Aileen terus membiarkan ponselnya berdering. Hal itu, tentunya membuat Vera curiga."Aileen, kenapa kamu nggak angkat telponya?""Oh itu, bukan apa-apa, Ma. Bukan hal yang penting, cuma temen lagi iseng," jawab Aileen sembari menggaruk tengkuknya, dan terlihat begitu salah tingkah."Oh, kalau gitu, gimana kalau kita pulang ke rumah sekarang? Rumah itu sepi kalo nggak ada kamu, mama butuh teman ngobrol Aileen. sSedangkan Elvan, saat ini sedang berada di Surabaya."Aileen mengerutkan keningnya. "Apa? Mas Elvan ada di Surabaya?" Vera pun mengangguk."Kenapa Mas Elvan nggak ngomong sama aku, Ma?""Tadi pagi, Elvan pergi mendadak selama 2 atau 3 hari, Aileen. Kalo urusan dia udah selesai, nanti juga pulang. Kamu berkemas sekarang ya!"Aileen mengangguk, lalu meninggalkan Vera menuju ke kamarnya. Entah mengapa, perasaan Aileen begitu gamang setelah mendengar kepergian Elvan ke luar kota. Akhir-akhir ini, suaminya sangat sering meninggalkannya untuk urusan pekerjaan. Tidak seperti dulu, yan
Aileen hanya berdiri mematung, tubuhnya seakan membeku. Logikanya menyuruhnya untuk pergi, atau mendekat dan meminta penjelasan dari mereka. Namun, entah mengapa, sekedar untuk melangkahkan kakinya, rasanya terasa begitu berat. Tenaganya seakan hilang, luruh terhempas rasa sakit yang begitu dahsyat. Sakit, dan merasa dipecundangi, itulah yang dia rasakan saat ini.Semua orang terdekatnya, seakan kompak membohonginya, termasuk Elvan. Aileen pikir, Elvan begitu mencintainya. Nyatanya laki-laki itu kini bisa tersenyum bahagia dengan wanita lain. Dan kedua mertuanya pun sama saja. Dia benci keadaan ini, apalagi saat melihat senyuman keempat orang itu, rasanya dia ingin mencabik-cabik mereka semua.Akan tetapi, Aileen harus memakai logika, dan akhirnya dia memilih pergi dari tempat itu. Dia tidak ingin jika mereka menyadari keberadaannya. Aileen memang sakit, tapi setidaknya, dia harus menjaga kewarasan agar bisa memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dengan langkah lunglai, dan
"Kamu ngomong apa sih, Mas?""Ney aku serius," sahut Elvan sembari menatap Neya dengan tatapan dalam, tidak ada kebohongan dalam tatapan itu. Namun, Neya tak bisa menangkap arti tatapan tersebut. Dia hanya terkekeh lalu membalikkan tubuh, berniat keluar dari kamar calon anak mereka."Mas udah ah, jangan becanda. Aku ngantuk, bobo yuk!"Elvan hanya menghela napas panjang manakala Neya sudah berjalan keluar. Laki-laki itu pun berniat menyusul Neya, dan menjelaskan pelan-pelan pada wanita itu. Namun, tiba-tiba dering ponselnya seketika membuat langkah Elvan terhenti.[Halo Aileen.][Mas, besok kamu udah pulang apa belum? Ini udah ngaret banget dari jadwal kepulangan kamu lho.][Emh ....][Mas, besok siang jadwal aku kontrol, kalo bisa kamu anterin aku ya. Kamu pake penerbangan paling pagi dari Surabaya, nggak tau kenapa akhir-akhir ini perasaan aku nggak enak banget.][Nggak enak kenapa, Sayang?][Aku mimpi kamu nikah lagi, Mas. Kamu di Surabaya nggak macem-macem, 'kan? Kamu nggak punya
Sebenarnya, Neya ingin menghindar dari mereka berdua. Namun, ada sebuah dorongan yang kuat di dalam hatinya untuk tetap berada di sana. Neya ingin menghadapi semua itu, dalam benaknya dia tidak ingin menjadi pecundang. Meskipun Neya sadar, jika dia harus menguatkan hatinya, dan dia pun tahu itu pasti tidak mudah.Neya berjalan di belakang Elvan dan Aileen yang saat ini sedang bergandengan tangan dengan mesra. Mereka kemudian menuju ke ruang tunggu, dan sialnya hanya ada tiga buah kursi kosong di deretan yang sama.Elvan dan Aileen duduk, sementara Neya masih berdiri terpaku. Dia ragu, akan melanjutkan tekadnya, atau memilih untuk pergi. Saat masih dalam bimbang, sebuah suara akhirnya menyentak lamunan Neya."Mba lagi ngantri juga? Sini duduk di samping saya saja, Mba!" seru sebuah suara yang pemiliknya ternyata adalah Aileen.Neya pun mendongak, mencoba untuk menegarkan hatinya untuk menatap Elvan dan Aileen. Terpaksa Neya pun tersenyum sambil menganggukkan kepala pada Aileen yang men
Ketika Elvan dan Aileen ke ruang Poli Obgyn, sepintas Elvan melihat Neya baru saja keluar dari ruangan dokter yang memeriksanya. Hal itu, tentu saja membuat Elvan merasa lega. Dan tak berapa lama, mereka pun masuk ke dalam ruangan Dokter Spesialis Obgyn tersebut.Saat Aileen melakukan pemeriksaan USG untuk mengecek kondisi rahimnya, Elvan menunggu di kursi yang ada di dekat meja dokter. Laki-laki itu tampak asyik mengutak-atik ponselnya, sembari sesekali tersenyum.Hal itu, tentu saja tak luput dari perhatian Aileen yang saat ini sedang terbaring di atas brankar. Wanita itu pun tahu, jika saat ini suaminya pasti sedang berbalas chat dengan Neya.'Kamu emang bener-bener kurang ajar ya, Mas. Aku lagi kaya gini harusnya kamu ikut berdiri di sampingku, nguatin aku. Bukannya malah kirim pesan nggak jelas sama wanita gatel itu. Kamu emang udah berubah, Mas,' batin Aileen.Sementara itu, Neya yang kini sedang dalam perjalanan pulang, tampak begitu bahagia melihat pesan yang dikirimkan Elvan
"Ada apa, Mas?""Papa, kondisi Papa memburuk Ney. Tadi tiba-tiba Papa pingsan setelah makan malam. Sekarang Papa dirawat di ruangan ICU.""Jadi, penyakit jantung Papa kumat lagi, Mas?" sahut Neya. Elvan pun mengangguk, disertai gurat cemas di wajahnya. Laki-laki itu, lalu bangkit dari atas ranjang."Aku temenin Mama di rumah sakit ya, Ney.""Aku pengen ikut, Mas." Elvan menggeleng cepat. "Nggak Ney, terlalu berbahaya, bisa-bisa kamu ketemu sama Aileen. Belum lagi kalo ketemu sama saudaraku. Kamu tahu kan, kita masih rahasiain pernikahan ini. Lagi pula, kamu lagi hamil, nggak boleh keluar malem-malem gini. Aku juga nggak mau kamu kecapean."Neya pun mengerti, wanita itu menganggukan kepalanya sembari menatap Elvan yang kini telah berganti pakaian. "Aku pergi dulu ya, Ney."Wanita itu pun mengangguk. Sebelum Elvan pergi, laki-laki itu terlebih dulu mengecup kening dan bibir Neya. "Kamu istirahat ya, Sayang.""Iya, hati-hati, Mas. Salam buat Mama.""Ya."Elvan bergegas keluar dari rumah,
"Mba ... Mba Aileen? Jadi ...?""Kenapa? Kamu kaget? Kamu pikir aku nggak tau hubungan kamu sama suami aku?"Neya tertunduk, tak tahu harus berbuat apa. Dia menyadari, apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan karena telah menyakiti hati wanita lain. Apalagi pernikahan itu, tanpa persetujuan Aileen. Posisinya saat ini sebagai istri kedua dari segi moral dan sudut pandang seorang wanita, memang bisa dibilang tidak dibenarkan."Kenapa diem? Takut?""Maaf Mba ....""Kamu pikir aku orang bodoh yang bisa saja dengan mudahnya dibohongi sama suamiku sendiri?" Aileen bergerak maju, sedangkan Neya terus memundurkan langkah seraya memegang perutnya."Sekali lagi aku minta maaf, Mba. Aku ...." Degup jantung Neya semakin tak beraturan, melihat raut wajah Aileen, wanita itu tak mampu lagi melanjutkan perkataannya. Dengan kehadiran Aileen, Neya juga takut dengan apa yang akan terjadi pada rumah tangganya kelak."Aku apa? Mau mengakui sudah merusak rumah tangga orang lain? Cih, dasar wanita munaf
"Sebaiknya, kamu pulang aja. Istri kamu lebih membutuhkan kamu. Mama takut sesuatu terjadi sama Neya.""Tapi Ma ....""Elvan, lebih baik kita berdoa buat papa. Istrimu jauh lebih membutuhkanmu, ingat usia kandungan Neya sebentar lagi udah memasuki waktu persalinan. Kamu harus jadi suami siaga, kamu ngerti, 'kan?"Elvan mengangguk, menuruti perintah Vera. Karena hati kecilnya pun merasakan sebuah sesuatu yang aneh, seperti sebuah firasat buruk. Laki-laki itu kemudian keluar dari rumah sakit untuk pulang ke rumah Neya.Akan tetapi, ketika Elvan sampai di rumah tersebut, keanehan dirasakan olehnya. Dimulai dari penjaga rumah yang tertidur lelap. Padahal biasanya penjaga malam itu, tidak pernah tidur saat malam hari untuk menjaga rumah tersebut. Namun, Elvan tidak terlalu mempermasalahkannya, dalam benak Elvan mungkin saja penjaga malam itu kelelahan.Keanehan pun kembali terjadi manakala Elvan membuka pintu rumah itu, dan pintunya tidak dikunci. "Astaga, kenapa Bi Murni ceroboh sekali?"