Antara percaya dan tidak, kalau ia sudah melakukan hal itu dengan Justin. Ayolah ... berharap tak percaya, tapi sesuatu yang sedikit tak nyaman ia rasakan di badannya. Jadi, bagaimana mungkin ia melupakannya.Membuka mata, mendapati wajah yang tengah tidur itu dihadapannya ... sungguh sesuatu yang benar-benar bikin otaknya terhenti bekerja. Yakinlah, kalau dalam keadaan tidur nyenyak begini, tak akan terlihat efek seramnya ni om-om. Yang ada hanyalah efek cute berasa pengin meluk.Senyum-senyum nggak jelas, dengan pandangan yang fokus menatap Justin yang sedang tidur di sisinya dengan tenang. Dengan lembut menyentuh wajah itu.Hendak bangun, tapi terhenti saat matanya mendapati pakaiannya malah tergeletak di lantai. Menutupi wajahnya karena malu sendiri."Sulit dipercaya gue dan dia udah lakuin hal itu," gumamnya sambil menepuk jidatnya.Menyambar ponsel miliknya yang ada di nakas. Niatnya mau mengecek waktu, tapi rentetan panggilan telepon dan pesan yang menghiasi layar datar itu, me
Keduanya menikmati makan siang setelah makanan yang dipesan Justin datang dan tertata di meja makan."Nanti aku minta beberapa orang berjaga di depan kamar," ujar Justin.Seketika Hana menghentikan suapan yang sudah mau memasuki mulutnya, kemudian menatap tajam ke arah suaminya."Kenapa nggak sekalian aja minta semua orang berjaga di dalam kamar, depan kamar mandi, depan lemari, dan di balkon," komentar Hana. "Berlebihan tahu, nggak.""Aku salah lagi, ya?""Banget, suamiku Sayang," sahut Hana langsung dengan senyuman manis yang sengaja ia tebar.Justin malah tersenyum mendengar panggilan yang digunakan Hana untuknya. Haruskah ia terus mengalah dan mengalah hanya untuk mendapatkan kata kata sayang dari dia? Jawabnya bukan iya, tapi justru akan ia lakukan terus.Hana menyiapkan beberapa obat-obatan yang harus ... lebih tepatnya wajib dikonsumsi Justin. Setidaknya dengan begini bisa mencegah kebiasaan buruk yang selalu dia rasakan. Ya, meskipun semuanya tergantung pemikiran dia, sih."H
Mendekam diam di rumah, layaknya terkurung di sangkar emas. Ya, apapun yang dibutuhkannya sudah tersedia. Tapi kemana yang ia inginkan, Justn malah tak memberikannya ijin.Bolak balik dari atas ke bawah, teras depan, terang samping, teras belakang, balkon kamar, hingga akhirnya mentok rebahan di ruang tv. Begitu aja terus, sampe dinosaurus kembali ke abad 21."Nona, sebaiknya Anda istirahat dulu. Ini sudah larut malam," ujar salah seorang asisten rumah tangga menghadapnya yang rebahan di sofa."Ntar, Bik ... aku mau nungguin dia aja.""Tapi, Nona ...""Semuanya istirahat aja, aku mau nunggun di sini," bantahnya.Tv menyala, tapi tak ditonton sama sekali. Seolah punya pikiran masing-masing antara Tv dan si penonton.Matanya mulai mengantuk, tapi di saat hendak tertutup rapat, sebuah deringan ponsel membuatnya kembali bangun. Siapa juga yang malam-malam begini meneleponnya."Nggak ada namanya," gumamnya saat mendapati hanya rentetan nomer tak bertuan di layar ponselnya."Hallo," sahutny
Hana tersadar dari posisi tak sadarkan dirinya. Merasakan kepalanya yang terasa benar-benar terasa pusing. Bahkan pandangan matanya saja seakan buram. Tapi, penampakan di depannya membuat ia seketika tersadar penuh."Hallo, Hana ..."Hana sedikit kaget dengan siapa ia dihadapkan. Ya, seseorang yang pernah membuat hari-harinya selalu dipenuhi rasa kesal, seseorang yang pernah membuatnya celaka hingga nyaris kehilangan nyawa. Siapa lagi kalau bukan Alice. Wanita yang begitu kekeuh mempertahankan dirinya agar tetap bisa bersama Justin. Dia yang ternyata laksana seekor ular, licin dan licik."Lepasin aku!" teriaknya berusaha melepaskan ikatan yang melilit kedua tagannya di belakang kursi. Rasanya menyakitkan. Apalagi ikatan tali di badannya, terasa perih saat benda itu tepat terikat di bagian bekas luka di dadanya.Alice tertawa puas melihat Hana laksana tikus kecil yang terjerat jebakan. Mendekati gadis itu dengan rasa bahagia yang terpancar jelas di wajahnya."Uhhh ... Hana sayang. Uda
Alice yang baru saja turun dari mobil di parkiran sebuah club, langsung dihadapkan pada seseorang yang ianharapkan, tapi tidak untuk saat ini. Siapa lagi kalau bukan Justin. Mantan suaminya yang memilih gadis kecil bernama Hana, daripada dirinya yang sudah lama bersama.Justin menatapnya tajam. Sedikit kaget, sih ... apalagi dia bersama beberapa anak buahnya. Berusaha bersikap tenang, agar dia tak berpikiran yang tidak tidak tentang dirinya.Tersenyum manis, kemudian mendekati Justin."Wah ... Justin. Kangen sama aku, ya ... sampai sampai mencariku ke sini," sambutnya dengan senyuman. Bahkan berniat memeluk laki-laki itu, tapi justru dia mengelakkan dirinya dengan kasar."Jangan menyentuhku dengan tangan kotormu itu!"Alice yang tadinya memasang wajah manis, kini berubah sinis ketika mendapatkan sikap kasar itu. Berusaha tenang dan seolah tak tahu apa apa, tapi dilihat dari sikap yang ia terima sepertinya pikirannya salah."Apa maksudmu mengatakan hal itu? Apa aku pernah merebut milik
Diam dan bersembunyi dibalik sebuah pohon besar dengan daun lebatnya yang menjuntai. Jantungnya berdetak begitu cepat, mengikuti irama napasnya yang berhembus cepat, begitupun keringat membasahi badannya. Tak dihiraukan lagi ketakutan di tengah gelapnya malam hutan belantara.Hana menyeka wajah berkeringatnya dengan lengan. Tapi seketika itu langsung meringis saat rasa perih menerpanya. "Aduh," lirihnya menahan sakit bercampur perih sambil meniup-niup luka itu dengan perlahan agar rasa itu reda.Ya, beberapa luka di tangannya akibat terkena serpihan kaca mobil, begitupun dengan rasa perih di pergelangan tangannya akibat ikatan tali yang ia tarik paka, kini mulai ia rasakan. Bahkan dadanya juga mulai terasa senut-senut.Semakin ketakutan dan menyembunyikan dirinya dibalik pohon saat mendengar suara lolongan serigala. Ingin menangis rasanya saking ketakutannya. Jangan sampai hal-hal menakutkan menghampirinya.Menahan isakan tangis agar tak sampai mengeluarkan suara.Tapi saat rasa taku
Udah jamuran, dikerubungi lalat, membuat Tian sampai mengumpat kesal. Berniat kembali masuk ke dalam mobil, tiba-tiba Willy dan orang-orang bawahan Justin muncul dari dalam hutan."Lah, Justin sama Hana mana?" tanya Tian pada sobatnya itu."Kita nggak ketemu sama mereka," jawab Willy sambil mengatur napasnya yang lelah. Iyalah, ia muter-muter hutan semalaman, tapi seolah tak menemukan hasilnya."Trus, gimana ini? Kita lapor polisi?" Tian mulai panik."Kita tunggu dulu. Semoga aja mereka secepatnya kembali," saran Willy duduk di rerumputan, mengkondisikan rasa lelahnya yang bercampur khawatir. Bukan hanya takut Hana kenapa kenapa, tapi bertambah dengan khawatir akan keadaan Willy.Sebuah mobil datang, membuat pandangan keduanya mengarah pada kendaraan tersebut. Seorang gadis keluar dan menghampiri keduanya."Hana udah ketemu, belum?" tanyanya tertuju pada Willy dan Tian bergantian.Tian hanya membuang muka dan seolah tak berniat menjawab pertanyaan saat tahu kalau yang ada dihadapanny
Sampai di rumah, semuanya sudah dipersiapkan. Termasuk dokter yang sudah menunggu setelah sebelumnya Hana sudah menghubungi."Sudah berikan suntikan, kan?" tanya Dokter pada Willy."Sudah dokter."Dokter sekarang memeriksa tekanan darah dan kondisi Justin. Setidaknya agar mengetahui kondisi kelanjutan dari cowok itu."Gimana keadaan dia dokter?" tanya Hana yang tak sabar akan detail keadaan Justin. "Baik baik saja, kan?""Tak apa. Sekarang hanya tensi darahnya yang sedikit naik," jawab dokter. "Tapi bukan berarti kondisinya baik, ya. Karena efek yang dia rasakan masih akan tetap seperti biasa. Seperti yang saya sudah katakan, kita hanya bisa mencegah ini terjadi dengan cara tak membuat pikirannya rumit. Hanya mengurangi seringnya itu terjadi dan mengurangi rasa sakitnya."Hana mengangguk paham akan penjelasan yang diutarakan dokter. Meskipun sejujurnya ia selalu tak tahan, lebih ke rasa bersalah karena tak bisa mencegah emosi Justin agar tetap berada di posisi stabil. Lagi dan lagi, d