Setelah mereka sampai di lokasi, Shein dan Kana langsung turun dari mobil dan menghampiri Ivander yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Ivander!" seru Shein langsung menghampiri calon kakak iparnya, sementara Kana mengekor pada Shein. Ivander yang menyadari kehadiran Shein dan Kana langsung buru-buru mengakhiri panggilannya."Akhirnya kalian sampai juga," sahut Ivander."Apakah sudah ada kabar dari tim khususmu?" tanya Shein tanpa basa-basi. Namun Ivander menggeleng."Kami masih melakukan pencarian," beber Ivander yang langsung beralih pada Kana."Kana, bisa kamu ceritakan, apakah Iola sempat mengatakan sesuatu sebelum dia pergi semalam?" cecar Ivander yang nada suaranya agak bergetar. Hal itu tak luput dari perhatian Kana. Mungkinkah Ivander agak takut?"Kana?" tekan Ivander yang tidak segera mendapat jawaban, sayangnya Kana malah menggeleng seraya menatap Ivander dengan nanar."Maafkan aku, Ivander. Aku tidak tahu. Yan"Kirim lokasinya padaku sekarang dan kita semua akan ke sana!" titah Jenni. Setelah itu panggilan berakhir. "Iola ditemukan di mana?" cecar Ivander yang berdiri tepat di depan Jenni. "Lokasinya tidak jauh dari sini. Titik pasti lokasinya sudah kukirim ke ponselmu dan Shein!" ujar Jenni. Ivander dan Shein kompak langsung mengecek ponsel mereka. "Oke! Kalau begitu, kita langsung pergi ke lokasi sekarang!" perintah Ivander. Dia langsung pergi ke mobilnya, tetapi langkahnya terhenti. Dia berbalik dan matanya langsung awas pada sosok wanita berambut pendek. "Kana ...." Ucapannya terhenti ketika menemukan sosok Kana berlari ke mobil Shein. Ivander hanya bisa menghela napas sambil menatap kecewa. "Tuan Ivander, kita berangkat sekarang?" Tiba-tiba seorang dari tim khususnya ada di sampingnya. Ivander hanya mengangguk tanpa melepas tatapannya dari Kana sampai wanita itu benar-benar masuk ke dalam mobil Shein. "Iya, kita berangkat se
"Jadi, ini murni penculikan?" tanya Ivander setelah mendengar penjelasan Letnan yang memimpin pencarian Iola."Kami belum bisa memastikannya, Pak. Sedangkan, untuk modus pelaku masih perlu kami dalami lagi," ucap Letnan. Ivander menggosok dagunya. Entah kenapa, ia masih merasa ada yang janggal. Jika memang ini adalah penculikan, seharusnya penculik menghubungi Ivander atau mungkin Shein untuk minta tebusan. Namun, Ivander atau Shein sama sekali tidak mendapat permintaan tebusan sama sekali. "Apa ada hubungannya dengan penjualan gelap atau mungkin ada unsur pemerkosaan?" cecar Ivander. "Terkait hal itu, kami ingin meminta izin korban untuk melakukan visum setelah keadaan korban membaik. Kami juga mencurigai ada modus pelaku ke arah pemerkosaan," jelas Letnan. Ivander diam-diam menggemerutukkan giginya. "Baik, Letnan. Kami sebagai pihak keluarga bersedia melakukannya. Saya juga akan membujuk adik saya untuk melakukan visum setelah ini," beber Ivander. Jika sampai terbukti Iola dinod
'Aku ingin bicara berdua denganmu, Jenni!' Kana langsung menarik napas dalam-dalam begitu kalimat dari mulut Ivander terputar kembali di kepalanya. Dia menyandarkan tubuhnya ke jok mobil seraya menatap ke luar jendela. "Apa yang Ivander bicarakan bersama Jenni? Kenapa harus berduaan?" gumam Kana. Sejak pergi dari lokasi penculikan Iola, kalimat itu terus terputar di kepalanya dan pertanyaan yang sama juga selalu muncul dalam kepalanya. Mungkinkah Ivander sudah membuka hatinya untuk Jenni? Toh, Jenni berperan besar dalam penemuan Iola kali ini. Pasti hati Ivander perlahan terbuka. Mungkin saja Jenni sebenarnya memang wanita yang baik. Jika Ivander menyia-nyiakannya, Ivander pasti akan menyesal seumur hidup. Lantas, sekarang posisi Kana apa? Jika Ivander dan Jenni menyatukan hati mereka, maka fungsi Kana dalam kehidupan Ivander apa? Sebelumnya, dia adalah tameng Ivander dari Jenni, tetapi jika Jenni bukan lagi orang yang ingin Ivander hindari, maka K
Kana terhenyak. "I-itu ... aku tidak meninggalkanmu!" Dahi Ivander mengernyit. Dia berjalan mendekati Kana dan menarik lengan wanita itu dan membawanya agak menjauh dari tempat tidur Iola."Tidak meninggalkanku? Lalu, kenapa kamu tidak menungguku di tempatmu berdiri?" Kedua mata Kana mengerjap. "Bu-bukannya kamu tidak ingin aku ada di sana?" ucap Kana. "Hah?" tekan Ivander. "A-aku pikir—""Sejak kapan aku mengizinkanmu berpikir?" potong Ivander yang geram. Sontak Kana terkesiap mendengar ucapan Ivander. "Apakah kamu tidak ingat aturannya? Kamu harus menuruti semua perintahku!" tekan Ivander yang membuat Kana memejamkan matanya. "I-iya, aku ingat!" ucap Kana gemetaran. "Lalu, apa kamu tidak dengar apa perintahku?" Ivander menarik lengan Kana dan mendekatakan wajahnya. "A-aku dengar—""Apa? Apa perintahku?" lirih Ivander tepat di telinga Kana. "Ka-kamu tunggu di sini—" Ivander langsung melepas cengkramannya di lengan Kana dengan kasar hingga wanita itu hampir kehilangan kesei
Seketika suasana menegang. Ivander memandang lurus ke arah Kana. "Apa maksudmu berteriak padaku, Kana?" tanya Ivander dingin. Iola yang berada di samping Ivander, reflek menjauh. Suasana semakin tegang akibat suara dingin Ivander. Kana memandang Ivander dengan bola mata yang bergetar. Dia melirik ke arah Iola yang memandangnya kebingungan. Kana mengerjapkan matanya. "Aku ... aku hanya merasa bahwa sekarang bukan saatnya kamu menanyakan hal itu pada Iola," jujur Kana langsung menunduk. "Maaf, seharusnya aku tidak berteriak," lirih Kana sambil menggenggam tangannya ya g gemetaran. Dia menunduk."Aku adalah orang yang paling tidak berhak melakukan ini karena aku adalah penyebab Iola mengalami ini semua," lirih Kana lagi sambil meremas bajunya. Kemudian dia mengangkat kepalanya seraya menatap Iola dengan matanya yang menggenang. "Iola. Maafkan aku. Aku seharusnya lebih perhatian padamu. Aku egois! Aku tidur duluan tanpa tahu apakah kamu baik-baik saja. Kamu atau pun Ivander boleh men
Kana memandang punggung Ivander yang berjalan di depannya. Ia sendiri masih heran, kenapa Ivander malah mau menginap di cottage-nya?"Ivander!" Kana tahu-tahu melepas genggaman tangan Ivander, sontak pria itu memutar tubuhnya. "Kenapa?" tanya Ivander agak mengingimidasi. Hal itu membuat Kana hanya memandangnya saja. Ivander pun memegang kedua pundak Kana. "Ada yang mau kamu katakan?" cecar Ivander. Kana menunduk. "Uhm, i-itu ...." Kana mengangkat kepalanya dan kembali menatap wajah Ivander yang tengah menanti jawabannya. "Apa?" tekan Ivander lagi.Kana menarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri untuk membuka mulutnya. "Ka-kamu ... kami yakin mau menginap di cottage-ku?" tanya Kana lagi. "Aku rasa aku sudah menjawab pertanyaan itu," jawab Ivander sarkas kemudian mendorong tubuh Kana dengan kasar. "Ta-tapi!" seru Kana yang membuat Ivander meliriknya sinis. "Kenapa? Kenapa kamu harus ikut ke cottage?" Ivander menghela napas kasar. "Apa aku harus jawab hal ini?" geram Ivand
Tunggu! Seharusnya tidak begini!"Turunkan aku, Ivander!" panik Kana, tetapi wanita itu malah memeluk pundak Ivandet dengan erat karena kakinya sama sekali tidak menapak lantai. "Sejak kapan kamu boleh memerintahku, Sayang?" kekeh Ivander yang berjalan menuju tempat tidur. Kana menatap wajah pria ini."Ivander, kamu jangan gila! Aku menjadi istrimu hanya sebagai tameng! Tidak ada kesepakatan tentang tidur bersama!" Tubuh Kana dihempaskan begitu saja ke atas tempat tidur hingga ranjang itu terguncang. Ivander langsung mengurung tubuh Kana. "Memang tidak ada di kontrak kita, Sayang, tetapi bukankah di sana tertulis aku bebas memperlakukanmu semauku?"Sontak Kana terkesiap. Dia menggeleng sambil menatap Ivander lekat-lekat. "Kumohon Ivander, kamu boleh memperlakukanku semaumu, tetapi jangan rebut kesucianku," lirih Kana yang membuat dahi Ivander mengernyit.Pria itu kemudian tersenyum sambil mengelus pipinya. "Merebut kesucianmu? Dibanding merebut, bukankah harusnya kau memberikanny
Setelah sarapan, Kana langsung pergi ke rumah sakit. Meskipun hatinya masih terasa gundah akibat obrolannya dengan Ivander tadi pagi dia tetap harus menjalankan perintah pria itu. Mau bagaimanapun, itulah aturan di hubungan ini. Lagipula, sebenarnya, tanpa disuruh pun, Kana tetap akan berusaha mendampingi Iola. Bahkan jika adik perempuan Ivander itu akan mengusirnya nanti. Setelah sampai di rumah sakit, Kana langsung pergi ke ruang rawat inap Iola. Begitu masuk, dia mendapati Iola yang sedang berbicara dengan dokter, tetapi dokternya berbeda dengan yang kemarin bicara denganya tentang kondisi Iola. "Baik, kalau begitu, saya permisi, Nona," ucap dokter itu mengakhiri. Tepat setelah itu sang dokter melempar senyum pada Kana dan keluar dari ruang rawat inap Iola. Kana segera menghampiri sang adik ipar. "Iola, apa yang barusan itu dokter psikiater?" tanya Kana. Iola mengangguk sambil tersenyum tipis, tetapi raut wajahnya langsung berubah jadi kecewa. Kana yang menyadari hal itu langsu