Acara berjalan lancar, malam hari kami sudah ambruk di atas kasur karena saking lelahnya, untunglah si utun gak rewel, seharian dibawa acara gak muntah atau gak minta yang aneh-aneh juga.Saat Asmi sudah lelap, kulihat ponselnya bergetar. Tadinya kupikir itu karyawannya yang mau ngasih laporan toko tapi saat kulihat ternyata panggilan dari nomor baru, otakku langsung bisa menebak, segera kuangkat telepon itu."Halo Dek, udah bobo belum? Pasti capek ya seharian abis ada acara," katanya dengan suara dilembut-lembutkan. Huh dasar buaya leasing. Kumatikan sambungan teleponnya, ia mengirim pesan.[Asmi, kok dimatiin? Ini Kak Angga loh, mau ngomong sama Asmi bentar aja.]Kubalas. [Ngomong apaan? Di chat aja.][Jujur ya Dek, sejak Kak Angga ketemu sama Adek waktu masih gendut Kak Angga udah suka banget sama Dek Asmi, tapi si Hasan selalu halang-halangin kak Angga.]Dasar gak tahu malu, dikira istriku bakal kerayu gitu?[Ya terus? A Hasan kan emang suami Asmi, suami yang paling baik sedunia
"Mama dipukuli Papa, Nek." si Mia yang jawab.Kami terperangah. "Heh yang betul?"Anak-anak mengangguk. Ibu bawa kak Alfa duduk bersama kami."Kok bisa? Gimana ceritanya?" Ibu bertanya lagi.Mia mulai cerita, katanya saat Mia minta uang buat bayaran SPP, Kak Alfa membangunkan suaminya yang tengah tidur pulas lantaran ia memang sedang tak punya uang. Tak terima dibangunkan pagi-pagi Kak Angga lalu naik darah, setelah itu terjadilah percekcokan di rumah mereka sampai akhirnya Kak Alfa dipukuli dan ditamparnya habis-habisan."Alfa gak ngerti kenapa Bang Angga sekarang begituBu, sering marah, tertutup dan lebih parahnya suka main tangan kalau dia lagi merasa kesal," kata Kak Alfa.Aku menarik napas berat, sedikit sesak di dada saat aku melihat dan mendengar kondisi Kak Alfa. Walau begini dia sodaraku."Bukan cuma sekarang aja, sebetulnya Bang Angga sering bersikap kasar kayak gini, hanya aja kalau kemarin-kemarin anak-anak gak tahu jadi gak ada yang paksa Alfa buat keluar dari rumah." K
Mas Fatih mencoba bangkit meski setelah itu ia terhuyung ke dekat ibu, untunglah segera ditahan oleh kedua tangan beliau, kalau enggak, bisa aja Mas Fatih akan kejedot pintu sampe kepalanya bocor."Heh kamu kenapa Fatih?" tanya Ibu, sambil menyeret Mas Fatih ke atas sofa.Keringat dingin mulai membasahi kemeja yang dikenakan Mas Fatih, wajahnya makin pucat dan dingin."Hasan kenapa ini Mas mu?" Cemas Ibu bertanya."Sawan kali, Bu." "Hasan! Bisa gak kamu serius? Kayaknya Mas kamu mau mati deh San, tubuhnya dingin begini."Etdah emakku kalau ngomong malah tambah parah, tapi kalau lihat kondisi Mas Fatih sih emang kayaknya lagi sakit serius yang banget banget kalau kata ciwik mah."Kamu ambil minum sana Hasan!" Aku setengah berlari ke arah dapur, untunglah kontrakan ibu hanya seper-umprit rumah Asmi, jadi antara dapur dan ruang depan cukup hanya dengan 10 langkah doang sampe."Ada apa sih, Om?" tanya Mia keluar dari kamar saat aku kembali ke depan."Om Fatih mau mati Mi." "Heh astagf
"Ya udah Fatih kamu istirahat aja dulu di sini, jangan pulang dulu, biarin tuh si Andin yang otaknya matre itu sendiri di rumah," kata Ibu lagi.Lah otak matre katanya? Apa kabar dengan ibu yang juga begitu, matre teriak matre dong namanya. Haha."Alfaa!!" Teriakan seseorang mengejutkan kami semua. Tak salah lagi, suaranya seperti Kak Angga. Ia pasti sedang mencari Kak Alfa dan anak-anaknya yang kabur dari rumah.Akhirnya kami yang tengah mengobrol bangkit keluar, kecuali Mas Fatih, ia kembali berbaring di atas sofa pajang."Angga, jangan teriak-teriak begitu kamu!" sentak Ibu.Mata Kak Angga langsung menyilet ke arah Mia tanpa mempedulikan ibu. "Dasar kalian, anak dan istri sama aja, tak tahu diuntung, ngapain kalian di sini pagi-pagi?" sentaknya sambil menarik tangan Mia ke arahnya.Mia berusaha melepaskan cengkraman tangan Kak Angga, anak itu memang sangat pemberani, kuacungi ia jempol, walau masih belasan tahun tapi jika dilihat dari cara bersikap dan berpikirnya Mia itu memang
Aku berlari cepat menuju ruangan kerja, di ruang itu biasanya Asmi mengecek hasil laporan toko dari karyawannya atau sekedar melakukan video call untuk memastikan semuanya baik-baik saja.Rasa penasaran dan khawatir menggebu dalam dadaku, lebih-lebih saat Hanum terus berteriak seperti orang gila.Darrr. Kutendang pintu yang sedikit terbuka dan rusak slotnya itu, aku terkejut bukan main saat melihat Kak Angga sedang ada di sana.Ia tengah berusaha menepis pukulan sapu yang dilakukan Hanum padanya.Sementara istriku sudah terkulai pingsan di atas sofa yang berantakan, bajunya robek-robek seperti seseorang sudah menariknya paksa.Buku-buku, kertas, bantal sofa dan semua barang-barang yang ada di sana berhambur berantakan.Astagfirullah, apa jangan-jangan si buaya itu ...?Aku cepat berlari ke arah istriku, kulepas baju kaos yang tengah melekat di badanku, sementara Hanum masih terus menghantam wajah si buaya itu dengan gagang sapu, kugunakan kesempatan itu untuk menyelimuti istriku denga
"Kak Hasan, hubungi Bu Sarah sama om Asra," kata Hanum di sampingku.Benar, segera kurogoh saku kolorku mengambil benda pipih itu dan mulai menelepon beliau."Apa?! Serius, Cep? Ya Allah anakku."Kudengar isak tangis mertuaku pecah di jauh sana."Nanti Ibu ke sana tapi tunggu papanya si Neng datang dulu, ini mau segera Ibu kabari dulu, Cep," kata Ibu mertua seraya menutup teleponnya.Asmi masih ditangani di dalam, aku dan Hanum menunggu dengan harap-harap cemas. Tak lama kudengar suara hospital bed didorong, diiring isak tangis seseorang yang sepertinya tidak asing bagiku."Suara siapa ya?" Aku mencoba mengingat, tapi segera pudar saat kulihat ibuku dan Mia yang datang dari luar bersama beberapa orang perawat.Aku berdiri saking terkejutnya melihat mereka yang dengan wajah cemas."Tolong selamatkan anak saya Suster jangan sampe dia mati," histeris Ibu.Ternyata yang ada di atas hospital bed itu adalah Mas Fatih. Para perawat juga mendorong Mas Fatih ke ruang UGD."Bu, Mas Fatih kenap
Mia diam menatap ibuku, hak marah atau membantah, mungkin anak itu juga setuju pada ucapan neneknya. Mia tampak sudah menyadari dan menerima diri bahwa kenyataannya bapaknya itu memang seorang yang jahat dan gak bisa dimaafkan lagi.Ibu dan papa mertua datang tergopoh-gopoh, napas mereka tersengal-sengal lalu berhenti tepat di dekat kami sambil memegangi kedua lututnya."Gimana si Neng, cep? Di mana dia sekarang?" tanya Ibu mertua, wajahnya terlihat panik dan pucat seraya terus berusaha mengatur napas yang memburu."Masih di dalem Bu, belum sadarkan diri, tapi udah ditangani.""Dokter belum bilang apa-apa?" Papa mertua yang bertanya."Tadi ...."Nyes, hatiku kembali sesak dan nyeri, rasanya aku gak bisa bicara lagi, bayangan Asmi masih belum sadarkan diri di ruang itu membuatku ingin menangis lagi, tapi sebisanya kutahan di depan mereka, aku takut mereka tambah khawatir sama Asmi."Sudah sudah tenang!" Papa mertua menepuk pundakku, beliau tak lagi meminta jawaban apa-apa dariku.Seor
Pov Author.Anggara Buaya adalah nama yang disematkan padanya sejak kecil. Namun ia tak menyangka gelar buaya benar-benar menjadi julukannya kali ini.Anggara Buaya adalah seorang pria yang berambisi dengan kecantikan banyak wanita, dirinya kerap tak sanggup menahan hasrat jika matanya melihat wanita cantik sedikit saja. Lebih-lebih Alfa-istrinya kini mulai tak elok dipandang, bagi Angga Alfa sudah tua dan tak mengasyikan seperti dulu.Alfa sering memakai daster kumel dan basah, rambutnya sering hanya digelung dan bahkan sering acak-akan, memang kalau soal keuangan Alfa sangat pandai, wanita itu mampu menabung banyak uang dan emas selama menikah dengan Angga, tapi sayangnya Alfa terlalu mudah untuk dibohongi oleh Anggara.Seringkali Angga meminta semua tabungan istrinya itu untuk kesenangan pribadi yang tak diketahui Alfa.Angga selalu berdalih menjalankan bisnis dan investasi dengan uang tabungan itu, padahal semua uang itu Angga gunakan untuk bermain perempuan di tempat hiburan.Tak
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa