Beberapa saat kemudian. Mobil milik Axel sudah sampai di pemakaman. Maxime menghentikan mobil milik Axel tepat di depan pemakaman umum itu. Dengan perlahan Emily turun dari dalam mobil dibantu oleh Chrisa. Tadi setelah mendengar jika Om Gunawan sudah di kebumikan Emily langsung mengajak Axel untuk ke tempat tinggal terakhir Omnya itu. Sedih, hancur dan kecewa yang dirasakan Emily saat ini. Bagaimana tidak? Di saat dia baru pulang bulan madu, dia malah mendapat kabar yang sangat menyayat hati. Emily dibimbing Chrisa untuk ke makam Om Gunawan. Sampai di depan makam Gunawan, Emily menatap tempat tinggal terakhir Omnya itu dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata. Tanpa disangka dan diduga air mata kembali jatuh dari mata Emily, Emily mencoba untuk tidak menangis tetapi tidak bisa, Emily tidak bisa menahan tangisannya. Tubuh Emily seakan tidak bertenaga, rasanya untuk berdiri pun Emily tidak punya energi yang tersisa. Chrisa yang berada di samping Emily mencoba merangkul tubuh E
Maxime dan Arthur masih diam. Mereka sesekali saling melirik satu sama lain karena bingung untuk apa Tuan Del Piero memanggil mereka secara bersamaan. Mereka menunggu hingga Tuan Del Piero mengatakan sesuatu. Namun, hingga lima belas menit mereka berada di dalam ruangan Tuan Del Piero, Tuan Del Piero masih diam sambil mengetuk-ngetukan jarinya di atas meja kerjanya. "Apa saat ini hubungan Axel dengan Emily benar-benar baik, Maxime?" tanya Tuan Del Piero sambil menatap Maxime dengan tatapan serius. "Hubungan mereka baik-baik saja, Tuan. Saat ini Tuan Muda sudah jatuh cinta pada Nona Emily," jawab Maxime. "Bagaimana kamu bisa yakin jika Axel sudah jatuh cinta pada Emily?"Maxime diam. Setelahnya, dia menceritakan semua yang terjadi antara Axel dan Emily saat keberangkatan mereka ke Swiss, hingga sampai mereka kembali. Tuan Del Piero menganggukkan kepalanya. Dari raut wajahnya Tuan Del Piero terlihat bahagia saat mendengar penjelasan Maxime. Dia kemudian beralih pada Arthur, ekspresi
Sudah satu minggu setelah kematian Om Gunawan. Emily masih terlihat murung. Namun, bagaimana pun Emily tetap mulai menjalankan aktivitasnya kembali. Dia harus kuliah, kematian om-nya itu tidak boleh membuat dirinya terus-menerus bersedih. Jika dia terus bersedih, yang ada nanti kedua orang tua dan om-nya akan sedih di atas sana. "Gimana kabar kamu, Emily?" tanya Winda saat bertemu Emily di kantin kampus."Aku baik." Emily tersenyum tipis. "Kalian sendiri gimana kabarnya?" tanyanya balik. "Kita juga baik. Maafin kita ya, Emily. Kita sama sekali nggak tahu kalau Om kamu meninggal," ucap Rara dengan wajah menyesal. "Iya nggak apa-apa. Aku juga baru tahu waktu malamnya, setelah pulang dari Swiss. Aku bahkan nggak bisa ikut mengantar jenazah Om Gunawan ke peristirahatan terakhir," ucap Emily dengan wajah sedih. Winda mengelus punggung Emily dengan lembut. "Kita sempet kaget waktu denger loh, Emily.""Iya, aku juga," jawab Emily dengan wajah yang masih sedih. "Sabar ya, Emily. Aku yakin
Tidak berselang lama, Rara kembali menghampiri Emily dan Winda. Kedua sahabatnya itu menatap Rara dengan tanda tanya. Mereka pikir Rara tidak mendapatkan apa yang tadi ingin dia beli, pasalnya Rara datang dengan tangan kosong. "Nggak dapet, ya, Ra?" tanya Winda sambil menatap ke arah kedua tangan Rara lalu kembali menatap wajah Rara. "Dapat," jawab Rara sambil mengambil sesuatu dari tas miliknya. "Nih." Rara memberikan benda yang baru saja dia beli. Emily menautkan alisnya kala melihat isi di dalam kantong plastik di tangannya. "Kok malah obat demam?" tanya Emily tidak paham. Rara menatap ke sekeliling. Melihat Rara yang terlihat seperti itu, baik Emily dan Winda juga ikut-ikutan menatap ke sekeliling. "Kamu kenapa, sih, Ra?" tanya Winda yang melihat kelakuan temannya yang aneh. Rara menatap Winda lalu beralih menatap Emily. "Sebaiknya sekarang kita ke rumah aku aja, yuk. Takutnya nanti ada yang denger." Bukannya menjawab pertanyaan Winda, Rara malah mengajak kedua sahabatnya unt
Bab 95. Positif HamilEmily yang berada di dalam kamar mandi, masih diam. Dia memandangi bungkus testpack yang ada di tangannya. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apa iya dia harus mengecek apa dia sedang hamil atau tidak? Jika dia tidak mengeceknya maka dia tidak bisa tahu apa ada janin yang tengah berkembang di dalam rahimnya atau tidak. Namun, jika dia mengeceknya, dia takut dengan hasilnya. Dia takut jika Axel akan meninggalkan dirinya setelah dia melahirkan anak mereka nantinya. Walaupun Axel sudah mengatakan jika dia sangat mencintai dan tidak akan meninggalkan dirinya nanti, tetapi Emily masih takut. Apalagi surat perjanjian yang mereka buat sampai sekarang masih di tangan Axel dan Emily tidak tahu apa surat perjanjian itu sudah dimusnahkan atau masih disimpan oleh Axel. Emily memejamkan kedua matanya. Dia sangat bimbang. Namun, saat dia tengah bimbang tiba-tiba Emily dikejutkan dengan suara ketukan pintu kamar mandi. Tok ... tok ... tok .... "Emily, sudah belum?" ta
Bab 96. Axel dan EmilyHingga larut malam, Axel tidak kunjung pulang. Dia bahkan tidak memberi kabar pada Emily, membuat Emily resah, takut jika suaminya kenapa-napa. Emily terus menunggu Axel pulang. Namun, karena Axel tidak kunjung pulang, Emily memutuskan untuk tidur lebih dulu. Hingga akhirnya pada saat jam dua dini hari, Emily merasakan seseorang memeluk dirinya dari belakang. Emily membuka matanya. Dia menoleh ke belakang dan melihat Axel yang tengah memeluk dirinya dengan wajah yang di taruh ke leher bagian belakangnya. "Om baru pulang?" tanya Emily dengan suara khas orang baru bangun tidur sambil mengubah posisinya untuk menghadap ke arah Axel. "Hm," jawab Axel sambil mengeratkan pelukannya. "Kenapa pesan dari aku nggak Om balas?" tanya Emily lagi sambil mengusap-usap rambut Axel dengan lembut. "Hari ini sibuk sekali. Ponselku tertinggal di ruangan."Emily mengangguk mengerti. Dia berusaha percaya dengan apa yang suaminya itu katakan. "Pasti capek banget ya?"Axel mengang
Bab 97. Melakukan KembaliBeberapa saat kemudian, Emily keluar dari dalam kamar mandi. Dia melihat ke arah tempat tidur, tidak ada Axel di sana. Dia kemudian menatap ke sekeliling kamar, tetapi tetap Emily tidak mendapat keberadaan Axel. "Ke mana Om Axel?" tanya Emily pada dirinya sendiri saat tidak mendapati Axel di kamar mereka. Wajah Emily langsung murung, padahal dia baru saja senang karena Axel mengatakan akan menghabiskan waktu seharian ini bersama dirinya. Namun, dia saat ini sudah tidak berada di kamar. Emily mengembuskan napas pasrah. Dia kemudian duduk di pinggiran tempat tidur. "Apa aku hanya pemuas ranjangnya saja, setelah dia puas maka dia akan pergi begitu saja.""Sadar Emily, dari awal 'kan kamu menang seperti itu. Lebih baik kamu jangan begitu terhanyut dengan perlakuan manis Om Axel. Dia mungkin hanya ingin bermain-main dengan kamu saja, Emily," ucap Emily berbicara pada dirinya sendiri. "Lebih baik sekarang kamu memakai baju, kasian janin yang ada di dalam kandung
Bab 98. Axel Selingkuh—oOo—Jam menunjukkan pukul dua belas siang lebih dua puluh tiga menit. Axel dan Emily baru saja selesai melakukan kegiatan panasnya. Dengan napas yang masih sama-sama memburu, Axel mencium kening Emily. "Terima kasih, Sayang. Aku sangat puas," ucap Axel setelah mencium kening Emily. Emily hanya mengangguk pelan. "Kamu istirahat dulu, nanti kalau sudah baru kamu mandi."Emily kembali mengangguk. Axel tersenyum, setelahnya dia langsung menyelimuti tubuh Emily dan beranjak ke kamar mandi. Sementara Emily memutuskan untuk memejamkan matanya. Namun, baru saja Emily ingin memejamkan matanya, tiba-tiba dia kembali membuka matanya saat mendengar suara dering ponsel milik Axel. Awalnya, Emily ingin mengabaikan dering ponsel suaminya itu, tetapi saat ponsel itu terus berdering Emily akhirnya mengambil ponsel itu, berniat untuk menjawab telepon itu. Namun, baru dia hendak menekan tombol untuk menjawab telepon itu, tetapi telepon itu sudah mati lebih dulu. Emily menautk
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la