"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Axel ketika melihat Emily masih berdiri di depan pintu kamarnya. Dia meletakkan tab miliknya dan menghampiri Emily. Emily menoleh ke arah Axel. "Aku hanya memikirkan Om Gunawan saja," jawab Emily. "Kalau kamu khawatir, kenapa kamu tidak menghampiri Om kamu saja?"Emily diam tidak langsung menjawab pertanyaan dari Axel. Dia berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di pinggiran tempat tidur. "Aku tidak mau membuat Tante Alice marah dan membuat Om Gunawan jadi pelampiasan kemarahan Tante Alice," jawab Emily sambil menundukkan kepalanya, menatap jari-jari tangannya. "Kenapa Tante kamu seperti sangat membenci kamu?" "Entahlah, aku juga tidak tahu, Om. Awal bertemu keluarga Tantenya ketika Mama dan Papa meninggal karena kecelakaan, sebelumnya aku sama sekali tidak tahu jika Mama memiliki seorang adik."Emily menatap langit-langit kamarnya. "Awalnya aku kira Tante Alice itu baik, tetapi setelah kejadian itu Tante Alice berubah total. Dia suka marah dan meme
"Ada apa?" tanya Axel ketika sudah berada di sebelah Emily. "Opa masih tidur," jawab Emily pelan. "Tapi tadi Dokter bilang kalau Opa sudah sadar dan ....""Axel ... Emily ...." Panggil Tuan Del Piero. Emily dan Axel langsung menoleh ke arah Tuan Del Piero. Mereka menatap Tuan Del Piero yang telah membuka kedua bola matanya tengah menatap ke arah mereka. Mereka berjalan secara bersamaan ke sebelah tempat tidur Tuan Del Piero. "Opa. Apa Opa tidak apa-apa?" Emily langsung duduk di pinggiran tempat tidur milik Tuan Del Piero. Dia menggenggam telapak tangan Tuan Del Piero dengan sangat erat. Tuan Del Piero tersenyum dan membalas menggenggam tangan Emily. "Opa tidak apa-apa.""Jika Opa tidak apa-apa kenapa tadi ada Dokter keluarga? Pasti ada hal yang Opa sembunyikan 'kan?!" ucap Emily dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. "Untuk apa Opa menyembunyikan sesuatu dari kamu dan Axel? Kalau Opa berniat menyembunyikan sesuatu dari kalian, pasti hal itu sudah kalian ketahui dulu," jawab
"Kamu kenapa?" tanya Axel ketika melihat Emily yang melamun. "Tidak kenapa-napa, aku hanya merasa ada yang di sebunyiin Opa dari aku," jawab Emily sambil menatap pemandangan lewat balkon kamarnya. Axel terdiam merasa sedikit terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Emily. Kenapa apa yang dia pikirkan dengan Emily sama, dia juga merasa ada hal yang disembunyikan oleh Opa-nya itu. "Mungkin itu hanya perasaan kamu saja," ucap Axel tidak mau Emily berpikiran akan hal itu. "Apa iya cuma perasaanku saja?" tanya Emily pada dirinya sendiri di dalam hati. "Hari ini kamu tidak ada kelas?" tanya Axel. Emily menoleh menatap Axel. "Astaga, aku lupa!" pekik Emily yang langsung berlari masuk ke dalam kamar. Axel menarik satu sudut bibirnya kebelakang membentuk senyum tipis. Sementara itu, Emily saat ini tengah sibuk menyiapkan mata kuliah hari ini. Gara-gara memikirkan hal yang mungkin di sembunyikan oleh Tuan Del Piero membuat Emily lupa jika hari ini dia ada kuliah. "Om, aku berangkat kuliah
Olivia terus berjalan walau mendengar Del Piero memanggilnya. Tanpa sadar air mata yang sedari tadi dia bendung menetes. Olivia tidak bisa membendungnya lagi. "Olivia!" panggil Del Piero lagi.Karena Olivia tidak menghentikan langkahnya. Del Piero memutuskan mengejar dan menggenggam tangan Olivia agar cewek yang dia sukai selama ini menghentikan langkahnya. Del Piero memutar tubuh Olivia dan betapa terkejutnya dia saat melihat Olivia menangis. Del Piero menghapus air mata Olivia. "Maaf Olivia, maaf kalau apa yang aku lakukan selama ini sudah membuat kamu kecewa dengan aku. Aku bingung harus bagaimana, aku hanya ingin tahu perasaan kamu.""Kalau kamu ingin tahu perasaan 'ku seharusnya kamu itu tanya langsung sama aku. Bukan malah mempermainkan perasaan cewek lain. "Maaf," ucap Del Piero sambil menundukkan kepalanya. "Kenapa kamu malah minta maaf sama aku? Seharusnya kamu minta maaf pada cewek-cewek yang sudah kamu permainkan perasaannya."Del Piero terdiam. "Itu semua terserah kamu,
Di kantor Del Piero Company. "Kenapa aku malah jadi kayak asisten Maxime sih!" rutuk Chrisa saat membawa nampan berisi kopi yang diminta Maxime beberapa waktu lalu. Namun, walaupun Chrisa tidak menyukai apa yang Maxime perintahkan, Chrisa tetap melakukannya. Chrisa masuk ke dalam ruangan Maxime. Dia berjalan ke arah Maxime yang sedang sibuk dengan laptopnya. Sampai di depan meja Maxime, Chrisa langsung meletakkan cangkir kopi tepat di atas meja Maxime dengan keras hingga membuat suara bunyi pada meja. TAK!! Maxime yang sedang sibuk dengan laptopnya langsung beralih ke cangkir kopi. Dia kemudian beralih menatap Chrisa dengan tajam. "Apa kamu berniat untuk memecahkan cangkir kopi itu?" tanya Maxime dengan dingin. "Kalau iya, memangnya kenapa?" tanya balik Chrisa dengan tangan yang dia lipat di depan dadanya. Maxime menghela napas dengan kasar. Dia menggeser kursinya ke belakang, lalu dia bangun dan berjalan ke arah Chrisa. "Kamu sengaja memancing emosiku?" tanya Maxime dengan nada
"Om Axel!" teriak Emily ketika melihat orang yang memukuli mahasiswa di sana itu Axel, suaminya. Axel yang hampir memberikan satu bogem pada mahasiswa yang ada di bawahnya langsung berhenti ketika mendengar suara Emily. Dia menoleh ke arah Emily yang saat ini tengah berdiri bersama beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang sedang melihat ke arahnya. Sementara Emily yang melihat Axel tidak jadi memukul mahasiswa di bawahnya langsung berjalan mendekat ke arah suaminya itu. "Apa yang Om lakukan?!" tanya Emily saat sudah berada di sebelah Axel. Axel mendorong dan melepas cengkraman tangan kirinya pada mahasiswa yang sudah tergeletak tidak berdaya itu. Dia menatap mahasiswa itu dengan tajam. "Jangan pernah berani kamu ulangi hal itu! Jika tidak, saya tidak akan segan-segan untuk membunuh kamu!" ucap Axel yang langsung pergi meninggalkan kantin tanpa mengindahkan Emily yang menatapnya. Emily dengan segera mengejar dan memanggil Axel. Namun, panggilannya tidak diperdulikan oleh Axel. Axel yan
Emily menatap Axel yang memalingkan wajahnya ke arah lain. Dapat Emily lihat dengan jelas rahang Axel yang mengeras. Apa ini yang membuat Axel marah dan memukuli mahasiswa di kantin kampus tadi? Di saat Emily ingin menyentuh bahu Axel tiba-tiba ponsel Emily bergetar. Emily menarik tangannya dan mengambil ponselnya. Dia menautkan alisnya ketika melihat nama orang yang telah mengirimi dia pesan. Namun, bukannya membuka pesan yang baru saja masuk Emily malah membuka pesan dari Winda lebih dulu. Emily takut jika terjadi apa-apa di kampus akibat kejadian tadi. Emily melebarkan kedua bola matanya ketika membaca pesan dari Winda. Ternyata benar apa yang di pikirkan Emily tadi. Dia kemudian beralih menatap Axel yang masih menatap ke arah danau di depannya. "Om?" panggil Emily pelan. Axel hanya diam, tidak mengindahkan panggilan Emily. "Om." Emily kembali memanggil Axel. "Hmm.""Jangan bilang Om tadi mukulin mahasiswa di kampus tadi, itu gara-gara Om cemburu sama dia?" tebak Emily,"Om sud
Emily berjalan menyusuri jalanan seorang diri. Entah kenapa hatinya sangat sakit mendengar kata-kata Axel tadi. Padahal dari awal Emily sudah tahu tujuan Axel mau dekat dengan dia, bahkan Emily sendiri yang menyetujui akan hal itu. Namun, makin ke sini entah mengapa ada perasaan hangat di hati Emily jika bersama Axel. Apalagi sikap Axel yang semakin lama semakin baik padanya. Dia juga sering menunjukkan perhatian pada dirinya, sama seperti hari ini, mengantar dan menunggu Emily yang sedang kuliah. "Mau ke mana, Neng? Mari Bapak antar," ucap seorang bapak-bapak tukang becak menyadarkan lamunan Emily. "Saya tidak mau ke mana-mana, Pak," jawab Emily sambil melewati bapak tukang becak itu. "Tunggu, Neng. Kalau Eneng mau ke mana, biar Bapak anterin," ucap bapak tukang becak itu lagi menghentikan langkah Emily. "Terima kasih, Pak. Tapi tidak usah, saya tidak bawa uang." Tadi ketika Emily keluar dari dalam mobil Axel, dia lupa dengan tas miliknya. Jadi tas yang berisi dompet dan ponsel E
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la