Prapto menyeringai, “Kenapa, Ratih? Aku tidak boleh masuk? Bukankah ini rumahku meski kamu yang menempati kamar ini?” terkekeh, dia tahu kalau Ratih sedang marah saat ini.“Kenapa Mas Prapto ke sini?” tanya Ratih ketus. Dia menatap Prapto tanpa takut sedikit pun.Prapto mendekat ke Ratih, rambut itu hitam legam, tak ada sehelai uban pun di sana. Prapto mengulurkan tangan untuk mempermainkan rambut itu. Ratih yang membuang muka, malah membuatnya tertawa, “Aku hanya penasaran, tadi siang kamu sangat berani, aku jadi tidak sabar untuk dilayani. Kemarilah!” Prapto dengan percaya diri melepas surjan yang dia kenakan.“Menjijikkan.” desis Ratih, “Ke luar dari kamarku!” usirnya sambil menunjuk arah pintu.“Tentu saja. Setelah kita menyelesaikan ini, Sayang.” Prapto malah semakin maju.Ratih, tentu saja dia berontak, dia terus menepis tangan Prapto yang berusaha menggapainya. Apa daya tetap Prapto yang menjadi pemenang, dia terlentang di ranjang dengan Prapto tepat di atas dadanya. Milik Prap
Semua pertempuran baru saja selesai. Ratih yang tampak terkelepai di bawahnya, Prapto hanya memberi kecupan singkat di kening, “Malam yang luar biasa, Ratih. Tak salah aku menjadikanmu istri ke empatku.” Terkekeh. Segera turun dari ranjang, mengenakan jarit dan surjannya, serta kembali ke kamarnya untuk beristirahat.Ratih yang hanya lemas meski tetap tersadar, turun juga, memunguti semua kebaya dan apa pun yang tadinya dia kenakan, lalu ke kamar mandi. Sengaja dia merendam tubuhnya agar semua jejak Prapto hilang, terbilas oleh air yang pastinya akan dia buang besok.***Pagi ini, sengaja Ratih mengenakan kebaya hitam, seolah ingin mengabarkan dia sedang berkabung. Bukan atas kematian, tapi karena dirinya yang hidup bak mayat di rumah besar nan penuh kemewahan ini.“Kamu tidak punya kebaya yang lebih bagus?” tanya Sumi. Dia baru saja mengambilkan sarapan untuk Prapto.“Semua tergantung selera, semua benda akan bagus di mata yang tepat.” Ratih ikut mengambil sarapan juga.“Jangan sampa
Prapto tersenyum lebar, baru semalam dia membuat Ratih mengakui kekalahannya, dan saat ini Ratih malah memberinya kebahagiaan yang tak terkira. “Selamat atas kehamilan istrimu, Kang Prapto.” Bima mengulurkan tangannya. Prapto terkekeh, “Ini keajaiban.” Terus tertawa, tapi dia enggan mendekati Ratih. Ada Bima, tak mungkin dia mengacuhkan temannya ini. “Ndoro Ratih kenapa tidak juga sadar?” tanya pelayan pribadi Ratih. Pertanyaan itu sangatlah tidak pantas, Prapto menoleh, hanya ingin tahu siapa yang bertanya begitu, tapi ada yang lebih menarik dari pandangan, orang yang dia tahu adalah pelayan pribadi Ratih itu, ternyata tak memakai cunduk di sanggul, bibirnya tersenyum, dia tak jadi mencari gara-gara, lebih suka mengajak Bima ke luar, “Kita ke kandang lagi saja.” “Kakang, tidak ingin menemani istri Kakang?” tanya Bima yang saat ini berjalan kembali ke kandang. Prapto menggeleng, “Banyak orang di rumah, mereka akan mengurus Ratih dengan baik.” Prapto sedang bahagia meski belum ing
Ratih mendekatkan gelas berisi ramuan itu ke mulutnya, dia benar-benar tak mungkin lagi menolak permintaan mbok Jum.Sedangkan mbok Jum mulai tersenyum, hanya dirinyalah yang bisa mengendalikan kebahagiaan di rumah besar ini.“Ratih?!”Rasanya begitu lega, mungkin Sang Gusti yang mengirimkan Fitri untuk datang ke kamarnya.“...aku membawakanmu makan—“ Fitri tak melanjutkan ucapannya. Adanya mbok Jum di kamar Ratih membuatnya kawatir, “Mbok Jum, di sini?” tanyanya terus mendekat ke Ratih, tahu kalau Ratih memegang gelas, segera merebutnya, dan menaruhnya di meja.Mbok Jum nyengir, “Ndoro Ratih harus makan, kan? Itu sudah jadi kewajibanku untuk memastikan istri aden Prapto yang hamil,” sengaja menekankan kata ‘hamil’ di depan Fitri, “mendekatkan nutrisi yang cukup hingga anak yang dikandungnya tidak sampai keguguran atau bahkan mati dalam kandungan seperti anakmu kemarin.” Itu adalah ucapan yang mbok Jum yakin mampu membuat bukan saja hati, bahkan jantung Fitri juga tertusuk.Fitri tert
“Suara apa itu, Mbak Fitri?” tanya Ratih. Keributan sayup menggema hingga ke kamarnya. Dia pun segera turun dari ranjangnya dengan dibantu Fitri.“Aku juga tidak tahu. Pelan-pelan.” Fitri merangkul Ratih, dia berjalan begitu pelan, dan saat tiba di ruang tengah, cukup heran karena semua orang berkumpul di sini.Prapto melepas lengan pelayan Ratih, dia berjalan mendekat ke Sumi, tak bertanya apa pun, hanya menatapnya heran dan nyalang.“Aku melakukannya karena kamu tidak adil denganku.” Sumi tak takut, meski tubuhnya bergetar, dia tetap mengakui perbuatannya. “Harusnya kau ada di sini saat aku baru pulang dari basar, bukan malah pergi bulan madu dengan Ratih,” Sumi tak menyangka, ternyata Ratih juga ada di sini, “...jadi jangan salahkan kalau aku menyuruh pelayan itu untuk membunuh semua kelinci Ratih.” Imbuhnya. Dia menatap Ratih, wajah terkejut itu tak membuatnya ikut terkejut, bahkan Ratih berjalan mendekatinya, tapi Sumi segera berbalik dan pergi dari ruang tengah.“Tunggu, Mbak Su
“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Ratih ke pelayan pribadinya.“Ngapuraken saya, Ndoro Ratih.” Pelayan itu mencakupkan tangan di dadanya, memohon ampun ke juragannya atas kesalahan yang tak mampu ditolak.“Aku sudah memaafkanmu, tapi aku juga membencimu, harusnya kamu menceritakan semua yang kamu alami, bukan mengambil keputusan semaumu sendiri begini. Sekarang aku sangat marah, aku kecewa, aku tidak membutuhkan siapa pun lagi, pergilah.” Ratih merasa lebih baik sendiri, itu akan membuatnya lebih aman tanpa gangguan.“Tapi, Ndoro Ratih. Saya—““Keluarlah.” Prapto menghentikan dia wanita yang terdengar berdebat, setelah pelayan itu pergi, dia mendekat dan duduk di sisi Ratih, “Kenapa kamu mengusirnya?”“Aku tidak ingin memiliki pelayan yang berkhianat di belakangku.” Ratih terus mengingat kelincinya saat melihat pelayan itu dan dia tidak mau terus sakit hati.“Lalu? Kamu mau siapa yang membantumu di sini? Sendiri tidaklah mudah, apa lagi perut itu akan membesar, jangan egois karena it
Malam tiba, semua orang sudah tidur, mbok Jum bahkan telah memastikannya lebih dulu. Bibirnya menyungging, dia masuk ke kamar yang empunya tengah tertidur pulas, “Bangun.” Ucapnya lirih seraya mengguncang pelan tubuh itu.Pelayan itu membuka mata, mengucek juga karena terasa sepet sekali, “Iya, ada apa?” tanyanya.Mbok Jum memberikan bubur ramuan, “Berikan ini ke Ratih, bagaimana pun caranya, pastikan kamu melihat Ratih menelannya dengan mata kepalamu sendiri.”Pelayan itu menghela napas, “Apa ini pahit? Akan sulit kalau rasanya terlalu kuat.”“Pahit atau tidak bukan urusanku, asal Ratih bisa minum ramuan ini, maka hidup kita akan makmur, jadi pastikan saja bocah ingusan itu menelannya, apa kamu paham?” mbok Jum memastikan sekali lagi.Pelayan itu pun menghela napas, “Ya, aku akan memberikan ramuan ini besok setelah semua orang pergi, aku tidak mau tertangkap dan membuat diriku sendiri dalam bahaya.”Mbok Jum mengangguk, dia lalu ke luar dari kamar pelayan itu.***Hari yang ditunggu
Ratih terbangun untuk ke dua kalinya, tapi saat ini dia bingung karena tak menemukan Prapto di sebelahnya, “Apa aku bermimpi?” tanyanya ke diri sendiri. Setelah cukup sadar, Ratih memilih untuk mandi, dia yakin sebentar lagi pelayan akan mengajaknya untuk sarapan, dan benar saja saat dia ke luar kamar mandi bertepatan dengan pelayan yang memanggilnya. “Aku akan segera ke luar.” Ucapnya yang saat ini masih menyisir rambut basahnya.Saat Ratih di ruang makan, semua orang sudah berkumpul, termasuk Prapto juga. Dia tak menyapa, hanya duduk di tempatnya, lalu sarapan seperti biasa.“Kalian tidak bertanya bagaimana kontes kemarin?” tanya Prapto di sela sarapan.Fitri tersenyum, “Semalam Kakang terlihat bahagia, rasanya sapi kita menang lagi, aku menunggu Kakang yang menceritakan pengalaman seru itu.”Prapto tertawa, “Ya, kamu benar. Bima yang datang ke sini dulu, sapinya juara dua, padahal aku sudah kawatir akan kalah. Hahahaha.” Prapto melahap makanannya lagi.“Tidak mungkin, Kakang. Bukan
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang