"Boleh boleh kalau bayarannya emas gini sih Mbak mau aja, tapi inget, jangan sampe keceplosan omongan lagi!" tegasnya padaku.Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Mbak Andin pamit pulang karena katanya mau jemput anak-anak juga di sekolahnya.Huh dasar artis emas terigu, kalo emasnya udah dapet aja langsung dah tuh pergi.Setelah Mbak Andin pulang, cepat aku bertanya, "Neng, kenapa harus kasih emas itu ke mbak Andin sih?""Gak apa-apa A, itu cuma 0,05 gr ini, sisanya juga kan mau kita jual ke Pak Amet kalau kita jadi beli rumahnya."."Iya sih Neng, tapi sebaiknya dilihat aja dulu Neng rumahnya.""Iya tenang, Aa." Setelah beristirahat sebentar di kontrakan, aku pamit untuk masuk kerja. Sebab tidak enak karena aku sudah sering sekali bolosnya. Dan mau tak mau Asmi harus setuju meski katanya masih mau kangen-kangenan.Sampai di kantor ekspedisi aku segera melakukan pendataan alamat paket yang akan kuantarkan, setelah itu barulah aku jalan mengantarkan paket dari satu alamat ke alamat la
"Ini loh Bu, emas dari si Asmi kemarin, katanya cindera mata karena abis pulang ke desa," kata Mbak Andin.Ibuku tak menjawab, beliau diam saja sambil melipat baju-baju yang baru saja diangkatnya dari jemuran."Tapi beneran loh Bu, Hanum juga dikasih emas sama Kak Asmi, bagus pula, kata mas Aldan emasnya juga emas antik, harganya pasti mahal," sahut Hanum."Terserah kalian aja lah, Ibu gak minat.""Kok gitu Bu? Lumayan loh Bu, kalau Ibu minta juga pasti bakalan dikasih," kata Hanum lagi."Amit-amit Ibu minta ke dia, emas Ibu udah banyak, uang juga gak kekurangan, kenapa Ibu harus minta ke anak gak jelas itu?" ucap Ibu pongah.Aku mengelus dada. Entah sampai kapan ibu itu tidak menyukai istriku ya Allah."Berarti Asmi itu emang banyak emasnya ya, pastinya dia keturuanan anak orang kaya di desanya," seru Mbak Andin lagi.Ibu menghentikan pekerjaannya, wajah beliau lalu berubah kesal, "kata siapa? Jangankan kaya raya, bapak aja kagak punya dia. Ibu yakin semua emas dan uang yang dia sumb
"Ya udah, ya udah tapi nanti sistemnya Neng gaji Aa aja ya, dan setiap waktunya gajian uang gaji Aa Neng langsung ambil aja buat belanja sehari-hari kita," senyumku padanya.Asmi membalas dan mengelus daguku, "baiknya suami Neng."**Esok hari aku dan Asmi mulai bekerja di toko, tapi sebelum ke toko kami mampir dulu ke rumah Pak Amet untuk mengurus surat balik nama kepemilikan rumah.Kami baru bisa mengurusnya sekarang karena kemarin-kemarin orang tuanya Pak Amet masih belum memungkinkan untuk mengurus surat-surat itu.Ini pun harusnya kami urus di kantor notaris tapi karena orang tua nya Pak Amet itu masih sakit jadilah kami urus perpindahan nama itu di rumah Pak Amet saja dengan memanggil orang notarisnya ke rumah Pak Amet."Oh ya Mbak Asmi, ini Papa dan Mama saya," ucap Pak Amet saat kami baru sampai di kamar.Asmi diam sebentar, ia menatap lekat papanya Pak Amet yang tengah terbaring di atas kasur bersama istrinya."Terimakasih loh Mbak, Mas, lagi-lagi kalian yang nolongin saya,"
"Cep, kalau nanti Asmi tinggal dulu di desa beberapa hari untuk mengurus ibunya bagaimana? Apa Acep keberatan?" tanya Nenek lagi."Enggak dong Nek, Acep pasti akan izinin kok, kasihan Neng Asmi selama ini merindukan sosok ibunya, mungkin ini adalah waktu yang tepat buat si Neng berbakti sama Bu Sarah.""Acep bener." Nenek menepuk pundakku lalu kembali ke kamarnya.***Seminggu sudah kami di rumah nenek, Asmi mengurus Bu Sarah dengan baik, aku juga gak kembali ke Tangerang karena aku merasa gak bisa jika harus jauh dari istri empukku.Selama di desa, sehari-harinya aku membantu Paman Emod mengurus sawah dan menggembala kambing. Kadang juga mencari kayu bakar dan rumput, persis seperti pekerjaan masa kecil Asmi.Kebetulan sawah Asmi waktunya panen saat aku di desa, senang sekali rasanya aku bisa merasakan hidup di desa, meski masyarakatnya sudah kental dengan gaya hidup masa kini tapi alamnya masih benar-benar indah dan terjaga, udaranya bersihpun dan keasriannya tak perlu diragukan lag
Setibanya di Tangerang.Tak menunggu lagi, kami langsung ke rumah Pak Amet.Baru saja kami sampai di gerbang rumahnya, kami sudah dibuat syok, pasalnya rumah Pak Amet sudah dipenuhi orang-orang yang tampak sedang melayat."Aa ada apa ini? Bapak enggak apa-apa kan, A?" Asmi mulai cemas di sampingku."Gak tahu sayang, kita berdo'a aja."Cepat kuparkirkan mobil Asmi di depan rumahnya Pak Amet dan buru-buru kami turun.Saat masuk ke dalam rumah Pak Amet, benar saja para keluarga terlihat sedang mendo'akan jenazah seraya terisak di sana, Aldan dan Hanum juga ada."Siapa yang meninggal, A? Bukan bapak kan, A?" Asmi terus saja mencecar dengan wajah panik dan resah.Tak pikir lama lagi, Asmi segera menemui Pak Amet yang tengah duduk di pojok ruangan."Pak, ini siapa yang meninggal?""Ibu saya, Mbak," jawab Pak Amet dengan suara serak. Asmi mengembuskan napas berat sambil memegangi dadanya.Aku melakukan hal yang sama, untunglah Tuhan masih beri kesempatan untuk Asmi bertemu bapaknya, entah ap
Ti ... t, ti ... t, ti ... t.Sengaja kubunyikan klakson mobil mewah Asmi saat sampai di depan pagar rumah ibu.Tak lama Mas Fatih datang membuka pintu, tapi bukannya cepat-cepat membuka pagar rumah, Mas Fatih malah berjalan pelan dengan mata menyipit penuh selidik.Ti ... t. Kubunyikan lagi klakson itu sampai Mas Fatih sedikit terperanjat di dekat pagar. Asmi cepat-cepat mencubitku, "Aa kebiasan deh," katanya.Aku membuka kaca mobil."Mas Fatih, malah bengong, tolong bukain," sahutku.Mas Fatih kaget bukan main saat ia melihat aku dan Asmi yang ternyata ada di dalam mobil mewah itu."Hasan, mobil siapa nih?" tanya Mas Fatih saat kami turun."Menurut Mas Fatih? Emangnya kita kayak Mas Fatih yang suka rental mobil?" Ti ... t. Tak lama dari itu suara klakson motor Aldan juga terdengar memasuki pagar. Hanum dan Aldan yang baru pulang melayat sama kagetnya saat melihat kami datang ke rumah ibu membawa mobil mewah."Wiih rental di mana nih Kak?" tanya Hanum seraya mengelus body mobil ka
Kami semua pun diam menahan kemurkaan diri masing-masing."Pulang kalian semua!" ucap Bapak lagi."Kok pulang sih, Pak? biarin anak-anak di sini, kecuali Asmi dan Hasan kalau dia mau tetep bela istrinya itu," protes Ibu.Akhirnya aku bangkit menarik tangan Asmi."Kami akan pulang kalau itu mau Ibu," ucapku.Aku pun keluar bersama Asmi, bapak tergopoh mengejar kami diikuti semua anak-anaknya."San, udah gak usah dimasukin ke hati ibumu emang gitu.""Gak apa-apa Pak, Hasan emang mau ada urusan.""Waw boleh juga nih mobilnya," kata Mbak Andin seraya mengelus body mobil Asmi."Besok ambil yang kayak gini napa yank?" Katanya lagi pada Mas Fatih."Cuma beginian doang mah kecil!" "Boleh juga kamu kreditnya, ambil yang berapa per bulan? Pantesan kemarin pulang ke desa, di sana Asmi pasti habis jual gunung warisan ya?" tanya Kak Alfa."Mamah! Apaan sih gunung-gunung," sahut Kak Angga si otak ngeres.Saat semua orang terkagum-kagum dengan mobilku, ibu justru hanya berdiri di dekat pintu rumah
"Jaga Asmi," ucap Bapak seraya menepuk pundakku.Setelah melihat gudang usaha Asmi, bapak minta diantarkan pulang, dan selesai mengantar bapak aku kembali ke toko."Gimana tadi lancar, A?" tanya Asmi."Lancar dong, nih Aa beliin Neng es cendol bahenol.""Enggak A, kali ini makasih," tolaknya."Loh kenapa? Tumben.""Neng 'kan mau serius diet A, biar cantik dan langsing."Aku diam sebentar, "maaf ya, gara-gara ibu dan sodara-sodara Aa Neng jadi harus susah-susah diet, padahal kalau Neng gak mau juga gak apa-apa Neng, Aa terima Neng apa adanya kok.""Neng mau kok A, Neng diet bukan semata-mata karena mereka, tapi karena mau memanjakan mata Aa juga," ucapnya tersipu di akhir kalimat.Ah istriku yang empuk memang gak pernah gagal buat hatiku meleleh.***2 hari kemudian.Asmi berteriak kencang. Ia sangat bahagia sebab Pak Asraja mengabarinya agar kami bersiap dan menjemputnya sore hari.Tentu saja Asmi sangat bahagia karena ini adalah waktu yang ditunggu-tunggu olehnya.Selama 3 hari Asmi
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa