"Mommy, Daddy akan menikahkan Zana. Ba-bantu Zana, Mommy," adu Zana pada sang mommy. Biasanya, setiap kali mommynya pulang dari luar negeri, dia akan menagih oleh-oleh. Akan tetapi malam ini berbeda, dia mengantarkan air mata kesedihan pada sang mommy. "Mommy tak bisa, Na." Kina menggelengkan kepala, menatap sendu dan kasihan pada putrinya. "Mommy sebenarnya juga kecewa padamu. Zana lebih memilih menghadiri ulang tahun pria itu dibandingkan mengikuti seminar proposal kamu. Cinta memang segalanya, tetapi orang yang mencintai tanpa pengetahuan itu sebuah kejahatan, Nak. Kamu-- mengorbankan pendidikan hanya demi cinta, sedangkan pria itu tak menginginkanmu. Inilah contoh kejahatan itu." "A-aku mau berubah, Mom. Aku akan menghapus perasaanku padanya dan akan serius pada pendidikan Zana." Kina menggelengkan kepala. "Kemarin kamu berjanji seperti ini juga pada Daddy. Jadi … Mommy tak bisa lagi. Jika Mommy memaksa, yang ada Mommy dan Daddy yang akan bertengkar. Kamu tidak mau kan Mommy
"Zana," sapa Ebrahim ramah, mengulurkan tangan untuk mengacak pucuk kepala Zana. Dia terkekeh kembali karena masih tak menyangka jika anak kecil ini bisa tumbuh dewasa. Sedangkan Zana memebiarkan begitu saja. Toh, pria ini adalah kakaknya. "Itu-- Nona Zana …." Ucap seseorang tiba-tiba secara lantang. Zana membelalak lebar, buru-buru melepas Razie yang masih merangkulnya. Baru ingin berlari tetapi lengannya sudah dicekal oleh Razie. "Jangan bilang pada Kakak jika kau kabur!" "Hehehe …." Zana cengengesan pada Razie. "Aku punya alasan, Kak Razie. Le-lepaskan aku. Tolooooong …-" "Ikut kakak sekarang juga!" ucap Razie dingin, menyeret Zana dari sana. Ebrahim mengikuti, menarik koper Zana dari sana. Sedangkan koper Razie, dibawa oleh tangan kanan Razie sendiri–Maran. Razie jarang kembali ke negara ini suatu hal. Namun, karena mommynya merindukan, akhirnya Razie pulang sebentar. Sekarang dia berniat, kembali ke Paris, tak menduga akan bertemu dengan Zana di sini. "Kaaak …." Zan
Zana melompat dari pagar rumah lalu segera berlari cepat dari sana. Dia mengenakan jas alamamater-nya, bersiap-siap untuk mengikuti demo hari kedua. Daddynya jelas tak akan memberi izin, oleh sebab itu Zana pergi secara diam-diam. Masalah kemarin, Zana tak ambil pusing. Dia benar-benar menganggap Razie serta Ebrahim telah menyelamatkan hidupnya. Saat makan malam kemarin, daddynya juga tak menyinggung masalah pernikahan. Itu artinya Zana memang sudah selamat. Setelah tiba di kampus, Zana bertemu dengan teman organisasinya. Zana memiliki posisi cukup tinggi di organisasinya, dia merupakan mantan gubernur mahasiswa di fakultasnya. Meskipun posisinya sudah mantan, akan tetapi juniornya serta teman satu angkatannya masih segan padanya. Sebelum berangkat, mereka kembali mengecek kesiapan dan setelah itu barulah berangkat. Tiba di lokasi dan demo telah di mulai–sesuai jam yang telah disepakati bersama. Bukan dari universitas Zana saja, akan tetapi universitas lain juga ikut meramaikan.
Apa Ebrahim berniat mengadu? Zana membelalak horor, takut jika benar Ebrahim berniat mengadu pada daddynya– di mana tadi, Zana ikut demo. Namun, ketika sudah di ruang tengah, Zana cukup kaget karena ada tamu. Buru-buru Zana melepas alamamaternya agar daddynya tak curiga–menyerahkan almet tersebut pada maid. "Nana, kemari, Sayang." Zana menurut ketika dipanggil oleh sang mommy, dia langsung menatap Ebrahim yang sudah lebih dulu bergabung. 'Pantas saja Kak Ebrahim tak langsung pulang, orang tuanya ada di sini.' Zana menyalam orang-orang di sana kemudian kembali duduk ke tempat semula. Yang membuat mereka tertawa geli adalah ketika dengan polosnya, Zana juga menyalam Ebrahim. Ah, bukan hanya orang tua Ebrahim yang datang. Tetapi juga aunty dan Uncle hum-nya–Ziea dan Reigha. "Wah, Zana cantik sekali yah," puji Lea–Mommy dari Ebrahim. Di mana dia tersenyum lebar, menatap berseri-seri pada Zana. Lama tak bertemu dengan Zana, ternyata anak ini sudah tumbuh menjadi anak yang san
"Kau bilang apa?!" ucap Zayyan geram, sudah melayangkan tatapan membunuh ke arah putrinya. Wajah Zana seketika memucat, menatap takut pada sang daddy. "Mas Zay, Zana tadi hanya asal bicara," ucap Kina, buru-buru menghampiri Zayyan. "Mommymu mati-matian melahirkanmu, mengorbankan nyawa bahkan kewarasan demi kehidupanmu. Lalu kau dengan gampang mengatakan ingin mengakhiri hidup, Hah?!" marah Zayyan yang sudah menampilkan air muka mengerikan. "Mas," pekik Kina. "Zana hanya bercanda dan … tolonglah jangan memarahinya lagi. Kamu kan sudah janji tidak meninggikan suara lagi pada Zana dan Zee," ucap Kina dengan nada rapuh dan sedih. Dia selalu ingin menangis saat suaminya memarahi anak-anaknya. Sebagai anak yang tak pernah mendapat kasih sayang dari orangtuanya, Kina tak bisa melihat anak-anaknya dimarahi oleh Zayyan. Jika hanya marah biasa, Kina masih bisa. Namun, jika Zayyan sudah menggunakan nada tinggi Kina merasa dirinya lah yang dimarahi oleh Zayyan. Zayyan memang diam teta
'Mereka sudah di sini, hanya tinggal kamu yang tak datang.' Zana mengerjap beberapa kali, menatap ke arah lapanang dengan tampang muka suram. Bukankah kemarin Revano mengatakan jika Zana harus menjaga jarak? Pria ini bilang jangan menghubunginya bukan? "Maaf, tapi kenapa Kak Revano menghubungiku? Bukannya Kak Revano sendiri yang melarang jika aku tidak boleh menghubungimu." Zana berkata datar, berdiri di pinggir teras lalu menghadap halaman yang luas. 'Ck, kenapa kamu membahas itu, Zana? Elina sedang sakit dan apa kamu tidak khawatir? Tolong datang ke sini dan bawa makanan. Elina dan yang lainnya sudah lapar. Cepat.' "Rumahku sedang kedatangan tamu dan lagipula sedang turun gerimis." 'Hanya gerimis kan? Kamu tidak akan sakit hanya karena gerimis, Zana. Kamu bukan perempuan pada umumnya. Jangan banyak alasan, cepat.' "Aku tidak akan datang." Zana mematikan sambungan HP secara sepihak. Dia berdecak kesal, rasanya hampir sakit karena Revano begitu peduli pada Elina akan tetapi
Lumayan! Sepadan dengan apa yang Zeeshan lakukan padanya–perihal bandara. "Wu!" Zana turun dari ranjang adiknya yang masih berlutut di lantai. Dengan tengil dan belagu, Zana mengambil ancang-ancang memukul Zeeshan. "Makanya jangan berani padaku. Sok sokan ingin menjebakku. Ini Zana, penguasa bumi. Cih, Daddy saja kulawan apalagi anak ingusan sepertimu. Kacang!" ucap Zana angkuh, menoyor pelan kepala Zeeshan lalu segera beranjak dari sana–berjalan sambil mencek isi dompet adiknya. "Lumayan juga nih anak. Duitnya banyak. Wah … enak juga jadi bandit rumah," gumam Zana pelan. Sedangkan Zeeshan, mendengkus kesal. Kembali ke meja belajar untuk melanjutkan tugas sekolah. Punya kakak perempuan, dia disayang dan dimanja? Tidak. Dia dirampok! Kakaknya sedikit berbeda. *** Hari ini Kina, Ziea dan Lea pergi kesebuah dukun–usulan dari seorang teman lama. Tadinya mereka ke butik untuk mempersiapkan gaun pernikahan Zana. Tiga jam menunggu Zana datang, anak itu tak kunjung datang. Saat dit
"Darimana saja kau?" Zana yang berniat ke kamar langsung menghentikan langkah ketika mendengar suara daddynya. Zana sebenarnya takut karena dia ketahuan keluar. Akan tetapi mengingat dukun tadi, Zana menekan rasa takut itu. Meskipun ada Ebrahim dan pamannya–Rain, di sana, Zana tak peduli. Zana harus memperingati daddy. "Daddy habis dari dukun yah?" tuding Zana, setelah sebelumnya menyalam tangan sang daddy. "Daddy memang pendosa. Tetapi mempercayai hal seperti itu-- " Zayyan menggelengkan kepala, menatap aneh pada putrinya. Istrinya tiba-tiba muncul, dan … baik! Sekarang Zayyan paham. "Bilang saja sejujurnya. Daddy ke sana supaya aku mau nikah kan dengan …-" Zana menatap sinis ke arah Ebrahim. "Dia?!" lanjutnya sembari menunjuk Ebrahim. "Sopan begitu, Hum?!" dingin Zayyan, melayangkan tatapan tajam pada putrinya. Kina buru-buru menarik Zana untuk menjauh dari suaminya. "Jangan begitu, Zana sayang. Jangan menunjuk-nunjuk seseorang, tak sopan. Apalagi Kak Ebrahim itu calon