Emily menatap Axel yang memalingkan wajahnya ke arah lain. Dapat Emily lihat dengan jelas rahang Axel yang mengeras. Apa ini yang membuat Axel marah dan memukuli mahasiswa di kantin kampus tadi? Di saat Emily ingin menyentuh bahu Axel tiba-tiba ponsel Emily bergetar. Emily menarik tangannya dan mengambil ponselnya. Dia menautkan alisnya ketika melihat nama orang yang telah mengirimi dia pesan. Namun, bukannya membuka pesan yang baru saja masuk Emily malah membuka pesan dari Winda lebih dulu. Emily takut jika terjadi apa-apa di kampus akibat kejadian tadi. Emily melebarkan kedua bola matanya ketika membaca pesan dari Winda. Ternyata benar apa yang di pikirkan Emily tadi. Dia kemudian beralih menatap Axel yang masih menatap ke arah danau di depannya. "Om?" panggil Emily pelan. Axel hanya diam, tidak mengindahkan panggilan Emily. "Om." Emily kembali memanggil Axel. "Hmm.""Jangan bilang Om tadi mukulin mahasiswa di kampus tadi, itu gara-gara Om cemburu sama dia?" tebak Emily,"Om sud
Emily berjalan menyusuri jalanan seorang diri. Entah kenapa hatinya sangat sakit mendengar kata-kata Axel tadi. Padahal dari awal Emily sudah tahu tujuan Axel mau dekat dengan dia, bahkan Emily sendiri yang menyetujui akan hal itu. Namun, makin ke sini entah mengapa ada perasaan hangat di hati Emily jika bersama Axel. Apalagi sikap Axel yang semakin lama semakin baik padanya. Dia juga sering menunjukkan perhatian pada dirinya, sama seperti hari ini, mengantar dan menunggu Emily yang sedang kuliah. "Mau ke mana, Neng? Mari Bapak antar," ucap seorang bapak-bapak tukang becak menyadarkan lamunan Emily. "Saya tidak mau ke mana-mana, Pak," jawab Emily sambil melewati bapak tukang becak itu. "Tunggu, Neng. Kalau Eneng mau ke mana, biar Bapak anterin," ucap bapak tukang becak itu lagi menghentikan langkah Emily. "Terima kasih, Pak. Tapi tidak usah, saya tidak bawa uang." Tadi ketika Emily keluar dari dalam mobil Axel, dia lupa dengan tas miliknya. Jadi tas yang berisi dompet dan ponsel E
Langit sudah berubah menjadi gelap tetapi Emily tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Axel yang awalnya tidak peduli akan hal itu tiba-tiba menjadi khawatir juga, pasalnya Emily pergi tanpa membawa tas maupun ponsel. Axel tahu jika kata-katanya tadi siang itu keterlaluan, tetapi dia terlalu gengsi untuk mengakui hal itu. "Kenapa sampai sekarang dia belum pulang-pulang juga?" tanya Axel sambil berjalan mondar mandir di depan pintu kamarnya dan Emily. "Tidak mungkin 'kan kalau dia tidak tahu jalan pulang. Lagi pula walau tidak bawa uang, seharusnya dia bisa pulang naik taksi," lanjutnya. Axel mendengkus karena bingung harus berbuat apa. Jika sampai Emily tidak kunjung pulang, bisa-bisa dirinya akan disalahkan oleh Opa-nya. "Apa sebaiknya aku cari saja ya? Tapi kalau aku cari nanti yang ada dia makin besar kepala dan mikir kalau aku beneran suka sama dia."Axel berjalan menuju tempat tidurnya, dia duduk di sana sambil memainkan ponselnya. Dia semakin bingung harus berbuat apa. "
"Ini ..." Axel menatap benda yang ada di tangannya. "Bukannya ni punya Emily? Kenapa bisa di sini? Apa tadi dia sempat di sini?" batin Axel sambil menatap sapu tangan yang baru saja Axel ambil. Axel dengan segera mengambil ponsel yang ada di dalam saku. Dia mencari menekan nomor ponsel milik Maxime. "Kamu di mana?" tanya Axel langsung ke intinya. ["Masih di kantor."] "Bersama Chrisa?" tanya Axel dingin. ["Iya."]Axel mendengkus, mengetahui jika Maxime masih berada di kantor bersama Chrisa. "Cepat ke lokasi yang aku kirim. Dan bawa wanitamu sekarang juga."["Wanita yang ma—"]Belum sempat Maxime menyelesaikan kalimatnya, Axel secara sepihak mematikan sambungan telepon. Membuat orang yang ada di seberang sana mendengkus kesal. Sementara Chrisa yang masih bersama Maxime di ruangan Maxime hanya menatap acuh pada Maxime. Dia tidak peduli kepada siapa Maxime kesal yang dia pedulikan hanyalah pekerjaannya segera selesai dan lekas pulang. Dia tidak betah jika harus terus menerus bersama M
"Apa kamu yakin?" tanya Axel sambil menatap Maxime dengan mata elangnya. "Dari informasi yang saya dapatkan dari penjual bunga tadi seperti itu, Tuan Muda.""Kalau begitu, kita ke sana sekarang."Axel berjalan lebih dulu. Tidak lama Maxime dan Chrisa mengikuti langkah Tuan Muda mereka. "Kita mau ke mana, Max?" bisik Chrisa. "Ke tempat Nona Emily saat ini."Chrisa menghentikan langkahnya. Apa Max sudah tahu di mana Nona Emily? Satu pertanyaan itu yang ada di benak Chrisa saat ini. Namun, tidak lama setelahnya Chrisa dengan segera menyusul Axel dan Maxime yang sudah beberapa langkah di depannya. "Memangnya Nona Emily ada di mana, Max?" tanya Chrisa saat langkahnya sudah sejajar dengan Maxime. "Ada di rumah salah satu sahabatnya," jawab Maxime sambil terus menatap ke depan. "Siapa?"Maxime menoleh menatap Chrisa dengan kesal. Baru saja dia akan membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Chrisa, Maxime menutup mulutnya kembali ketika suara Axel terdengar. Maxime mempercepat langkah
Winda seakan tertusuk oleh sebilah pisau yang sangat tajam ketika mendapat tatapan dari sepasang mata elang milik pria yang berdiri di antara Maxime dan Chrisa. Dia tidak menyangka saja jika suami Emily memiliki tatapan yang begitu tajam dan benar kata orang selama ini jika Axel memiliki aura yang sangat dominan. Hingga membuat orang yang ditatap atau berada di dekatnha merasa seakan-akan sedang dikuliti secara perlahan oleh tatapan Axel itu. Sementara di ruang tengah, Emily yang sudah menunggu Winda cukup lama bertanya-tanya kenapa sahabatnya begitu lama. Apa ada tamu penting yang datang hingga membuat Winda lama di depan? Pertanyaan itu yang terlintas di benak Emily saat ini. Karena merasa khawatir dengan kondisi sahabatnya yang tidak kunjung kembali ke ruang tengah, Emily memutuskan untuk menyusul sahabatnya itu. Dia menaruh popcorn yang ada di pangkuannya dan beranjak berdiri, berjalan menuju ruang tamu rumah Winda. Hingga ketika dia berada di ambang pintu penghubung antara ruan
Seorang wanita dan pria terlihat berjalan bersama. Namun, walau mereka mau ke tempat tujuan yang sama, mereka berjalan dengan jarak cukup jauh dengan sang wanita berada di depan si pria. Wanita berkacamata itu berjalan memasuki sebuah restoran ternama. Di sana sudah ada seorang pramusaji yang menyambutnya dan menuntun dia ke ruangan yang sudah wanita itu pesan.Wanita itu duduk di sofa yang berada di ruangan VIP di restoran tersebut. Dia memesan makanan pada pramusaji di depannya. Setelahnya dia beralih menatap pria yang sudah duduk di hadapannya. "Kamu ingin memesan sesuatu?" tanya wanita itu pada si pria. "Terserah kamu," jawab pria itu. Wanita itu mengangguk. Dia kemudian membuka buku menu yang masih di tangannya. Setelahnya dia beralih ke pramusaji dan memesankan makanan untuk pria di depannya saat menemukan makanan kesukaan pria itu. Pramusaji itu menulis pesanan wanita itu, dia mengatakan agar wanita dan pria itu menunggu. Setelah itu, pramusaji itu pergi dari ruangan VIP tad
Emily baru saja selesai berganti baju. Tadi setelah masuk ke dalam kamar, Emily langsung memutuskan untuk mengganti baju Winda yang dia pakai dengan bajunya sendiri. Bukan karena apa-apa Emily mengganti baju milik Winda, dia hanya sedikit tidak nyaman memakai piyama dengan lengan pendek dan celana yang tidak kalah pendek juga. Emily takut jika nanti Axel melihat dia masih memakai baju itu, Axel akan mengira jika dirinya tengah menggoda Axel dan Emily tidak mau hal itu terjadi. Hingga ketika Emily baru saja keluar dari dalam walk in closet bersamaan dengan Axel yang membuka pintu kamar. Untuk sesaat tatapan Emily dan Axel saling bertemu. Namun, itu tidak terlalu lama karena Emily langsung memalingkan wajahnya dan melanjutkan langkahnya menuju tempat tidur. Sementara Axel, dia menelan salivanya dengan cepat. Jujur saja Axel merasa canggung, tetapi sebisa mungkin Axel bersikap biasa saja. Dia dengan segera menutup pintu kamar dan berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya y
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la