“Kamu sudah sehat, Hayati?”“Sudah lebih baik, Pak,” jawab Hayati. Hari ini dia sudah kembali ke café untuk bekerja. Tio, Manager cafe memastikan Hayati siap untuk beraktivitas. Kalau di lihat, Hayati memang sudah segar dari sebelumnya yang terlihat begitu pucat.Hayati dan pekerja lainnya mendapat arahan dari Tio, dimana Hayati kebagian tugas mencatat pesanan tamu. Pukul sepuluh pagi, café sudah buka dan siap melayani tamu. Hayati dan semua tim sudah siap di posisinya.Saat pagi, pengunjung memang tidak seramai jam makan siang atau sore sampai malam hari. Biasanya hanya pengunjung yang memesan minuman dan cemilan atau bahkan hanya segelas kopi. Ketika jam makan siang, café akan ramai bahkan kadang semua meja terisi. Seperti saat ini, Hayati mulai disibukkan dengan mencatat pesanan.“Hayati, meja lima belum dilayani,” titah Tio.Hayati mengangguk lalu menuju meja yang dimaksud. Menyapa dan menanyakan pesanan lalu mencatatnya, tidak jarang pengunjung menanyakan rekomendasi dari Hayati.
Brak.Rangga melemparkan ponselnya ke atas meja, lalu bersandar pada kursi dengan kepala menengadah menatap langit-langit ruang kerjanya. Lagi-lagi laporan dari orang yang dia sebar untuk mencari Hayati tidak membuahkan hasil.Hayati seperti ditelan bumi, tidak ada kabar dan kejelasan keberadaannya. “Hayati, dimana kamu?” gumam Rangga.Ponsel yang tadi dilempar Rangga bergetar dan berdering. Rangga masih mengabaikannya, tapi ternyata kembali berdering. Sepertinya hal penting karena orang tersebut berkali-kali menghubungi. Akhirnya Rangga mengambil ponsel, ternyata Adam Harsa ayahnya yang menghubungi.“Halo, yah,” ujar Rangga saat menjawab telepon dari ayahnya.“Rangga, temui ayah siang ini. Ada yang perlu kita bicarakan,” titah Adam di ujung telepon.“Oke,” jawab Rangga. Tidak ingin menolak permintaan Ayahnya.Siang hari , tepatnya saat waktu makan siang Rangga menemui Ayahnya. Mendatangi perusahaan yang masih dipegang langsung oleh Adam. Ternyata bukan hanya Adam yang menunggu kehadi
Isna menatap gedung dihadapannya, pengadilan agama. Sesuai dengan surat panggilan dimana hari ini adalah sidang pertama perceraiannya dengan Rama. Sebenarnya jika ingin proses perceraian mereka cepat selesai, Isna tidak perlu datang. Tapi Isna sengaja datang sesuai surat panggilan karena dia masih berharap Rama mengurungkan niatnya.Proses mediasi pun tidak berjalan dengan baik. Karena Rama selalu menolak saran terkait memperbaiki hubungannya dengan Isna.“Rama,” panggil Isna saat melangkah keluar dari kantor pengadilan agama.Rama menoleh tanpa menjawab, “A-aku ingin kita pikirkan lagi rencana perpisahan ini.”“Ini tidak direncanakan. Aku tidak pernah menduga kita akan sampai di sini, tapi aku tidak sanggup kalau kita lanjutkan pernikahan ini.” Rama meninggalkan Isna yang masih terpaku menatap punggung Rama yang semakin menjauh.“Tapi aku tidak ingin bercerai denganmu, maafkan aku Rama,” gumam Isna.Rama yang kalut melajukan mobilnya bukan ke kantor, tanpa sadar dia sudah mengarah ke
“Jangan-jangan Rama tahu dimana Hayati,” gumam Rangga. Dia ingin mengejar Rama tapi urung, karena sedang berada di tengah pesta dimana saat ini hanya sebagai tamu.Rangga terus memperhatikan gerak-gerik Rama, akhirnya memutuskan untuk pulang dan menghubungi anak buahnya untuk mengikuti dan mengawasi Rama. Rangga yakin jika Rama mengetahui sesuatu tentang Hayati.Dari apa yang disampaikan oleh Rama jelas, bisa disimpulkan kalau pria itu benar-benar mengetahui tentang Hayati. Bahkan sempat menyinggung kalau Hayati lebih baik tidak bertemu dengan dirinya.“Shittt, untuk apa Hayati malah menemui pria itu. Apa karena mereka pernah terikat hubungan suami istri?”Sedangkan di tempat berbeda, tepatnya di mana Hayati berada. Sedang bersama Mae di salah satu pusat perbelanjaan. Awalnya Hayati hanya ingin menemani Mae, akhirnya Hayati ikut berbelanja beberapa potong pakaian. Mengingat perutnya yang mulai membuncit dan beberapa bagian tubuhnya yang menyesuaikan karena kondisi hamil.“Hm, bilang n
Rangga bergeming mendapat pertanyaan yang menohok mengenai Hayati. Tidak ingin berdebat dengan Renata karena itu adalah yang diinginkan oleh Renata. Terpancing emosinya karena kepergian Hayati.“Katamu Hayati adalah sosok perempuan yang pas sebagai seorang Ibu. Mana buktinya, dia pergi tinggalkan kamu ya?”Rangga fokus pada ponselnya. Sesekali menatap ke arah ranjang, dimana Aska sedang tertidur.“Atau Hayati sudah sadar kalau kamu hanya memanfaatkan dia, terlalu bodoh dan polos,” ujar Renata.“Sebaiknya kamu diam atau bibir kamu itu tidak bisa lagi digunakan untuk menyinggung atau melukai perasaan orang lain. Aku dan Hayati perlu waktu untuk tetap waras dalam menjalani hubungan. Karena kami percaya tidak mudah untuk mempersatukan keluarga. Itu masalah kami, bukan seperti yang kamu katakan tadi.”Malam semakin larut, Renata sudah tertidur di bed khusus penunggu pasien. Rangga sendiri masih berada di sofa. “Aku yakin akan Hayati dan kami akan bahagia pada waktunya.”***“Kamu jaga Aska
“Nggak, aku bukan sakit. Tapi sejak tadi pagi, perutku rasanya tidak nyaman,” jujur Hayati.“Kita ke rumah sakit,” ujar Rama langsung melajukan kembali mobilnya.Hayati hanya bisa berpegangan erat karena Rama agak cepat mengemudikan mobilnya, tidak sampai dua puluh menit mereka sudah tiba di rumah sakit.“Apa masih bisa ditahan? Kalau tidak kita ke UGD saja?”“Bisa Mas. Jangan ke UGD, aku mau ke poli saja.”Hayati melepas seatbelt lalu keluar dari mobil Rama, seharusnya bukan Rama yang menemaninya begini. Rangga, yang lebih tepat mendampinginya. Kalaupun Hayati tidak pergi, Rangga pasti akan tetap melaksanakan kewajibannya dan bertanggung jawab pada dirinya juga calon anak mereka. Tapi situasi membuat Hayati sulit dan merasa bersalah.“Duduklah, biar aku yang mendaftar,” titah Rama.Tanpa mereka sadari ada seseorang yang mengawasi Hayati dan Rama, bahkan mengambil gambar keduanya.Setelah cukup lama menunggu, akhirnya nama Hayati dipanggil oleh perawat dan Hayati pun masuk ke dalam ru
Keadaan Aska sudah membaik, bahkan sudah terlihat lebih ceria. Jika tidak ada keluhan lain, Aska dipastikan besok sudah bisa pulang ke rumah.“Papa, Bunda Hayati sudah pulang?”Rangga yang sedang mengupas jeruk untuk Aska, menatap wajah putranya. Alih-alih menanyakan Renata yang merupakan Ibunya, Aska malah menanyakan Hayati. Kembali mengingat kondisi Hayati yang sedang hamil dan jauh dari jangkauannya, Rangga menyuapkan slice jeruk ke mulut Aska.“Belum,” jawab Rangga singkat.“Kapan pulangnya ? Aku sudah boleh pulang dan ingin pergi berlibur tapi dengan Bunda,” sahut Aska.“Secepatnya,” ujar Rangga lagi.Mungkin saja mereka sudah bertemu dengan Hayati kalau Rangga tidak membatalkan kepergian menuju lokasi dimana Hayati berada. Kondisi Aska yang tiba-tiba drop membuat Rangga mengurungkan niatnya ke tempat Hayati tapi perintah untuk terus mengawasi Hayati tetap Rangga berikan pada anak buahnya.“Sudahlah Aska, kamu pulihkan saja tubuh kamu. Urusan Bunda biar jadi tanggung jawab Papa.”
Rama yang memang menyaksikan mobil Rangga mempercepat lajunya lalu tiba-tiba oleng dan menabrak pembatas jalan sangat terkejut. Jalanan langsung macet dan mobil Rama sempat melewati mobil Rangga yang hancur bahkan terlihat asap dari kap mesin yang sudah tidak berbentuk.Rama menepikan kendaraannya lalu keluar dari mobil. Berjalan mendekat, dimana suasana semakin ramai bahkan beberapa orang berusaha mengeluarkan Rangga dari dalam mobil khawatir kalau mobil tiba-tiba terbakar atau meledak.“Telepon ambulan,” teriak seseorang menyadarkan Rama dari lamunannya.Entah bagaimana kondisi Rangga jika mobilnya terlihat sangat parah. Rama sempat meremmas rambutnya membayangkan jika terjadi sesuatu dengan Rangga, Hayati pasti akan sangat sedih dan anaknya akan menjadi ….Tunggu, untuk apa aku peduli dengan Rangga. Ini bukan urusanku, kalau aku terjebak di sini bisa jadi aku malah dipersalahkan, batin Rama yang bergegas untuk meninggalkan lokasi. Berniat akan terus mencari kabar mengenai kondisi R
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo
Asisten Isna pun meninggalkan ruang kerja atasannya. Membiarkan pria yang sempat ditolak untuk bertemu tapi saat ini Isna tidak menolak kehadirannya. Setelah memastikan Nia keluar dari ruangan tersebut, Ansel menghampiri Isna. Berdiri di belakang tubuh wanita itu, memeluk dan mencium kepalanya.“Tidak boleh begini,” ujar Isna.“Aku kangen, padahal kemarin baru habis bertemu. Bagaimana anak-anakku, apa mereka menyusahkanmu?” tanya Ansel sambil mengusap perut Isna.Isna hanya tersenyum, kemudian meminta Ansel untuk duduk karena dia sedang ingin fokus membentuk pola.“Aku sudah menyampaikan hubungan kita pada Ayah dan Ibu,” ujar Ansel.Tentu saja hal yang disampaikan Ansel menjadi perhatian Isna. wanita itu menghentikan aktivitasnya lalu duduk di samping Ansel.“Benarkah, lalu?”“Mereka ingin menemuimu, bagaimana?” tanya Ansel tentang kesediaan Isna.“Tapi aku takut, bagaimana jika mereka ….”“Hei, dengarlah. Kita akan temui mereka, apapun keputusan mereka kita tetap bersama. Selama ini
Isna menatap sekeliling apartemen Ansel, terlihat nyaman dan desainnya mencerminkan kalau yang tinggal di tempat itu adalah laki-laki. Duduk di sofa panjang dan terasa nyaman, Ansel sendiri sudah memasuki salah satu ruangan dalam unit tersebut, yang Isna duga adalah kamar.Isna menguap, kantuknya benar-benar datang. Menyandarkan tubuhnya di sofa, merasakan kembali kantuknya lalu … merubah posisinya menjadi berbaring miring dengan bantal sofa sebagai alas kepalanya.“Isna, kamu ….”Ansel menghentikan ucapannya melihat Isna yang sudah terbuai mimpi. Duduk dihadapan wanita itu, melepaskan pelan alas kaki yang dikenakan Isna lalu menatap wajah yang terlihat damai. Pandangan Ansel berpindah pada perut Isna, bayi kembar mereka mulai tumbuh. Dalam perut wanita itu sedang tumbuh keturunannya.Terduduk di lantai sambil mengusap wajahnya membayangkan Isna melewati semuanya sendiri. Pasti sangat berat apa yang Isna alami. Ansel pun berjanji tidak akan meninggalkan Isna dan akan selalu ada bersam
Isna menikmati sambil sesekali menoleh pada Ansel yang menatapnya sambil tersenyum. Asisten rumah tangga datang membawakan minuman.“Bik, ini bawa masuk,” ujar Isna sambil menyerahkan goody bag. “Simpan di kulkas ya Bik.”“Kamu suka? Aku bisa ajak kamu ke toko dessert, mau?”“Mau nyogok aku? Tidak akan mempan,” ujar Isna. “Mau bicara apa, buruan.”Ansel menghela nafasnya, wanita dihadapannya ini benar-benar berbeda dengan Isna sebelumnya. Apa karena kondisi kehamilannya jadi Isna bersikap begitu.“Isna, aku minta maaf atas sikapku sebelumnya.”“Sikap yang mana?” tanya Isna tanpa menatap Ansel“Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tahu bagian mana yang membuat kamu sangat kesal dan membenciku.”“Lalu kalau aku maafkan, mau apa?” tanya Isna, tapi kali ini dia menatap Ansel.“Jawab dulu dong, maafin atau nggak?”Isna terdiam, dia sebenarnya masih kecewa dengan sikap Ansel. Bagaimana tidak Ansel mengatakan hal yang begitu merendahkan dirinya.“Kita bicara di luar, mau? kamu yang cari tempat,