Elvan menatap wanita yang sedang terlelap di sampingnya, lalu membelai wajah polos yang baru saja menghabiskan pergumulan panas dengannya. Selama satu minggu terakhir, Elvan memang tidak berkunjung je rumah tersebut, bahkan hanya sempat berkirim pesan singkat untuk menanyakan kandungan Neya, tidak lebih.Akhir-akhir ini, pekerjaannya memang begitu menumpuk, belum lagi kondisi kesehatan Aileen yang memburuk, hingga membuatnya terpaksa sedikit mengabaikan Neya. Untung saja, setelah memberikan penjelasan pada istri kecilnya itu, dia mau mengerti. Elvan tahu, Neya memang tidak pernah menuntut apapun padanya, hingga membuat Elvan selalu merasa kian bersalah pada Neya. Apalagi saat wanita itu menyatakan rasa cintanya, dan Elvan belum pernah membalas ungkapan cinta itu. Bukannya tidak mau, tapi ragu.Sebatas yang Elvan tahu, rasa yang dia miliki, hanya karena dia tertarik dan peduli pada wanita yang saat ini tengah mengandung darah dagingnya itu. Dan hubungan fisik yang mereka lakukan, adala
"Ya, mertuamu datang Aileen. Sekarang dia lagi nungguin kamu di depan. Dia pengen ngobrol di taman aja katanya," jawab Rasti, mama dari Aileen.Firasat buruk seketika merasuk dalam benak Aileen, mertuanya ingin bicara empat mata dengan dia. Dan Aileen pun yakin jika Elvan pasti tidak mengetahui kedatangan Vera. Apalagi, Vera juga menunggunya di depan, bukan di dalam rumah. Aileen semakin yakin jika Vera tidak ingin perbincangan mereka didengar oleh orang lain."Aileen, kenapa diem? Jangan biarin mertuamu menunggu terlalu lama." Aileen menarik kedua sudut bibirnya, Rasti memang tidak tahu bagaimana hubungan Aileen dan kedua mertuanya."Ayo, Nak!""Iya Ma," jawab Aileen, lalu mengikuti langkah Rasti untuk menemui Vera.Senyum manis terukir di bibir Vera manakala melihat Aileen yang kini berjalan mendekat padanya. Namun, entah mengapa bagi Aileen, yang dia tangkap senyuman itu terlihat begitu mengintimidasi. Wanita itu, layaknya pesakitan yang akan diadili."Selamat siang, Aileen.""Sela
Aileen terus membiarkan ponselnya berdering. Hal itu, tentunya membuat Vera curiga."Aileen, kenapa kamu nggak angkat telponya?""Oh itu, bukan apa-apa, Ma. Bukan hal yang penting, cuma temen lagi iseng," jawab Aileen sembari menggaruk tengkuknya, dan terlihat begitu salah tingkah."Oh, kalau gitu, gimana kalau kita pulang ke rumah sekarang? Rumah itu sepi kalo nggak ada kamu, mama butuh teman ngobrol Aileen. sSedangkan Elvan, saat ini sedang berada di Surabaya."Aileen mengerutkan keningnya. "Apa? Mas Elvan ada di Surabaya?" Vera pun mengangguk."Kenapa Mas Elvan nggak ngomong sama aku, Ma?""Tadi pagi, Elvan pergi mendadak selama 2 atau 3 hari, Aileen. Kalo urusan dia udah selesai, nanti juga pulang. Kamu berkemas sekarang ya!"Aileen mengangguk, lalu meninggalkan Vera menuju ke kamarnya. Entah mengapa, perasaan Aileen begitu gamang setelah mendengar kepergian Elvan ke luar kota. Akhir-akhir ini, suaminya sangat sering meninggalkannya untuk urusan pekerjaan. Tidak seperti dulu, yan
Aileen hanya berdiri mematung, tubuhnya seakan membeku. Logikanya menyuruhnya untuk pergi, atau mendekat dan meminta penjelasan dari mereka. Namun, entah mengapa, sekedar untuk melangkahkan kakinya, rasanya terasa begitu berat. Tenaganya seakan hilang, luruh terhempas rasa sakit yang begitu dahsyat. Sakit, dan merasa dipecundangi, itulah yang dia rasakan saat ini.Semua orang terdekatnya, seakan kompak membohonginya, termasuk Elvan. Aileen pikir, Elvan begitu mencintainya. Nyatanya laki-laki itu kini bisa tersenyum bahagia dengan wanita lain. Dan kedua mertuanya pun sama saja. Dia benci keadaan ini, apalagi saat melihat senyuman keempat orang itu, rasanya dia ingin mencabik-cabik mereka semua.Akan tetapi, Aileen harus memakai logika, dan akhirnya dia memilih pergi dari tempat itu. Dia tidak ingin jika mereka menyadari keberadaannya. Aileen memang sakit, tapi setidaknya, dia harus menjaga kewarasan agar bisa memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dengan langkah lunglai, dan
"Kamu ngomong apa sih, Mas?""Ney aku serius," sahut Elvan sembari menatap Neya dengan tatapan dalam, tidak ada kebohongan dalam tatapan itu. Namun, Neya tak bisa menangkap arti tatapan tersebut. Dia hanya terkekeh lalu membalikkan tubuh, berniat keluar dari kamar calon anak mereka."Mas udah ah, jangan becanda. Aku ngantuk, bobo yuk!"Elvan hanya menghela napas panjang manakala Neya sudah berjalan keluar. Laki-laki itu pun berniat menyusul Neya, dan menjelaskan pelan-pelan pada wanita itu. Namun, tiba-tiba dering ponselnya seketika membuat langkah Elvan terhenti.[Halo Aileen.][Mas, besok kamu udah pulang apa belum? Ini udah ngaret banget dari jadwal kepulangan kamu lho.][Emh ....][Mas, besok siang jadwal aku kontrol, kalo bisa kamu anterin aku ya. Kamu pake penerbangan paling pagi dari Surabaya, nggak tau kenapa akhir-akhir ini perasaan aku nggak enak banget.][Nggak enak kenapa, Sayang?][Aku mimpi kamu nikah lagi, Mas. Kamu di Surabaya nggak macem-macem, 'kan? Kamu nggak punya
Sebenarnya, Neya ingin menghindar dari mereka berdua. Namun, ada sebuah dorongan yang kuat di dalam hatinya untuk tetap berada di sana. Neya ingin menghadapi semua itu, dalam benaknya dia tidak ingin menjadi pecundang. Meskipun Neya sadar, jika dia harus menguatkan hatinya, dan dia pun tahu itu pasti tidak mudah.Neya berjalan di belakang Elvan dan Aileen yang saat ini sedang bergandengan tangan dengan mesra. Mereka kemudian menuju ke ruang tunggu, dan sialnya hanya ada tiga buah kursi kosong di deretan yang sama.Elvan dan Aileen duduk, sementara Neya masih berdiri terpaku. Dia ragu, akan melanjutkan tekadnya, atau memilih untuk pergi. Saat masih dalam bimbang, sebuah suara akhirnya menyentak lamunan Neya."Mba lagi ngantri juga? Sini duduk di samping saya saja, Mba!" seru sebuah suara yang pemiliknya ternyata adalah Aileen.Neya pun mendongak, mencoba untuk menegarkan hatinya untuk menatap Elvan dan Aileen. Terpaksa Neya pun tersenyum sambil menganggukkan kepala pada Aileen yang men
Ketika Elvan dan Aileen ke ruang Poli Obgyn, sepintas Elvan melihat Neya baru saja keluar dari ruangan dokter yang memeriksanya. Hal itu, tentu saja membuat Elvan merasa lega. Dan tak berapa lama, mereka pun masuk ke dalam ruangan Dokter Spesialis Obgyn tersebut.Saat Aileen melakukan pemeriksaan USG untuk mengecek kondisi rahimnya, Elvan menunggu di kursi yang ada di dekat meja dokter. Laki-laki itu tampak asyik mengutak-atik ponselnya, sembari sesekali tersenyum.Hal itu, tentu saja tak luput dari perhatian Aileen yang saat ini sedang terbaring di atas brankar. Wanita itu pun tahu, jika saat ini suaminya pasti sedang berbalas chat dengan Neya.'Kamu emang bener-bener kurang ajar ya, Mas. Aku lagi kaya gini harusnya kamu ikut berdiri di sampingku, nguatin aku. Bukannya malah kirim pesan nggak jelas sama wanita gatel itu. Kamu emang udah berubah, Mas,' batin Aileen.Sementara itu, Neya yang kini sedang dalam perjalanan pulang, tampak begitu bahagia melihat pesan yang dikirimkan Elvan
"Ada apa, Mas?""Papa, kondisi Papa memburuk Ney. Tadi tiba-tiba Papa pingsan setelah makan malam. Sekarang Papa dirawat di ruangan ICU.""Jadi, penyakit jantung Papa kumat lagi, Mas?" sahut Neya. Elvan pun mengangguk, disertai gurat cemas di wajahnya. Laki-laki itu, lalu bangkit dari atas ranjang."Aku temenin Mama di rumah sakit ya, Ney.""Aku pengen ikut, Mas." Elvan menggeleng cepat. "Nggak Ney, terlalu berbahaya, bisa-bisa kamu ketemu sama Aileen. Belum lagi kalo ketemu sama saudaraku. Kamu tahu kan, kita masih rahasiain pernikahan ini. Lagi pula, kamu lagi hamil, nggak boleh keluar malem-malem gini. Aku juga nggak mau kamu kecapean."Neya pun mengerti, wanita itu menganggukan kepalanya sembari menatap Elvan yang kini telah berganti pakaian. "Aku pergi dulu ya, Ney."Wanita itu pun mengangguk. Sebelum Elvan pergi, laki-laki itu terlebih dulu mengecup kening dan bibir Neya. "Kamu istirahat ya, Sayang.""Iya, hati-hati, Mas. Salam buat Mama.""Ya."Elvan bergegas keluar dari rumah,