"Sebaiknya, kamu pulang aja. Istri kamu lebih membutuhkan kamu. Mama takut sesuatu terjadi sama Neya.""Tapi Ma ....""Elvan, lebih baik kita berdoa buat papa. Istrimu jauh lebih membutuhkanmu, ingat usia kandungan Neya sebentar lagi udah memasuki waktu persalinan. Kamu harus jadi suami siaga, kamu ngerti, 'kan?"Elvan mengangguk, menuruti perintah Vera. Karena hati kecilnya pun merasakan sebuah sesuatu yang aneh, seperti sebuah firasat buruk. Laki-laki itu kemudian keluar dari rumah sakit untuk pulang ke rumah Neya.Akan tetapi, ketika Elvan sampai di rumah tersebut, keanehan dirasakan olehnya. Dimulai dari penjaga rumah yang tertidur lelap. Padahal biasanya penjaga malam itu, tidak pernah tidur saat malam hari untuk menjaga rumah tersebut. Namun, Elvan tidak terlalu mempermasalahkannya, dalam benak Elvan mungkin saja penjaga malam itu kelelahan.Keanehan pun kembali terjadi manakala Elvan membuka pintu rumah itu, dan pintunya tidak dikunci. "Astaga, kenapa Bi Murni ceroboh sekali?"
Tepat di saat itulah pintu ruang perawatan Ilham terbuka. Seketika Aileen pun menghentikan langkahnya lalu menoleh ke arah pintu. Dan ternyata Elvan yang memasuki ruangan tersebut sembari membopong tubuh Vera. Laki-laki itu, lalu membaringkan tubuh Vera di ranjang jaga, dekat bed pasien yang ditempati Ilham.Aileen pun merasa terkejut manakala melihat Vera yang saat ini sudah tidak sadarkan diri, begitu pula Ilham. Kata hatinya mengatakan jika sesuatu pasti sudah terjadi sebagai dampak dari kecerobohannya kemarin. Ilham yakin pasti Aileen sudah memanfaatkan situasi yang terjadi. Dan laki-laki tua itu pun yakin, jika hal ini pasti ada hubungannya dengan rumah tangga Neya dan Elvan.Akan tetapi, Ilham tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, mengatakan satu patah kata pun dia tak bisa, karena saat ini kondisinya sangat lemah. Serangan jantung mendadak yang kemarin sore dialami Ilham, membuatnya terkena stroke ringan."Mas apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Mama pingsan kayak gini?" tanya Ai
"Ney, tolong dengerin penjelasan aku dulu. Elvan nggak seperti yang kamu pikirkan!"Neya menggelengkan kepala. "Nggak seperti yang aku pikirin apa maksudnya, Mas? Emang bener kan kalo Mas Elvan yang perkosa aku? Emang bener kan kalo Mas Elvan dan keluarganya cuma jadiin aku alat buat kasih mereka keturunan?"Dewa memegang lengan atas Neya agar wanita itu sedikit lebih tenang. "Ney, lihat aku! Emang bener Elvan yang perkosa kamu, tapi kejadian itu karena nggak sengaja, Ney! Asal kamu tahu, malem itu Elvan dijebak saat kami lagi ada acara di vila. Malem itu, ada yang naruh obat perangsang di minuman Elvan, Ney!"Neya hanya menatap Dewa dengan tatapan nanar sembari menggelengkan kepala. "Nggak, kamu pasti boong kan, Mas?""Nggak Ney, kalo nggak percaya. Ini buktinya!" jawab Dewa sembari menyodorkan bukti berupa hasil lab kandungan obat perangsang dalam diri Elvan. Hasil lab itu, dikeluarkan tepat satu hari setelah dia memerkosa Neya. Laki-laki itu memang sudah curiga akan keanehan yang d
Lima tahun kemudian"Argh, brengsek!" Aileen berteriak, sembari membuang sebuah tespack yang ada di tangan. Wanita itu juga membuang benda-benda yang ada di atas meja rias, termasuk berbagai macam make up dan skin care mahal miliknya. Wajah Aileen memerah, menyiratkan rasa emosi sekaligus frustasi.Lima tahun sudah berlalu. Lima tahun terakhir ini pula, Aileen sudah melakukan berbagai macam pengobatan dengan ditemani Elvan. Atas saran salah seorang kerabat mereka yang juga berprofesi sebagai dokter, wanita yang memiliki riwayat penyakit Sindrom Ovarium Polikistik seperti Aileen, masih memiliki kesempatan untuk hamil.Jadi, Aileen dan Elvan menempuh berbagai cara pengobatan. Yang pertama Aileen lakukan adalah rutin kontrol dan mengkonsumsi obat-obatan untuk menginduksi ovulasi, baik obat-obatan dalam bentuk oral maupun suntikan. Setelah 3 tahun menempuh cara itu, Aileen merasa putus asa karena tak kunjung berhasil.Dokter yang menangani Aileen, akhirnya menyarankan mereka berobat ke Si
"A-apa maksud kamu, Mas? Ada yang pegang kendali perusahaan Papa selain kamu?"Elvan hanya mengangguk. "Ta-tapi bagaimana mungkin? Bukannya kamu anak satu-satunya Papa dan Mama? Ini masalah besar, Mas. Kenapa kamu baru cerita sekarang? Kok tiba-tiba Papa sama Mama jadi gini? Terus sebenarnya dia siapa sih?" sahut Aileen cepat."Ya, aku juga nggak tau kenapa Papa sama Mama bisa percaya banget sama orang itu. Dan tentang identitasnya, aku juga nggak tau dia siapa. Tanda tangan persetujuan darinya yang dikirim ke kantorku atas nama Papa. Sepertinya, Papa dan Mama ingin menyembunyikan identitas orang itu."Aileen menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak, Mas. Ini nggak boleh terjadi. Kamu itu anak satu-satunya mereka. Cuma kamu yang berhak atas semua yang dimiliki orang tua kamu, Mas. Masa tiba-tiba kasih ke orang lain, sih! Nggak lucu deh. Kamu harus protes dong, Mas. Nggak boleh lembek gini!"Elvan mengulum senyum tipis. "Sayangnya aku nggak bisa berbuat banyak. Semua keputusan ada di tang
"Calon penerus, Ma?" gumam Aileen lirih."Ya, dia calon penerus keluarga ini. Jadi, kalian jangan pernah coba-coba buat sakitin dia. Mengerti!""Ma, kenapa Mama lakuin ini? Bukannya Mas Elvan satu-satunya anak Mama? Kenapa harus anak kecil ini yang bukan siapa-siapa malah jadi penerus keluarga, Ma?""CUKUP AILEEN!" bentak Elvan, laki-laki itu pun berniat menarik istrinya untuk masuk ke kamar mereka. Namun, Aileen menolak."Mas, kok kamu malah bentak aku sih? Harusnya kamu mempertahankan apa yang seharusnya jadi hak kamu. Bukan anak kecil nggak jelas itu. Kamu sebenarnya kenapa sih? Kok jadi lembek gini, Mas?""PERGI KALIAN! teriak Vera yang kian tersulut emosi, sembari menatap tajam pada Aileen dan juga Elvan."Ma, kenapa Mama malah usir kami? Keputusan yang Papa sama Mama ambil itu di luar logika."Vera kian sinis menatap Aileen, menahan emosi yang kali ini benar-benar sudah memuncak. "Elvan tolong bawa pergi istrimu dari sini! Mama sedang tidak ingin berdebat sama orang yang nggak t
Elvan diam terpaku melihat wanita yang kini duduk di samping Ilham. Wanita berparas ayu itu, tampak begitu berbeda dengan sosok yang dia kenal dulu. Neya, satu nama yang saat ini masih ada di dalam hatinya dengan segenap amarah dan kebencian. Namun, saat melihat wanita itu sekarang, Elvan bahkan tak bisa mengartikan perasaannya.Amarah itu seakan mengendap begitu saja, berganti dengan berbagai tanda tanya dalam benaknya. Lima tahun telah Elvan lalui dengan penuh amarah dan kebencian pada wanita itu. Dan sekarang, dia hadir kembali, dalam sosok yang terlihat berbeda.Kepolosan dalam dirinya seakan hilang. Neya, kini menjelma menjadi sosok yang begitu anggun dan elegan, hampir saja Elvan tak mengenalinya. Dan semua yang terjadi beberapa waktu terakhir ini, menjadi kejutan tersendiri bagaikan sebuah bom waktu. Belum lagi, identitas Hazel sebagai sang pewaris, semua itu membuat kepala Elvan seakan hampir saja pecah."Semuanya silahkan duduk!" perintah Ilham pada seluruh dewan direksi yang
Neya masih duduk di kursi kerjanya sembari mengetukkan jemari ke meja. Pertemuannya dengan Elvan kali ini, seakan menguras energi. Bahkan fokusnya saat ini hanya tertuju pada laki-laki itu."Sial!" gumam Neya sembari menyugar rambutnya, hingga tiba-tiba suara dering ponsel membuat wanita itu, mau tak mau harus menjawab panggilan yang ternyata berasal dari Vera. Neya menempelkan ponsel itu ke telinga dan hal yang pertama dia dengar adalah tangisan mertuanya. Seketika, dia pun merasa begitu cemas.[Ma, ada apa? Kenapa Mama nangis?][Hazel, Ney.] jawab Vera yang langsung membuat Neya termenung. Tubuh itu menegang, menunggu detik demi detik jawaban dari mertuanya di ujung sambungan telepon.[Ma, ada apa?] Wanita itu pun kembali bertanya diantara gemuruh di dalam dada.[Ney, Hazel jatuh dari tangga lantai 2.][Nggak ....]Tubuh Neya melemas, diiringi detak jantung yang berdegup begitu kencang. Wanita itu hanya diam sembari menekan ponsel itu agar lebih menempel di telinganya, mencoba mence
Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang