Emily membuka matanya dengan berat, entah kenapa kepalanya terasa sangat berat. Mungkin akibat semalam Emily sempat terjaga dan susah tidur kembali. Emily bangun, merubah posisinya menjadi duduk. Dia meraih ponsel yang semalam dia letakan di atas nakas di samping tempat tidurnya. Untuk melihat sudah jam berapa saat ini. Emily melebarkan kedua bola matanya ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh tujuh menit. Dengan segera Emily menggeser tubuhnya ke pinggiran ranjang dan meregangkan tubuhnya. Baru saja Emily akan berdiri, pintu kamarnya sudah terbuka. Cek lek ....Emily tersenyum ketika melihat siapa yang membuka pintu kamarnya. "Selamat pagi, Nona," sapa Chrisa dengan penampilan yang sudah rapi. Dengan setelan jas dan celana serba hitam yang menjadi seragam hariannya begitu pas di tubuh Chrisa. Beberapa hari ini Chrisa sengaja memakai seragam hariannya, agar lebih leluasa ketika tiba-tiba ada hal yang terjadi. "Selamat pagi, Kak," balas Emily. Seperti bia
Emily, Rara dan Winda sampai di kantin. Emily langsung mencari keberadaan Chrisa dan Arthur. Tidak butuh waktu lama Emily bisa menemukan Chrisa yang sedang duduk di sebuah bangku dengan ponsel di tangannya. Emily menautkan alisnya ketika tidak melihat Arthur, padahal biasanya Arthur selalu bersama Chrisa. "Di mana Arthur?" Satu pertanyaan itu yang ada di dalam benak Emily, karena tidak biasanya Arthur tidak ada. "Emily, kita mau pesen makanan, kamu mau nitip makan sekalian nggak?" tanya Winda sambil menatap Emily yang masih melihat ke arah Chrisa. Emily beralih menatap Winda. "Terima kasih, Win. Kalian pesan dulu aja, aku mau langsung ke sana saja," tolak Emily sambil menunjuk ke arah Chrisa. "Ok. Kalau gitu kita pesan dulu ya," ucap Winda sambil melambaikan tangannya pada Emily. Emily membalas lambaian tangan Winda dan Rara sambil tersenyum. Setelah itu, dia segera beralih ke arah Chrisa lagi, berjalan mendekat ke arah asisten pribadinya itu. "Keliatannya seru banget, Kak. Main
Emily berbalik hendak pergi dari ruangan Axel. Namun, langkahnya terhenti ketika Axel menahan tangannya. "Apa lagi?" tanya Emily kesal. "Kenapa? Apa kamu marah?" tanya Axel sambil menatap Emily. "Aku tidak marah, hanya saja aku tidak suka sama tindakan Om yang seenaknya itu," ucap Emily sambil menatap Axel dengan tatapan kecewa. "Apa salah Raihan? Kenapa Om malah buat Raihan pindah ke luar negeri?""Apa kamu tidak suka jika orang yang kamu cintai pergi?" tanya Axel sambil menatap Emily dengan tajam. Emily melebarkan kedua bola matanya. Dia bertanya-tanya kenapa Axel bisa tahu akan hal itu. Ah, iya! Emily lupa siapa suaminya itu. Axel bahkan akan sangat mudah mencari tahu tentang identitas seseorang dalam hitungan menit. Karena itu, Emily tidak boleh bermain-main dengan suaminya itu. "Kenapa? Apa kamu terkejut dengan kenyataan kalau aku tahu siapa Raihan?" tanya Axel sambil menatap wajah Emily yang masih terlihat tersebut, "ingat Emily! Kamu itu istri ku yang artinya kamu itu mili
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?" tanya Maxime dari seberang telepon. "Belikan baju untuk Emily."Baru saja Maxime akan membuka mulutnya untuk menyahut, tetapi Axel secara sepihak sudah mematikan sambungan telepon mereka. Maxime mendengkus dengan kelakuan bos sekaligus sahabatnya itu. Kenapa dari dulu dia tidak pernah berubah? Selalu melakukan hal sesuka hatinya."Kebiasaan banget jadi orang! Mentang-mentang bos berlaku seenaknya gitu." Maxime menaruh telepon kantor pada tempatnya kembali dengan kasar. "Tadi dia bilang apa? Beli baju buat Nona Muda?" Maxime mengingat perintah Axel. "Bagaimana aku bisa beli baju untuk Nona Muda? Sementara aku tidak tahu ukurannya. Lagi pula, untuk apa beli baju untuk Nona Muda. Apa Axel ingin memberi kejutan untuk Nona Muda?"Setelah itu, Maxime mengangkat teleponnya kembali dan menekan satu nomor hingga sambungan telepon terhubung. "Selamat siang, Pak Maxime?" tanya seseorang dari seberang telepon. "Sandra, Nona Emily apa saat ini ada di ruang
Ting! Pintu lift terbuka tepat di lantai tiga. Chelsea dengan segera berjalan menuju kamar yang dia tuju. Dia menekan bel kamar tersebut, hingga tidak lama kamar itu terbuka dan memperlihatkan seorang pria yang secara tiba-tiba langsung menarik Chelsea ke dalam kamar tersebut. Pria itu langsung mencium bibir Chelsea dengan rakus. Dia menahan tengkuk Chelsea dan memegang tangan Chelsea ke belakang tubuh Chelsea, mengunci tangan Chelsea agar gadis itu tidak memberontak. Pria itu terus melumat bibir Chelsea, bahkan sesekali dia menggigit bibir itu karena sangat gemas. "Sebenarnya apa mau kamu, hah?!" sentak Chelsea ketika pria itu sudah melepas ciumannya. "Kamu tahu apa yang aku inginkan, Chelsea." Pria itu mengusap rambut Chelsea dengan lembut. Semakin lama usapannya semakin turun hingga saat ini tangan itu sudah sampai di pinggang Chelsea. Setelah itu, pria itu menarik pinggang Chelsea ke dalam pelukannya. "Lepasin, Alfa! Ingat! Hubungan kita ... itu sudah berakhir hhh!" ucap Che
Emily saat ini tengah duduk di atas bath tube. Dia tadi cukup terkejut dengan adanya orang lain di dalam ruangan Axel. Apalagi dapat Emily lihat jika orang baru saja melihat dirinya dengan penampilan seperti itu adalah seorang pria. Sungguh Emily sangat malu. Emily ingin segera keluar dari kamar sempit di ruangan suaminya itu, tetapi Emily menunggu dipanggil Axel. Karena jika dia tidak menunggu, dia takut jika orang itu masih berada di dalam ruangan suaminya itu. Hingga sudah cukup lama Emily berada di dalam kamar mandi, tetapi Axel belum kunjung memanggil-manggil dirinya."Sepertinya ada hal yang tidak beres," gumam Emily saat sadar jika dia sudah cukup lama di dalam kamar mandi, "jangan-jangan Om Axel malah pergi dan lupain aku lagi?""Ah! Ini nggak boleh di biarin." Dengan segera Emily beranjak dari duduknya. Dia berjalan ke atau pintu kamar mandi dan membukanya. Cek lek ...Emily mengepalkan telapak tangannya dengan erat. Dia menatap tajam pada pria yang saat ini sedang sibuk den
Di saat mereka sedang sibuk memilih baju, tiba-tiba ponsel Maxime bergetar. Maxime dengan segera mengambil ponsel yang dia taruh di saku jasnya. "Tuan Muda?" gumam Maxime saat melihat siapa yang telah menelepon dirinya. "Siapa?" tanya Chrisa yang beberapa langkah di depan Maxime. "Tuan Muda Axel," jawab Maxime. "Ya sudah diangkat," ucap Chrisa memerintahkan. Maxime mengambil napas dalam-dalam, setelahnya dia mengembuskannya secara perlahan. Baru setelah itu, Maxime mengusap layar ponselnya. "Hallo, Tuan Mu—""Di mana saja kamu!" Belum selesai Maxime menyelesaikan kalimatnya, Axel sudah memotong kalimat Maxime lebih dulu. Maxime menelan salivanya dengan susah. Sementara Chrisa yang melihat ekspresi Maxime bisa tahu, pasti saat ini Axel tengah membentak Maxime. "Saya sedang melakukan apa yang Tuan Muda perintahkan, Tuan Muda.""Kamu beli baju apa ke neraka! Kenapa bisa lama sekali!" bentak Axel lagi. "Maaf Tuan Muda. Sebentar lagi saya kembali." Hanya itu yang bisa Maxime katakan
"Mau menyantap hidangan yang sudah ada di depan mata."Deg!Emily menelan salivanya dengan susah payah. Apalagi saat ini Axel menaruh kedua tangan Axel di kedua sisi tubuhnya. Hal itu berhasil membuat Emily tidak bisa berkutik. "Om, jangan mulai lagi deh!" ucap Emily sambil memundurkan tubuhnya, "kita baru selesai melakukan itu beberapa saat yang lalu."Axel tersenyum. "Memangnya kenapa, hem? Bukankah tadi kamu bilang kalau kamu bosan? Maka akan aku buat kamu tidak bosan lagi."Emily mengerjapkan kedua bola matanya ketika Axel mengatakan hal itu. Maksud Emily dia bosan berada di dalam ruangan Axel terus, bukan bosan karena tidak melakukan apa-apa. Namun, sepertinya Axel telah salah paham dan jika sudah seperti ini Emily harus bagaimana? Dia tidak bisa berkutik, apalagi tubuh Emily sudah dikunci oleh Axel. Axel menatap Emily dengan seksama. Dia begitu suka melihat ekspresi wajah Emily saat ini, menurut dia ekspresi wajah Emily saat ini terlihat sangat menggemaskan, membuat Axel ingin
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la