Danila terpaku melihat Hugo yang tiba-tiba datang ke sekolah untuk menjemputnya. Namun dia tetaplah Hugo. Semua tindakannya pasti ada maksud tertentu. Danila sebisa mungkin tidak akan terpincut oleh perlakuan manisnya. “T-tuan ... kau juga datang untuk menjemputku?” ujar Danila bertanya-tanya. Hugo tampak biasa saja ekspresinya. Masih tetap datar dan dingin. “Memangnya siapa lagi yang harus kujemput selain kau di sekolah ini? Cepatlah naik!” balas Hugo dingin. Kata-katanya terdengar tajam dan selalu begitu. Danila menghela napasnya seraya tertunduk diam. “Danila, kau hampir saja terpincut oleh kedatangannya ke sini. Untung saja aku tidak lupa, bahwa dia adalah Tuan Hugo yang berkuasa,” tutur Danila dalam hati menggerutu. Sudah pasti akan ada maksud lain. Hugo tiba-tiba datang, bukankah ada sesuatu? Apa di rumahnya telah kedatangan seseorang? Apa itu Kakeknya yang datang ke rumah? Entah, Danila terus menerka-nerka dan bertanya dalam hatinya. “Kakek tiba-tiba datang ke rumahku hari
Malam semakin larut dan hawa dingin menyeruak masuk ke dalam kamar Hugo dan Danila. Samar-samar kedua bola mata Danila terbuka secara perlahan. Tubuhnya menggeliat pelan, berusaha melancarkan otot-ototnya setelah lama tertidur tadi. Sebelah tangannya meraba-raba sekitar tempat tidur itu. Danila terperanjat saat menyadari sebuah tangan melingkar kuat ditubuhnya. Hugo memeluknya dengan sangat erat. Wajah dinginnya sama sekali tak terlihat sekarang. Justru malah menampakkan sosok tampan dalam dirinya. Degup jantung Danila seketika berdebar tidak karuan. Ketika berada dalam situasi seperti ini.“A-apa yang dia lakukan? Kenapa kau malah memelukku erat begini? Bukankah Kakek tidak ada di sini, apa masih harus berakting saat didalam kamar?” gumam Danila dalam hati bertanya-tanya.Krukkk! Krukkk! Krukkk!Suara perut Danila berbunyi tiba-tiba. Ia baru teringat sekarang, bahwa sejak sepulang sekolah tadi belum sempat memakan apapun. Bahkan langsung tertidur pulas saat dalam perjalanan didalam h
Setelah menghabiskan makanannya, Danila kembali lagi ke kamar. Tapi Hugo, pria itu pergi ke ruang kerjanya hingga menjelang pagi. Danila meraba-raba sebelah ranjangnya. Tak ada siapapun selain dirinya sendiri. Perasaan hangat akan dekapan tubuh kekar Hugo semalam tiba-tiba berkelebat. Namun Danila langsung teringat pada kata-katanya yang terdengar tajam semalam. Bahwa pria itu mengatakan tidak akan pernah mau menyentuhnya. Seharusnya Danila senang karena mendapatkan batasan itu darinya. Tapi entah mengapa, perasaannya berubah sedu. Seperti tergores sesuatu benda yang tajam.“Aku tidak ingin jatuh cinta pada pria kejam sepertimu, tapi kau juga yang membuatku menjadi serba salah akan sikapmu itu,” tutur Danila pelan. Pukul 06.00 pagi.Danila beranjak bangun dari tempat tidurnya. Rutinitasnya untuk berangkat ke sekolah setiap pagi tak bis ia tinggalkan. Karena hanya tinggal menghitung hari dan bulan. Danila akan lulus dari masa SMA-nya. Entah akankah ia melanjutkan kuliahnya atau tida
“Hari ini Kakek akan kembali. Kau ajaklah Danila ke kantormu. Perlihatkanlah dia pada orang-orang perusahaan. Bahwa kau sudah menikah sekarang,” ujar kakek mengatakan setelah menghabiskan makanan penutupnya. Sontak membuat Danila tersedak dan terbatuk-batuk saat hendak menenggak susu digelas miliknya.“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” Danila tersedak susu yang ia minum.“Kau tak apa-apa, Nak?” tanya kakek khawatir. “Bawakan menantuku air mineral!” lanjutnya berkata memerintahkan pelayan di rumah Hugo.Hugo diam tak bergeming, seolah tidak peduli pada Danila. Tapi tatapannya sesekali menatap ke arah istri kecilnya. Lalu si kecil Haga, dia tersenyum tipis menyeringai. Entah apa yang anak itu katakan didalam hatinya. Detik kemudian, pelayan di rumah Hugo datang seraya membawa secangkir air dan ia berikan kepada Danila.“Aku tidak apa-apa, Kakek. Terimakasih juga untuk minumnya, Bibi.” Danila mengambilnya. Pelayan itu tak membalas, hanya mengangguk pelan lalu pergi dan kembali lagi ke dapur.“Aih, kau
Tok tok tok!Suara ketukan pintu ruang kerja Hugo diketuk dari luar. Detik kemudian pintu itu dibuka. Menampakkan seorang wanita cantik bertubuh seksi berjalan memasuki ke dalam ruang kerja itu. Danila memperhatikannya nanar yang melangkahkan kakinya mendekati meja kerja Hugo."Selamat sore, Tuan Hugo. Ini adalah berkas laporan hari ini," ucap wanita itu manja. Hugo mengambilnya santai, tanpa ekspresi dingin seperti saat ia menatap wajah Danila. Wanita itu tampak melihat ke arah Danila yang saat ini tengah duduk memperhatikan ke arah mereka berdua."Siapa dia? Pegawai magang di sini?" ucap wanita itu bertanya pada Hugo. Tapi pria itu tidak menjawabnya, kedua matanya terfokus menatap pada berkas-berkasnya.Danila sontak mendongakkan kepalanya menatap Hugo dari kejauhan. Berharap pria itu memperkenalkan dirinya sebagai istrinya dihadapan wanita ini. "Bukan siapa-siapa. Bagaimana dengan laporan yang kemarin? Apa semuanya sudah lengkap? Aku akan tunggu sampai malam ini," ucap Hugo dingi
“Kalau begitu, apakah Haga ingin mendengar kisahnya?” tutur Danila. Haga menatapnya dengan penuh keraguan.“Kakak akan menceritakannya, bila Haga sudah selesai menghabiskan makanannya,” lanjut Danila berucap sambil beranjak bangun dari kursi meja makan itu.Langkah kaki Danila gontai berjalan keluar dari ruang makan. Terlihat Haga kecil menatapnya nanar dari kejauhan. Tiba-tiba Haga langsung memasukkan semua makanannya ke dalam mulut kecilnya. Hingga membuat kedua pipinya berubah chubby. SETHaga turun dari kursi itu. Tubuh kecilnya lantas berlarian kecil mengejar Danila, ibu sambungnya. Namun saat Danila tiba dibawah anak tangga, Haga terhenti sejenak. Anak itu tak mengatakan apapun. Bibir kecilnya terdiam bisu. Tapi Danila sadar bahwa putra angkatnya sudah berada dibelakangnya sekarang.Danila menoleh ke belakang, menatap Haga yang tengah berdiri menghadapnya dengan kepala yang tertunduk menatap lantai itu. Gurat senyum mengukir tipis diwajah Danila. Ia berjalan mendekati Haga.“Say
Danila dan Haga masih asyik bercerita. Tanpa sepengetahuan mereka, Hugo si pria dingin itu sudah kembali ke kediaman utama. Kepala pelayan sekaligus koki di rumah itu menyambutnya dengan hangat. “Selamat datang kembali, Tuan muda,” sapa pak Zan pada Hugo. Pria itu membalasnya dengan deheman.“Di mana Danila?” tanya Hugo sembari membuka jas hitam yang dikenakannya lalu menggantungnya diatas lengan kirinya.“Nona Danila ada didalam kamar Tuan muda kecil, Tuan.” Pak Zan memberitahu. Hugo tampak mengernyitkan sesaat.“Apa yang dia lakukan di sana? Bukankah Haga tidak menyukainya?” tutur Hugo keheranan. Pak Zan menaikkan kedua bahunya.“Saya kurang tahu, Tuan muda. Tapi sepertinya, Tuan muda kecil sudah mulai berubah sejak makam malam tadi bersama Nona muda,” lanjut pak Zan berkata. Hugo sontak memagutkan kepalanya pelan. “Aku akan pergi melihatnya,” tukas Hugo.“Apa Tuan muda ingin dibuatkan makan malam?” sanggah pak Zan. Hugo mengangkat sebelah tangannya tanpa menoleh ke belakang menat
Danila tidak pernah menyangka bahwa Hugo benar-benar akan menyentuhnya. Bahkan sebelumnya pria itu sudah berpegang teguh pada prinsipnya untuk tak menyentuh Danila. Namun sepertinya Hugo telah mabuk, atau pula amnesia dengan perkataannya yang terdengar meracau.Udara malam semakin dingin hingga menelusuk ke bagian pori-pori kulit. Danila tak bisa memejamkan kedua matanya sebab Hugo belum melepaskannya sejak beberapa menit yang lalu. Ya, Hugo benar-benar telah menggila sekarang. Apa dia tidak sadar, bahwa dirinya sudah melanggar aturan yang tertulis didalam kontrak pernikahan mereka? Dan lagi, Hugo sudah mengkhianati istrinya yang telah tiada.“Orang-orang mengatakan bahwa pria gila ini adalah orang yang setia. Cih, aku tidak percaya dengan gosip itu. Lihatlah, bibirnya tidak berhenti mengendusi lekukan tubuhku. Bagaimana bisa aku pergi kabur dari sini? Kyaaaaaa! Ayah, tolong aku!” gerutu Danila dalam hati menjerit.“Kau kenapa tidak bersuara? Apa kau tuli? Atau masih berpura-pura tid
Memaafkan adalah perjalanan melalui lorong kepedihan yang dalam, dan melupakan seperti menelan pahitnya pil kesalahan yang terus menghantui. Dalam redupnya hati, memaafkan terasa seperti mencari cahaya di tengah malam, sementara melupakan adalah luka yang tak pernah lekas sembuh, merajut kisah kesedihan."Jika dipikir-pikir lagi, seharusnya aku sudah benar-benar berpisah dari pria ini. Lantas apa yang terjadi sekarang? Begitu mudahnya dia memaksaku untuk menerimanya kembali sementara semua luka yang pernah dia goreskan untukku masih menyisakannya," tutur Danila dalam hati sedu. Raut wajahnya langsung berubah begitu saja. Namun Hugo menyadari akan hal itu."Ada apa denganmu?" tanya Hugo seolah tak pernah melakukan kesalahan untuknya. Danila menggeleng pelan dan menjauhkan tubuhnya sedikit dari pria itu. "Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin beristirahat saja." Danila beralasan. Walau sebenarnya dia masih berduka atas kejadian lalu. Jika diingat lagi, tak mudah baginya untuk melawan semua
Dokter pribadi keluarga Danila tiba di kediaman rumahnya. Seorang pria muda berwajah tampan rupawan yang memakai jas putih ala kedokteran, memasuki diri ke dalam kamar sana. Diikuti oleh kepala pelayan yang bertugas untuk mengantarkannya sampai menemui nona rumah.Tok! Tok! Tok!"Nona muda, dokter pribadinya sudah datang. Apakah beliau boleh masuk sekarang?" teriak sang pelayan wanita itu didepan pintu kamar Danila."Masuk saja. Pintunya tidak dikunci," sahut dari dalam. Terdengar suara bariton khas pria dewasa. Itu pasti Hugo. Ya, ya, ya. Serigala satu ini memang terdengar cukup seksi, suaranya. Eh.Kriek!Pintu kamar terbuka lebar. Terlihat, Danila tengah berbaring diatas ranjang sana dengan tubuh yang tertutupi oleh selimut tebal dari ujung leher hingga kaki. Dokter itu terdengar menghela napas panjang. Lalu mendekati ke arah Danila dan Hugo berada. "Apa keluhan Anda, Nona?" tanya dokter itu pada Danila seraya mengeluarkan alat-alat dari dalam tasnya. Danila justru terdiam sambil
"Selamat pagi, Tuan Hugo! Aku minta maaf karena hanya baju itu yang bisa kuberikan pada Anda, Tuan. Itu adalah baju terbagus yang tak pernah saya gunakan selama ini didalam lemari," tutur ayah mertua pada Hugo. Pria itu tak memberikan reaksi apapun, hanya mengerjapkan kedua matanya sejenak. Danila tiba-tiba menggenggam erat jari jemarinya dibawah sana. Yang kini keduanya tengah duduk bersebelahan di ruang makan ini sekarang."Ayah, tapi bajunya sedikit kebesaran," gumam Danila merasa tidak enak hati dengan Hugo. Sang ayah langsung mengubah ekspresi wajahnya. Tampaknya, beliau takut jika Tuan Hugo tak menyukainya."B-benarkah? K-kalau begitu Ayah akan berikan lagi yang baru."Hugo lantas menoleh dan menatap dalam Danila sambil mengeratkan genggaman tangannya. "Tidak perlu. Ini sudah cukup untukku. Terimakasih, Ayah mertua." Hugo berkata dingin. Yeah, pria itu memang selalu begitu, kan. Menampilkan ekspresi wajah dinginnya. "T-tidak ... akulah yang seharusnya berterimakasih pada Tuan
Tok! Tok! Tok!Suara pintu kamar Danila diketuk dari arah luar. Wanita itu mencoba beranjak bangun untuk membukakan pintunya. Namun Hugo langsung menepisnya. "Aku saja yang membukanya," katanya seraya berjalan ke sana.Kriek!"Tuan Hugo, m-maaf ... i-ini ... saya hanya mengantarkan baju ini untuk Nona muda. Tuan besar memintaku agar membawakannya ke sini," ujar seorang pelayan wanita berkata gugup padanya. suaranya tampak terdengar gemetar ketakutan.Serigala satu itu memang senang membuat orang lain ketakutan. Dasar mengesalkan!"Terima kasih. Katakan pada Ayah mertuaku, aku menyukai bajunya," ucap Hugo membalasnya. Pelayan itu mengangguk paham sambil membungkukkan sedikit bahunya."B-baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi pergi." Hugo mengibaskan tangannya ke arah pelayan itu. "Ayah sudah mengirimkannya?" tanya Danila yang saat ini tengah berada diatas ranjang sana. Bermain dengan Dilan sembari menyusuinya."Ya. Aku akan memakainya." Danila mengangguk mengiyakan.Hugo lantas memasu
GREP!Pelukan Danila langsung mengubah suasana hati Hugo dalam sekejap mata. Pria itu berubah kaku dan terdiam ditempatnya. Detik kemudian, Hugo berbalik badan menghadapnya. Keduanya lantas tampak saling pandang sekarang. Cup!Hugo mengecup lembut bibir ranum Danila setelah menatap matanya agak lama. Perasaan aneh yang tumbuh didalam hati Danila. Yang sebenarnya benci, namun enggan melupakannya apalagi menjauhkan dirinya dari pria itu."Kau menikmati ciumanku. Apa itu berarti aku diberikan kesempatan?" ucap Hugo tanpa melepaskan aktivitasnya. Danila tak berkata apa-apa. Wanita itu terdiam kaku dan mempererat pelukannya."Huh ... hah!" deru napas Danila memburu. Setelah melepaskan ciumannya dari Hugo tadi."Bukankah Tuan sudah tahu apa jawabannya? Kenapa masih berta..." tutur Danila langsung terpotong sebab Hugo kembali membungkam bibirnya dengan ciuman. Namun kali ini agak kasar. Hingga menimbulkan beberapa tanda kissmark dibagian leher jenjangnya."Jangan memanggilku dengan sebutan i
"Beri aku waktu untuk memikirkannya," ujar Danila seraya menjauhkan dirinya dari Hugo. Pria itu menatapnya nanar sesaat, lalu mengembuskan napasnya yang terdengar cukup berat."Baiklah. Aku tunggu jawabanmu besok pagi." Danila lantas membelalakkan matanya lebar-lebar. "Aku tidak suka menunggu lama," lanjutnya lagi berkata. Danila mengembuskan napasnya panjang. "Dilan membutuhkanku. Kalau begitu aku pergi," kata Danila sambil membuka pintu mobilnya. Namun Hugo tiba-tiba berkata...."Haga selalu menunggu kedatanganmu. Dia bilang ... merindukan Bundanya," gumam Hugo dengan suara pelan. Bahkan hampir tak terdengar jelas ditelinga Danila. "A-apa?" ucap Danila berbalik tanya. Hugo lantas melengos dan mulai menyalakan mesin mobilnya."Pergilah. Dia pasti lebih membutuhkanmu," kilah Hugo mengganti topik. Danila terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk mengiyakan."Aku pergi." Hugo tak membalasnya. Namun raut wajahnya tampak berubah memerah sekarang.Hei, hei, hei! Lihat itu, serigala gila ini
"Apa yang kau lakukan?" cetus Danila bertanya. Hugo lantas semakin bertindak melebihi batas. Pria itu menenggelamkan kepalanya pada bahu Danila. Sosok arogan yang biasanya ia tampakkan untuk menindas istri kecilnya kini berubah bertekuk lutut dihadapannya. Dalam hati, Danila tersenyum penuh kemenangan. Merasa puas dengan melihat sosoknya yang lemah. Itulah bayaran dari perlakuannya terhadap Danila pada kehidupan sebelumnya."Maaf..." gumam Hugo sambil mendekap erat tubuh Danila dengan melingkarkan kedua tangannya pada perutnya yang rata. Saat semuanya sudah terjadi, kata maaf saja tak mampu bisa menghapus segala ingatan memori yang sudah terlanjur tenggelam dalam benak Danila. Hugo sudah melewati batas kesabarannya. Dengan mudahnya dia mengatakan kata-kata maaf. Setelah melakukan semua yang terjadi. Kasus penculikan, bahkan Danila hampir saja keguguran karena perencanaan aborsi itu."Hujan semakin deras. Sebaiknya kau kembali ke rumahmu," sanggah Danila mengalihkan obrolan. Tapi reak
Hugo melakukan pertemuan dengan dokter yang menangani laboratorium uji tes DNA pada bayinya Danila secara rahasia. Tampaknya, pria itu masih belum percaya dengan hasilnya. Aura serta raut wajah yang dingin begitu menyergap di meja pertemuan itu. Dokter Reno terlihat memberikan secarik surat berisi hasil tes uji coba yang kedua. Hugo lantas mengambilnya sambil menatap dokter tampan ini dengan tatapan tajam pada kedua mata elangnya.“Apa kau tahu, aku benci dengan kesalahan. Kau harusnya tahu, kan. Apa akibatnya jika kau benar-benar melakukan kesalahan?” ujar Hugo menggertak. Dokter tampak meneguk salivanya, lalu menunduk ke bawah sana sembari mengangguk pelan.Hei, hei, hei! Dia mengatakan itu karena dia sendiri tidak pernah melakukan kesalahan. Yang benar saja, orang perfeksionis sepertinya membandingkan dirinya dengan orang lain. Benar-benar serigala yang menyebalkan!“I-iya, Tuan. S-saya yakin seratus persen, kalau saya tidak melakukan kesalahan.” Hugo mengernyit sambil membaca isi d
Yang pergi akan tetap pergi, walaupun kau telah menjaganya dengan begitu kuat. Dan yang datang akan datang, walaupun kau tidak menginginkan kedatangannya. Bukan berarti hatinya tak sakit, bukan pula hatinya tak hancur, bukan pula hatinya tak perih, namun hanya kepasrahan yang mengiringi. Danila telah tiba didepan halaman kediaman rumah keluarganya. Tubuh kecil dan lemah itu terlihat menggendong makhluk mungil dengan penuh ketulusan. Sekretaris Jo mengantarkannya sampai didepan pintu saja. Bahkan para pengawal itu pun tak membawakan barang-barang miliknya sampai ke dalam sana. Mereka pasti begitu malu, dan tak punya wajah untuk melihat kedua orang tua Danila yang sampai detik ini masih belum mengetahui kehamilan serta kelahiran cucu pertama mereka. “Terima kasih, sekretaris Jo.” Danila berkata sungkan seraya menundukkan pandangannya. Tatapan sekretaris Jo justru tampak bimbang menatap ke arahnya. Seperti orang yang kehabisan kata-kata tuk menjawabnya. “Tak perlu berterima kasih, Nona