Kaisar merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya. Setiap kali pandangannya bertemu dengan mata Almeera, ada perasaan hangat yang menjalar di dadanya. Wajahnya merona merah saat Almeera dengan lembut menyuapinya, mengelap sudut bibirnya dengan tissue setelah mereka selesai makan.Tidak ingin Almeera melihat wajahnya yang memerah, Kaisar segera berdiri dan berjalan ke pemilik tenda untuk membayar makanan mereka. Saat ia membayar, beberapa orang di sekitar mulai memperhatikan dengan kagum dan keheranan. Penampilan Kaisar dengan setelan jas mahal dan wajahnya yang tampan, membuat orang-orang berpikir bahwa ia mungkin seorang artis atau selebriti. “Mas ini artis, ya?” tanya pemilik tenda dengan penasaran.Kaisar tersenyum dan menggelengkan kepala. “Bukan, Pak. Saya hanya orang biasa,” jawabnya dengan sopan, sambil menyerahkan uang pembayaran.‘Pasti aku kelihatan seperti pembantu yang ikut dengan majikan,’ batin Almeera melihat perbedaan antara penampilannya dengan Kaisar.Tatapan kagum o
Di dalam mobil, suasana terasa hening. Kaisar memandang lurus ke depan, matanya tampak jauh seperti sedang melamun. Almeera, yang duduk di sampingnya, merasa tidak nyaman dengan keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka. Ia takut kalau Kaisar marah karena tadi ia nekat menyuapi Kaisar di tenda ayam bakar yang sederhana.“Tuan marah? Maaf, seharusnya saya tidak memaksa Tuan makan di sana,” kata Almeera pelan, mencoba memecah keheningan.Kaisar menoleh sejenak, tersenyum tipis. “Aku hanya kekenyangan. Tadi sudah makan sedikit bersama Tuan Gani.”Almeera mengangguk, merasa sedikit lega, tetapi rasa penasaran masih menggelitik pikirannya. “Kenapa Tuan tidak menolak saat saya suapi? Kalau memang sudah kenyang, Tuan bilang saja.”Kaisar terdiam sejenak, matanya kembali tertuju ke jalanan di depannya. Ia tidak menjawab ucapan Almeera barusan. Setibanya di mansion, Kaisar dan Almeera melangkah masuk dengan perasaan campur aduk. Di ruang tengah, Karenina sudah menunggu dengan kursi rodanya
Esok paginya, Almeera terbangun karena mendengar suara langkah kaki Kaisar yang mondar-mandir di kamar. Matanya masih setengah terpejam, tetapi ia bisa melihat siluet sang suami. Kaisar yang sudah rapi dengan setelan jas, tampak sibuk mempersiapkan sesuatu. Almeera segera duduk di atas ranjang, menggosok matanya dan mencoba mengumpulkan kesadaran.“Tuan, kenapa tidak membangunkan saya?” tanyanya dengan suara serak.Kaisar berhenti sejenak, menatap Almeera dengan tatapan yang sulit diartikan. “Tidak perlu. Lagi pula, kita akan segera berpisah kamar,” jawabnya dengan nada datar.Almeera merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. “Berpisah kamar?” tanyanya, meskipun sudah tahu jawabannya.Kaisar mengangguk. “Aku pikir ini yang terbaik untuk kita berdua. Sesuai dengan permintaanmu semalam.”Almeera menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang tiba-tiba meluap. “Lalu, kenapa Tuan sudah rapi pagi-pagi begini?”Kaisar merapikan dasinya, seolah menghindari tatapan Almeera. “Aku ada meet
Almeera sibuk di ruang produksi bersama tim desainer yang dipimpin oleh Wendi. Almeera berdiri di depan komputer, memeriksa detail terakhir dari prototype perhiasan “Sang Dewi” yang akan segera diproduksi. Di sekelilingnya, para desainer lain juga sibuk dengan pekerjaan masing-masing, menciptakan suasana penuh konsentrasi dan ketegangan.Wendi berjalan mendekati Almeera dengan pandangan kritis, matanya memindai layar komputer yang menampilkan desain 3D. “Almeera, ini belum sesuai,” katanya dengan nada dingin. “Kita tidak bisa menggunakan prototype ini. Kamu harus mengulang lagi.”Almeera mengerutkan kening, merasa frustasi. Dia telah bekerja keras sepanjang pagi dengan menerapkan teknik yang diajarkan oleh Rosdiana. Namun ternyata, usahanya tidak diterima oleh Wendi. Almeera menghela napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa Wendi tidak akan memberikan sedikit pun toleransi pada kesalahan. Tanpa pilihan lain, Almeera memulai proses cetak ulang dari awal. Sementara itu, Wendi melanjutkan peng
Almeera menghela napas panjang. Meski terpaksa, ia tidak punya pilihan selain menuruti keinginan Reval. Bahkan, ia hanya diam saja tatkala Reval berbicara sebentar dengan resepsionis salon.“Aku akan ke apartemen dulu untuk mandi dan ganti baju. Kita bertemu lagi di sini satu jam lagi, oke?” kata Reval sebelum pergi meninggalkan Almeera di salon. Almeera mengangguk pelan, menatap kepergian Reval dengan perasaan campur aduk. Ia dibawa ke ruang make-up oleh petugas salon. Ketika duduk di kursi, seorang MUA dan hairstylist mendekatinya dengan senyuman ramah.“Selamat sore. Apakah ada permintaan khusus untuk gaya make-up dan gaya rambutnya?” tanya MUA itu. “Tidak ada, Mbak. Hanya saja, tolong jangan sampai menyentuh tompel saya,” jawab Almeera menunjuk ke pipinya. MUA itu sedikit terkejut tetapi segera mengangguk, menyadari bahwa pelanggan punya preferensi khusus yang harus dihormati. “Baik, saya akan berhati-hati,” jawabnya.Proses rias wajah dimulai. MUA tersebut dengan hati-hati men
Reval menatap ke arah Almeera, gadis itu terlihat bimbang tetapi ia menganggukkan kepala. Pada akhirnya, Clara menarik tangan Almeera ke tempat teman-temannya berada. “Girls, ini Almeera, kekasih Reval,” katanya sambil tersenyum. Namun matanya mengisyaratkan hal yang berbeda. Teman-teman Clara menatap Almeera dengan pandangan yang sulit diartikan, campuran antara jijik dan rasa ingin tahu. Mereka melihat tompel di pipi Almeera dengan tatapan yang tidak bisa disembunyikan. Salah satu dari mereka, seorang wanita dengan gaun merah menyala, mengerutkan kening dan bertanya.“Apa itu di pipimu, Almeera?” “Seperti kotoran,” celetuk salah satunya.Almeera mencoba tersenyum sopan dan menjawab, “Oh, ini hanya tanda lahir, Mbak.”Mereka saling berpandangan, seakan tidak puas dengan jawabannya. Seorang wanita lain dengan rambut panjang bergelombang juga bertanya, “Kamu dari keluarga pengusaha mana?”Almeera merasa sedikit terintimidasi, tetapi ia memutuskan untuk menjawab dengan jujur.“Saya t
Musik mengalun dengan lembut, menciptakan suasana yang romantis di ballroom hotel. Namun, beberapa saat setelah mereka mulai berdansa, Reval merasakan tubuh Almeera mulai goyah. Ia pun berusaha menopang tubuh Almeera dengan kedua tangannya.“Kamu baik-baik saja, Almeera?” tanyanya, matanya penuh kekhawatiran.Almeera menjawab Reval dengan ekspresi kebingungan. “Tuan Kaisar ...,” katanya dengan suara serak, melepas jas Reval yang ia kenakan dan menjatuhkannya ke lantai. Reval tercengang melihat Almeera yang tiba-tiba meracau, menyebut nama suaminya.“Almeera, ada apa? Kenapa kamu melepas jasku?” tanya Reval khawatir.Almeera tertawa sambil memeluk leher Reval dan memejamkan mata. Kakinya terus bergerak mengikuti alunan lagu. Sebagai orang yang bersama Almeera sejak tadi, Reval tak bisa berhenti bertanya-tanya. Sebelumnya Almeera baik-baik saja dan kelihatan pemalu. Namun, entah mengapa gadis itu berubah menjadi lebih berani. Bahkan, Almeera sekarang mendekat ke wajah Reval.“Kenapa ka
Di kamar hotel, Kaisar baru saja selesai mandi. Ia mengeringkan tubuhnya dengan handuk, ia lelah setelah seharian menghadiri pertemuan dengan asosiasi pengusaha. Meski fisiknya letih, pikirannya terus melayang pada Almeera. Sejak tadi, hatinya terasa tidak tenang. Berkali-kali ia mencoba menelepon Almeera, tetapi panggilan itu tidak pernah diangkat. Kali ini, nomornya bahkan tidak aktif.“Ke mana dia? Apakah ponselnya tidak berguna baginya? Atau dia sengaja menghindariku?” gumam Kaisar merasa resah sendiri. Wajahnya terlihat kesal karena tak satu pun teleponnya yang diangkat. Bahkan, saat ini ponsel Almeera tidak aktif.Kaisar duduk di tepi tempat tidur, memijat pelipisnya yang berdenyut. Ia tahu bahwa pada jam seperti ini, Almeera seharusnya sudah pulang dari kantor dan berada di mansion. Di tengah kegelisahannya, ponsel Kaisar bergetar. Kaisar meraih ponselnya dengan cepat, berharap itu adalah pesan dari Almeera. Namun, alisnya mengernyit saat melihat pesan itu berasal dari nomor t