Aku terkesiap, buru-buru kumatikan hp dan memasukannya ke saku kolor."Lagi apa sih? Malah duduk di luar, udah dikasih ke Ibu belum suvenirnya?""Udah Neng, udah. Oh ya, nih Aa bawain es cendol bahenol buat, Neng," kataku sambil mengulurkan tangan memberikan plastik berisi es cendol.Asmi tak langsung menerima, ia malah menatapku penuh selidik dengan mata menyipit."Kenapa, Neng?""Aa gak lagi sembunyiin apa-apa dari Neng 'kan?"Teg. Jantung langsung jedag-jedug, kalau cewek emang begitu kali ya? pandai banget nyium bau-bau aneh yang gak biasa."Emang Aa mau sembuyiin apa Neng sayang? Aa 'kan gak punya apa-apa, tidur aja Aa numpang di rumah, Neng," ujarku merayu."Masa? Serius?" Asmi kembali meneyelidik."Serius, Neng.""Ya tapi rumah ini bukan milik Neng lagi sekarang, tapi milik kita berdua," katanya seraya tersenyum manis semanis arumanis di si abang-abang rongsok.Aku dan Asmi masuk ke dalam, ibu mertua dan nenek sedang duduk melihat televisi. Kuberikan cendol itu pada mereka."Ma
"Wah gak bisa dibiarin ini A, labrak aja labrak!"Asmi akan segera bangkit tapi cepat kutarik lagi tangannya."Tunggu dulu! Maen labrak aja, siapa tahu itu bos nya? Atau temen kerjanya 'kan?"Asmi kembali diam."Betul juga, tapi kok mereka suap-suapan begitu, A? Lihat tuh ih kok mereka mesra banget? Kita juga kalah, A." Betul juga apa kata Asmi, kalau mereka hanya sebatas rekan kerja kenapa terlihat mesra banget? Pake suap-suapan pula. Wah gak bisa dibiarin nih, segera kutelepon Kak Alfa."Halo Kak, coba Kakak tanya Kak Angga lagi di mana?""Apaan sih kamu Hasan? Tumben tanya-tanya Kak Angga, emang mau ada urusan apa? Bisnis?""Iya udah telepon aja dulu, tanyain sekarang posisi di mana?"Kak Alfa pun mematikan sambungan teleponnya denganku, tak lama kulihat Kak Angga mengangkat telepon.Selesai mereka bertelepon Kak Alfa kembali meneleponku."Halo Hasan, Kak Angga lagi di luar kota, Kakak sampe lupa tadi pagi Kak Angga bilang mau ada urusan kerjaan ke luar kota selama 3 hari."Nyes.
"Gak! Ibu gak percaya, dan gak akan mau percaya," tolak Ibu."Terserah tapi Hasan gak akan mau kawin lagi," pungkasku, cepat-cepat aku pergi dari hadapan Ibu.Bisa stres aku dibuatnya kalau aku masih di rumah ibu."Ayo Neng pulang!" Aku menarik tangan Asmi keluar."Hasaaan!" teriak Ibu."Apa sih yang mau kamu banggain dari cewek gendut kayak si Asmi?" Sontak Asmi menghentikan langkahnya, dia menarik tanganku hingga aku berhenti mendadak.Asmi lalu berbalik badan, ia kembali berjalan ke arah ibu."Apa kata Ibu?" tanyanya dengan wajah meruncing."Apa? Kamu gendut? Gak terima Ibu bilang gitu?""Emang kenapa kalau gendut?" Asmi balik bertanya, wajahnya terlihat semakin murka."Ibu ini sebetulnya teh kenapa sih? Asmi teh kurang apa sama Ibu? Sekarang Asmi teh udah punya Bapak, punya harta, punya segalanya, apa itu kurang bagi Ibu supaya Ibu mau menerima Asmi jadi menantu Ibu?" tegas Asmi bertanya."Ibu mau apa? Akan Asmi kasih, tapi Asmi mohon, jangan rusak rumah tangga Asmi sama A Hasan
"Ini apa-apaan Pika?" kencang Bapak bertanya."Pak, tap-tap-tapi ini gak seperti yang terjadi, kenapa perjanjiannya begini?""Sudah jelas kan sekarang? Jadi silakan kalian kosongkan hari ini juga!" kata pria itu lagi, lalu pergi dari hadapan kami.Aku menarik tangan ibu ke dalam, bapak mengekor."Ibu apa ini? Kok bisa rumah kita jadi dikuasai si Mimin begini? Sekarang sertifikatnya kemana?"Wajah ibu semakin cemas dan pucat."Jadi gini Hasan, Pak, sertifikat itu Ibu berikan sama Jasmin sebagai jaminan hutang piutang Ibu sama dia, tapi Ibu bener-bener gak tahu kalau Jasmin ternyata mau mengambil alih semuanya dengan membuat perjanjian yang gak Ibu ketahui isinya itu.""Hutang bekas apa sih Bu? Bapak kasih Ibu uang tiap bulan, dari gaji dan sewa kontrakan juga, apa itu masih kurang buat kita makan? Apalagi sekarang gak ada bibik, sudah pasti jatah gajinya pun masuk ke saku Ibu, sekarang tiba-tiba Ibu bilang punya hutang sampai harus menjaminkan sertifikat rumah begini, hutang buat apa e
Pov Author"Alfa! Kamu tuh jangan kurang ajar sama Ibu. Ibu kan bisa tidur di sofa kalau semua kamar di rumah kamu penuh," sentak Bu Pika tatkala anaknya itu menolak saat mendengar ia akan tinggal di rumahnya."Enggak Bu, Alfa gak enak sama suami Alfa, masa iya Alfa bawa-bawa Ibu tinggal di rumah kami, apa kata Mas Angga nanti?" jawab Alfa bersikukuh, anak tak tahu malu atau lebih tepatnya anak durhaka itu tak merasa iba sedikitpun walau ibunya sedang berada dalam situasi genting.Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah ia sangat merasa takut jika ibunya itu akan banyak mengatur dan berbuat ulah seperti yang sudah-sudah.Selama ini Bu Pika memang kerap mengatur semua kehidupan anak-anaknya, hingga tak jarang mereka terjerumus dalam kehidupan palsu dan gaya hidup yang tinggi akibat dorongan yang diberikan oleh ibunya itu.Sekarang, saat anak-anaknya itu sadar tindakan Bu Pika adalah salah dan membuat mereka justru sengsara, tak ada satupun di antara anak-anaknya, baik Alfa mau pun Fa
"Seenak jidat aja ngaku-ngaku," imbuh Andin lagi. Wajahnya semakin kecut dan dingin."Ya maaf kalau Ibu salah, udah kamu tolong bawa nih tas Ibu ke kamar tamu, pokoknya Ibu tinggal di sini selama rumah itu belum kembali," kata Bu Pika dengan entengnya.Andin mendelik tak suka."Gak bisa! Ibu gak bisa tinggal di sini, mau tidur di mana? Kamar kami cuma 3 udah dipakai anak-anak semua." Andin bersikukuh.Sementara Bu Pika yang semakin jengah karena tolakan dari anak-anaknya itu refleks bangkit."Jadi ini balasan kamu? Setelah Ibu bela mati-matian kamu, Ibu kurang apa sih? DP mobil Ibu kasih, kalian sering rental mobilpun Ibu dukung, sekarang Ibu hanya minta tinggal di rumah ini sementara aja kamu keberatan, kenapa sih?!" sentaknya."Ya terus yang minta DP mobil sama rental mobil tiap bulan itu siapa? Kami gak pernah minta tuh, apalagi Andin sadar betul gimana kondisi Mas Fatih, anak Ibu yang kere itu, sampai saat ini mana? Dia gak bisa kasih apa-apa ke Andin, malah selama hanya menumpang
Di atas lantai yang hanya beralaskan karpet dan selimut tipis, Bu Pika akhirnya melelapkan diri. Rasa dingin menyelusup hingga pori-pori kulitnya sebab entah mengapa Talita cucunya itu suka sekali tidur dalam keadaan AC menyala besar.Ingin pindah ke atas kasur tapi kasurnya memang cukup hanya untuk satu orang saja, lagipula meski cukup untuk berdua pun, Bu Pika tidak yakin Talita akan setuju jika ia tidur bersamanya, karena sejak tadi remaja itu benar-benar menunjukan ketidaksukaannya pada Bu Pika.Kendati demikian kondisi itu tidak lantas membuatnya ingin pergi ke rumah Hasan, baginya Asmi adalah seorang anak haram dan anak dari wanita yang dulu pernah mencoba menggoda suaminya, hingga rasa tak sukanya pada Asmi terus bertambah besar setiap hari.Malam pergi, azan subuh berkumandang, Bu Pika yang terlalu kelelahan tak kunjung bangun meski Talita sudah bangun sejak pukul 4 pagi karena akan menghapal materi ulangan."Litaaa!" teriak Andin di luar pintu."Ya Ma." "Udah bangun belum? B
Pov HasanPukul 10 pagi aku dan Asmi berniat pergi ke toko. Tadinya sih hari ini mau libur karena mau jemput ibu, tapi setelah tadi ditelepon ternyata ibu masih menolak tinggal di rumah kami, jadi ya udah mau gimana lagi?"Cinta ayo cepet!" Aku berteriak, istriku sayang si cinta bara-baraku itu semenjak langsing entah kenapa seneng banget dia dandan sampai aku kadang nunggu dia di mobil satu jam lebih.Katanya sih biar dia kelihatan cantik, dan setiap aku protes karena nunggu kelamaan dia selalu bilang, "sabar atuh Aa, kalau Neng cantik siapa yang bangga?" Jadi ya udah aku cuma bisa pasrah sambil geleng-geleng kepala.Tak lama Asmi datang, sejak ia berubah jadi langsing dan mirip sama Asmirandah si artis blasteran Belanda itu, entah kenapa emang setiap hari istriku itu penampilannya berubah-rubah, hari ini misalnya, penampilannya udah beda lagi aja.Asmi terlihat cantik pakai dres warna pink di bawah lutut dengan rambut keriting gantung yang diikat sebagian kebelakang. Duh pokoknya
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa