Elvan menatap wanita muda yang saat ini tidur di sampingnya. Tubuh telanjang wanita itu, hanya tertutup sebuah selimut putih, wajahnya terlihat sangat tenang dan damai. Elvan tahu, Neya pasti kelelahan. Setelah perjalanan dengan mengunakan spead boat, tapa jeda dia meminta Neya untuk kembali melakukan pergulatan panas dengannya. Di usia kehamilan Neya sekarang, Neya memang lebih gampang lelah. Dan setelah pergulatan panas itu, dia tertidur.Sebenarnya, Elvan pun menyadari hal tersebut, tapi hasratnya, sudah sangat sulit dia bendung. Bercinta dengan wanita hamil memang berbeda, meskipun gaya bercinta tidak bebas. Namun, ada sebuah sensasi dan kehangatan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Tak kuasa menahan rasa di dada, Elvan mendekat dan mencium pipi Neya, wanita itu mendesah pelan, mendapatkan serangan tiba-tiba di pipinya. Perlahan Neya pun membuka mata dan mendapati Elvan yang saat ini tengah menatapnya sambil tersenyum."Mas ...," ucapnya lirih, dadanya terasa bergemuruh kenc
Tak mau membuang waktu, bergegas Aileen mengikuti mobil milik Elvan tersebut. Sepanjang jalan, perasaan Aileen terasa begitu campur aduk, hatinya memanas hingga menjalar ke seluruh tubuh. Apalagi jalanan ibu kota pagi ini sudah padat, semakin menambah kecamuk di dada.Mobil milik Elvan, tampak memasuki sebuah hotel mewah, tentu saja hal itu membuat emosi Aileen seketika memuncak, dalam benaknya Elvan pasti sudah membohonginya. Hal itu, dikuatkan dengan keanehan yang dia temukan tadi malam, serta nomor ponsel Elvan yang tak bisa dihubungi.Dengan jantung berdebar, Aileen yang sudah turun dari mobilnya mendekat ke arah mobil Elvan. Wanita itu sudah bersiap menumpahkan amarahnya. Namun, ketika melihat sosok yang keluar dari mobil tersebut, seketika amarah itu pun surut."Dewa!" pekik Aileen, ketika laki-laki tampan yang sudah sepuluh tahun menjadi sekretaris suaminya itu turun dari mobil."Nyo-Nyonya Aileen?" Dewa membelalakkan mata, seraya menyebut nama Aileen yang saat ini berdiri di d
Aileen masih berada di dalam bilik toilet mall yang dikunjunginya. Rasanya begitu sakit ketika Elvan mengabaikan panggilan darinya, dan ini yang pertama Elvan lakukan. Rasa sakit itu, mungkin rasanya tidak sesakit ini manakala dirinya sedang terpuruk.Saat ini Aileen benar-benar membutuhkan Elvan, dia sadar saat ini suaminya sedang tidak bersamanya. Dia sadar, Elvan sedang berada jauh darinya, dan dia pun sadar saat ini dirinya tak dapat menangis dan menumpahkan rasa sakit dalam pelukan Elvan. Namun, apa tidak bisa laki-laki itu meluangkan waktunya hanya untuk sebentar saja.Tubuh itu sudah luruh ke lantai, dia terduduk dengan punggung menyentuh dinding yang dingin. Air matanya masih berlinang diantara nafas-nafas panjang yang Aileen hembuskan. Entah sudah berapa banyak air mata itu tumpah, yang jelas pipi Aileen teramat basah, matanya pun sembab.Perempuan itu tak kunjung beranjak dari bilik toilet, yang membuat jengkal demi jengkal tubuhnya mulai menggigit. Detik berikutnya pandanga
Elvan menatap Aileen yang masih memejamkan mata, hatinya terasa seperti ditusuk sebilah bambu, sakit dan menyesakkan dada manakala mengingat penuturan dokter yang beberapa saat lalu baru saja didengarnya. Aileen, istri yang sangat dia cintai, ternyata memiliki sebuah rahasia yang tidak dia ketahui. Padahal, selama ini mereka selalu bersama. Nyatanya kebersamaan itu terasa begitu semu, bahkan Elvan pun tak tahu, senyum dan raut ceria di wajah Aileen mungkin juga hanya sebatas kiasan saja."Sindrom Polikistik Ovarium, Infertilisasi," gumam Elvan, tangannya mengepal erat. Air mata yang tidak pernah jatuh dari kedua sudut matanya, seketika tumpah dan sangat sulit dia bendung. Laki-laki itu tidak menyangka, jika Aileen selama ini menyembunyikan penyakit tersebut.Menghadapi kenyataan itu, Elvan tidak marah. Tidak sama sekali, dia menerima semua yang ada pada diri Aileen, termasuk kekurangan yang diderita wanita itu. Elvan hanya tidak tega melihat Aileen selama ini berjuang sendiri. Sedangka
Elvan menatap wanita yang sedang terlelap di sampingnya, lalu membelai wajah polos yang baru saja menghabiskan pergumulan panas dengannya. Selama satu minggu terakhir, Elvan memang tidak berkunjung je rumah tersebut, bahkan hanya sempat berkirim pesan singkat untuk menanyakan kandungan Neya, tidak lebih.Akhir-akhir ini, pekerjaannya memang begitu menumpuk, belum lagi kondisi kesehatan Aileen yang memburuk, hingga membuatnya terpaksa sedikit mengabaikan Neya. Untung saja, setelah memberikan penjelasan pada istri kecilnya itu, dia mau mengerti. Elvan tahu, Neya memang tidak pernah menuntut apapun padanya, hingga membuat Elvan selalu merasa kian bersalah pada Neya. Apalagi saat wanita itu menyatakan rasa cintanya, dan Elvan belum pernah membalas ungkapan cinta itu. Bukannya tidak mau, tapi ragu.Sebatas yang Elvan tahu, rasa yang dia miliki, hanya karena dia tertarik dan peduli pada wanita yang saat ini tengah mengandung darah dagingnya itu. Dan hubungan fisik yang mereka lakukan, adala
"Ya, mertuamu datang Aileen. Sekarang dia lagi nungguin kamu di depan. Dia pengen ngobrol di taman aja katanya," jawab Rasti, mama dari Aileen.Firasat buruk seketika merasuk dalam benak Aileen, mertuanya ingin bicara empat mata dengan dia. Dan Aileen pun yakin jika Elvan pasti tidak mengetahui kedatangan Vera. Apalagi, Vera juga menunggunya di depan, bukan di dalam rumah. Aileen semakin yakin jika Vera tidak ingin perbincangan mereka didengar oleh orang lain."Aileen, kenapa diem? Jangan biarin mertuamu menunggu terlalu lama." Aileen menarik kedua sudut bibirnya, Rasti memang tidak tahu bagaimana hubungan Aileen dan kedua mertuanya."Ayo, Nak!""Iya Ma," jawab Aileen, lalu mengikuti langkah Rasti untuk menemui Vera.Senyum manis terukir di bibir Vera manakala melihat Aileen yang kini berjalan mendekat padanya. Namun, entah mengapa bagi Aileen, yang dia tangkap senyuman itu terlihat begitu mengintimidasi. Wanita itu, layaknya pesakitan yang akan diadili."Selamat siang, Aileen.""Sela
Aileen terus membiarkan ponselnya berdering. Hal itu, tentunya membuat Vera curiga."Aileen, kenapa kamu nggak angkat telponya?""Oh itu, bukan apa-apa, Ma. Bukan hal yang penting, cuma temen lagi iseng," jawab Aileen sembari menggaruk tengkuknya, dan terlihat begitu salah tingkah."Oh, kalau gitu, gimana kalau kita pulang ke rumah sekarang? Rumah itu sepi kalo nggak ada kamu, mama butuh teman ngobrol Aileen. sSedangkan Elvan, saat ini sedang berada di Surabaya."Aileen mengerutkan keningnya. "Apa? Mas Elvan ada di Surabaya?" Vera pun mengangguk."Kenapa Mas Elvan nggak ngomong sama aku, Ma?""Tadi pagi, Elvan pergi mendadak selama 2 atau 3 hari, Aileen. Kalo urusan dia udah selesai, nanti juga pulang. Kamu berkemas sekarang ya!"Aileen mengangguk, lalu meninggalkan Vera menuju ke kamarnya. Entah mengapa, perasaan Aileen begitu gamang setelah mendengar kepergian Elvan ke luar kota. Akhir-akhir ini, suaminya sangat sering meninggalkannya untuk urusan pekerjaan. Tidak seperti dulu, yan
Aileen hanya berdiri mematung, tubuhnya seakan membeku. Logikanya menyuruhnya untuk pergi, atau mendekat dan meminta penjelasan dari mereka. Namun, entah mengapa, sekedar untuk melangkahkan kakinya, rasanya terasa begitu berat. Tenaganya seakan hilang, luruh terhempas rasa sakit yang begitu dahsyat. Sakit, dan merasa dipecundangi, itulah yang dia rasakan saat ini.Semua orang terdekatnya, seakan kompak membohonginya, termasuk Elvan. Aileen pikir, Elvan begitu mencintainya. Nyatanya laki-laki itu kini bisa tersenyum bahagia dengan wanita lain. Dan kedua mertuanya pun sama saja. Dia benci keadaan ini, apalagi saat melihat senyuman keempat orang itu, rasanya dia ingin mencabik-cabik mereka semua.Akan tetapi, Aileen harus memakai logika, dan akhirnya dia memilih pergi dari tempat itu. Dia tidak ingin jika mereka menyadari keberadaannya. Aileen memang sakit, tapi setidaknya, dia harus menjaga kewarasan agar bisa memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dengan langkah lunglai, dan
Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang