Sumi tak ingin kekacauan ini menarik perhatian banyak orang. Dia pun mengalah, duduk di depan Ratih, dan menarik napas sebelum bicara. Sumi menoleh ke Ratih, “Apa selama ini ada yang memberimu sesuatu?”Prapto terkekeh, “Apa kamu peduli?”Ratih kembali meremas tangan Prapto agar tak terus mengintimidasi Sumi. “Ada, Mbak. Teh, minuman segar, makanan berkuah, hanya saja aku lebih suka buah dan air putih. Mbak, menanyakan aku nyidam apa?” tanya Ratih balik.Sumi menggeleng, “Hati-hati, ada bahaya yang mengintai anak itu, aku tidak tahu apa dia masih memiliki lebih banyak pendukung dari pada kita.”Prapto tertawa sinis, “Apa kamu membicarakan dirimu sendiri?”“Mas?” Ratih heran dengan sikap Prapto.“Kenapa? Bukankah selama ini dia yang membuatmu hampir keguguran?” Prapto mengingat dengan jelas ucapan tabib tempo hari.“Kita tidak punya bukti, Mas. Jangan sembarangan menuduh Mbak Sumi.” Ratih masih meyakini mbok Jum dalangnya.Sumi menghela napas, “Terserah, Kakang mau bilang apa, aku hany
Ratih sudah tidur, sedangkan Prapto malah tidak bisa tidur setelah pertempuran barusan. Dia ke luar, memakai jarit ala kadarnya, dan surjan yang tak semua kancingnya di tempat yang benar. Membawa wadah kobot, melinting dan menyulutnya, baru setelahnya menikmati lintingan kobot itu seorang diri. Angan di depan sana sangat indah, Prapto sesekali tersenyum, membayangkan pangkuannya tak kosong lagi setelah ini.“Njenengan belum tidur, Aden Prapto?”Prapto menoleh, tak menyangka yang menyapanya adalah pelayan pribadi Ratih, “Kamu sendiri?”Pelayan itu tersenyum, “Saya haus, Aden. Jadi ke belakang sebentar untuk mengisi kendi. Njenengan butuh sesuatu?”Prapto menggeleng, “Tidur saja, aku ingin sendiri.”Pelayan itu tersenyum, dengan lancang duduk di sebelah Prapto, tangannya dengan sigap mengusap lengan Prapto tanpa tahu diri. “Aden, banyak hal yang kutahu, keselamatan, kebahagiaan, bahkan aku merasa bisa menggenggam hidup seseorang.” Prapto meliriknya tajam, tapi pelayan itu malah terkekeh
Prapto bangun. Ratih di depannya dengan rambut yang masih basah. Di luar matahari lumayan tinggi, Prapto bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri dengan cepat, dan ke luar. Surjan dan jarit senada disiapkan di ranjang, mungkin ini pekerjaan Ratih. Prapto tersenyum, dia semakin memahami kalau Ratih begitu perhatian.Selesai menyisir rambut dan mengenakan parfum, Prapto pun segera ke luar, bergabung dengan semua orang di meja makan, dan memberikan piring kosongnya ke Ratih. “Hari ini aku cukup sibuk, ada beberapa hal yang harus kukerjakan, di pasar juga aku menunggu pembeliku dulu yang dari kampung seberang, mungkin dia datang lebih siang.” ucapnya. Setelah Ratih mengembalikan piring itu, Prapto pun menikmati sarapan pagi ini.Dia mengingat satu hal, sepertinya tak mungkin menunggu nanti sore hanya untuk mengatakan hal ini, “Sumi,”Mendengar namanya disebut, Sumi pun menoleh ke Prapto sambil mengangguk.“... ada panen di ladang, biasanya Fitri yang mengurus semuanya, Ratih juga tak mu
Ratih ke luar dari kamarnya saat melihat Sumi pulang dari ladang.“Taruh sini saja. Besok baru dijemur. Kalian istirahat, setelah ini kita makan siang.” kata Sumi.“Inggih, Ndoro Sumi.” Jawab pekerja pria serentak.Sumi mengangguk dan masuk. Baru akan masuk, Ratih menghalangi jalannya, Sumi menatap Ratih, “Kau ingin ke luar?”Ratih menggeleng, “Apa kita bisa bicara sebentar?”Sumi terkekeh, “Tidakkah kamu tahu aku masih lelah? Keringatku belum kering karena aku baru saja tiba dari kebun. Jangan kau pikir kehamilanmu membuatku tunduk dan ikut memperlakukanmu dengan istimewa.”Ratih menghela napas, minggir untuk membiarkan Sumi masuk, sedangkan dirinya sendiri duduk di teras samping rumah. Melihat kupu-kupu yang terbang indah di kebun, membuatnya sedikit tenang, tak terus termakan emosi Sumi.Mbok Jum tersenyum, “Persaingan sangat ketat. Harusnya kamu menggunakan kesempatan yang kamu miliki dengan baik.”“Maksud, Mbok Jum?” Ratih tak paham dengan ucapan itu.“Bukankah Prapto sudah tahu
Siti berdiri, siapa yang ditunggunya sejak tadi akhirnya datang juga, disertai senyum yang berbinar, Siti merapikan kebaya yang dikenakannya.“Tunggu di sini, Lek Tejo.” Prapto turun dari dokar, “Aku akan masuk sendiri, tidak akan lama.” Imbuhnya dan segera masuk ke warung goyang.“Kupikir kamu tidak akan datang, aku cukup lama menunggumu di sini.” Siti beberapa kali menarik napas, menenangkan degup jantungnya sendiri, Prapto terlihat begitu tampan siang ini.Prapto terkekeh, “Ya, pembeli di pasar hari ini lebih sibuk dari biasanya, mereka menawar terlalu murah, jadi aku tak ingin melepas sapi itu begitu saja. Oiya, kamu hanya memesan minuman rasa mangga ini?” di atas meja hanya ada perasan mangga berwarna kuning pekat, gelas yang berisi separuh, sepertinya memang benar Siti sudah menunggunya sejak tadi.Siti mengangguk, “Aku rasa tidak akan enak kalau minum sendirian.”Prapto mengangguk, dia memesan makanan dan minuman, lalu kembali menoleh ke Siti. “Apa kamu ingat kenapa ingin bicar
Siti tersenyum, naik tubuh Prapto dengan percaya diri sambil bersiap memasukkan milik Prapto ke miliknya, meski ini adalah yang pertama Siti tak gentar sedikit pun. “Akh!” Dengan cepat Prapto membalik keadaan, Siti di bawah Prapto dengan leher tercekik saat ini.Prapto menyeringai, “Apa menurutmu akan semudah itu, hm?! Katakan, apa yang kamu tahu tentang keadaan anakku?”Siti terkekeh, meski sangat sulit bernapas, dia tetap tak ketakutan, “Ada orang yang tak mau Ratih melahirkan anak untukmu. Selain Ratih keturunan dari keluarga miskin, semua kehidupan harusnya diatur oleh orang yang sama selama ini.”Prapto semakin mengeratkan cekikannya, “Siapa?”“Ak-aku akan mem-beri tahu-mu setelah aku me-rasakan mi-milikmu dulu.” Ucap Siti dengan terbata. Dia masih ingin hidup setelah semua kejadian ini selesai.Prapto melepas cekikannya, membiarkan Siti mengambil napas dan mengusap lehernya sendiri. “Banyak pilihan di dunia ini, Siti. Kau lebih suka yang mudah atau yang curam untuk kau lalui. Sa
Prapto berdiri di jlambrahan, dia tak sabar untuk segera bertemu dengan mbok Jum.Sumi segera mendekati Prapto, “Ada apa, Kakang?” wajah penuh amarah itu akan dia tenangkan. Meski tak tahu apa penyebab Prapto pulang dengan keadaan seperti ini, Sumi yakin kalau akan ada yang meledak sebentar lagi.Ratih yang melihat kedekatan antara Prapto dan Sumi memang terjalin lebih mesra, seolah membuktikan waktu tak akan pernah berdusta, hanya diam dan mengambil jarak. Dia mulai menyadarkan dirinya sendiri akan posisi yang sebenarnya agar tak bermimpi terlali tinggi.“Mbok Jum?!” seolah tak ingin dengar apa pun ucapan Sumi, dia hanya ingin bertemu dengan mbok Jum saja.“Ada apa, Aden?” mbok Jum yang baru saja ke luar, segera mendekati Prapto.Wajah polos itu sangat sulit dipercaya, tapi Prapto tak ingin lagi dibohongi, “Aku hanya memberimu waktu semalam, Mbok Jum. Besok pagi, jangan sampai aku melihatmu ada di sini lagi.” Desisnya yang membuat siapa saja pendengar, bergidik ngeri.“Semalam? Di si
Siti baru saja sampai kamarnya, dia pikir akan beristirahat dan baru menemui Ratih nanti setelah lelah dan sakit ditubuhnya hilang, tapi mbok Jum malah menyambutnya di kamar. “Apa yang Mbok Jum lakukan di sini?” tanya Siti sambil terus berjalan mendekati ranjang.“Menunggumu, apa lagi? Kenapa jalanmu begitu?” tanya mbok Jum.“Tidak apa-apa. Kenapa Mbok Jum menungguku?” Siti malah balik bertanya.“Prapto pulang dari pasar, dia menyuruhku pergi dari rumah ini, dan dia juga mengatakan kalau kau sudah membuka semua rahasia padanya.” Mbok Jum mendekati Siti, “Kau pamit pergi untuk menceritakan semua hal yang kita simpan bersama ke Prapto? Kau lupa siapa aku? Aku ini ibumu sendiri?!” bentak mbok Jum. Dia yakin tak akan ada yang mendengar bentakannya meski cukup keras untuk Siti.Siti terkekeh, “Dulu kau memang ibuku, tapi setelah aku datang ke rumah ini, aku cukup tahu hubungan di antara kita, Mbok Jum. Aku hanya pelayan rendahan dan kau kepala pelayan, lalu ...untuk apa aku tetap membiarka
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang