**
Rasa pening itu masih tersisa saat Binar berusaha membuka mata. Ia mengerjap sesaat, berusaha membiasakan diri dengan keadaan sekitar. Saat terlihat jelas olehnya langit-langit ruangan yang putih dan terang, Binar tahu ia tidak sedang berada di rumah.
Perempuan itu menoleh ke sana kemari, menemukan dirinya berada di ruangan terang, yang jelas sekali adalah rumah sakit.
“Kenapa denganku?” gumamnya lirih. “Tadi kayaknya aku lagi di kamar dan mau mandi. Terus ….”
“Kamu sudah sadar, Binar?”
Binar mengalihkan pandang ke arah pintu ruangan yang mendadak terbuka. Dua orang baru saja datang dan masuk dari sana.
“Tuan WIlliam?”
“Bagaimana perasaanmu? Ada yang sakit?”
Binar menggeleng. Ia tidak akan mengeluh hanya karena sedikit pusing. “Kenapa saya dan anda berada di sini?”
“Kamu pingsan di kamar. Para pegawai rumah meneleponku, jadi aku langsung datang dan bawa kamu ke sini.”
Binar mengerutkan dahi mendengar penjelasan William. Ia merasa bersalah. “Tapi Mbak Rachel sedang sakit, kan? Apakah nggak apa-apa anda di sini?”
“Nggak masalah. Ada maid yang menjaganya. Lebih dari itu, ada yang harus disampaikan sama dokter.” William melangkah menepi, memberikan ruang kepada dokter yang juga tengah berada di sana. Itu adalah Dokter Ardi. Dokter obgyn yang memeriksa Binar tempo lalu. Mendadak saja Binar merasa cemas karena mengira ada hal buruk terjadi dengan dirinya.
Ia ingat, William menyuruhnya tidak melakukan apapun, tapi ia malah menyiram bunga sehalaman penuh. Nah, namun raut wajah Dokter Ardi tidak menyiratkan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Pria separuh baya itu tersenyum.
“Nyonya Binar, sebelumnya saya ucapkan selamat. Menurut pemeriksaan yang sudah dilakukan, anda saat ini sedang mengandung. Itulah mengapa anda pingsan. Tubuh anda masih beradaptasi.”
Kedua manik gelap Binar seketika melebar. “Secepat itu, Dokter?”
“Nah, bukankah ini memang yang kalian tunggu-tunggu? Ini kabar bahagia, kan?”
Perempuan itu terdiam. Mencoba mengingat kembali, ia memang baru saja selesai haid saat melangsungkan pernikahan waktu itu. Jika kala itu ia sedang berada dalam masa subur, maka benar saja jika ia bisa hamil secepat ini.
“Kamu dengar itu, Binar? Dokter bilang, kamu sedang mengandung.” William menyambut dengan wajah berseri-seri. “Wah, ini seperti keajaiban. Aku juga nggak mengira akan secepat ini.”
“Usia kandungan Nyonya Binar baru saja menginjak minggu ketiga. Ini waktu yang rentan, jadi saya harap anda berhati-hati dalam beraktivitas.”
“Seberapa sering kami harus mengecek kandungannya, Dokter? Apakah ada hal-hal yang dianjurkan atau dilarang?”
Binar mengalihkan pandang kepada William, yang kemudian antusias berdiskusi dengan Dokter Ardi. Lebih dari satu bulan selalu melihat wajah pria itu yang senantiasa datar dan dingin, kali ini Binar merasa William sangat berbeda.
Raut berseri-seri dan bahagia itu tampak jauh lebih … tampan.
“Apa yang aku pikirkan?” Perempuan itu membatin sembari mengalihkan pandang dari sang suami. “Aku hanya menjalankan perjanjian yang sudah kami sepakati. Waktuku tersisa sembilan bulan ke depan. Setelah itu, aku harus pergi meninggalkan Tuan William dan bayi yang saat ini berada dalam rahimku.”
Binar menghela napas. Mengapa semuanya justru jadi terasa berat?
“Tuan William, saya nggak apa-apa, kok. Saya baik-baik saja sekarang. Sebaiknya anda kembali pulang ke rumah. Takutnya Mbak Rachel membutuhkan anda di sana.”
Binar berujar dengan serius sepulangnya dari rumah sakit. Karena tidak ada keadaan yang urgent dan dokter berkata ia hanya perlu istirahat, maka Binar meminta segera pulang saja.
“Kamu akan sendirian malam ini.” William berkata dengan nada bimbang.
“Rumah ini penuh dengan orang-orang, Tuan. Saya nggak masalah, lagian kan juga sudah terbiasa.”
Sungguh, Binar sama sekali tidak merasa suaminya perlu menungguinya malam ini. Ia merasa sangat sehat saat ini.
“Saya bahkan sudah nggak pusing lagi, kok. Bukankah Mbak Rachel yang harus lebih dikhawatirkan?”
Namun William menggeleng. “Kamu ikut pulang saja, Binar. Mulai hari ini, kamu pindah dan tinggal bersamaku dan Rachel saja. Biar aku bisa memantaumu setiap hari. Mansion ini jaraknya agak jauh dari kantor, jadi kurang efisien kalau aku harus pulang pergi setiap harinya.”
“Ta-tapi–”
“Lagian kalau kamu tinggal bersama kami, ada Rachel yang bisa jadi teman ngobrol. Dia memang sering nggak ada di rumah karena pekerjaannya, tapi kalau tinggal bersama kan setidaknya waktu bertemu kalian jadi lebih banyak.”
Binar mengeluh dalam hati. Bukankah itu justru yang terburuk? Ia tidak akan pernah lupa pertemuan pertamanya dengan Rachel yang jauh dari kata mengesankan.
“Bagaimana? Kamu mau, kan? Ini demi kebaikan semua orang juga.”
“Tapi apakah Mbak Rachel nggak apa-apa? Saya takutnya Mbak Rachel jadi nggak nyaman kalau saya juga berada di sana.”
“Astaga, Rachel bukan perempuan seperti itu, Binar. Dia sangat baik. Kamu hanya belum mengenalnya saja.”
Benarkah itu? Entah mengapa Binar tidak merasa demikian. Namun, apalah kuasanya untuk menolak kata-kata William Aarav? Sekali lagi, Binar hanyalah perempuan yang William nikahi karena sebuah desakan terpaksa, bukan karena rasa.
“Baiklah kalau begitu. Selama Mbak Rachel nggak keberatan, saya nggak apa-apa.”
William sontak tersenyum dan kembali menampakkan wajah berseri-seri. “Kamu bawa barang seperlunya saja. Aku akan belikan lagi yang baru nanti. Terutama baju, mungkin kamu akan perlu baju-baju baru kalau perut kamu sudah membesar nanti. Besok saja kita belanja.”
“Tuan, sungguh, nggak perlu sampai seperti itu.”
“Apa maksudmu nggak perlu? Tentu saja ini perlu. Aku akan panggil pegawai rumah buat bantu kamu packing. Tunggu sebentar.”
Binar baru saja akan mengatakan itu juga tidak perlu. Hanya mengemas beberapa pasang pakaian, sama sekali tidak membuatnya keberatan sampai butuh bantuan segala.
Binar merasa William jadi terlalu berlebihan. Tapi jika diingat lagi bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan keturunan selama lima tahun ini, rasanya wajar saja pria itu jadi terlampau excited.
“Lagi-lagi, aku yang merasa bersalah sama Mbak Rachel.” Binar menghela napas sementara memandangi pintu kamar, di mana William baru saja menghilang.
**
Perjalanan dari mansion ke rumah pribadi William Aarav memakan waktu sekitar tiga puluh menit. Sepanjang perjalanan itu Binar terus berusaha menampakkan wajah tenang sekalipun hatinya dilamun rasa gelisah yang hebat.
Bagaimana jika Rachel Aluna tidak senang dengan kedatangannya? Bagaimanapun William membuat keputusan secara sepihak dan tidak minta izin dulu kepada sang istri pertama.
“Kamu mengantuk? Sabar ya, sebentar lagi kita sampai.” Sang tuan yang berada di balik kemudi, berkata pelan setelah menyadari Binar terdiam sepanjang jalan.
“Nggak, Tuan. Nggak apa-apa, saya baik-baik saja.”
“Mulai sekarang, kurang-kurangi kamu berkata baik-baik saja. Kamu harus memberitahuku kalau ada hal-hal yang membuatmu nggak nyaman.”
Binar menahan diri agar tidak tersenyum dan baper. Berkali-kali ia memperingatkan dirinya sendiri, William seperti ini hanya karena anaknya.
“Kamu belum sempat makan malam kan, Binar? Ini belum terlalu malam, jadi masih banyak restoran yang buka. Kamu mau makan apa? Atau kamu mau dibelikan sesuatu?”
“Saya nggak masalah makan apa saja, Tuan.”
“Aku akan menghubungi Dokter Ardi buat tanya kalau-kalau ada jenis makanan yang nggak boleh kamu makan.”
Demi apapun, Binar merasa sangat tidak enak mendapatkan perhatian semacam itu. Binar tidak bilang keluarganya jahat, namun seumur hidup, ia tidak pernah mendapatkan perhatian sebesar itu. Terlebih lagi, dirinya hanyalah anak tiri. Maka sekarang saat William bersikap demikian kepadanya, ia merasa sedikit mendapat shock culture.
Lebih dari itu, ini terasa sangat mengherankan. Selama satu bulan ini, dari awal Binar mengenal William, pria itu benar-benar dingin dan terkesan membatasi diri. Interaksinya dengan Binar hanyalah seputar malam-malam panas namun tanpa rasa cinta yang telah keduanya lewati bersama.
Maka wajar jika kali ini Binar begitu heran saat William bersikap seperti layaknya seorang suami.
“Bagaimana, Binar?” William mengulangi ketika satu yang lain justru terdiam.
“Kita langsung pulang saja, Tuan. Saya bisa makan malam di rumah saja. Kasihan kalau Mbak Rachel nanti menunggu lama.”
Tatapan William seketika tampak menyelidik. “Kamu yakin?”
***
**“Seratus persen.”Pria itu melayangkan senyum tepat setelah Binar mengatakannya.Jantung Binar mendadak terasa jumpalitan. Buru-buru ia mengalihkan pandangan agar tidak terus-terusan terbawa rasa.Sangat berbahaya jika William terus-terusan bersikap manis seperti ini.Tak lama kemudian, mobil berbelok memasuki pelataran sebuah rumah minimalis modern yang berdiri megah di pusat kota. Binar memandangnya dengan takjub. Kadang-kadang ia lupa, suami sementaranya ini adalah seorang pengusaha sukses pemilik banyak hotel berbintang dan beberapa bisnis manufaktur yang tersebar di kota-kota besar.Namun mengingatnya, membuat Binar insecure dan kembali merasa tidak layak.“Kenapa wajah kamu begitu? Ayo, masuk.” William berujar saat Binar hanya diam di tempat. Perempuan itu tidak sadar bahwa mobil sudah berhenti. “Jangan takut, nggak ada orang lain selain aku dan Rachel. Semua pegawai rumah nggak akan datang kalau nggak dipanggil.”“Ah, iya.” Mengangguk gugup, Binar bergerak akhirnya. Ia memb
**Binar tertegun memandang perempuan cantik di hadapannya. Selama beberapa saat ia hanya terdiam di tempat, sama sekali tidak mengerti mengapa Rachel bisa berkata seperti itu.“Mbak? Bagaimana mungkin saya menipu Tuan William? Dokter sendiri yang menyatakan saya hamil setelah dilakukan pemeriksaan.”“Bisa saja kamu sudah merencanakan semua ini dari awal. Kamu sudah hamil sebelum menikah dengan suamiku, mungkin?”“Mbak, astaga! Saya nggak seperti itu!”Binar benar-benar kaget dengan tuduhan Rachel yang tidak berdasar itu. Ini sangat tidak masuk akal, mengingat yang menginginkan kehamilan ini adalah William dan Rachel sendiri, bukan Binar. Bahkan pernikahan itu akan segera berakhir setelah Binar melahirkan. Jadi bagaimana bisa Rachel menuduhnya demikian?“Aku hanya berjaga-jaga,” pungkas Rachel akhirnya. “Aku hanya memastikan bahwa benih itu benar-benar milik suamiku. Hanya keturunan suamiku yang akan menjadi pewaris Diamond Group.”Sementara Binar tetap terpaku di tempat dengan keruta
** “Pindah ke rumah lama? Apa maksudmu?” William mengerutkan alis. Wajahnya menyiratkan rasa tidak setuju saat mendengar usulan dari Binar. “Saya hanya nggak ingin terjadi kesalahpahaman antara saya sama Mbak Rachel.” “Apa yang bisa disalahpahami sama Rachel? Aku nggak ngerti apa maksudmu.” Bagaimana Binar menjelaskannya? Padahal ia pikir sikap dingin Rachel kepadanya sangat kentara. Mengapa William tidak paham juga? Perempuan itu kembali menunduk sembari mempermainkan garpu yang ia pegang. “Yah, saya hanya nggak ingin Mbak Rachel terganggu dengan perhatian yang anda berikan kepada saya, Tuan.” “Perhatian?” Seperti baru saja menyadari hal ini, wajah William mendadak agak merona. “Yah … aku pikir itu hal yang wajar. Aku dengar trimester pertama kehamilan itu masa yang berat. Aku hanya ingin membantu.” Wah, Binar sedikit kagum. Bahkan William mengerti hal-hal seperti ini. Rupanya pria ini sudah sangat siap menjadi seorang ayah. William adalah sosok yang tampan rupawan, berpendid
**“Binar, kenapa kamu lakukan itu? Kamu tahu itu berbahaya!” William menegur dengan nada sedikit tinggi, membuat istri keduanya terkesiap.“Saya nggak sengaja, Tuan. Saya nggak bermaksud–”“Kamu sengaja!”Binar terhenyak kaget saat Rachel berseru kepadanya dengan suara keras. Perempuan itu masih merintih kesakitan saat William mendekat kepadanya. Saat Binar melihat telapak kaki Rachel, ruam kemerahan terlihat di sana.“Kamu sengaja jatuhkan nampannya biar kaki aku kena air panas, iya kan?”“Mbak, saya benar-benar nggak sengaja ….”“Bohong!”“Rachel, kita ke rumah sakit saja sekarang, ya?” William yang tampak bingung menghadapi kedua istrinya, berusaha menengahi. “Kita ke dokter sekarang biar kaki kamu lekas dapat penanganan. Sini, biar aku bantu.” Pria 35 tahun itu membantu sang istri pertama untuk berdiri dan memapahnya berjalan. “A-apakah saya boleh ikut ke dokter?” Binar menyela, berkata pelan penuh harap.“Mau ngapain ikut? Mau ngetawain aku, iya?” sahut Rachel penuh emosi, yan
**“Hanya luka seperti ini nggak perlu ke dokter segala kok, Tuan. Saya kan bukan seorang model seperti Mbak Rachel. Nggak masalah kalau saya punya sedikit bekas luka.”William mengernyit. Tampak tidak setuju, namun tidak berkata apapun. Arah pandangnya kembali jatuh kepada kaki Binar. Menatap ruam kemerahan yang menodai permukaan kulit putih itu.“Aku hanya memastikan kamu baik-baik saja. Karena kamu sekarang nggak hidup sendirian.”“Ah ….” Binar menelan saliva. Ia merasa tertampar dengan kalimat terakhir suaminya itu. Benar sekali, yang William khawatirkan sebenarnya adalah calon bayi dalam perutnya, bukannya Binar sendiri. “Jangan khawatir. Dia terlindungi dengan sempurna di dalam sini, Tuan.”William mengangguk sembari bangun dan menegakkan tubuh. Pandangannya yang kembali datar bahkan cenderung dingin, sama sekali berbeda dengan beberapa detik yang lalu. “Ya sudah kalau kamu baik-baik saja. Tolong lebih hati-hati lain kali. Seperti yang kamu ketahui, penampilan memang sangat pent
**“Nyonya! Nyonya Binar pingsan di ruang tengah!”Rachel baru saja menyeruput Earl Grey Tea dari cangkirnya saat seorang perempuan muda pegawai rumah menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.“Pingsan?” Dahi Rachel berkerut. “Tapi dia baru saja mengucapkan selamat pagi kepadaku.”“Kami menemukannya di ruang tengah. Apakah harus panggil dokter, Nyonya? Ataukah harus menunggu Tuan datang?”Rachel terhenyak, sadar bahwa tidak akan bagus jika William melihat keadaan ini. Ia menggeleng sesaat. “Kalian bawa ke mana dia?”“Ke kamar, Nyonya. Haruskah menelepon dokter sekarang?”“Biar aku sajalah yang telepon dokter. Kamu bisa kembali ke belakang, aku akan lihat dia ke kamar.”Pegawai perempuan itu mengangguk dengan hormat sebelum undur diri kembali ke belakang. Meninggalkan Rachel sendirian yang berdecih kesal sembari berdiri dengan malas. “Kenapa lagi sih itu orang? Drama banget perasaan. Baru juga hamil, sudah bikin gara-gara saja kerjaannya.”Perempuan rupawan itu menyeret langkah malas-malas
**“Binar? Kamu apa kabar, Nak? Kamu baik-baik saja, kan?”Mendengar pertanyaan seperti itu, Binar justru hampir menangis lagi. Tentu saja ia tidak baik-baik saja saat ini. Tapi apakah ia bisa mengatakan semua itu kepada ayah yang sangat disayanginya? Tentu saja tidak, sebab sudah pasti sang ayah akan khawatir.“Aku baik-baik saja, Ayah ….” Sembari menghela napas, Binar menjawab. “Aku kangen, pengen ketemu Ayah. Aku akan minta izin sama Tuan William untuk pulang sebentar ke rumah buat ketemu sama Ayah hari ini.”Hening sejenak, Binar menyeka air mata yang sudah menggenang di sudut matanya. Ia menahan diri sekuat tenaga agar isak tangisnya tidak sampai lolos dan terdengar hingga ke seberang. Namun agaknya sang Ayah tetap bisa merasakan hal itu.“Kamu yakin baik-baik saja? Jangan memaksa pergi kalau suami kamu nggak kasih izin, ya?”“Dia akan mengizinkanku, Ayah tenang saja.”Binar diam lagi. Sejujurnya ia juga tidak tahu apakah sang suami akan mengizinkannya keluar atau tidak. Namun me
**Sampai juga, akhirnya.Rumah itu masih sama seperti dua bulan yang lalu, ketika Binar meninggalkannya untuk menikah dan hidup sebagai istri kedua seorang bos muda tampan yang sudah menyelamatkan hidup keluarganya dari kebangkrutan.Terpaksa menerima keadaan, meski kala itu semalaman penuh Binar menangis, bahkan berniat kabur dari rumah –walau akhirnya tidak jadi ia lakukan. Statusnya sebagai anak tiri di rumah ini mengharuskannya mengalah dengan semua keputusan kedua orang tuanya, termasuk menjadi pengantin kedua putra satu-satunya keluarga Aarav. William Aarav diharuskan memiliki penerus yang tidak bisa diberikan oleh Rachel Aluna, maka kedua orang tua Binar yang notabene memiliki banyak hutang budi kepada keluarga Aarav, menyerahkan putri sulung mereka untuk membantu.“Kamu melamun lagi? Sebenarnya memang benar-benar mau ketemu ayahmu atau nggak, sih?”Terkesiap, Binar buru-buru menoleh kepada sang suami. Ia terkejut sendiri saat menyadari bahwa mobil William sudah berhenti dari
**Seharusnya, acara pernikahan memanglah seperti ini.Penuh dengan rasa dan suasana bahagia. Dan walaupun dari keluarga Binar yang hadir hanya tiga orang, yaitu Ayahnya, Gio, dan Linda, namun bagi Binar itu lebih dari cukup. Dari tiga orang itu, tidak ada yang memiliki senyum palsu. Mereka tersenyum karena memang turut merasa bahagia. Ini adalah pernikahan William dan Binar yang kedua. Namun rasanya seperti mereka baru saja mengikrarkan janji suci setelah saling jatuh cinta sekian lamanya. Dalam balutan gaun putih sederhana yang justru membuat Binar terlihat sangat cantik, perempuan itu tak henti-henti tersenyum. Hatinya mengembang bahagia, mekar seperti bunga-bunga di musim semi. Sesekali melirik kepada sang suami yang terlihat seperti patung dewa, mengenakan setelan tuksedo putih senada. Tidak tampak lagi Tuan William Aarav yang dingin dan kaku. Malam ini pria rupawan itu menebar senyum kepada setiap orang yang turut datang pada hari bahagianya.Pernikahan dilaksanakan di salah sa
**“Aku turut berbahagia dengan keputusan kalian. Meski demikian, kalau kau ulangi perbuatanmu sekali lagi, aku bersumpah akan merebut Binar dan membawa dia lari ke ujung dunia, William. Akan aku pastikan kau tidak bisa menemukannya apapun caramu.”William dan Binar saling bertukar pandang sejenak sebelum yang lebih muda tertunduk malu. Kedua orang itu sedang duduk dengan canggung di ruang tamu kediaman Gio malam ini. Mengantarkan Noah melepas rindu dengan sang ‘papa’, sekaligus menyampaikan niat untuk kembali bersama.“Kedengaran seperti ancaman.”“Ya memang ancaman. Aku serius, William. Jangan sok meremehkan begitu wajahmu!”“Baiklah, baiklah Tuan.” William memotong dengan dengus tawa pendek. “Akan aku pastikan hal itu tidak akan pernah terjadi.”“Binar, kamu tahu harus mencariku di mana kalau manusia jelek ini menyakitimu lagi. Nggak usah khawatir, aku selalu dalam mode siaga untuk membawamu kabur, kapan saja.”“Jaga mulutmu, Gio!”“Aku nggak akan menjaga mulutku kepada orang payah
**Binar terpaku di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk menanggapi permintaan itu. William terlalu frontal, dan impulsif. Bisa-bisanya ia datang selarut ini hanya untuk meminta pelukan.“Tu-Tuan, ini sudah malam.”“Aku sudah tahu.”“Bukankah sebaiknya anda pulang saja?”Pria itu tersenyum. Sebuah pemandangan yang jarang sekali dilihat orang. Senyumnya tampak tulus, membuat wajahnya yang sudah tampan, menjadi berkali-kali lipat lebih dari itu. Binar terkesima, sungguh.“Sudah aku bilang, kan. Aku sudah merindukanmu lagi. Aku tidak mau pulang sebelum kamu memberiku pelukan.”Apa-apaan itu? Binar bergerak dengan tidak nyaman. Sesekali ia menoleh ke arah belakang, khawatir kalau-kalau Linda atau Noah mengintipnya dari dalam sana. Tapi tentu saja tidak, sebab keduanya sudah tidur sejak beberapa jam yang lalu.“Tuan, ini tidak benar.” Binar mendesah dengan gusar. Ia menatap entitas di hadapannya itu dengan agak segan.“Memang tidak benar. Sejak kapan cinta bisa dibena
**Binar buru-buru menghapus air matanya. Ia menoleh dengan gugup ke samping, dan baru menyadari bahwa sang putra juga masih berada di sana. Bocah kecil itu memandang dengan ketakutan, terutama kepada Binar yang menangis.“Mama?” sebutnya lirih, “Mama okay?”“Ah, sorry. Mama okay. Mama nggak apa-apa, Sayang.” Binar menghempaskan tangan William yang masih menggenggam pergelangan tangannya. Ia berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan dengan Noah yang masih memasang wajah gusar.“Mama, are you cry?”“Yes, a little.” Binar menjawab pertanyaan itu dengan senyum. “Tapi Mama sudah nggak apa-apa.”“Mama ….”“Noah, come in, Baby. Bisa Aunty minta tolong untuk kasih makan Gi?” Linda mendadak datang untuk menyelamatkan situasi. Ia menunjuk golden retriever-nya yang sedang mengibas-ngibaskan ekor penuh semangat.“Tapi Mama?” Noah tampak keberatan. Ia memandang sang ibu, khawatir bahwa pria di belakangnya itu akan membawa pergi ibunya jika ia meninggalkan tempat.“Mama hanya akan bicara dengan
**Hampir satu bulan berlalu sejak kedatangan para pria yang mengaku utusan dari Juliana Aarav itu. Sepanjang satu bulan itu Binar harap-harap cemas, takut kalau-kalau mereka datang lagi. Tapi ternyata ketakutannya tidak terbukti, para utusan itu tidak lagi menampakkan batang hidungnya. Maka, Binar menganggap semua itu hanya angin lalu. Hidupnya kembali berjalan dengan normal belakangan ini.Sore ini, di tengah kegiatannya menjaga butik milik Linda, Binar sedang melihat-lihat review pre-school yang berada di sekitar sana melalui internet. Ia rasa sudah waktunya mendaftarkan Noah untuk bersekolah.“Dia belum genap empat tahun, dan kamu sudah ribut mau menyekolahkan?” celetuk Linda dari balik meja kasir.“Dia empat tahun dua bulan lagi, Lin. Lagipula sepertinya dia bosan di rumah seharian tanpa teman seusia, kan?” Binar layangkan pandang kepada sang putra yang sedang bermain-main dengan anak anjing di luar butik. Padahal Noah sama sekali tidak kelihatan bosan.“Oh, kalau aku jadi Noah,
**“Sialan! Dari mana mereka dapat video itu? Itu draft pribadi yang aku simpan di ponsel, dan nggak ada seorang pun yang pernah menyentuh ponsel aku selain kamu, Abian!”Rachel berteriak murka di dalam kamar apartemennya. Ia baru saja melihat berita yang saat ini sedang panas ditayangkan di semua channel stasiun televisi ; video affair dirinya dengan Abian, tanpa sensor!“Kamu nuduh aku?” balas Abian tak terima. Pria itu berdiri dari sofa dan menunjuk sang kekasih dengan berang. “Atas dasar apa kamu nuduh aku begitu, Rachel?”“Tapi nggak ada seorang pun yang pernah sentuh ponsel aku selain kamu, Bi!”“Apa kamu pernah lihat aku pegang-pegang ponselmu akhir-akhir ini? Pikir dulu kalau mau menuduh, jangan asal buka mulut kamu, Rachel!”“Sial! Argh, sial! Jadi ini bagaimana? Aku harus bagaimana?” Perempuan cantik itu mengacak surai panjangnya dengan frustasi. Sekali lagi ia melirik kepada televisi yang masih menyala, dan pemberitaan tentang dirinya masih ditayangkan di sana.“Sial, berit
**“Ibu sudah menemukan keberadaan Binar? Benar kah, Bu? Di mana Binar sekarang? Apa dia baik-baik saja?”William yang kala itu masih berkutat dengan perasaan galau, mendadak saja melupakan semua kegalauannya hanya demi kabar yang baru saja ia dapatkan dari sang ibu hari ini. Pria itu memastikan panggilan ponselnya masih tersambung, ia beranjak dari sofa dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.“Bagaimana, Bu?”“Dia aman. Hidup dengan baik bersama temannya di Australia. Utusan Ibu berhasil menemukannya dengan melacak posisi sinyal ponsel.”“A-Australia? Astaga, sejauh itu?”Suara hela napas samar Juliana Aarav terdengar melalui speaker ponsel. William tidak sabar menunggu kelanjutan beritanya.“Dia nggak mau kembali kepadamu, Will. Ibu sudah suruh orang untuk menyampaikan tawaran itu, tapi orang-orang utusan Ibu bilang Binar nggak ingin kembali ke Indonesia.”“Sial ….” “Bukan sial, tapi kalau kamu ingin dia kembali kepadamu, maka kamu harus jalan sendiri sekarang. Ibu sudah cukup m
**Binar terkesiap. Sungguh ia kaget mendengar nama itu.Juliana Aarav? Tidak, ia tidak akan melupakannya meskipun hanya satu kali dalam hidupnya ia bertemu dengan pemilik nama itu.Sang Nyonya Besar, ibunda dari William Aarav. Perempuan anggun di atas kursi roda yang datang saat hari pernikahan William dengan Binar dulu.“Nyo-Nyonya Juliana?” Binar masih tercekat. Ia memandang kepada para utusan yang masih berdiri dengan kepala menunduk penuh hormat kepada dirinya.“Benar, Nona Binar. Kami diutus untuk menemukan keberadaan anda.”“Silahkan duduk dulu, dan jelaskan duduk perkaranya kepada Binar agar dia tidak bingung. Kalian lihat, dia ketakutan dan mengira kalian adalah orang jahat.” Suara Linda terdengar geli saat mempersilahkan beberapa pria itu untuk duduk kembali. Sebab mereka akan terus berdiri seperti itu selama Binar tidak menyuruhnya duduk.“Kamu juga, Binar. Dengarkan dulu apa alasan mereka sampai bisa menemukanmu di tempat ini.”Binar yang linglung hanya bisa menurut apa k
**“Oh, ini semakin buruk. Apa yang terjadi? Kenapa beritanya jadi begini?”Binar tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya sendiri. Sebuah kebiasaan yang sulit ia tinggalkan jika sedang gusar dan galau seperti sekarang ini. Perempuan itu tengah termangu di depan televisi yang sedang menyiarkan berita dari Indonesia. Sebuah acara infotainment, yang belakangan ini entah bagaimana seperti Binar temukan kapanpun ia menyalakan televisi atau membuka sosial media.“Aku bisa saja menuntut kau dan perusahaanmu karena tuduhan seperti itu. Aku hanya diam selama ini bukan berarti aku tidak bisa melawan. Jika kau, dan kalian semua, masih tetap bersikap seperti orang-orang yang tidak beradab, maka aku akan mengirim kalian ke tempat di mana seharusnya kalian berada.”Binar mendesis melihat potongan video itu. Ia tahu siapapun yang mengambil potongan video itu, sengaja membuatnya menjadi sedemikian dramatis. William, ya, William Aarav, tampak angkuh dan menakutkan dalam video tersebut. Meski Binar sang