak fokus memakan makanannya. “I-itu Tuan, Nona Danila tadi teringin menyuapi Tuan muda kecil, tapi Tuan muda kecil tidak mau dan berteriak pada Nona Danila,” tutur ibu pelayan menjawab pertanyaan dari tuannya. Hugo tampak menghela napasnya panjang. Dia lantas menatap pada putranya yang berada didekatnya sekarang. Tatapan yang begitu dingin membuatnya lebih menakutkan bagi siapa saja yang melihatnya.“Kenapa kau melakukan itu? Dia juga Ibumu,” ujar Hugo mengatakan pada Haga. Anak itu mendongak dan men
Memaafkan adalah perjalanan melalui lorong kepedihan yang dalam, dan melupakan seperti menelan pahitnya pil kesalahan yang terus menghantui. Dalam redupnya hati, memaafkan terasa seperti mencari cahaya di tengah malam, sementara melupakan adalah luka yang tak pernah lekas sembuh, merajut kisah kesedihan."Jika dipikir-pikir lagi, seharusnya aku sudah benar-benar berpisah dari pria ini. Lantas apa yang terjadi sekarang? Begitu mudahnya dia memaksaku untuk menerimanya kembali sementara semua luka yang pernah dia goreskan untukku masih menyisakannya," tutur Danila dalam hati sedu. Raut wajahnya langsung berubah begitu saja. Namun Hugo menyadari akan hal itu."Ada apa denganmu?" tanya Hugo seolah tak pernah melakukan kesalahan untuknya. Danila menggeleng pelan dan menjauhkan tubuhnya sedikit dari pria itu. "Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin beristirahat saja." Danila beralasan. Walau sebenarnya dia masih berduka atas kejadian lalu. Jika diingat lagi, tak mudah baginya untuk melawan semua
Dokter pribadi keluarga Danila tiba di kediaman rumahnya. Seorang pria muda berwajah tampan rupawan yang memakai jas putih ala kedokteran, memasuki diri ke dalam kamar sana. Diikuti oleh kepala pelayan yang bertugas untuk mengantarkannya sampai menemui nona rumah.Tok! Tok! Tok!"Nona muda, dokter pribadinya sudah datang. Apakah beliau boleh masuk sekarang?" teriak sang pelayan wanita itu didepan pintu kamar Danila."Masuk saja. Pintunya tidak dikunci," sahut dari dalam. Terdengar suara bariton khas pria dewasa. Itu pasti Hugo. Ya, ya, ya. Serigala satu ini memang terdengar cukup seksi, suaranya. Eh.Kriek!Pintu kamar terbuka lebar. Terlihat, Danila tengah berbaring diatas ranjang sana dengan tubuh yang tertutupi oleh selimut tebal dari ujung leher hingga kaki. Dokter itu terdengar menghela napas panjang. Lalu mendekati ke arah Danila dan Hugo berada. "Apa keluhan Anda, Nona?" tanya dokter itu pada Danila seraya mengeluarkan alat-alat dari dalam tasnya. Danila justru terdiam sambil
"Selamat pagi, Tuan Hugo! Aku minta maaf karena hanya baju itu yang bisa kuberikan pada Anda, Tuan. Itu adalah baju terbagus yang tak pernah saya gunakan selama ini didalam lemari," tutur ayah mertua pada Hugo. Pria itu tak memberikan reaksi apapun, hanya mengerjapkan kedua matanya sejenak. Danila tiba-tiba menggenggam erat jari jemarinya dibawah sana. Yang kini keduanya tengah duduk bersebelahan di ruang makan ini sekarang."Ayah, tapi bajunya sedikit kebesaran," gumam Danila merasa tidak enak hati dengan Hugo. Sang ayah langsung mengubah ekspresi wajahnya. Tampaknya, beliau takut jika Tuan Hugo tak menyukainya."B-benarkah? K-kalau begitu Ayah akan berikan lagi yang baru."Hugo lantas menoleh dan menatap dalam Danila sambil mengeratkan genggaman tangannya. "Tidak perlu. Ini sudah cukup untukku. Terimakasih, Ayah mertua." Hugo berkata dingin. Yeah, pria itu memang selalu begitu, kan. Menampilkan ekspresi wajah dinginnya. "T-tidak ... akulah yang seharusnya berterimakasih pada Tuan
Tok! Tok! Tok!Suara pintu kamar Danila diketuk dari arah luar. Wanita itu mencoba beranjak bangun untuk membukakan pintunya. Namun Hugo langsung menepisnya. "Aku saja yang membukanya," katanya seraya berjalan ke sana.Kriek!"Tuan Hugo, m-maaf ... i-ini ... saya hanya mengantarkan baju ini untuk Nona muda. Tuan besar memintaku agar membawakannya ke sini," ujar seorang pelayan wanita berkata gugup padanya. suaranya tampak terdengar gemetar ketakutan.Serigala satu itu memang senang membuat orang lain ketakutan. Dasar mengesalkan!"Terima kasih. Katakan pada Ayah mertuaku, aku menyukai bajunya," ucap Hugo membalasnya. Pelayan itu mengangguk paham sambil membungkukkan sedikit bahunya."B-baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi pergi." Hugo mengibaskan tangannya ke arah pelayan itu. "Ayah sudah mengirimkannya?" tanya Danila yang saat ini tengah berada diatas ranjang sana. Bermain dengan Dilan sembari menyusuinya."Ya. Aku akan memakainya." Danila mengangguk mengiyakan.Hugo lantas memasu
GREP!Pelukan Danila langsung mengubah suasana hati Hugo dalam sekejap mata. Pria itu berubah kaku dan terdiam ditempatnya. Detik kemudian, Hugo berbalik badan menghadapnya. Keduanya lantas tampak saling pandang sekarang. Cup!Hugo mengecup lembut bibir ranum Danila setelah menatap matanya agak lama. Perasaan aneh yang tumbuh didalam hati Danila. Yang sebenarnya benci, namun enggan melupakannya apalagi menjauhkan dirinya dari pria itu."Kau menikmati ciumanku. Apa itu berarti aku diberikan kesempatan?" ucap Hugo tanpa melepaskan aktivitasnya. Danila tak berkata apa-apa. Wanita itu terdiam kaku dan mempererat pelukannya."Huh ... hah!" deru napas Danila memburu. Setelah melepaskan ciumannya dari Hugo tadi."Bukankah Tuan sudah tahu apa jawabannya? Kenapa masih berta..." tutur Danila langsung terpotong sebab Hugo kembali membungkam bibirnya dengan ciuman. Namun kali ini agak kasar. Hingga menimbulkan beberapa tanda kissmark dibagian leher jenjangnya."Jangan memanggilku dengan sebutan i
"Beri aku waktu untuk memikirkannya," ujar Danila seraya menjauhkan dirinya dari Hugo. Pria itu menatapnya nanar sesaat, lalu mengembuskan napasnya yang terdengar cukup berat."Baiklah. Aku tunggu jawabanmu besok pagi." Danila lantas membelalakkan matanya lebar-lebar. "Aku tidak suka menunggu lama," lanjutnya lagi berkata. Danila mengembuskan napasnya panjang. "Dilan membutuhkanku. Kalau begitu aku pergi," kata Danila sambil membuka pintu mobilnya. Namun Hugo tiba-tiba berkata...."Haga selalu menunggu kedatanganmu. Dia bilang ... merindukan Bundanya," gumam Hugo dengan suara pelan. Bahkan hampir tak terdengar jelas ditelinga Danila. "A-apa?" ucap Danila berbalik tanya. Hugo lantas melengos dan mulai menyalakan mesin mobilnya."Pergilah. Dia pasti lebih membutuhkanmu," kilah Hugo mengganti topik. Danila terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk mengiyakan."Aku pergi." Hugo tak membalasnya. Namun raut wajahnya tampak berubah memerah sekarang.Hei, hei, hei! Lihat itu, serigala gila ini
"Apa yang kau lakukan?" cetus Danila bertanya. Hugo lantas semakin bertindak melebihi batas. Pria itu menenggelamkan kepalanya pada bahu Danila. Sosok arogan yang biasanya ia tampakkan untuk menindas istri kecilnya kini berubah bertekuk lutut dihadapannya. Dalam hati, Danila tersenyum penuh kemenangan. Merasa puas dengan melihat sosoknya yang lemah. Itulah bayaran dari perlakuannya terhadap Danila pada kehidupan sebelumnya."Maaf..." gumam Hugo sambil mendekap erat tubuh Danila dengan melingkarkan kedua tangannya pada perutnya yang rata. Saat semuanya sudah terjadi, kata maaf saja tak mampu bisa menghapus segala ingatan memori yang sudah terlanjur tenggelam dalam benak Danila. Hugo sudah melewati batas kesabarannya. Dengan mudahnya dia mengatakan kata-kata maaf. Setelah melakukan semua yang terjadi. Kasus penculikan, bahkan Danila hampir saja keguguran karena perencanaan aborsi itu."Hujan semakin deras. Sebaiknya kau kembali ke rumahmu," sanggah Danila mengalihkan obrolan. Tapi reak
Hugo melakukan pertemuan dengan dokter yang menangani laboratorium uji tes DNA pada bayinya Danila secara rahasia. Tampaknya, pria itu masih belum percaya dengan hasilnya. Aura serta raut wajah yang dingin begitu menyergap di meja pertemuan itu. Dokter Reno terlihat memberikan secarik surat berisi hasil tes uji coba yang kedua. Hugo lantas mengambilnya sambil menatap dokter tampan ini dengan tatapan tajam pada kedua mata elangnya.“Apa kau tahu, aku benci dengan kesalahan. Kau harusnya tahu, kan. Apa akibatnya jika kau benar-benar melakukan kesalahan?” ujar Hugo menggertak. Dokter tampak meneguk salivanya, lalu menunduk ke bawah sana sembari mengangguk pelan.Hei, hei, hei! Dia mengatakan itu karena dia sendiri tidak pernah melakukan kesalahan. Yang benar saja, orang perfeksionis sepertinya membandingkan dirinya dengan orang lain. Benar-benar serigala yang menyebalkan!“I-iya, Tuan. S-saya yakin seratus persen, kalau saya tidak melakukan kesalahan.” Hugo mengernyit sambil membaca isi d
Yang pergi akan tetap pergi, walaupun kau telah menjaganya dengan begitu kuat. Dan yang datang akan datang, walaupun kau tidak menginginkan kedatangannya. Bukan berarti hatinya tak sakit, bukan pula hatinya tak hancur, bukan pula hatinya tak perih, namun hanya kepasrahan yang mengiringi. Danila telah tiba didepan halaman kediaman rumah keluarganya. Tubuh kecil dan lemah itu terlihat menggendong makhluk mungil dengan penuh ketulusan. Sekretaris Jo mengantarkannya sampai didepan pintu saja. Bahkan para pengawal itu pun tak membawakan barang-barang miliknya sampai ke dalam sana. Mereka pasti begitu malu, dan tak punya wajah untuk melihat kedua orang tua Danila yang sampai detik ini masih belum mengetahui kehamilan serta kelahiran cucu pertama mereka. “Terima kasih, sekretaris Jo.” Danila berkata sungkan seraya menundukkan pandangannya. Tatapan sekretaris Jo justru tampak bimbang menatap ke arahnya. Seperti orang yang kehabisan kata-kata tuk menjawabnya. “Tak perlu berterima kasih, Nona