Tiga minggu telah berlalu sejak malam bersama Om Bara waktu itu. Malam yang membuat Keira merasa seperti gadis paling hina di dunia. Bisa-bisanya malam itu, ia seperti jalang murahan yang begitu mendamba sebuah sentuhan.
Namun, Keira tetap bertekad untuk melanjutkan hidupnya, meskipun bayangan kejadian tersebut masih menghantuinya.
Bagaimanapun, ia masih memiliki janji kepada Papanya yang sudah tiada. Janji untuk menyelesaikan kuliahnya dan membantu mengelola perusahaan peninggalan Mahesa.
Hal itu menjadi alasan utama mengapa Keira tetap tegar menjalani rutinitasnya dan melanjutkan kuliah di tengah duka kehilangan sang Papa.
Meski begitu, Keira memutuskan menghindar agar tak bertemu dengan Om Bara lagi. Keira merasa begitu malu untuk bertemu pandang lagi dengan Om Bara. Ia segan untuk bertemu dengan lelaki yang pernah menjamah tubuhnya. Parahnya ia lah yang meminta dan menghendakinya.
Pagi itu, Keira duduk di bangku perpustakaan kampus, matanya menerawang jauh, pikirannya melayang ke berbagai hal. Tiba-tiba, suara yang familiar menyapanya, membuyarkan lamunannya.
“Masih pagi, kamu udah ngelamun aja, Sayang. Jangan sering-sering, nanti bisa-bisa kamu kesambet hantu penunggu perpus kampus kita,” tegur Kevin, sambil menaruh tangannya di pundak belakang Keira.
Sentuhan lembut Kevin di pundaknya seolah menyentak kembali kesadaran Keira. Jika bukan karena suara dan sentuhan pria itu, Ia mungkin tidak akan menyadari kehadiran kekasihnya yang berdiri di belakangnya.
“Aku enggak ngelamun. Cuma lagi mikir tugas kuliah aja, Sayang,” kilah Keira, meraih tangan Kevin agar duduk di sampingnya.
Sebenarnya Keira berbohong. Pikirannya sama sekali tidak terfokus pada tugas kuliah, tetapi lebih kepada kejadian naas yang menimpanya dan kenangan bersama Papanya. Bayangan-bayangan itu terus menghantuinya, membuat hatinya terasa berat.
“Kasiannya.” Kevin mencubit hidung bangir Keira dengan gemas. “Tapi, jangan terlalu sibuk sama tugas. Aku perhatiin akhir-akhir ini kamu makannya jadi sering enggak habis, pasti gara-gara kamu terlalu memforsir urusan tugas kuliah.”
Keira menggelang. “Bukan karena tugas, Sayang. Akhir-akhir ini, aku cuma lagi enggak nafsu makan aja.”
Jawaban Keira memang tidak sepenuhnya bohong. Belakangan ini, setiap kali mencoba makan, perutnya selalu terasa mual, dan ia sering kali merasa ingin muntah. Namun, ia tidak ingin membuat Kevin khawatir dengan menceritakan hal itu.
“Pantes aja muka kamu kelihatan pucet, Kei. Sekarang, mending kamu ikut aku! Mulai hari ini, aku bakal pastiin nafsu makan kamu kembali!”
Dengan cepat, Kevin memasukkan semua buku dan laptop Keira ke dalam tas, lalu menarik tangan kekasihnya menuju kantin yang tidak jauh dari perpustakaan kampus.
Keira mengerutkan kening dan memberengut, merasa kesal dengan tindakan Kevin yang tiba-tiba itu.
“Kita mau ngapain di sini? Aku kan udah bilang enggak nafsu makan, Sayang. Kenapa kamu malah bawa aku ke kantin?!” seru Keira dengan nada yang agak tinggi, emosinya meledak tanpa bisa ditahan.
Keira merasa akhir-akhir ini dirinya jauh lebih sensitif dari biasanya. Emosinya sering kali tidak stabil, padahal biasanya ia tidak pernah bersikap seperti ini.
Biasanya, ia tidak akan kesal dengan ajakan Kevin, tetapi entah kenapa sekarang ia merasa sangat terganggu.
Kevin menghela napas panjang, berusaha sabar menghadapi Keira. “Kamu ini kayak lagi PMS aja, Kei. Aku ajak kamu ke sini karena aku mau beliin makanan kesukaan kamu. Siapa tahu nafsu makan kamu balik.”
Setelah mengatakan itu, Kevin langsung pergi ke konter untuk memesan makanan kesukaan kekasihnya.
Sementara itu, Keira tiba-tiba diam membeku. Kata-kata pria itu yang menyinggung PMS membuatnya teringat akan sesuatu yang penting: tanggal menstruasinya sudah lewat. Ia telah terlambat menstruasi.
Dingin seketika menjalari punggung Keira yang tengah menggigit bibirnya dengan gelisah. Ia terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia menstruasi, dan semakin menyadari bahwa sudah beberapa minggu sejak tanggal yang seharusnya.
Pikiran Keira mulai berputar cepat, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin terjadi. Apakah mungkin ini akibat dari stres yang berkepanjangan? Atau mungkin benih Om Bara sedang tumbuh di rahimnya.
Keira menggelengkan kepalanya dengan kuat. Tidak ingin memikirkan kemungkinan buruk itu…
“Enggak…enggak mungkin kejadian malam itu membuahkan sesuatu di perutku,” gumam Keira pada dirinya sendiri sambil meremas perutnya.
Namun, ketakutan itu seakan tidak bisa pergi dari hatinya. Dengan gelisah, Keira pun menggigit bibirnya dan mencengkram jari-jemarinya sendiri.
Kevin kembali dengan senyum lebar dan nampan berisi makanan favorit Keira. “Nih, Sayang. Semoga setelah makan ini, nafsu makan kamu balik lagi.”
Ketika menyadari Kevin datang, Keira berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya. Keira mencoba tersenyum, tapi hatinya masih buncah.
“Makasih, Sayang,” ucapnya pelan, mencoba mengalihkan perhatian dari kegelisahan yang melanda.
Keira mengambil sendok dan mulai menyuap makanan ke mulutnya, berusaha menahan mual yang tiba-tiba menyerang.
Kevin duduk di depannya, memperhatikan setiap gerak-gerik Keira dengan penuh perhatian.
“Kenapa? Kamu masih enggak ada nafsu buat makan?” tanyanya, seolah bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dari kekasihnya.
Keira menatap mata Kevin, merasakan kehangatan dan kepedulian di sana. Air mata hampir saja tumpah dari matanya, tapi ia menahannya. “Enggak tahu nih. Kayaknya perutku lagi bermasalah.”
“Mau aku beliin obat?” tawar Kevin dengan penuh perhatian.
Keira menggeleng. “Enggak usah, aku masih bisa tahan.”
Namun, setelah beberapa suap, Keira merasa tidak tahan lagi. “Sayang, aku ke kamar mandi sebentar,” ucapnya buru-buru, meletakkan sendok dan beranjak dari kursi.
Di dalam kamar mandi, Keira mencoba memuntahkan segala isi perutnya yang tak mau mengeluarkan apapun selain air liur.
Setelah membasuh mulutnya, Keria menatap bayangannya di cermin. Matanya tampak lelah dan wajahnya pucat. “Apa yang harus aku lakukan kalau yang aku takutkan benar terjadi?” tanyanya pada bayangan di cermin.
Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Ketakutan yang ia rasakan semakin nyata. Ia harus mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya. Segera.
Ketika Keira keluar dari kamar mandi, ia melihat Kevin yang menatapnya dengan cemas.
“Kamu baik-baik saja, Kei?” tanyanya dengan suara lembut.
Keira menggeleng dan tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulut Keira. Ia hanya bisa menangis.
Tak kuasa menyaksikan air mata Keira, membuat Kevin langsung merengkuh tubuh Keira ke dalam dekapan tubuhnya.
Dibiarkannya Keira menumpahkan air mata di dada bidangnya, tanpa ada rasa jijik pada cairan yang keluar dari mata dan hidung kekasihnya.
Puas menumpahkan tangisnya, Keira mengusap air matanya dan melepaskan diri dari rangkulan Kevin.
“Aku mau pulang,” bisik Keira sambil menundukkan kepalanya. Ia berbalik, lalu melangkah pergi.
Namun, baru beberapa langkah, tangan Kevin sudah melingkari pergelangan tangan Keira untuk menahan gadis itu agar jangan pergi dulu.
“Biar aku anter. Aku enggak akan biarin kamu pulang sendiri dalam keadaan begini!” pungkas Kevin menurunkan tangannya, menggenggam jari jemari Keira.
*****
Keira berpura-pura santai saat meminta Kevin mampir ke apotek, dengan alasan membeli vitamin.
Dengan susah payah, ia menahan Kevin agar tidak ikut masuk. "Tunggu di mobil aja ya, Sayang. Aku cuma sebentar," katanya dengan senyum dipaksakan. Setelah akhirnya berhasil, ia segera membeli tespek dengan hati berdebar-debar.
Selama dalam perjalanan pulang. Keira hanya terdiam. Ia memilih memejamkan matanya, agar Kevin tidak bisa melihat kecemasannya.
“Makasih ya udah anter aku pulang,” ucap Keira sambil menyembunyikan getar dalam suaranya saat mobil Kevin berhenti di depan rumahnya.
Kevin mengangguk sambil tersenyum hangat. “Everything for you, Sayang. Jangan lupa dipaksa buat tetap makan dan diminum juga vitamin yang tadi kamu beli di apotik. I want you always to be fine and healthy.”
“Makasih untuk hari ini, Sayang.” Keira tersenyum kecil, dua lesung pipi yang manis terlihat jelas di wajahnya. “Aku masuk sekarang, ya.”
Sebelum keluar dari mobil Kevin, Keira menyempatkan diri untuk meremas tangan Kekasihnya yang menggenggam tangannya, seolah sedang mencari kekuatan di tengah kegelisahan hatinya.
Kevin membalas sentuhannya. Sentuhan yang seakan mampu memberikan sedikit kehangatan di hati Keira yang tengah dirundung dinginnya rasa takut.
“Hati-hati di jalan, ya,” kata Keira setelah turun dari mobil. Ia melambaikan tangannya sambil memaksakan senyumnya.
Setelah Kevin berlalu, Keira bergegas masuk ke rumah. Rasa gelisah membungkus hatinya, mengiringi setiap langkahnya menuju kamar mandi.
Kini, Keira bergerak gelisah di depan pintu kamar mandi. Gadis itu mondar-mandir tanpa arah yang jelas, meremas gaun yang dikenakannya sambil menggigit bibirnya dengan gelisah.
Hatinya berdebar-debar setengah mati menunggu hasil tespek yang telah ia celupkan ke dalam gelas berisi urinnya.
Sebenarnya Keira tidak ingin melakukan tes kehamilan. Takut menghadapi kemungkinan hasil yang positif. Tetapi rasa penasarannya yang tak tertahankan membuatnya nekat memastikan apakah benar ia hamil.
Dengan mata terpejam, Keira menanti dengan harap cemas. Semoga saja tak ada dua garis merah yang muncul di sana, gumamnya penuh harap.
Namun, harapan tinggallah harapan. Saat Keira dengan takut-takut memeriksa tespek yang sudah di tangannya, dua garis merah jelas terpampang di beberapa alat tes kehamilan itu. Semua hasilnya sama. Dirinya hamil…
Tespek jatuh dari tangannya, tubuh Keira luruh ke lantai. Air matanya tak kuasa ia bendung. Kenyataan pahit menghantamnya dengan keras.
“Enggak! Ini enggak mungkin terjadi!” pekiknya sambil menggeleng-gelengkan kepala dan menjambak rambutnya penuh histeris.
Keira merasakan dunia di sekelilingnya runtuh. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang pucat.
Hatinya terasa remuk, seolah semua impiannya hancur berkeping-keping. “Kenapa? Kenapa ini harus terjadi?” isaknya lirih, memeluk lututnya sendiri di lantai kamar mandi.
Keira merasa seolah terjebak dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Kenangan pahit malam itu kembali menghantui pikirannya, memperparah luka di hatinya. Ia merasa tak berdaya, terjebak dalam pusaran emosi yang tak bisa ia kendalikan.
Tangis Keira semakin menjadi. Ia merasakan beban yang begitu berat di pundaknya. Perasaan takut dan cemas menghimpitnya dari segala arah. Bagaimana ia akan menghadapi ini semua? Bagaimana ia bisa menjelaskan semuanya pada orang-orang terdekatnya? Sanggupkan Keira mengungkapkan yang telah menimpanya ini pada orang lain?
“Keira harus gimana, Pa?” desah Keira dengan lesu. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menangis tersedu-sedu.Setelah mengetahui dirinya tengah berbadan dua, Keira merasa dunianya runtuh. Segala semangat hidupnya seolah lenyap seketika. Janji yang telah ia buat pada mendiang Papanya, kini tak mampu lagi menggerakkannya untuk bangun dan berangkat kuliah. Bagaimana mungkin di usianya yang baru 20 tahun, ia harus menghadapi kenyataan pahit ini? Tiga tahun memasuki dunia perkuliahan, dan kini harus mengandung di tengah perjalanan itu.Keira mengurung dirinya di kamar. Sudah hampir seminggu ini ia absen dari perkuliahan. Setiap hari, ia hanya duduk di sudut kamar, memeluk lututnya, memandang hampa ke arah jendela.Keira takut kehamilannya diketahui orang lain, yang pada akhirnya bisa mencoreng nama baik almarhum Papanya. Ketakutan dan rasa malu itu begitu mendalam, menghantui setiap sudut pikirannya. Terkadang ia teringat kembali malam itu. Semua rasa bersalah yang bercampur
"Tuan, saya ingin melaporkan perkembangan terbaru mengenai Nona Keira. Selama seminggu ini, ia mengurung diri di kamar dan tidak keluar sama sekali. Dari rekaman kamera tersembunyi yang saya pasang, terlihat bahwa Nona Keira juga sepertinya jarang menyentuh makanan."Begitulah laporan mingguan yang dipaparkan oleh mata-mata sewaan yang Bara tugaskan untuk melakukan pengawasan pada Keira.Setelah kejadian malam itu, sulit sekali bagi Bara untuk menemui Keira. Meski begitu, Bara paham, pasti tak mudah bagi Keira untuk bertatapan muka lagi dengannya usai semua yang terjadi pada mereka malam itu.Sadar untuk sementara waktu ia tak akan bisa menemui Keira di rumah Mahesa untuk melakukan penjagaan dan pengawasan langsung pada anak gadis sahabatnya itu. Oleh karena itu, sengaja ia menyewa mata-mata untuk mengawasi dan memasang kamera pengawas tersembunyi di kamar Keira.“Baiklah. Cukup sampai di sini saja laporanmu, sisanya akan saya pantau sendiri dari kamera pengawas,” pungkas Bara sambil
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bara tak sabaran pada dokter yang baru saja selesai melakukan penanganan pada Keira. Wajahnya tampak pucat, cemas, dan penuh ketegangan, seolah-olah dunia sedang menggantungkan nasibnya pada jawaban sang dokter.“Syukurlah Anda membawa pasien tepat waktu, sehingga kami bisa segera melakukan penanganan padanya. Sedikit saja terlambat, bisa-bisa membahayakan nyawa pasien dan kandungannya.”“K–kandungan? M–maksud dokter Keira hamil?” Bara tergagap, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jawaban dokter itu seperti palu godam yang menghantam perasaan Bara.Dadanya berdebar kencang, pikirannya melayang pada malam itu, saat semua terjadi begitu cepat dan tak terduga. Apakah peristiwa malam itu dengan Keira benar-benar membuahkan hasil?“Benar, pasien hamil. Sekarang kondisinya sudah membaik, tetapi masih harus dirawat di sini satu atau dua hari lagi. Kondisi tubuhnya memang sudah mulai stabil dan kandungannya pun masih bisa diselamatkan. Hanya
Di tengah histeria yang dialami oleh Keira, Tangis gadis itu juga pecah, menghantam ruangan dengan gemuruh kesedihan dan putus asa. Bara terus menahan Keira dengan segala kekuatannya. Merengkuh tubuh rapuh Keira ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan Keira sekaligus melindungi anak yang tak bersalah di dalam rahim gadis itu.Tak peduli jika Keira terus memberontak. Yang penting, ia bisa menghentikan tindakan Keira menyakiti diri dan juga menenangkan kehisterisan gadis itu.Hingga, lama-lama tak ada perlawanan dari Keira. Bukan karena gadis itu tak mampu atau tak ingin melakukannya, tetapi saking hensetrisnya malah membuat Keira lemas dan akhirnya kembali pingsan.Mendapati betapa histeris dan syoknya Keira, membuat Bara yang awalnya dipenuhi keraguan dan kebimbangan, akhirnya terpaksa menentukan sebuah keputusan yang sebenarnya teramat berat untuk ia ambil.Namun, sepertinya Bara tak punya pilihan lain. Ia memang harus mengambil keputusan sulit ini. Demi menjaga Keira. Juga memasti
Mendidih Darah Bara saat Keira dengan entengnya menyarankan untuk melakukan aborsi pada janin di kandungan gadis itu.Bagaimana pun yang ada di dalam rahim Keira adalah bakal darah dagingnya. Tak sampai hati ia ingin menyingkirkan calon anaknya sendiri.Sekalipun anak itu berasal dari kesalahan, tetapi Bara tidak akan pernah menghilangkan kesempatannya untuk terlahir ke dunia sebagai anaknya.Mata Bara menatap tajam, sinar kemarahan terpancar jelas di matanya. “Enteng sekali kamu mengatakan ingin menggugurkan kandungan? Kamu pikir melakukan aborsi hal yang mudah dan tidak membahayakan?!”Keira menghindari tatapan Bara, tangannya meremas ujung bajunya dengan gelisah. “Aku enggak tahu. Tapi setidaknya, hidup aku bisa balik kayak semula,
Semua persiapan pernikahan berjalan begitu cepat. Bara mengatur segalanya dengan rapi dan profesional. Sehingga setelah sehari Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit, Bara langsung melangsungkan acara pernikahannya dengan KeiraMatahari pagi yang menyinari kamar Keira seakan-akan menjadi saksi bisu pergulatan batin Keira. Duduk di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Wajah yang biasanya memancarkan keceriaan kini tampak murung dan bingung. Di belakangnya, Bara, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya, berdiri tenang dengan setelan jas hitam yang rapi.Mereka bersiap untuk pernikahan siri mereka, sebuah acara yang dipenuhi dengan berbagai perasaan campur aduk. Keira mengenakan kebaya sederhana, memilih warna putih yang melambangkan kesucian dan juga kesederhanaan.Setelah selesai bersiap, kin
“Ada kuliah pagi, Kei?” tanya Bara saat melihat Keira menuruni tangga dengan penampilan sedemikian rapinya.Dress selutut dipadukan dengan blazer setengah lengan, terbalut elegan di tubuh Keira yang masih terlihat ramping. Mungkin karena perutnya belum terlalu menonjol dan usia kehamilannya masih muda.“Iya, Om,” jawab Keira singkat tanpa melihat ke arah Bara.Tangannya tampak sedang sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas selempang yang bertengger di bahu kirinya.“Sedang mencari apa, Kei? Tak bisakah mencarinya sambil duduk saja?” pinta Bara karena takut Keira jatuh kalau masih berdiri di atas undakan 3 anak tangga terakhir.“Cari kunci mobil, Om. Seinget Keira tadinya ada di
Setelah kemarin tak masuk kuliah karena ulah Om Bara. Akhirnya, hari ini Keira memutuskan datang ke kampus. Bukan hanya sekadar untuk menghadiri perkuliahan, tetapi sekaligus bertemu dengan Kevin.Begitu melihat tubuh Keira menjulang indah di hadapannya, dengan cepat Kevin merengkuh tubuh Keira ke dalam pelukan erat, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa gadis yang telah membuatnya khawatir berminggu-minggu kini benar-benar ada di hadapannya.“Akhirnya kamu masuk kuliah juga, Sayang. Aku khawatir banget waktu kamu tiba-tiba hilang gitu aja dan enggak bisa dihubungi sama sekali,” ucap Kevin dengan suara penuh kelegaan bercampur kebahagiaan tak tertahan.Keira menepuk lembut dada Kevin saat dirasa dekapan pacarnya itu terlalu erat. Ia memang senang di peluk Kevin dan hatinya selalu berbunga-b
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di