Tian mondar mandir di kamar, dengan Rhea yang hanya bisa menatap fokus pada suaminya itu. Entah apa yang sedang terjadi, hingga cowok ini begitu tampak khawatir.“Ada masalah apa, sih?”“Justin dan Hana,” jawabnya seadanya.“Iya, aku tahu ini masalah Justin dan Hana. Hanya saja aku mau lebih detail.”“Kamu bilang Hana nelepon tadi dan nanyain keberadaan Justin, kan?”Rhea mengangguk. “Dan masalahnya di mana, Sayang?”“Tadi aku hubungi Willy, katanya Hana juga nyariin Justin ke kantor. Dia nangis dan ... sepertinya Justin sedang berbohong.”“Maksud kamu, On Justin pergi dengan alasan mau ke kantor tapi pada kenyataannya di nggak ke kantor. Begitukah?”“Sepertinya begitu.”Rhea bersidekap dadaa dihadapan Tian seakan menelisik jauh ke dalam manik mata suaminya itu demi mencari tahu sesuatu. Tahu sendiri jika keduanya bersahabt, setidaknya apapun yang ada dalam otak Justin, pasti sama dengan pemikiran Tian.“Jangan menatapku seperti itu. Meskipun aku sahabatnya Justin, tapi untuk yang sat
Masuk perlahan ke area pekarangan rumah, tentunya dengan rasa deg deg an. Pasalnya ini di sekitar emreka, ada beberapa penjagaan. Rhea berada di belakang Tian, bahkan tangannya tak lepas dari sang istri.“Aku seperti berada dalam adegan film action. Tiba tiba aku takut,” bisik Rhea semakin mengeratkan genggaman tangannya di tangan Tian.Tadi sudah ia katakan untuk menunggu di luar sana, tapi Rhea malah kekeuh ikut dengannya. Sekarang apalagi kalau bukan menhadapi apa yang ada di depan mata.“Tapi btw, kita kok kayak pasangan Brad Pitt dan angelina Jolie, ya,” tambah Rhea lagi dengan nada pelan.Bisa bisanya Rhea dalam keadaan cemas, malah memikirkan adegan film action. Humornya benar benar dibuat anjlok oleh wanita ini. Sudahlah, yang tadinya cemas, seketika ingin tertawa rasanya.Tian mengintip dibalik jendela yang posisinya terbuka. Dengan Rhea yang memantau keadaan sekitar. Memang tak terlihat jelas apa yang terjadi di dalam sana, tapi dari suara yang ia dengar, bisa dipastikan kal
Tian menghentikan laju mobilnya di parkiran sebuah restoran. Keduanya memutuskan untuk makan di luar sebelum pulang ke rumah. Apalagi, rasanya lumayan menguras tenaga mengurursi permasalahan Hana dan Justin.Saat berjalan memasuki restoran, Tian menghentikan langkahnya ketika menyadari ada yang tak beres dengan Rhea. Matanya menelisik pada kaki sang istri.“Ke-kenapa?” tanya Rhea saat mendapati ekspressi Tian padanya.Tian tak menjawab, tapi malah berjongkok dihadapan Rhea ... kemudian menyingsingkan sedikit rok istrinya itu di bagian lutut. Hanya saja, dengan cepat dia malah menghindar.“Kamu mau ngapain, sih, Tian.”“Baik baik aja, kan?”“Iya, aku baik baik aja. Memangnya kenapa?”Sikap Rhea, wajah dia ketika menjawab, dan terlebih saat dia berjalan ... memperlihatkan kalau ada sesuatu yang tak baik baik saja. Ayolah, kepekaannya akan wanita ini terlalu besar hingga rasanya tak akan mempan untuk dibohongi.Tian mengangkat tubuh Rhea dengan cepat dan kembali emmbawanya ke dalam mpobi
Malam ini matanya tak bisa tidur. Pikiran pikiran buruk seolah berkecamuk memnuhi otaknya. Kembali ke posisi duduk dan bersandar pada sandaran tempat tidur. Menatap ke luar jendela kamar yang gordennya tak tertutup keseluruhan.Kini pandangannya beralih pada sosok Justin yang tengah tidur nyenyak di sampingnya. Hembusan napas teratur itu, menandakan dia benar benar dalam keadaan tenang saat ini. Karena kalau tidak, dia pasti akan tampak gelisah dan tak bisa diam.Menyentuh wajah tidur itu dengan lembut, kemudian mengecup singkat. Bahkan saking lembutnya, seakan kecupan itu tak akan dia rasakan.Tersenyum simpul dengan fokus yang masih terarah pada Justin yang tidur.“Harus ku ganti dengan apa semua kebaikan dan perhatian yang kamu berikan padaku, Je? Rasanya seakan tak ada apa apanya peranku selama ini karena sebegitu besarnya hal yang kamu berikan.”Menghela napasnya berat, seakan menahan rasa sesak yang sepertinya tak bisa ia tahan.“Aku memang mengharap rasa sayang dari orang tuaku
Biasanya bercanda, bergurau ... tapi kini Rhea benar-benar diam. Seolah-olah dia benar-benar berada di titik rasa kesal.Tian yang awalnya sudah tiduran, kembali duduk dan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Menatap ke arah Rhea yang sepertinya memang menjaga jarak dengannya.Membelai lembut kepala Rhea yang memunggunginya. “Kamu cemburu, atau justru nggak percaya padaku, sih, Rhe?” tanya Tian pelan.Rhea kembali membuka matanya yang sengaja ia pejamkan hanya untuk membuktikan kalau dirinya sudah tidur. Sentuhan yang ia rindukan.Tian membenturkan belakang kepalanya ke tembok, saat pertanyaannya tak mendapatkan jawaban dari Rhea. Padahal ia tahu betul kalau dia belum tidur. Hanya saja dia seakan mengabaikan apa yang ia tanyakan.Jujur saja, ya ... emosinya lumayan kalau sudah marah. Jadi, jangan sampai sikap buruknya itu terjadi. Hanya mencoba menahan, apalagi ia tahu kalau istrinya masih terlalu dini dengan permasalahan rumah tangga. Hubungan keduanya memang sudah te
Tian tak menjawab, tapi terus saja mendekati Rhea. Tapi niat mesumnya terhenti saat sebuah cubita menerpa pinggangnya. Hingga rengkuhannya di badan Rhea terlepas dan mengaduh.“Ya ampun, Rhe ... cubitanmu benar benar mengerikan,” ujar Tian menunjuk sebuah bekas yang tampak memerah di pinggangnya. Kulitnya putih, bersih ... tentu saja warna merah itu seamkin tampak.Rhea malah tertawa puas saat melihat ekspressi muka Tian.“Siapa suruh menjahiliku,” tawa Rhea langsung kabur melipir menuju kamar mandi.Yap, seperti yang sudah direncanakan. Setelah semuanya selesai, keduanya kini sudah bersiap untuk berangkat. Ya, jarak yang harus ditempuh sekitar empat jam perjalanan. Itupun jika lancar, beda lagi kalau diterpa sebuah kemacetan panjang. Waktunya tak akan bisa dipredsiksi.Rhea menguncir rambutnya menjadi satu ikatan, tapi baru juga ikatan itu terpasang, Tian justru dengan sengaja malah menarik ikatan itu ... hingga membuat rambut panjangnya kembali terurai.“Tian,” keluhnya atas kelakua
Satu jam perjalanan, Tian menghentikan laju mobilnya di parkiran sebuah restoran. Sudah jama makan siang, itu aryinya waktunya makan. Kalau tidak, perutnya kembali berulah. Enggak mau, kan, jika saat sibuk dengan pekerjaan nanti, dirinya malah menghadapi serangan si lambung yang malah kumat.Menanggalkan self-belt, kemudian fokus pada Rhea yang masih tidur neynyak di sampingnya. Tampak begitu tenang, hingga tak tega untuk membangunkan. Hanya saja, saat ini sudah jam makan siang.“Rhe, bangun dulu,” ujar Tian menyentuh lembut wajah Rhea, mencoba membangunkan dia.“Hmm,” lenguh Rhea mendapatkan sentuhan itu dengan kedua matanya yang masih terpejam. “Kita udah sampai, ya?” tanyanya perlahan membuka mata yang terasa perih.“Belum,” jawab Tian. “Kita makan siang dulu, ya.”“Ya ampun, mataku ngantuk banget. Berasa ada setan yang nemplok di kelopak mataku hingga berasa berat untuk terbuka,” keluhnya dengan nada malas hendak kembali tidur. Tapi terhenti saat Tian malah mengecup kedua matanya
Kini keduanya berada di lobby hotel. Tian dengan wajahnya yang terlihat kesal, sedangkan Rhea malah kini yang memasang wajah bingung. Ya, ia bingung saat Tian emngajaknya ke sini dengan alasan ketemu sama seseorang. Entah siapa yang akan mereka temui.“Tian, kita ngapain di sini?”“Nungguin seseorang,” jawab Tian masih dengan tatapan lurus ke depan.“Aku capek, mau istirahat. Kalau kamu mau nunggu, tunggu sendiri aja,” ujar Rhea malas.Berniat untuk beranjak dari posisi duduknya, tapi terhenti ketika Tian menahannya.“Suamimu ini memintamu untuk menemani, Sayang,” Ujar Tian.Akhirnya, dengan malas Rhea menuruti keinginan Tian. Entah sepenting apakah manusia yang sedang ditunggu oleh suaminya ini, hingga mengabaikan istrinya yang kecapean.Tak lama, terdengar derap langkah yang tepat berhenti di belakang keduanya. Kemudian berlanjut, langkah itu menghadap mereka.Tian memasang wajah sinis ketika dihadapkan pada sesosok manusia yang kini berdiri dihadapannya. Kalau bukan karena memberik
Semalam akhirnya yang menjaga Riga adalah Tian dan Willy bersama Justin. Sedangkan Hana, Rhea dan Vio pulang ke rumah. Itupun penuh drama malam tengah malam, karena Vio tak ingin pulang jika Riga tak pulang bersamanya. Akhirnya dengan bujukan kakaknya itu semua bisa kelar. Sudahlah, kalau Vio mulai merengek dan tak terima akan sesuatu, bersiap saja untuk mendengar dia menangis dan mewek mewek. Dan pagi ini, tepat saat sarapan bersama Hana, gadis kecil itu kembali berulah. Dia nggak mau sarapan dan sekolah, jika tak bersama Riga. Membuat Hana dibuat pusing di pagi hari. “Riga nggak pernah suka dengan apa yang kamu lakukan ini, Sayang.” “Aku mau dia di sini denganku. Aku janji, Ma ... nggak akan berbuat yang bikin dia kesal. Aku janji nggak akan merengek dan berteriak teriak lagi di dalam rumah. Tapi, bawa kakak pulang.” Lihatlah, mukanya sudah memerah, menahan air mata yang sudah mengenang di kelopak matanya. Tapi sepertinya dia sedang menahan rasa itu. “Apa sekarang kamu mau ikut
Tian mendorong kursi roda, dengan Riga yang duduk di sana. Sementara Willy memgangi tabung cairan infus, agar berada tetap di posisi lebih tinggi. TadinyaTadinya Riga meminta dokter agar infusnya dilepaskan, tapi dokter ternyata tak menginjinkan. Dikarenakan kondisi tubuhnya yang memang belum stabil.Sampai di depan sebuah ruang perawatan, Tian menghentikan langkahnya. Sedikit berjongkok dihadapan bocah 9 tahun itu.“Ga, kamu ingat, kan, apa yang dokter bilang.”Mengangguk pertanda ia paham apa yang di maksud oleh Tian.“Aku janji nggak akan bikin Papa khawatir, aku juga nggak ingin Papa sakit hanya karena memikirkanku. Kau baik baik saja, dan akan selalu baik baik saja,” terangnya.Bahkan hanya mendengar putranya berkata seperti itu saja, mampu membuat hati Hana teriris. Dia sakit, bisa dikatakan sakit parah ... tapi lihatlah, sikap yang dia tunjukkan bahkan seolah tak sedang sakit. Hal yang membuatnya benar benar bangga memiliki Riga.Willy membuka pintu ruangan itu. Melangkah masu
Sudah hampir satu jam Semuanya pergi dan sekarang tentu saja Rhea merasa was was. Apa yang tengah terjadi, kenapa semuanya belum kembali satu orang pun? Jadi makin dibuat bingung karena Riga terus bertanya kenapa orang tua dia belum kembali.“Tante, kenapa Papa sama Mama belum kembali?”Rhea tersenyum manis pada Riga, kemudian mengelus wajah manis itu dengan lembut.“Sabar, ya, Sayang. Mungkin Mama sama Papa kamu lagi mendengarkan penjelasan dokter dulu. Atau, mungkin dokternya lagi ada pasien, jadinya mereka harus nunggu deh.”“Alasan yang nggak meyakinkan,” responnya dengan nada tak terima akan penjelasan Rhea yang berpatokan pada kata mungkin.Ayolah, dihadapkan pada posisi di mana dirinya hanya berdua dengan Riga, itu begitu sulit. Karena dia adalah tipe anak yang punya pikiran cerdas dan nggak akan gampang dibohongi.“Perasaanku nggak enak,” gumamnya perlahan.Di saat yang bersamaan, Tian datang. Seketika Riga langsung bangun dari posisi tidurnya dan berharap jika orang tuanya j
Seperti yang sudah direncanakan semalam, hari ini Riga akan melanjutkan pemeriksaan menyeluruh termasuk tes lab. Berharap jika apa yang diperkirakan Dokter semalam tak benar benar terjadi. Entah apa yang akan ia lakukan jika hal buruk itu terjadi pada putranya.Lagi lagi hanya bisa menunggu ketika putranya harus menjalani pemeriksaan dalam waktu yang lama. Bahkan berjam jam. Sungguh, ini rasanya menyakitkan hatinya sebagai seorang ibu.Dari kejauhan tampak dua orang berjalan cepat mengarah pada Hana dan Justin. Ya, Tian da Rhea.“Han, gimana Riga?” tanya Rhea langsung pada Hana.Bukannya menjawab pertanyaannya, Hana justru langsung memeluknya erat. Tentu saja itu membuat hatinya justru tak tenang. Ditambah lagi dengan dia memasang wajah sendu. Tak hanya Hana, raut muka Justin juga tampak tak baik baik saja. seperti baru saja mendengar sebuah kabar tak mengenakkan.“Ada masalah sama Riga?” tanya Tian ikut bertanya pada Justin. “Dia baik baik aja, kan?”Justin hanya mengangguk. Ia sanga
Hana dan Justin berada di depan ruang UGD, menunggu dokter keluar dari sana untuk memberikan hasil tentang keadaan dan kondisi Riga. Raut cemas tampak begitu jelas di wajah keduanya, terutama Hana yang sedari tadi terus saja menangis.Sedangkan Justin, jangan ditanya lagi seperti apa perasaannya saat ini. Bahkan saat mendapati kondisi Riga ketika sampai di rumah, nyaris membuat otaknya seperti sedang dihantam sebuah kenyataan yang menyakitkan. Bukan berniat untuk berprasangka buruk, tapi kejadian ini membuatnya benar benar tak bisa tenang.Justin membawa Hana ke pelukannya, berharap istrinya ini bisa tenang. Karena dengan melihat dia begini, jujur saja ia semakin cemas. Dan tak berharap jika kebiasaannya juga akan ikut kambuh. Itu tentu saja membuat istrinya seakan makin bingung.“Jangan nangis terus ... anak kita akan baik baik saja, Sayang,” bisik Justin menenangkan hati Hana.“Aku takut Riga kenapa kenapa, Je. Aku nggak mau dia sampai sakit,” balas Hana.“Aku tahu, tapi kalau kamu
Hana langsung tersentak ketika mendapatkan telepon seperti itu dari putranya. Darahnya seketika berdesir hebat, saat suara ringisan putranya masih terdengar di pendengarannya.“Ada apa?” tanya Justin kaget melihat raut khawatir di wajah Hana.“Kita pulang sekarang. Terjadi sesuatu sama Riga,” jawab Hana langsung beranjak dari posisi duduknya dan membawa Vio segera mengikutinya.Justin langsung mengikuti langkah Hana yang sudah lebih dulu berlalu keluar dari restoran.“Kak Riga kenapa, Ma?” tanya Vio saat berada dalam mobil, karena bingung dengan sikap kedua orang tuanya.Tak ada jawaban yang diberikan Hana pada pada putrinya. Ia fokus menelepon seseorang, hingga mengabaikan pertanyaan Vio.“Hallo, Mbak Reni ... cek Riga di kamar sekarang, ya,” pinta Hana dengan nada cemas.“Memangnya ada apa, Bu?”“Cepetan!” emosinya ketika perintahnya malah dibalas pertanyaan.“I-iya, Bu.”Hana bisa mendengar langkah cepat sang pengasuh anak anaknya itu melangkah cepat menuju lantai atas, karena terd
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, kalau malam ini akan makan di luar. Tentu saja bukan makan malam berdua, karena harus diingat, ada Vio dan Riga.Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, si princess yang sudah dari tadi siap, hanya bisa mondar mandir seperti setrikaan rusak saat orang tuanya dan juga kakaknya belum menampakkan diri dihadapannya. “Udah siapa, Sayang?” tanya Hana pada Vio yang akhirnya duduk di sofa dengan muka cemberut.“Udah dari tadi, Mama. Tapi semua orang malah belum apa apa.”Justin tersenyum dengan tingakh putrinya yang satu ini. Pokoknya kalau mau pergi pergi, dia yang paling gercep untuk siap siap.“Riga mana?” tanya Justin karena tak mendapati putranya di sana.“Aku nggak mau ikut,” sahutnya menuruni anak tangga dari lantai atas ... masih dengan pakaian rumahannya.“Loh, kok nggak ikut?” tanya Hana menghampiri Riga yang seperti biasa ... sikapnya selalu kalem seakan tak memiliki perasaan.“Nggak kenapa kenapa, kok, Ma ... cuman males aja. Ada tugas jug
Perlahan tapi pasti, hal hal yang dianggap baru dan asing juga akan terbiasa menghiasi hari hari. Begitupun dengan apa yang sedang dialami oleh Hana. Yang tadinya ia hanya berdua dengan Justin, kini semua terasa ramai ketika ada dua anak yang seakan membuat suasana di rumah terasa hangat.Justin yang tadinya hanya fokus mengurus pekerjaan meskipun di rumah, kini seolah merombak jadwal dan aktifitasnya. Saat di rumah, dia hanya akan fokus untuk keluarga. Tak ada lagi pekerjaan kantor yang dibawa pulang.Semakin terbiasa tanpa adanya bantuan perkara urusan si kecil, membuat Hana merasa benar benar full jadi ibu seutuhnya. Semua dilakukan sendiri, meskipun harus mendengar ocehan Justin yang menganggap dirinya kecapean.Jujur saja, ini rasanya memang capek ... hanya saja semua rasa itu seolah sirna ketika melihat mereka tersenyum padanya, seakan mengatakan terimakasih.Rasanya satu hari itu berlalu begitu cepat. Masih berputar putar dan fokus pada Riga dan Vio, tiba tiba saat selesai hari
Rasanya benar benar terasa lega, ketika akhirnya setelah beberapa hari di rumah sakit, kini kembali ke rumah. Tentunya pulang dengan tambahan dua anggota baru yang akan menghiasi suasana rumah.Sebelumnya hanya berstatus sebagai seorang istri, sekarang bertambah dengan status ibu dua anak. Ayolah, itu rasanya benar benar sulit dipercaya dengan dirinya yang masih berusia 20 tahunan.Justin membantu Hana turun dari mobil dengan si kembar yang berada dalam gendongan dua orang suster. Jangan berprasangka buruk dulu kalau dirinya akan menggunakan jasa dalam merawat anak anaknya, bukan seperti itu. Ini hanya untuk beberapa hari ke depan, setidaknya sampai luka bekas operasinya mulai membaik dan aman untuk banyak bergerak.Tak lama, dua mobil tampak memasuki area pekarangan. Bisa ditebak siapa yang datang. Itu mobil Tian dan Willy, yang artinya ... pasti pasangan mereka juga ikut.Melanjutkan langkah memasuki rumah, tempat yang membuatnya tiba tiba rindu, meskipun kadang menyebalkan juga kar