Setelah empat hari mengikuti bazar, akhirnya pemenang diumumkan. Stand bazar Zana menang dalam empat kategori. Kemenangan tersebut adalah juara dua stand paling ramai, juara favorit stand terbersih, juara pertama stand bazar paling unik dan indah, dan juara pertama dalam kategori keseluruhan. Sebelum pulang, Zana dan teman-temannya berkumpul di cafe depan kampus. Mereka memilih outdoor supaya lebih luas dan leluasa bercanda gurau. Kali ini Zana mengabaikan hari yang sudah mulai gelap, karena keasyikan merayakan kemenangan bersama teman-temannya. "Guys, kemarin Kak Zan dipanggil sayang oleh seseorang saat kami menelponnya. Cieee … siapa tuh, Kak?" ucap Dimas, masih mengingat kejadian itu– di mana saat dia menelpon Zana, seseorang tiba-tiba memanggil Zana dengan sebutan sweetheart. "Cieee … Zana." Dirga tak tinggal diam, menaik turunkan alis untuk menggoda sahabatnya tersebut. "Yang kemarin yah? Yang tiba-tiba datang menjemputmu pas kita lagi berburu ayam?""Udah move on nih ceritany
Zana berada di walk in closet, tengah mondar mandir karena bingung harus mengenakan baju apa. Tadi Ebrahim menyuruh Zana untuk mandi lalu bersiap-siap, tetapi Zana tidak tahu dia bersiap untuk apa. Oleh sebab itu dia bingung harus mengenakan baju apa. Tiba-tiba pintu terbuka, memperlihatkan Haiden dengan tampang muka dingin. Zana yang hanya mengenakan tank top dan celana pendek seketika menyilangkan tangan di depan dada. Dulu, Zana memang biasa saja ketika Ebrahim melihatnya seperti ini. Karena dia berpikir Ebrahim tidak menyukai dirinya dan tak tertarik pada perempuan muda sepertinya. Tetapi setelah pria itu merenggut kesuciannya, Zana merasa harus menjaga penampilan di depan Ebrahim. Meskipun pria ini suaminya. "Kenapa masih tidak mengenakan baju, Adik kecil?" Ebrahim berjalan mendekati istrinya, membuat perempuan itu mundur beberapa langkah karena gugup. "Aku tidak tahu kita akan kemana, jadi aku bingung harus memakai baju apa?" ucap Zana pelan, terus meringsut di sudut rua
*** Zana dan Ebrahim telah tiba di pesta pernikahan teman Ebrahim–diadakan di sebuah hotel mewah. Ebrahim sepertinya orang yang ditunggu karena saat dia datang, yang punya acara langsung menghampiri Ebyahim. Bukankah seharusnya Ebrahim yang menghampiri? Namun, Zana tak terlalu kaget. Tentu saja, Ebrahim adalah pewaris utama kekayaan Mahendra–CEO dari JVM Elektronik. Di negara ini keluarga Mahendra salah satu keluarga yang dihormati dan disegani, sama seperti keluarga Azam. Melihat situasi ini–di mana orang-orang datang menghampiri Ebrahim, entah kenapa Zana merasa bangga sebagai istri dari pria ini. Orang-orang di pesta ini begitu menghormati serta segan pada suaminya, membuat Zana semakin merasa kagum pada sosok Ebrahim. Pria ini orang yang dihormati dan disanjung tinggi. Akan tetapi di rumah pria ini adalah suami yang lembut bahkan saat dia marah. "Pak Ebrahim," sapa pria yang merupakan pemilik pesta sekaligus teman Ebrahim. "Senang sekali rasanya kau datang ke pestaku,"
Zana begitu bingung dengan sikap Ebrahim. Setelah pulang dari pesta tersebut, pria itu langsung menyeretnya ke kamar dan membantingnya ke atas kasur. Ebrahim tidak terlihat marah tetapi dia seperti memaksa agar Zana melayaninya. Zana tidak paham kenapa Ebrahim begitu, seingatnya dia tak melakukan kesalahan. Selama di pesta, Zana juga bersikap baik. Bahkan ketika Tamara bersuara memancing, Zana tetap diam. "Ka-Kak Ebrahim," cicit Zana, mendorong agar Ebrahim menjauh dari atas tubuhnya. Pria ini seperti kesurupan. "Kak Ebra kenapa?" tanya Zana saat pria itu mendongak ke arahnya. Tatapan pria ini begitu berat, berkabut gairah dan nafsu. Ditambah senyuman tipis penuh makna yang menyungging di bibirnya, itu semakin membuat Zana merinding. Sepertinya Zana terlalu positif thinking terhadap Ebrahim selama ini. Kenyataannya pria yang ia anggap sopan dan hero ini, ternyata tertarik pada tubuhnya. "Aku menginginkan istri kecilku," jawab Ebrahim, mengelus bibir Zana dengan gerakan erot
Deg deg deg' Mampus! Tubuh Zana menegang kaku, terdiam dengan muka pucat dan mata sedikit melebar. Ada dua sosok pria beda usia di depannya yang membuat Zana merasa takut setengah mati. Kedua pria ini sepertinya melihat jelas apa yang dia lakukan tadi. Yah, kedua pria itu adalah daddy dan suaminya. Percayalah, melihat Ebrahim di sini saja rasanya Zana ingin pindah alam. Ditambah ada daddynya, Zana seperti ingin kiamat sendiri. Zana begitu gugup, tak bisa berkata-kata seketika. Dia seperti lumpu! "Tanggung jawab nggak kam …-" Marchel yang mengejar ikut terdiam, menatap dua sosok pria di hadapan Zana. Marchel ikut gugup, terpengaruh oleh aura intimidasi dari kedua pria tersebut. "Sepertinya kamu menghalangi jalan, Zan," bisik Marchel pelan. Sejujurnya dia merasa pernah berjumpa dengan salah satu pria ini. Akan tetapi dia kurang ingat di mana. Maklum, otaknya masih belum bekerja sepenuhnya–efek disembur oleh dosen pengujinya. Zana menoleh ke arah Marchel, cengenges tanpa do
"Iya, Kak," jawab Zana sembari menganggukkan kepala. Marchel dan Dirga sama-sama bersitatap, saling ber oh ria tanpa suara. Sekarang mereka ingat siapa pria rupawan dan beraura bossy ini. Dia adalah pria yang menjemput mereka saat membully salah satu dukun. Zana membawa daddy dan suaminya ke sebuah tempat duduk khusus di depan ruangan untuk menunggu. Marchel buru-buru kabur, kembali ke tempat teman-temannya. Sedangkan Dirga, dia dipanggil untuk memasuki ruangan sidang. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Zana dan peserta lain memasuki ruangan khusus untuk melakukan keputusan lulus. Zana sangat senang dan terus tersenyum lebar sebab dia mendapat nilai tertinggi. Zana pikir kebahagiaannya hanya sampai di sana, akan tetapi ternyata berlanjut karena saat dia keluar mommy serta mertuanya sudah di sana. Meskipun dia lain sendiri karena hanya dia yang keluarganya datang, akan tetapi Zana sangat senang. Setelah berpelukan dengan mommynya, Zana cengengesan sembari malu-malu pada sa
"Bagaimana menurutmu tentang anak kembar?"Zana menatap gugup ke arah Ebrahim, matanya sedikit melotot karena pria itu menyinggung perihal anak. Kenapa Ebrahim tiba-tiba membahas perihal anak? Sungguh, Zana sama sekali belum pernah memikirkan tentang anak. 'A-anak? A-ku dipanggil ibu dong kalau punya anak? Yaelah, makhluk seimut aku akan dipanggil ibu?' Zana membatin, menatap suaminya gugup. "Atau kau … tak ingin anak kembar?" Ebrahim menatap bibir bibir Zana, mengusapnya lembut. Semakin ia perhatikan, semakin dia tergiur oleh bibir tersebut. Zana mengerjap pelan. "Aku … tidak memikirkan anak," jawab Zana cepat. "Kakak dan aku …." "Kau masih berpikir ingin berpisah dariku?" Ebrahim memotong cepat, tiba-tiba menegakkan tubuh–menjauh dari Zana. Dia berdiri di depan Zana kemudian bersedekap dingin. "Jangan bilang kau masih berharap pada Revano?"Zana buru-buru menggelengkan kepala. "Aku sudah nggak suka padanya, Kak. Dan … soal berpisah-- aku tidak tahu." "Maksudmu apa tidak tahu? K
"Aku masih mencintaimu. Bisakah kita …-" Ebrahim melayangkan tatapan tajam ke arah Tamara, membuat perempuan itu melepas pergelangan tangan Ebrahim dan berhenti berbicara. "Jangan mengharapkan sesuatu yang tak akan terjadi." Ebrahim berkata dingin. "Ebrahim, tolong katakan apa kurangnya aku? A-apapun akan aku berikan padamu asal kau kembali padaku, Ebrahim." Tamara memohon, dia berniat kembali menyentuh tangan Ebrahim tetapi ia tahan karena takut menyinggung perasaan Ebrahim. Ebrahim memang mempesona. Namun siapapun tahu jika Ebrahim sangat memberikan saat marah. Satu lagi, emosi pria ini mudah terpancing. Bayangan Ebrahim menendang kue ulang tahun pemberian Tamara dahulu masih mengiang di kepalanya. kesalahan Tamara saat itu ada dua, pertama membawa kue padahal Ebrahim sudah melarang–berpikir jika Ebrahim mengharapkan kue ulang tahun darinya. Kedua, saat Ebrahim ingin pulang, diae memaksa Ebrahim untuk tiup lilin dahulu. Karena itulah Ebrahim marah, langsung menendang kue ters
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali