"Tuan, saya ingin melaporkan perkembangan terbaru mengenai Nona Keira. Selama seminggu ini, ia mengurung diri di kamar dan tidak keluar sama sekali. Dari rekaman kamera tersembunyi yang saya pasang, terlihat bahwa Nona Keira juga sepertinya jarang menyentuh makanan."
Begitulah laporan mingguan yang dipaparkan oleh mata-mata sewaan yang Bara tugaskan untuk melakukan pengawasan pada Keira.
Setelah kejadian malam itu, sulit sekali bagi Bara untuk menemui Keira. Meski begitu, Bara paham, pasti tak mudah bagi Keira untuk bertatapan muka lagi dengannya usai semua yang terjadi pada mereka malam itu.
Sadar untuk sementara waktu ia tak akan bisa menemui Keira di rumah Mahesa untuk melakukan penjagaan dan pengawasan langsung pada anak gadis sahabatnya itu. Oleh karena itu, sengaja ia menyewa mata-mata untuk mengawasi dan memasang kamera pengawas tersembunyi di kamar Keira.
“Baiklah. Cukup sampai di sini saja laporanmu, sisanya akan saya pantau sendiri dari kamera pengawas,” pungkas Bara sambil mengibaskan tangannya, mengisyaratkan pada mata-mata itu untuk segera keluar dari ruang kerjanya.
Pria berpakaian formal itu membungkuk hormat pada Bara dan segera pergi sesuai dengan perintah Bara.
Setelah mata-mata sewanya benar-benar lenyap dari pandangannya, mata Bara tampak fokus mengamati monitor di depannya.
Pandangan matanya tampak sayu dan sendu, kala menyaksikan sendiri betapa semrawut dan kuyunya penampilan Keira dari balik kamera pengawas di kamar Keira yang terhubung dengan monitor di ruang kerjanya.
Pancaran mata yang sendu lama-lama berubah membelalak, tatkala ia menyaksikan Keira menenggak bermacam-macam obat berbeda-beda dari satu botol yang sama bersamaan dengan air mineral juga.
Awalnya, Bara hanya mengernyitkan dahi sewaktu gadis itu mengambil kotak obat, tetapi ketika ia tahu Keira berusaha bunuh diri dengan menelan berbagai pil obat, Bara benar-benar terperanjat.
"Astaga, Keira!" Bara berseru, suaranya serak oleh kepanikan yang mendadak menyergap. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghubungi nomor telepon rumah Keira, berharap Bi Darmi bisa segera bertindak.
Namun, panggilannya tak kunjung diangkat. Waktu terus berjalan dan Bara semakin panik. Dengan langkah tergopoh-gopoh, ia mengambil kunci mobil dan berlari sekencang mungkin menuju tempat mobilnya diparkirkan.
Apa pun yang terjadi, Bara harus segera sampai di rumah Mahesa untuk menyelamatkan Keira, sebelum pengaruh obat-obatan tadi bisa benar-benar mencelakakan gadis itu.
Bara mengemudi dengan kecepatan tinggi, hatinya dipenuhi kecemasan yang tak tertahankan.
Ia tak henti-hentinya berdoa dalam hati agar masih ada waktu untuk menyelamatkan Keira.
Setibanya di rumah Keira, ia langsung berlari menuju pintu depan dan membunyikan bel dengan keras.
Bi Darmi yang mendengar suara bel yang memekakkan telinga segera membuka pintu, terkejut melihat Bara yang tampak begitu panik.
"Tuan Bara! Ada apa?!" tanya Bi Darmi dengan suara gemetar.
"Di mana Keira?! Cepat, antar saya ke kamarnya!" Bara berteriak, suaranya penuh urgensi.
“Non Keira tidak ada di rumah, Tuan. Jadi Bibi tidak bisa membiarkan orang lain masuk ke rumah karena begitulah pesan Non Keira.”
Bi Darmi langsung mencegah Bara yang baru datang, tetapi tiba-tiba ingin Bara menerobos masuk ke dalam rumah.
“Saya tahu Keira berada di kamarnya. Tolong jangan berbohong dan menghalangi saya masuk, kalau Bibi tidak ingin terjadi hal buruk pada Keira!” tandas Bara.
Tak ingin berlama-lama bicara, Bara melanjutkan aksinya menerobos masuk. Bi Darmi tak bisa menghalangi lagi karena takut ucapan Bara benar adanya.
Akhirnya diikutinya saja langkah Bara menuju kamar Nonanya. Sampai di depan kamar Keira, Ia menggedor pintu keras-keras sambil memanggil nama Keira, tapi tak ada jawaban.
"Keira! Kalau kamu masih sadar, tolong jawab saya." Bara terus berteriak, suaranya penuh kepanikan.
Menyadari kalau sepertinya pintu kamar gadis itu terkunci dari dalam, membuat Bara semakin khawatir.
Tak ada pilihan lain, Bara mendobrak pintu kamar Keira. Dengan sekuat tenaga, ia mendorong pintu hingga terbuka.
Begitu pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pada tubuh Keira yang tergeletak lemas di lantai, dengan sisa pil yang berserakan di sekitarnya gadis itu.
Sementara itu, Keira merasakan pahit dari obat-obatan itu mengalir ke tenggorokannya. Tetapi Keira tidak peduli. Ia memang sengaja menelan semua obat-obatan itu dengan tekad yang sudah bulat.
Lama-kelamaan, Keira merasakan jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi keningnya. Pandangannya mulai kabur dan rasa sakit seperti diremas-remas dari dalam perutnya semakin tak tertahankan.
Tampaknya dengan tangan bergemetaran, Keira mencoba meraih ujung tempat tidur, tetapi kekuatannya sudah benar-benar menghilang.
"Maafin Keira, Papa. Maafin Keira," gumamnya lemah, nyaris tak terdengar.
Hati Keira berat dengan penyesalan dan rasa putus asa yang mendalam. Kalau ia akan mati menyusul Papanya, artinya ia tak pernah akan bisa memenuhi janji pada Papanya. Seluruh harapan, segenap impian, semuanya hancur berantakan di hadapannya.
Mata Keira mulai menutup. Sejenak, wajah Papanya terlintas di benaknya, tersenyum penuh kasih dan kehangatan. Senyum Papanya yang selalu membuatnya merasa aman dan dicintai.
Namun, wajah itu segera digantikan oleh bayangan kelabu yang sedikit demi sedikit menyeretnya ke dalam kegelapan.
Kesadaran Keira semakin pudar, dan ia merasa dirinya tenggelam dalam lautan kegelapan yang dalam.
Sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya, samar-samar Ia mendengar suara pria yang ia sangat familiar. Suara Om Bara yang memanggil namanya, membuat jiwanya tersentak
“Keira! Keira!" Suara itu menggema di telinganya, penuh kecemasan. Tapi suara itu hanya membuatnya ingin segera memejamkan mata untuk selamanya, melarikan diri dari kenyataan yang begitu memalukan dan menyakitkan.
"Keira, jaga kesadaranmu! Tolong jangan pejamkan matamu dulu!" Teriakan itu semakin mendekat, tetapi bagi Keira, itu adalah panggilan dari dunia yang ingin ia tinggalkan.
Pandangannya semakin mengelap, kesadaran Keira semakin memudar, dan busa mulai keluar dari mulutnya. Hanya ada satu harapan dalam benaknya: bahwa semua rasa sakit ini akan segera berakhir.
Mengetahui Keira dalam bahaya, Bara lekas-lekas menggendong Keira dengan hati-hati dan segera melarikan gadis itu ke mobilnya.
Setelahnya, dengan sigap Bara mengemudikan mobilnya, melaju secepat mungkin menuju rumah sakit terdekat.
Di dalam mobil, Bara terus-menerus memeriksa Keira, memastikan gadis itu masih bernafas meski dalam kondisi kritis.
Wajahnya penuh kekhawatiran, bayangan sahabatnya yaitu almarhum Papa Keira, terus menghantuinya.
"Bertahan lah, Keira. Jangan sia-siakan hidupmu seperti ini atau Om akan merasa begitu bersalah pada Mahesa karena tak bisa memenuhi janji Om menggantikannya untuk menjagamu," gumam Bara, meski Ia tahu gadis itu tak mungkin mendengarnya dalam kondisi seperti ini.
Semoga saja, kali ini Bara bisa kembali menyelamatkan Keira tepat waktu. Seperti malam itu, ketika Bara mendapatkan laporan dari mata-mata yang ia tugaskan untuk mengawasi Keira.
Malam itu, begitu mata-mata suruhannya melaporkan kalau Keira pergi ke klub malam dan menyentuh alkohol, Bara buru-buru pergi meninggalkan rapat kantornya.
Untung saja belum terlambat untuknya menyelamatkan Keira malam itu. Meski ujungnya, ia terpaksa harus melakukan sesuatu yang tak bermoral kepada gadis itu, demi membantu menghilangkan pengaruh obat perangsang, yang entah bagaimana bisa masuk ke dalam tubuh Keira.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Bara tak sabaran pada dokter yang baru saja selesai melakukan penanganan pada Keira. Wajahnya tampak pucat, cemas, dan penuh ketegangan, seolah-olah dunia sedang menggantungkan nasibnya pada jawaban sang dokter.“Syukurlah Anda membawa pasien tepat waktu, sehingga kami bisa segera melakukan penanganan padanya. Sedikit saja terlambat, bisa-bisa membahayakan nyawa pasien dan kandungannya.”“K–kandungan? M–maksud dokter Keira hamil?” Bara tergagap, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Jawaban dokter itu seperti palu godam yang menghantam perasaan Bara.Dadanya berdebar kencang, pikirannya melayang pada malam itu, saat semua terjadi begitu cepat dan tak terduga. Apakah peristiwa malam itu dengan Keira benar-benar membuahkan hasil?“Benar, pasien hamil. Sekarang kondisinya sudah membaik, tetapi masih harus dirawat di sini satu atau dua hari lagi. Kondisi tubuhnya memang sudah mulai stabil dan kandungannya pun masih bisa diselamatkan. Hanya
Di tengah histeria yang dialami oleh Keira, Tangis gadis itu juga pecah, menghantam ruangan dengan gemuruh kesedihan dan putus asa. Bara terus menahan Keira dengan segala kekuatannya. Merengkuh tubuh rapuh Keira ke dalam pelukannya. Mencoba menenangkan Keira sekaligus melindungi anak yang tak bersalah di dalam rahim gadis itu.Tak peduli jika Keira terus memberontak. Yang penting, ia bisa menghentikan tindakan Keira menyakiti diri dan juga menenangkan kehisterisan gadis itu.Hingga, lama-lama tak ada perlawanan dari Keira. Bukan karena gadis itu tak mampu atau tak ingin melakukannya, tetapi saking hensetrisnya malah membuat Keira lemas dan akhirnya kembali pingsan.Mendapati betapa histeris dan syoknya Keira, membuat Bara yang awalnya dipenuhi keraguan dan kebimbangan, akhirnya terpaksa menentukan sebuah keputusan yang sebenarnya teramat berat untuk ia ambil.Namun, sepertinya Bara tak punya pilihan lain. Ia memang harus mengambil keputusan sulit ini. Demi menjaga Keira. Juga memasti
Mendidih Darah Bara saat Keira dengan entengnya menyarankan untuk melakukan aborsi pada janin di kandungan gadis itu.Bagaimana pun yang ada di dalam rahim Keira adalah bakal darah dagingnya. Tak sampai hati ia ingin menyingkirkan calon anaknya sendiri.Sekalipun anak itu berasal dari kesalahan, tetapi Bara tidak akan pernah menghilangkan kesempatannya untuk terlahir ke dunia sebagai anaknya.Mata Bara menatap tajam, sinar kemarahan terpancar jelas di matanya. “Enteng sekali kamu mengatakan ingin menggugurkan kandungan? Kamu pikir melakukan aborsi hal yang mudah dan tidak membahayakan?!”Keira menghindari tatapan Bara, tangannya meremas ujung bajunya dengan gelisah. “Aku enggak tahu. Tapi setidaknya, hidup aku bisa balik kayak semula,
Semua persiapan pernikahan berjalan begitu cepat. Bara mengatur segalanya dengan rapi dan profesional. Sehingga setelah sehari Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit, Bara langsung melangsungkan acara pernikahannya dengan KeiraMatahari pagi yang menyinari kamar Keira seakan-akan menjadi saksi bisu pergulatan batin Keira. Duduk di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Wajah yang biasanya memancarkan keceriaan kini tampak murung dan bingung. Di belakangnya, Bara, lelaki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya, berdiri tenang dengan setelan jas hitam yang rapi.Mereka bersiap untuk pernikahan siri mereka, sebuah acara yang dipenuhi dengan berbagai perasaan campur aduk. Keira mengenakan kebaya sederhana, memilih warna putih yang melambangkan kesucian dan juga kesederhanaan.Setelah selesai bersiap, kin
“Ada kuliah pagi, Kei?” tanya Bara saat melihat Keira menuruni tangga dengan penampilan sedemikian rapinya.Dress selutut dipadukan dengan blazer setengah lengan, terbalut elegan di tubuh Keira yang masih terlihat ramping. Mungkin karena perutnya belum terlalu menonjol dan usia kehamilannya masih muda.“Iya, Om,” jawab Keira singkat tanpa melihat ke arah Bara.Tangannya tampak sedang sibuk mencari-cari sesuatu di dalam tas selempang yang bertengger di bahu kirinya.“Sedang mencari apa, Kei? Tak bisakah mencarinya sambil duduk saja?” pinta Bara karena takut Keira jatuh kalau masih berdiri di atas undakan 3 anak tangga terakhir.“Cari kunci mobil, Om. Seinget Keira tadinya ada di
Setelah kemarin tak masuk kuliah karena ulah Om Bara. Akhirnya, hari ini Keira memutuskan datang ke kampus. Bukan hanya sekadar untuk menghadiri perkuliahan, tetapi sekaligus bertemu dengan Kevin.Begitu melihat tubuh Keira menjulang indah di hadapannya, dengan cepat Kevin merengkuh tubuh Keira ke dalam pelukan erat, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa gadis yang telah membuatnya khawatir berminggu-minggu kini benar-benar ada di hadapannya.“Akhirnya kamu masuk kuliah juga, Sayang. Aku khawatir banget waktu kamu tiba-tiba hilang gitu aja dan enggak bisa dihubungi sama sekali,” ucap Kevin dengan suara penuh kelegaan bercampur kebahagiaan tak tertahan.Keira menepuk lembut dada Kevin saat dirasa dekapan pacarnya itu terlalu erat. Ia memang senang di peluk Kevin dan hatinya selalu berbunga-b
“Tiap malam pulang larut dan selalu diantarkan pulang oleh pacarmu lagi?” tegur Bara sejak tadi memperhatikan kepulangan Keira dari balik jendela.Akhirnya, setelah hampir sebulan, Bara memberanikan diri untuk buka suara saat melihat Keira selalu pulang malam diantar oleh lelaki yang sama. Selama ini, sengaja ia diam saja, membiarkan Keira melakukan apa yang diinginkannya. Bara ingin melihat sampai kapan dan sejauh mana Keira akan terus keluar malam bersama pacarnya. Selain itu, dia juga tidak ingin kembali diacuhkan oleh Keira selama seminggu lebih, seperti yang terjadi saat dia memaksa Keira sarapan sehari setelah pernikahan siri mereka.Namun, kali ini Bara merasa tak bisa diam saja karena dianggapnya Keira sudah keterlaluan. Kalau hanya sekedar sampai seminggu, Bara masih bisa menoleransinya. Tetapi hampir genap sebulan, Keira selalu pergi pagi dan pulang malam bersama seorang pemuda, Bara merasa perlu angkat bicara.“Om kan bisa lihat sendiri! Untuk apa sih nanya sesuatu yang u
Kevin baru saja menerima sebuah surat yang diantar oleh satpam rumahnya. Surat itu dari Keira, pacarnya yang sudah hampir 3 tahun bersamanya. Dengan penuh penasaran dan perasaan yang bercampur aduk, ia membuka surat tersebut dan mulai membacanya.Dear Kevin,Maafin aku karena harus mengakhiri hubungan kita dengan cara kayak ini. Aku terlalu takut dan enggak sampai hati untuk bilang langsung sama kamu, Kevin. Aku tahu dengan datangnya surat ini, mungkin akan menyakiti kamu, dan itu adalah hal terakhir yang enggak ingin aku lakukan.Selama kita pacaran, aku sudah melalui begitu banyak hal yang menyenangkan sama kamu, dan aku sangat menghargai setiap momen yang kita habiskan berdua. Kamu adalah orang terbaik yang pernah aku kenal, dan aku beruntung bisa menjadi bagian dari hidup kamu.
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di