"Kamu kira yang tahu soal hal itu hanya Axel saja?" tanya Maxime, "kamu salah! Aku ... bahkan Tuan Del Piero juga tahu akan hal itu."Deg!Wanita di hadapan Maxime mengepalkan telapak tangannya. Kenapa bisa Maxime dan Tuan Del Piero tahu akan rahasia dia selama ini. Rahasia yang dia sembunyikan dengan rapat-rapat. "Kamu sudah salah paham, Maxime. Aku sama sekali tidak pernah mengkhianati Axel. Aku melakukan itu semua juga demi Axel!" ucap Chelsea membuka kartu As dia sendiri. "Demi Axel?" Maxime tersenyum sinis. "Jika benar kamu melakukan itu demi Axel kenapa kamu melakukan itu hingga beberapa kali? Bahkan dari apa yang saya lihat, kamu bahkan sangat menikmati apa yang kamu lakukan dengan Alfa, Chelsea!" Chelsea melebarkan kedua bola matanya, tidak menyangka jika Maxime tahu rahasianya sejauh itu. "Apa kamu tahu, Chelsea. Gara-gara kamu, Axel terpukul dan berubah menjadi seperti ini. Dia ... dia berubah menjadi dingin dan tidak percaya dengan seorang wanita! Dan itu semua gara-gara
Emily membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, dia merilekskan tubuhnya yang terasa begitu sangat lelah. Bagaimana tidak lelah? Seharian ini Emily terus berada di kantor Axel, menemani Axel mengerjakan semua pekerjaannya. Emily sama sekali tidak diperbolehkan untuk pulang sebelum pekerjaan Axel selesai. Sekarang dia baru diantar pulang oleh salah satu sopir Axel karena Axel masih ada pertemuan dengan klien-kliennya. Niat hati, Emily ingin bersantai hari ini. Namun, harus gagal karena permintaan suaminya menyebalkannya itu. Emily memejamkan matanya, ingin rasanya dia segera beralih ke dunia mimpi jika sudah merasa sangat lelah seperti ini. Namun, usahanya terganggu ketika Emily mendengar suara ketukan pintu pada pintu kamarnya. "Siapa?" tanya Emily dengan malasnya. "Saya, Nona," jawab seseorang yang mengetuk pintu kamar Emily. "Masuk!" ucap Emily memerintah orang di balik pintu kamarnya untuk masuk ketika mendengar suara orang itu. Cek lek ... Pintu kamar Emily terbuka dan
Emily perlahan membuka kedua manik matanya dengan perlahan. Dia memegang kepalanya yang masih terasa sangat berat. Setelah merasa lebih baik, dia menatap ruangan di mana dia saat ini. Emily menautkan kedua alis ketika merasa asing dengan tempat ini. Ini bukan rumahnya, lalu di mana dia sekarang? Apa dia masih berada di kampus? Samar-samar Emily mendengar seseorang yang sedang berbicara tidak jauh dari tempat dirinya berbaring. "Kamu sudah bangun, Emily?" tanya Rara saat melihat Emily sudah membuka mata dan tengah memegangi kepalanya. "Apa masih pusing?"Emily mengangguk. "Sedikit," jawabnya. Dengan perlahan Emily mendudukkan dirinya. Rara yang melihat itu pun dengan segera beranjak dari tempatnya dan membantu Emily untuk duduk. Begitu pula dengan Winda, dia juga mendekat ke arah Emily. Setelah itu, dia duduk di sebelah Emily, sedangkan Rara duduk di kursi yang berada di sebelah brankar Emily. "Aku di mana?" tanya Emily, merasa asing dengan tempat dia sekarang. "Kita lagi di ruang
Brak! Emily dan Raihan terkejut ketika pintu ruang kesehatan terbuka dengan kasar. Terlihat Chrisa masuk ke dalam ruang kesehatan dengan wajah yang sangat khawatir dan di belakangnya Chrisa ada Arthur dengan ekspresi wajah yang sama pula. Namun, ekspresi wajah Chrisa berubah saat melihat ada Raihan di sana. "Apa yang kamu lakukan pada Nona Emily!" Chrisa menarik krah baju Raihan sampai Raihan tertarik dan terjatuh. Buk! Chrisa menendang perut Raihan dengan keras. "Jawab pertanyaan saya!" teriak Chrisa ketika tidak kunjung mendapat jawaban dari Raihan. Buk! Buk!Kali ini Chrisa memukul wajah Raihan, hingga membuat si empunya meringis kesakitan. Arthur yang melihat Chrisa marah seperti itu hanya diam. Dia tidak tahu permasalahan apa yang terjadi antara laki-laki yang sedang dipukuli Chrisa dengan Chrisa, hingga membuat Chrisa sangat marah ketika melihat laki-laki itu. Arthur tidak ingin mencampuri urusan mereka berdua, yang ada jika dia ikut campur Chrisa akan semakin marah dan Ar
"Jangan beritahu soal apa?"Gluk! Emily memelan salivanya dengan susah payah. Setelah itu, dia dan Chrisa menoleh ke arah pintu ruang kesehatan dan .... "Katakan Emily! Hal apa yang akan kamu tutup-tutupi dari aku dan Opa?" tanya Axel sambil menatap tajam ke arah Emily. Gluk! Emily kembali menelan salivanya dengan susah payah. Dia tidak menyangka dengan keberadaan Axel di sana. Sementara Chrisa, dia langsung bangun dari duduknya. Dia membungkukkan badannya pada Axel. Setelah itu, dia pergi dari sana, tidak mau mengganggu kedua majikannya. Axel menatap Chrisa yang berjalan pergi. Dengan segera Axel menutup pintu ruang kesehatan itu. Dia berjalan ke arah Emily sambil terus menatap istri kecilnya itu. "Kenapa diam saja?" tanya Axel ketika sudah sampai di sebelah brankar Emily. "Jawab!" teriak Axel ketika tidak kunjung mendapat jawaban dari Emily. "Bu-bukan apa-apa, Om. Tadi aku sama Kak Chrisa hanya sedang berbicara hal yang tidak penting. Jadi jangan di pikirkan, Om," jawab Emi
Axel menatap Emily yang sedang menundukkan kepalanya. "Kamu boleh pergi, Arthur."Arthur mengangguk patuh. Dia mundur beberapa langkah, setelahnya dia keluar dari ruang kesehatan di mana Emily dan Axel berada. "Apa yang terjadi?" tanya Chrisa ketika Arthur baru saja keluar dari dalam ruang kesehatan. Arthur menatap Chrisa yang sedang berdiri di depan ruang kesehatan bersama Maxime. "Tidak ada," jawab Arthur, "Tuan Muda hanya menanyakan siapa yang telah membawa Nona Muda ke ruang kesehatan saat Nona Muda pingsan.""Lalu apa yang kamu katakan?" tanya Chrisa. "Ya apa lagi? Aku mengatakan kalau yang membawa Nona Muda adalah Raihan.""Astaga!" Chrisa mengusap wajahnya dengan kasar. "Arthur! Kenapa kamu bodoh sekali sih! Kenapa juga kamu mengatakan hal itu? Seharusnya kamu itu jangan bilang kalau yang bawa Nona itu Raihan! Kalau seperti ini bagaimana nasib Nona!"Arthur menatap Chrisa dengan tatapan bingung. "Memangnya kenapa?"Chrisa langsung menatap Arthur dengan tajam. "Masih tanya ke
"Bagaimana? Apa kamu sudah melakukan apa yang aku perintahkan?" tanya Axel sambil menatap gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi menghiasi setiap sudut kota. "Sudah, Tuan Muda.""Bagus. Aku tidak akan membiarkan orang-orang yang sudah mengganggu milikku."Maxime menatap punggung Axel. "Jadi ... apa Tuan Muda akan kembali ke mansion malam ini?" Axel berbalik, dia menatap Maxime yang juga sedang menatap dirinya. "Untuk malam ini aku masih akan di sini. Jika kamu mau pulang, pulanglah. Aku tidak akan melarang kamu.""Jika Anda masih ingin di sini, maka saya juga akan tetap di sini.""Terserah kamu," ucap Axel kembali berbalik menatap gedung-gedung pencakar langit, "sekarang kamu boleh pergi, Max.""Kalau begitu saya permisi, Tuan." Maxime membungkukkan tubuhnya, setelah itu dia segera keluar dari ruangan Axel. Axel terus menatap gedung-gedung pencakar langit. Namun, ketika dia sedang menatap gedung salah satu gedung tiba-tiba bayangan istri kecilnya terlintas di pikiran A
Emily membuka matanya dengan berat, entah kenapa kepalanya terasa sangat berat. Mungkin akibat semalam Emily sempat terjaga dan susah tidur kembali. Emily bangun, merubah posisinya menjadi duduk. Dia meraih ponsel yang semalam dia letakan di atas nakas di samping tempat tidurnya. Untuk melihat sudah jam berapa saat ini. Emily melebarkan kedua bola matanya ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh tujuh menit. Dengan segera Emily menggeser tubuhnya ke pinggiran ranjang dan meregangkan tubuhnya. Baru saja Emily akan berdiri, pintu kamarnya sudah terbuka. Cek lek ....Emily tersenyum ketika melihat siapa yang membuka pintu kamarnya. "Selamat pagi, Nona," sapa Chrisa dengan penampilan yang sudah rapi. Dengan setelan jas dan celana serba hitam yang menjadi seragam hariannya begitu pas di tubuh Chrisa. Beberapa hari ini Chrisa sengaja memakai seragam hariannya, agar lebih leluasa ketika tiba-tiba ada hal yang terjadi. "Selamat pagi, Kak," balas Emily. Seperti bia
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la