Sampai di rumah, semuanya sudah dipersiapkan. Termasuk dokter yang sudah menunggu setelah sebelumnya Hana sudah menghubungi."Sudah berikan suntikan, kan?" tanya Dokter pada Willy."Sudah dokter."Dokter sekarang memeriksa tekanan darah dan kondisi Justin. Setidaknya agar mengetahui kondisi kelanjutan dari cowok itu."Gimana keadaan dia dokter?" tanya Hana yang tak sabar akan detail keadaan Justin. "Baik baik saja, kan?""Tak apa. Sekarang hanya tensi darahnya yang sedikit naik," jawab dokter. "Tapi bukan berarti kondisinya baik, ya. Karena efek yang dia rasakan masih akan tetap seperti biasa. Seperti yang saya sudah katakan, kita hanya bisa mencegah ini terjadi dengan cara tak membuat pikirannya rumit. Hanya mengurangi seringnya itu terjadi dan mengurangi rasa sakitnya."Hana mengangguk paham akan penjelasan yang diutarakan dokter. Meskipun sejujurnya ia selalu tak tahan, lebih ke rasa bersalah karena tak bisa mencegah emosi Justin agar tetap berada di posisi stabil. Lagi dan lagi, d
Seperti baru keluar dari jurang terdalam, itulah yang dirasakan Hana saat ini. Masalah dengan Alice selesai dengan jalur hukum, meskipun Justin ingin memberikan sesuatu menyakitkan sebelum proses hukum, tapi ia melarang. Tak ingin, tangan suaminya harus kotor mengurusi tante-tante itu.Alur kehidupan terus lanjut berjalan ... dirinya sebagai anak kuliahan, sedangkan Justin berstatus sebagai suami siaga akut. Apalagi perihal cowok ... dia seolah paling peka.Mobil berhenti dekat gerbang kampus."Punya teman cowok?" tanya Justin saat mengantar Hana ke sekolah. Kebetulan hari ini dirinya nggak ke kantor."Enggak," jawabnya."Satupun?""Enggak ada, Om. Paling itu aku kenal sama cowoknya Leta dan Clara. Sisanya ya teman satu kelas. Kenapa, sih? Perasaan dari beberapa hari ini nanyain itu terus? Berpikir aku selingkuh, ya?"Kini justru dirinya yang memberondongi Justin dengan pertanyaan. Ya kesal juga kan kalau dicurigai kayak gitu terus."Aku bukan berpikir kalau kamu selingkuh, hanya saja
"Foto apa, sih?"Satu persatu dari mereka memilih untuk mendekat pada Noval agar melihat foto itu dengan jelas. Sementara Hana, ia merasa dunianya saat ini sudah hancur. Bahkan untuk membela diri saja ia seolah tak punya keberanian dan alasan. Karena apa? Foto itu memang benar adanya."Astaga! Ini serius?""Beneran lo, Han?""Enggak nyangka, ya."Noval mendekat ke arah Hana, menatap wajah gadis yang pernah jadi kekasihnya, tapi kini dengan sengaja ia sakiti."Sekarang kalian tahu, kan ... kenapa dia waktu itu menghilang tanpa kabar. Ya, apalagi kalau bukan menghabiskan waktu bersama om-om genit.""Malu-maluin banget, sih, lo, Han. Jadi cewek nggak benar.""Lo bicara apa, sih, Nov! Jangan seenaknya menuduh Hana seburuk itu!" Leta benar-benar kesal dengan sikap Noval. Ingin rasanya ia lenyapkan cowok ini dari muka bumi.Noval malah mendorong Leta hingga gadis itu terhentak di lantai."Lo bertiga sahabatnya, tentu saja membelanya mati-matian. Sampai-sampai keburukan pun kalian sembunyika
Matanya ia liarkan saat melewati jalan yang tak jauh dari area kampus. Hujan, membuat pandangannya sedikit terhalangi dan memilih untuk turun dari mobil.Dalam hujan lebat, ia menelusuri taman yang ada di sekitar, berharap segera menemukan Hana. Tapi tetap saja tak berhasil."Hana, kamu di mana, sih," gumamnya di bawah hujan lebat.Berniat untuk mencari ke tempat lain, tapi pandangannya kini tertuju pada seseorang yang berada di kursi taman, duduk di bawah guyuran hujan. Tak berpikir panjang lagi, ia langsung saja mengarah ke sana."Hana ..."Wajah yang sudah pucat pasi, bahkan pandangan itu saja seolah begitu terlihat berat menatapnya. Tapi tetap saja dia mengumbar senyum. Ya, senyum yang dipaksakan."Ternyata benar ... Om itu lebih baik daripada orang tuaku." Tangisnya pecah seketika menatap kehadiran Justin dihadapannya.Justin langsung saja memeluk Hana yang sedang menangis. "Sudah ku katakan, bahwa aku akan selalu ada bersamamu. Jangan pernah menangis lagi."Hana merasa kedingina
Tian duduk di sofa, dengan headseat yang menutupi pendengarannya. Serius mendengarkan lagu sambil memejamkan kedua matanya, hingga tiba-tiba saja ia dikagetkan dengan wajah sesemakhluk dihadapannya, yang entah dari mana datangnya.Terlonjak kaget, bahkan rasanya jantungnya seolah berhenti berdetak."Bisa, nggak, sih ... kalau muncul itu jangan tiba-tiba?!"Ia langsung mengoceh panjang, tapi dia malah tertawa melihat tingkah dan aksi hebohnya."Siapa yang muncul tiba-tiba, sih, Om? Aku udah manggil, tapi kamunya aja yang rada budeg."Nah, kan ... dia benar-benar enggak ada akhlak sama sekali. Berani-beraninya mengatakan dirinya budeg? Kalau bukan karena sahabat dari Hana, sudah ia lenyapkan gadis ini ke dasar samudera terdalam."Kembali ke depan!" perintah Tian pada penjaga yang mengantarkan Rhea.Tian berjalan menuju kamar Justin, dengan Rhea yang mengekor di belakangnya. Sampai di dalam, ia dapati cowok itu masih duduk di samping tempat tidur, memandang fokus gadis yang masih terlela
Selesai sarapan, seseorang menghubungi Justin. Awalnya ia abaikan deringan benda pipih itu, tapi setelah melihat siapa yang menghubungi, akhirnya panggilan itu ia jawab. Beranjak dari kursi dan berjalan menuju teras depan untuk bicara.Hana masih menikmati sarapannya, hingga terhenti saat Justin kembali dan memberikan kecupan di pipinya."Aku berangkat dulu," ujar Justin menyambar tab miliknya yang ada di meja."Telepon dari siapa?""Tian," jawabnya. "Ada pertemuan mendadak pagi ini.""Oo ...."Hana menyambar dan mencium punggung tangan Jutinn. "Jangan lupa nanti minum obatnya," tambahnya berpesan.Justin membalas dengan anggukan paham. "Dan kamu harus ingatkan," balasnya.Hana hanya bisa menghembuskan napasnya berat mendengar balasan Justin. Padahal dia ingat loh, kapan waktu minum obat, tapi tetap saja kalau tak ia hubungi dengan sengaja malah dia abaikan."Dan buat kalian semua ..." Justin berdiri dihadapan beberapa pegawai rumah. "Jangan biarkan dia keluar rumah, apalagi menerima
Sudah beberapa hari Hana hanya berdiam diri di rumah, bahkan ia tak berniat keluar dari kamar. Lebih banyak duduk menghabiskan waktu di balkon, dengan pandangannya yang lurus menatap ke depan tanpa tujuan pasti. Terlebih, kondisi kesehatannya bukannya membaik, ini malah terasa semakin tak enak.Sebuah pelukan diterimanya dari arah belakang, membuatnya sedikit kaget atas perlakuan itu."Om," ujarnya mendapati Justin."Aku sedih melihatmu seperti ini terus, membuat hatiku tak tenang.""Aku harus gimana, ya, selanjutnya?" tanya Hana bingung.Justin beranjak dan berpindah berdiri dihadapan Hana. Menyisipkan helaian rambut yang menutupi wajah manis itu."Semuanya sudah aman. Jadi, enggak akan ada yang bisa dan berani membuatmu sedih dan sakit hati lagi. Kuliah seperti biasa dengan sikap penghuni kampus yang masih seperti biasa. Tak akan ada yang mengatakan hal buruk tentangmu, apalagi sampai membuatmu terpuruk."Hana menatap Justin dengan penuh tanda tanya."Maksudmu apa?"Justin malah mer
Ada yang aneh dengan kondisi tubuhnya. Bahkan malah ingin secepatnya waktu segera berlalu, hingga dirinya bisa pulang ke rumah dan tiduran. Saat kelas usai, ia segera membereskan alat alat tulis ke dalam tas. Ponselnya tiba-tiba tiba bergetar. Saat ia cek ternyata sebuah pesan dari Justin."Udah pulang?""Udah," balasnya."Tunggu aku, ya.""Oke."Saat semua siswa dan siswi sudah membereskan buku-buku pelajaran dan bersiap bubar, tiba-tiba seorang dosen masuk dan menghampiri dosen yang ada di depan kelas. Keduanya terlibat pembicaraan sesaat dan berakhir saat dosen itu kembali meninggalkan kelas."Semuanya ... sebelum kalian pulang, saya ada informasi penting! Lebih tepatnya ini info dadakan dan sedikit tak mengenakkan.""Kenapa harus ada kata 'tak mengenakkan', sih, Bu? Kan, saya jadi cemas," respon Leta menunjukkan wajah khawatirnya."Jangan bilang kalau besok kita kuis. Itu terlalu dadakan, Bu," sahut salah satu mahasiswi mencoba menebak info apa yang bakalan di share."Kalau gitu,