"Apa sih kak?!" sentak Amanda. Ia sungguh tidak menyukai kalimat yang kakaknya lontarkan, seperti tengah merendahkan dirinya saja. Memang selama ini kakaknya itu membantu keluarga yang sedang krisis ekonomi, kakaknya membantu bekerja di perusahaan, selain itu ia juga adalah seorang model, namanya sudah malang melintang, wajahnya banyak terpampang di berbagai majalah, pendapatannya sebagai model juga cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Namun kakaknya itu tidak seharusnya merendahkannya seperti ini. Lagi pula bukan keinginannya untuk tidak membantu keluarga, justru ayah dan ibunya yang menyuruh untuk fokus pada kuliahnya saja. Kemudian kakaknya sendiri pun menyuruhnya demikian, apakah ia lupa atau memang sengaja menyanjungnya selama ini untuk kemudian dijadikan tumbal pada situasi seperti saat ini?
Kalau benar demikian, berarti kakaknya sangat licik.
"Benar kan apa yang Kakak omongin, kamu itu cuma bisanya foya-foya aja, ngerepotin keluarga!"
Amanda mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh, berusaha menahan diri untuk tidak menarik rambut panjang kakaknya itu. Memang apa yang kakaknya itu katakan sangat benar, tetapi apakah hanya karena ia tidak membantu keluarga, suka foya-foya, dan merepotkan keluarga, dirinya harus dijadikan korban seperti ini?
Sungguh sangat tidak adil.
Amanda rasanya tidak tahan lagi, tangannya terangkat menarik rambut Clarisa yang sedari tadi seperti menggodanya. Amanda menarik rambut Clarisa sekuat tenaga, jerit kesakitan kemudian menggema di seluruh penjuru ruang makan tersebut.
"Kalau Kakak nggak rela uangnya aku pakai, bilang aja, nggak usah kayak gini!!" pekik gadis itu tanpa melepas jambakannya sama sekali, ia justru semakin keras menarik rambut kakaknya. Sesak yang ia rasakan beberapa menit yang lalu kini sedikit terobati.
"Kenapa?!" pekik Clarisa seraya bangkit dari duduknya, kedua tangannya terulur membalas jambakan sang adik. "Kamu nggak terima Kakak katain beban keluarga, sadar ya kamu itu emang beban keluarga beneran!!"
"Enggak, aku bukan beban keluarga!!" pekik Amanda. Aksi saling jambak-jambakan tidak bisa dihindari, membuat kepala Hermawan maupun Marisa semakin berdenyut nyeri.
"Diam!!" teriak Hermawan seraya menggebrak meja, mau tak mau kedua perempuan itu menghentikan kegiatan mereka. "Keputusan Papa sudah bulat, bahwa kamulah yang harus menikah dengan anak keluarga Hartanto."
"Siapkan dirimu, besok mereka akan berkunjung ke sini."
***
Amanda menyunggingkan salah satu sudut bibir seraya indra penglihatannya terjatuh pada lima orang di bawah sana yang entah dirinya tidak tahu sedang membicarakan hal apa. Dari suara yang dihasilkan yang samar terdengar, mereka sedang bersenda gurau, di halaman rumahnya, sementara ia melihat mereka dari balkon kamar, seraya melipat kedua tangan di depan dada menatap dan tersenyum tipis.
Gadis itu berbalik begitu orang-orang yang dirinya perhatikan mulai menghilang dari indra penglihatan. Amanda duduk di atas ranjang, ekor matanya menatap gaun berwarna putih di meja riasanya juga alat make up lengkap di sana.
Hari ini calon suami beserta keluarganya akan makan malam di kediaman Amanda, tetapi Amanda bahkan belum bersiap sama sekali, dirinya bahkan belum mandi selepas kegiatan padat di kampusnya.
Amanda tidak peduli dengan acara makan malam ini, lagi pula tubuhnya sedang lelah. Ia ingin tidur walau kedua orang tuanya memaksa untuk hadir di acara makan malam itu, Amanda tidak lapar, untuk apa dirinya pergi ke acara itu kan?
Lebih baik dirinya mengistirahatkan diri.
Tatapan Amanda beralih ke arah pintu begitu benda tersebut terdengar diketuk. Bukan membukakan pintu, gadis tersebut justru merebahkan diri dan menarik selimut, tidak lupa memejamkan mata agar siapa pun yang mengetuk pintu tersebut percaya bahwa dirinya tengah terlelap.
Kamar Amanda tidak memiliki kunci atau bahkan alat apa pun untuk membuat kamarnya tidak dimasuki sembarang, itu karena kedua orang tuanya yang melarang selama ini karena katanya agar dirinya mudah untuk di kontrol.
Beberapa detik kemudian, pintu kembali terdengar, kali ini terdengar seperti dibuka, suara Clarissa yang tengah memanggilnya tertangkap indra pendengaran.
Clarissa menarik napas melihat adiknya justru berbaring di atas ranjang, tatapannya kemudian jatuh pada gaun yang sudah orang tuanya siapkan untuk adiknya itu. Dirinya yakin Amanda pasti tidak menyentuh benda tersebut sama sekali.
"Bangun, aku tahu kamu cuma pura-pura tidur!"
Amanda tersenyum sinis mendengar seruan kakaknya. Ia membuka matanya secara cepat, menatap perempuan yang tengah menatapnya sinis juga. "Kalau aku emang pura-pura tidur kenapa?"
"Masalah buat Kakak?"
"Nggak, tapi Kakak bakal kasian sama kamu kalau sampai dimarahin Papa sama Mama karena belum siap-siap."
Gadis itu memutar kedua bola matanya, kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. "Nggak peduli."
"Cepet siap-siap!"
"Nggak mau!"
"Kamu ini bukan anak kecil lagi Amanda, cepet siap-siap!"
"Nggak mau berengsek!!"
"Amanda!!"
Bukan Clarissa yang menjerit menyerukan nama gadis itu, melainkan ibunya yang baru saja datang. wanita itu menatap Amanda dengan kedua mata yang nyaris melompat keluar. "Siapa yang mengajarkan kamu berkata kurang ajar begitu?!"
Amanda mengembuskan napas kuat-kuat mendengar kalimat yang diucapkan ibunya dengan teriakan itu, ia menggulir kedua bola mata malas. "Ya siapa lagi kalau bukan kalian, Amanda berguru kepada kalian yang juga kurang ajar sama Amanda!"
"Amanda!!" tegur Clarissa, dirinya benar-benar dibuat terbakar oleh sikap adiknya itu. begitu pun dengan Marissa, dirinya begitu kesal karena Amanda yang selalu bersikap manis kepadanya itu kini berani menentangnya dengan perkataan sinis.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya secara perlahan berharap perasaannya jauh lebih tenang. Sudah ada keluarga calon besannya di bawah, akan menjadi tidak enak kalau mereka mendengar pertengkaran keluarganya.Marissa melembutkan tatapan saat menatap Amanda yang masih bergelut di atas kasur dengan pakaian yang sama seperti yang terakhir dirinya lihat saat membawakan pakaian serta alat-alat make up untuk anak gadisnya itu kenakan pada acara makan malam bersama keluarga Hartanto.Amanda belum bersiap sama sekali, Marissa sangsi bahwa anaknya itu bahkan sudah membersihkan diri atau belum."Kenapa kamu belum pakai pakaian yang Mama kasih?" tanyanya seraya menatap Amanda bergantian pada gaun putih yang terletak di meja rias, posisi gaun itu masih sama seperti saat pertama ia meletakkannya. Amanda belum menyentuh gaun itu sama sekali."Males!" jawab gadis itu sinis, lagi-lagi Marissa menarik napas panjang, kali ini supaya emosinya tida
Gadis itu menghela napas pasrah, kemudian mencoba kembali melangkah mengikuti pijakan ibunya. Amanda menyemangati diri sendiri, meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa dirinya harus hadir ke acara ini agar cepat berakhir, Amanda meyakinkan diri bahwa jika dirinya terus mengulur waktu, maka pertemuan ini tidak akan pernah selesai.Amanda berjalan seraya menunduk, hingga tanpa sadar bahwa kini ada empat pasang mata yang tengah menatapnya. Merasa diperhatikan, Amanda mengangkat secara perlahan pandangannya hingga indra penglihatannya itu menatap sang ayah yang menatapnya tajam, pria itu pasti marah karena dirinya sangat lama. Amanda dibuat tersentak oleh tatapan ayahnya itu, kemudian tatapannya tanpa sengaja menatap wanita itu yang tengah tersenyum ramah juga pria tua di sebelahnya, kemudian di pria di sebelahnya lagi yang tanpa terlihat lebih muda.
"Amanda nggak mau nikah sama laki-laki itu, Pa!" Pekikan menggema di seluruh sudut-sudut ruangan, gadis itu tidak terima atas keputusan sepihak yang diambil oleh keluarganya dan keluarga Hartanto tanpa meminta pertimbangannya terlebih dahulu.Keluarga Hartanto sudah meninggalkan kediaman keluarga Hermawan beberapa menit yang lalu, menyisakan anggota pemilik rumah yang kini tengah duduk di ruang keluarga. Semula tampak tenang dengan putri sulung mereka yang ikut bergabung sebelum akhirnya suara putri bungsu mereka memecah ketenangan ini.Amanda sudah tidak tahan lagi, ingin memprotes atas hasil pembicaraan beberapa menit yang lalu bersama keluarga Hartanto. Banyak hal yang sudah disepakati, tetapi tidak ada satu pun kesepakatan yang dirinya setujui. Mereka mengambil kesepakatan tanpa meminta persetujuannya, bahkan ayahnya memaksa ia untuk tidak berbicara.
"Kenapa. Hmm?" Amanda tidak kunjung menjawab membuat Alex kembali membuka suara.Walau sebentar, tetapi Amanda cukup puas karena sudah bisa sedikit menumpahkan kesedihan dan rasa sesak di dadanya dengan menangis. Gadis itu mengelap air matanya sendiri kemudian menatap Alex dengan kedua sudut bibir yang tersungging tipis. Perasaannya kini sudah jauh lebih membaik.Amanda sudah memikirkan ini semalaman, ia harus memberitahukan Alex tentang permasalahanya, bagaimanapun nanti tanggapan laki-laki itu walau dirinya yakin sudah pasti Alex akan mengakhiri hubungan mereka. Namun itu hal yang baik bukan, Alex berhak bahagia bersama wanita yang lebih baik darinya."Bisa kita bicara di tempat yang agak sepi?"Alex menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian kembali
Amanda menatap tidak suka pada orang-orang yang berjaga di depan rumahnya, orang-orang bertubuh besar dengan pakaian serba hitam serta wajahnya yang bagi Amanda sangat menyeramkan. Orang-orang tersebut adalah orang suruhan keluarga Hartanto untuk menjaga rumahnya, lebih tepatnya adalah orang suruhan nyonya Alina, jumlahnya kalau Amanda hitung ada dua puluh orang. Mereka tersebar ke seluruh penjuru rumahnya, mulai dari halaman depan hingga halaman belakang, kemudian sisi kanan dan sisi kiri, serta setiap lekuk bentuk rumahnya.Amanda heran mengapa kedua orang tua serta kakaknya tidak merasa risi akan keberadaan orang-orang tersebut, berbanding terbalik dengan dirinya yang benar-benar tidak nyaman juga ketakutan. Mengapa orang tuanya mau-mau saja dikirimi penjaga oleh Nyonya Alina, dan untuk apa pula Nyonya Alina mengirim penjaga sebanyak itu ke rumahnya.Kalau Nyonya Alina tahu, tidak ada satu pun harta benda berharga yang tersisa di rumahn
Pria pemilik nama panjang Narendra Hartanto tersebut tersentak mendengar suara pintu mobil yang ditutup secara kasar, pelaku tentu adalah gadis yang beberapa hari lagi akan resmi menjadi istrinya. Seperti itu perlakuan Amanda kepadanya setiap mereka bertemu, seperti tidak ada hal baik yang dimiliki gadis itu dalam dirinya. Kalau bukan atas permintaan ibunya yang katanya ia jarang sekali mengantar dan menjemput Amanda, ia juga sangat tidak bersedia melakukan apa yang sudah dilakukannya ini. Beberapa saat lalu, Amanda bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun, kata pamit atau bahkan ucapan terima kasih karena sudah mengantar selamat sampai tujuan.Namun bukan itu yang Rendra inginkan, ia bukan pria gila hormat yang akan mengamuk bila ada seseorang yang berperilaku sedikit kurang ajar kepadanya, tetapi hanya merasa heran mengapa ibunya justru menyukai gadis yang kurang memiliki sikap sopan santun sepert
"Kita makanan dulu yuk, aku lapar belum makan apa pun dari pagi," ucap gadis manis yang mencepol rambutnya tersebut diangguki gadis yang rambutnya terurai indah berwarna marun di bagian bawahnya."Ayo Man," ucap gadis rambut marun–Divya seraya meraih tangan Amanda yang terkulai lemah di kedua sisi tubuhnya, Divya mengernyitkan kening melihat Amanda yang lesu tidak bersemangat itu.Francie yang menyadari kebingungan Divya sedikit menyikut bahunya. "Sudah dari tadi seperti itu, kita makan di apartemen kamu aja, drive thru.""Baiklah," ucap Divya dan kini bersama Francie menyeret lengan kiri dan kanan Amanda yang sepertinya tidak akan bergerak sedikit pun jika tidak dengan cara seperti itu. Seraya berjalan dengan menyeret Amanda supaya berjalan agak cepat, keduanya terus bertanya apa yang telah terjadi dengan. Na
"Aku akan menikah tanggal satu besok."Baik Francie maupun Divya langsung terbatuk sedetik setelah Amanda mengutarakan kalimatnya. Keduanya secara kompak menatap Amanda dengan tatapan horor serta mata berair karena tenggorokan mereka yang sakit akibat tersedak."Jangan bercanda!" seru keduanya secara kompak, merasa tidak percaya Amanda membicarakan soal pernikahan, padahal dulu anti sekali membicarakan hal tersebut walau sudah memiliki kekasih."Kamu sudah hamil?" tanya Divya mengutarakan apa yang terlintas di kepalanya saat ini karena pemberitahuan Amanda akan menikah itu cepat sekali, hari ini tanggal 25 untuk ke tanggal satu membutuhkan hanya waktu tujuh hari, yang benar saja. Kalau Amanda tidak bercanda, kemungkinan opsi sudah hamil adalah yang paling benar.Bukan Fr
Sudah satu minggu berlalu sejak pembicaraan antara Rendra dan Alina di ruang kerja pria itu, ia masih belum memberitahukan perihal rencana bulan madu kepada Amanda karena masih sibuk mengerjakan pekerjaannya yang sangat banyak akibat di kantornya terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan.Namun walau begitu, Rendra masih menyempatkan diri untuk mengantar anak-anak ke sekolah dan mengantar Amanda ke kampus. Seperti biasa, dirinya terlebih dahulu mengantar Dean dan Mikayla, kemudian mengantar Amanda.Kini mobil yang dikendarai Rendra berhenti di tempat parkir universitas tempat sang istri menimba ilmu. Ia masih belum membuka kunci benda tersebut sehingga Amanda masih bertahan, padahal biasaanya Amanda akan langsung pergi begitu saja.Amanda kembali menyentuh handle pintu, mendorongnya tetapi masih belum mau terbuka. Gadis itu berdecak di dalam hati.“Saya bisa telat!” ujarnya tegas, tetapi Rendra tidak menghiraukan sama sekali. Dirinya tahu pasti pukul berapa sang istri memulai kegiatan
Amanda tersenyum canggung mendapati telapak tangan Alina bertengger di puncuk kepalanya, mengelusnya lembut seraya kedua sudut bibirnya tidak berhenti mengungkap betapa betapa bersyukurnya ia karena Amanda sudah kembali setelah lima hari meninggalkan rumah.“Nggak ada kamu di sini suasana jadi hampa,” ungkap Alina. Lagi-lagi Amanda hanya tersenyum dan mengudarakan tawa kecil, tidak tahu harus menanggapi ucapan wanita itu bagaimana.Di dalam hati Amanda mengejek, tidak percaya akan ucapan mertuanya karena selama ini keberadaannya di sini hanya sekadarnya saja, ia lebih sering menghabiskan waktu di kampus daripada di rumah, tentu kehadirannya tidak berpengaruh sama sekali.Ibu mertuanya itu pasti hanya ingin membesarkan hatinya saja.“Masa sih Ma?” Akhirnya Amanda membuka suara, tidak enak juga jika terus menanggapi setiap ucapan wanita itu dengan senyum atau tawa.Alina tertawa ringan menanggapi ucapan menantunya, ia mengangguk samar.“Iya,” jawabnya. “Kalau Rendra bikin kamu marah ata
Rendra tersenyum begitu indra penglihatannya menangkap bahwa Amanda sedang memainkan ponsel yang tempo hari dirinya berikan.Ternyata walau gadis itu berkata tidak mau, tetapi tetap benda tersebut diterima juga. Rendra senang, berarti untuk masalah ponsel ini sudah selesai. Entah apa yang sedang Amanda lakukan dengan ponsel barunya, gadis itu terlihat sangat fokus sampai kehadirannya saja tidak dihiraukan.Rendra menghampiri Amanda yang tengah duduk berselonjor kaki di ranjang, kemudian duduk di sisi kosongnya. Amanda langsung mengalihkan perhatiannya begitu merasakan tempat yang tengah didudukinya bergerak. Tatapan keduanya saling bertubrukan, Amanda langsung menurunkan ponselnya.“Kenapa?” tanya Amanda heran karena suaminya tersebut tiba-tiba saja duduk di sebelahnya.“Kamu sudah putus dengan pacarmu itu?” Amanda tersenyum lebar mendengar pertanyaan tak terduga yang dilontarkan oleh suaminya.Amanda tentu sangat senang ditanya seperti itu, itu artinya dirinya tidak perlu repot-repo
Rendra membuka pintu mobilnya begitu berhenti di depan sebuah gerbang rumah, indra penglihatannya tertuju pada seseorang yang tengah berjongkok seraya menelangkupkan kepala di hadapan kendaraannya. Ia mengenal betul orang tersebut, tetapi pertanyaannya adalah apa yang sedang orang ini lalukan?Pria tersebut berjalan menghampiri, kemudian berhenti dan berdiri menjulang benar-benar di hadapannya.“Apa yang sedang kamu lalukan?” Rendra mengutarakan pertanyaan yang ada di dalam benaknya.Namun Amanda tidak kunjung mengangkat kepala dan menjawab pertanyaannya, gadis itu masih setia menelangkupkan kepalanya. Hal itu membuat Rendra menghela napas panjang.“Ayo pulang,” ucapnya sekali lagi.Ia ke sini memang untuk menjemput Amanda, ia pikir akan sulit mengajak istrinya ini pulang, tetapi ternyata Amanda suadah ada di luar rumah sedang melakukan hal aneh pula. Kenapa gadis itu tidak masuk ke rumah?Apakah gadis itu diusir oleh keluarganya sebab terlalu lama menginap dan tidak mau pulang ke rum
“Kapan kamu akan pulang?” tanya Marissa seraya merapikan kembali meja makan yang berantakan selepas dipakai.Sudah lima hari sejak kedatangan Amanda ke rumah untuk pertama kalinya lagi dan Amanda masih belum kembali pulang ke rumah keluarga suaminya walau suaminya sering kali menjemput. Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya itu, ia sudah capek menasihati Amanda supaya cepat pulang, dirinya sudah merasa tidak enak kepada keluarga besannya kalau Amanda tidak kunjung kembali.Detik itu juga, Amanda menatap wanita yang melahirkannya dengan tatapan sedikit sinis, sedikit tidak terima mendengar nada pengusiran darinya. “Nggak seneng ya aku tinggal di sini?”“Bukan begitu!” balas Marissa langsung seraya mendelik, kekeras kepalaan putrinya tersebut sungguh sangat memancing emosinya. “Kamu kan sudah menikah, nggak sepatutnya kamu tinggal di sini terus, kasihan suami kamu!”“Biarin aja, dia udah besar, nggak akan nangis walau aku tinggalin lima tahun!”“Ya memang tidak akan menangis, tap
Rendra mengemudikan kendaraannya menuju kediaman Amanda demi menuruti perintah ibunya yang meminta ia untuk membujuk istrinya itu. Dalam hati ia merutuki mengapa Amanda pulang ke rumah orang tuanya tanpa izin.Dirinya mengerti bahwa ponsel gadis itu sudah hancur, tetapi paling tidak gadis itu pulang terlebih dahulu dan meminta izin secara langsung bahwa dirinya ingin menginap di rumah orang tuanya. Bukan justru pergi tanpa izin dan membuat semua orang khawatir terutama mamanya.Tadi dirinya juga sempat khawatir sekaligus bingung bagaimana cara menemukan gadis itu sementara tidak ada ponsel yang bisa dihubungi. Ia tidak berpikir kalau ternyata istrinya tersebut pulang ke rumah orang tuanya, ia justru berpikir bahwa Amanda pergi bersama kekasihnya.Syukur kini semua sudah tahu di mana keberadaan Amanda.Gadis itu yang membuat kesalahan, ia juga yang harus membujuk dan meminta maaf kepadanya. Sungguh sangat menyebalkan, tetapi mau bagaimana lagi, sepertinya
Amanda memunguti puing-puing ponselnya yang hancur.Sedari awal, dirinya yang berniat membuat pria itu marah, tetapi justru saat ini dirinyalah yang dibuat marah oleh pria itu. Amanda marah hinga rasanya ingin mengamuk.Tidak terbayang sebelumnya bahwa pria itu akan semarah ini. Dalam pikirannya saat ia memberitahukan kepada pria itu bahwa dirinya memiliki kekasih yang dicintai, setidaknya ia mendapat satu tamparan atau mahakarya memar seperti tempo hari, tetapi ternyata dirinya salah, pria itu justru membuat ponselnya yang berharga menjadi seenggok sampah yang tidak bermanfaat sama sekali.Amanda siap jika pria itu ingin menyakiti fisiknya, tetapi untuk ponselnya ia sangat tidak terima karena ponsel itu benar-benar berharga untuknya. Segala sesuatu yang sangat penting tersimpan rapi di sana, tetapi sekarang benda itu sudah tidak ada.Setelah kalimat terakhirnya, pria itu entah pergi ke mana meninggalkan dirinya sendiri di kamar. Amanda tidak peduli, ia j
Amanda menutup mulut dengan salah satu tangan kala kantuk tiba-tiba saja menyerang. Ia tengah mendengarkan ibu mertua yang tengah bercerita bersama dengan ayah mertua seraya memperhatikan cucu-cucu mereka yang tengah mengerjakan tugas sekolah prakarya.Waktu memang sudah menunjukan jam beristirahat, bahkan mereka sudah duduk di ruangan dengan sofa yang berbentuk huruf L tersebut sekitar dua jam setelah makan malam. Itu semua karena Dean dan Mikayla yang meminta ditemani, mau tak mau Amanda juga ikut menemani di ruang keluarga sebab tadi ibu mertua terus saja mengajaknya berbicara.Sekilas Alina melihat Amanda yang sedang membuka mulut dengan mata yang telah sayu, wanita itu berpikir bahwa menantunya telah benar-benar mengantuk.“Pergi saja ke kamar kalau sudah mengantuk, tidak perlu menunggu suamimu pulang.”Amanda menoleh kepada ibu mertuanya kemudian menggeleng samar seraya tersenyum. “Aku belum ngantuk kok, barusan hanya menguap saja.
Karena selepas makan siang Alex harus kembali ke kampus untuk masuk ke kelas berikutnya, ia mengantar Amanda pulang. Amanda sejujurnya tidak rela karena kebersamaannya hari ini dengan Alex hanya sekejap saja, tetapi mau bagaimana lagi, kuliah jauh lebih penting daripada menemaninya seharian.Mobil yang ditumpangi keduanya berhenti di depan sebuah benteng kokoh terbuat dari besi-besi yang disusun berderet berwarna putih. Amanda tidak langsung beranjak, melainkan menghempaskan punggungnya di sandaran kursi dengan kepala yang menoleh ke arah kekasihnya.“Rasanya menyeramkan harus masuk ke rumah itu,” ucap Amanda diikuti dengan bibir yang mengerucut lucu.Melihat eskpresi dan mendengar kalimat yang Amanda ucapkan, Alex terkekeh ringan, salah satu tangan yang bertengger di stir terangkat kemudian mendarat di kepala Amanda, mengelus surai hitam nan lembut milik kekasihnya itu dengan penuh kasih sayang.“Semangat, nggak akan lama lagi kamu past