Kami semua pun diam menahan kemurkaan diri masing-masing."Pulang kalian semua!" ucap Bapak lagi."Kok pulang sih, Pak? biarin anak-anak di sini, kecuali Asmi dan Hasan kalau dia mau tetep bela istrinya itu," protes Ibu.Akhirnya aku bangkit menarik tangan Asmi."Kami akan pulang kalau itu mau Ibu," ucapku.Aku pun keluar bersama Asmi, bapak tergopoh mengejar kami diikuti semua anak-anaknya."San, udah gak usah dimasukin ke hati ibumu emang gitu.""Gak apa-apa Pak, Hasan emang mau ada urusan.""Waw boleh juga nih mobilnya," kata Mbak Andin seraya mengelus body mobil Asmi."Besok ambil yang kayak gini napa yank?" Katanya lagi pada Mas Fatih."Cuma beginian doang mah kecil!" "Boleh juga kamu kreditnya, ambil yang berapa per bulan? Pantesan kemarin pulang ke desa, di sana Asmi pasti habis jual gunung warisan ya?" tanya Kak Alfa."Mamah! Apaan sih gunung-gunung," sahut Kak Angga si otak ngeres.Saat semua orang terkagum-kagum dengan mobilku, ibu justru hanya berdiri di dekat pintu rumah
"Jaga Asmi," ucap Bapak seraya menepuk pundakku.Setelah melihat gudang usaha Asmi, bapak minta diantarkan pulang, dan selesai mengantar bapak aku kembali ke toko."Gimana tadi lancar, A?" tanya Asmi."Lancar dong, nih Aa beliin Neng es cendol bahenol.""Enggak A, kali ini makasih," tolaknya."Loh kenapa? Tumben.""Neng 'kan mau serius diet A, biar cantik dan langsing."Aku diam sebentar, "maaf ya, gara-gara ibu dan sodara-sodara Aa Neng jadi harus susah-susah diet, padahal kalau Neng gak mau juga gak apa-apa Neng, Aa terima Neng apa adanya kok.""Neng mau kok A, Neng diet bukan semata-mata karena mereka, tapi karena mau memanjakan mata Aa juga," ucapnya tersipu di akhir kalimat.Ah istriku yang empuk memang gak pernah gagal buat hatiku meleleh.***2 hari kemudian.Asmi berteriak kencang. Ia sangat bahagia sebab Pak Asraja mengabarinya agar kami bersiap dan menjemputnya sore hari.Tentu saja Asmi sangat bahagia karena ini adalah waktu yang ditunggu-tunggu olehnya.Selama 3 hari Asmi
"Lepaskan saya, Cep! Paman mau kasih dia pelajaran atas luka hati yang selama ini kami rasakan." Paman terus memberontak."Istighfar Paman! Istighfar! Pak Asraja datang kesini karena mau menebus kesalahannya, beliau mau minta maaf pada Bu Sarah dan bertanggung jawab atas perbuatannya."Akhirnya setelah susah payah aku menahan paman, beliau mau sedikit tenang."Saya tahu saya banyak salah," kata Pak Asraja kemudian."Hidupmu memang penuh dengan kesalahan, saya pikir kamu sudah mati dasar biadab!" sembur Paman lagi, kutahan kedua tangannya ke belakang supaya Paman gak menyerang Pak Asraja."Saya akan tanggung jawab, mengurus dan mengakui Asmi sebagai anak saya, memberinya tempat dan pengakuan di rumah saya." "Kau memang harus melakukan itu biadab!" sengit Paman lagi.Pak Asraja menarik napas berat, ia lalu kembali melihat Bu Sarah yang masih belum sadarkan diri."Sarah .... aku datang, aku ingin mengakui Asmi sebagai anakku, aku ingin membawa anakku tinggal bersamaku. Apa kamu mau iku
Setelah Pak Asraja pulang naik ojek karena maksa gak ingin diantar, aku dan Asmi masuk ke dalam.Nenek dan ibu mertua masih terkagum memandangi setiap sudut rumah dengan raut yang berseri."Ini teh bener atau enggak atuh rumah kamu, Neng?" tanya Ibu mertua."Bener atuh Bu, kenapa? Pasti Ibu teh gak percaya ya?""Wajar atuh Neng Ibu gak percaya ini mah bukan rumah soalnya, ini mah udah mirip-mirip hotel." Aku segera ke belakang hendak menyiapkan minum untuk nenek dan ibu mertua, tak lama Asmi menyusul."A, menurut Aa, Papa teh serius gak sih ya mau lamar ibu?" "Serius, Aa percaya sama Papa, kenapa?""Em ... Neng punya ide, A.""Apa tuh?"Asmi berbisik menceritakan ide yang terlintas di kepalanya. Katanya ia berencana akan membuat acara lamaran papa nya itu bersamaan dengan acara syukuran rumah saja, Asmi sengaja ingin mengundang keluargaku terutama ibu, agar mereka lihat siapa papa nya Asmi yang selama ini gak mereka ketahui itu, Asmi berharap setelah mereka lihat papa kandung Asmi,
Pov Author.Setelah dari dapur Bu Pika mengetuk pintu kamar Hanum."Num, Num," katanya pelan, sebisanya wanita itu meredam suara ketukan pintu agar tidak terdengar oleh Hasan dan suaminya yang tengah mengobrol di ruang keluarga.Hanum datang membuka pintu, "iya, Bu?""Ibu mau bicara, boleh gak Ibu masuk?" tanya Bu Pika bisik-bisik."Oh ya udah masuk aja."Bu Pika masuk ke dalam kamar Hanum, wajahnya terlihat resah dan bingung. Aldan sang menantu akhirnya bertanya."Kenapa, Bu?" "Begini Dan, Ibu ... lagi bingung, sebenarnya tadi ada penagih hutang ke rumah," katanya ragu-ragu seraya meremas jari-jari tangannya yang sudah dingin dan gemetar sejak tadi."Hah? Hutang apa?" Hanum kaget."Sstt! Jangan kenceng-kenceng! Nanti kakakmu si Hasan itu denger.""Ibu nih hutang bekas apa sih, Bu? Terus emang berapa hutangnya?" Cemas Hanum bertanya."Hutang bekas Ibu pinjam buat DP mobilnya Mas Fatih itu loh Num, hutangnya sih gak banyak cuma 100 juta, Ibu kira gak bakal cepet ditagih, tahunya setor
"Istrimu itu Tih, kurang ajar banget sama Ibu, kalau bukan anak orang kaya udah Ibu pecat dia jadi mantu," kata Bu Pika jengkel."Ya habisan Ibu nya juga sih maghrib-maghrib dateng ke sini cuma mau bikin kesel aja, panteslah Andin marah. Fatih juga males jadinya."Bu Pika terbelalak, dada yang tadi bergemuruh kembali terasa panas."Kamu kok jadi nyalahin Ibu juga sih?""Jelas aja dong Bu, coba kalau Ibu gak bikin ulah, mungkin sekarang kami adem-adem aja.""Ah ya udahlah, percuma juga Ibu ngomong sama kamu, sia-sia juga ternyata Ibu dateng ke sini, kamu sama aja kayak si Hanum, gak punya rasa kasihan sama Ibu," tandasnya.Bu Pika lalu bangkit dan melangkah tergesa keluar, niat hati ingin dikejar dan dihentikan oleh Fatih tapi nihil.Lagi-lagi Bu Pika harus gigit jari dan menahan rasa kecewanya saat anak-anak yang selama ini ia bangga-banggakan malah memberi rasa sakit ke dalam hatinya."Tih kamu gak mau antar Ibu pulang apa?" tanya Bu Pika lagi, saat sengaja ia menghentikan langkah di
"Jadi kamu mau bantuin Ibu atau enggak?" tanya Bu Pika kesal. Berkali-kali dirinya itu diperlakukan begitu oleh anaknya, lempar sana lempar sini, seperti sangat tidak ingin anak-anaknya itu membantu kesusahan sang ibu."Enggak Bu, kami 'kan udah bilang enggak," jawab Angga dengan suara lugas."Ya udahlah terserah," tandas Bu Pika seraya pergi dengan hati yang dongkol."Susah-susah pergi pagi-pagi begini ke rumah Alfa, ternyata sama aja hasilnya. Kenapa sih anak-anakku begitu? Baru aja minta bantuin bayar hutang, mereka udah ogah-ogahan begitu, gimana kalau ngurusin kematianku nanti? Apa mereka juga akan bersikap masa bodoh? Keterlaluan!" gerutu Bu Pika di dalam angkot."Tante?" Seseorang yang baru saja naik menepuk pundak Bu Pika. "Eh Jasmin?""Iya Tante," seru seorang wanita berpenampilan modis itu.Mereka lantas cipika-cipiki dan saling memeluk."Udah lama kamu gak main ke rumah Tante," kata Bu Pika."Iya Tante, gak enak soalnya, sekarang anak Tante yang mau dicomblangin sama Jas
PoV Hasan"Kalau Ibu udah males Ibu teh bisa pulang sekarang kok, tapi Asmi gak akan buru-buru mulai acaranya sebelum bapak Asmi datang," kata Asmi dengan suaranya yang lugas.Aku melongo, tumben-tumbenan istriku bicara begitu sampai wajah ibu terlihat sangat pias dibuatnya.Asmi lalu pergi ke belakang untuk mengambil makanan ringan yang belum disajikan.Sebetulnya aku ingin terbahak saat melihat Asmi bicara begitu pedasnya pada ibu. Astagfirullah emang aku ini durhaka banget, tapi biarkanlah siapa suruh ibuku bersikap begitu, datang ke acara kami bukannya ikut nimbrung mengobrol dan memperkenalkan diri pada mertuaku malah duduk pongah di pojokan, hadeh ibu ... ibu, entah kapan berubahnya ibuku itu, atau mungkin karena eyangku salah kasih nama? namanya kan PIKA, kalau kata orang Sunda tuh Pikasebeleun yang artinya nyebelin. Haha."Kak Hasan kok beli rumah bagus gak bilang-bilang?" tanya Hanum berbisik-bisik. Aku nyengir saja sambil menggeleng kepala.Kemudian Aldan juga bertanya."Ka
"Ya kalau ada." Aku nyengir."Ada. Tenang aja. tar aku bukain deallernya khusus buat kalian. Eh tapi apa kalian mau beli mobil aku aja? Kebetulan nih istriku kemarin beliin mobil buat si bujang eeh tapi malah gak ditolak karena cocok katanya. Mobilnya padahal bagus tapi dia mau yang boddynya lebih macco.""Wah yang bener? Emang mobil apa Yon?""Itu di garasi, ayo lihat aja."Aku dan Ranti pun digiring ke garasinya. Buset emang dasar orkay, di sana mobilnya berjejer sampe 6 biji."Gila banyak amat mobil kamu Yon, udah sukses ya kamu sekarang.""Ah biasa aja. Ini buat kujual juga kalau ada yang nanyain. Nah ini mobilnya." Yono menepuk satu mobil berwarna putih mengkilat yang kelihatannya emang masih mulus banget itu."Pajero San. Bagus," katanya lagi.Aku melirik ke arah Ranti. Dia langsung mengangguk yakin."Beneran Ran mau yang ini?" "Beneran Yah, Ranti suka banget."Akhirnya setelah bernego dan membayar setengahnya langsung bawa mobil itu pulang. Sisa harganya nanti kubayar setelah
Esok harinya. Hari raya dan Asmi udah sibuk sejak sebelum subuh buta. Masak opor, masak ketupat, masak sambel goreng kentang dan pastinya ada sop iga sapi.Suasana lebaran di desa ini emang paling aku nantikan banget. Karena bertahun-tahun melewati suasana di kota saat aku kecil sampe dewasa, rasanya lebaran tak seberkesan seperti di desa.Beneran dah sumpah, aku baru ngerasa lebaran itu berkesan dan seru banget saat aku lebaran di desa Asmi ini. Di sini itu antara tetangga satu dan lainnya saling berkunjung, saling meminta maaf dan yang jelas aku bersyukur karena di sekitar rumah kami gak ada yang namanya tetangga julid. Mereka semua pada baik, pada ramah, pada saling mendukung dan menjunjung namanya tali persaudaan dengan gotong royong.Bahkan saat lebaran, biasanya mereka ada yang saling memberi makanan khas lebaran, walau sebenernya di setiap rumah juga ada. Ya 'kan namanya lebaran haha.Hari ini Asmi juga gitu, dia sengaja masak banyak karena mau ngasih ke ibu dan ke rumah tetang
Ranti DatangKarena penasaran aku pun bangkit menguping dekat pintu dapur."Iya iya kamu tenang aja, pokoknya Mas secepetnya kirim, Mas 'kan harus minta dulu sama istri Mas, uangnya baru cair tadi," kata si Broto lagi.Waduh parah. Ini sih bau-bau perselingkuhan kayaknya. Kasihan si Ratu ular, dia dikadalin sama lakinya."Wah aku harus buru-buru bawa si Ratu ke sini. Biar seru nih lanjutannya."Gegas aku ke depan.Tok! Tok! Tok! Kuketuk pintu kamar si Ratu cepat-cepat."Raaat, Raaat, buka!"Pintupun dibuka walau agak lama."Apaan sih? A Hasan? Ada apa? Ngetok pintu kayak mau nagih hutang aja," ketusnya, kesal."Rat, ayo buruan ke belakang. Kamu harus denger juga apa yang tadi Aa denger," ajakku tanpa basa-basi.Si Ratu mengernyit, "apaan sih, ogah," ketusnya sambil membanting pintu.Tok tok tok!"Rat Rat, buka Rat bukaa!""Berisik. Sana pergi! Ganggu orang istirahat aja!" teriaknya dari dalam.Aku mendengus kesal sambil kukeplak daun pintu kamar itu sedikit, "huh dasar, ya udah kalau
"Nah itu baru bagus," timpalku sambil kujentikan jari telunjuk dan jempolku.Si Ratu menoleh, "Apaan sih, ikutan aja," ketusnya.Aku menjebik, lah sok cantik amat, tuh bibir pake digaling-galingin gitu segala. Kesel banget dah."Loh Dewi, Putri, ada apa ini teh? Kenapa kalian mendadak enggak mau ambil uangnya?" tanya Ibu mertua, beliau kelihatan bingung."Gak ah Bu, gak usah, biar bagian Putri dikasih ke orang lain aja, buat Ibu juga gak apa-apa." Si Putri menjawab. Wanita berkulit putih itu nyengir kuda sambil lirak-lirik pada kakaknya, si Dewi.Aku sih paham, mereka pasti beneran takut sama omonganku tadi, takut mereka dijadiin tumbal haha."Dewi juga, biar duitnya buat Ibu aja, atau ... buat Bapak sekalian." Si Dewi melirik ke arah Papa mertua dengan tatapan sinis."Wah wah. Tumben-tumbenan nih pada baik," timpalku lagi sambil nyengir puas."Enggak!" sembur si Ratu kemudian. Dia spontan berdiri dari kursinya."Apaan sih kok jadi pada gak kompak gini? Dewi! Putri! Pokoknya kalian ak
"Ck dibilangin gak percaya," tandasku, gegas aku bangkit dan mabur ke depan. Di depan rumah aku cekikikan sendiri sambil geleng-geleng kepala, si Dewi itu bener-bener banget dah, obsesi banget dia sampe abis sahur pun masih nanyain soal kesalahpahaman semalem yang dia lihat haha.***Malam takbiran tiba.Alhamdulillah karena uang penjualan saham Asmi udah cair, malam itu juga Asmi langsung ajak aku lagi ke rumah ibu mertua."Ratu, Dewi, Putri, ini uang buat Teteh bayarin rumah teh udah ada, mau ditransfer sekarang apa gimana?" tanya Asmi pada ketiga adiknya.Mereka saling melirik sebentar sebelum akhirnya si Ratu menyahut."Ya sekarang dong Teh, kalau udah ada duitnya ngapain disimpen terus, si Putri juga 'kan mau pake buat lunasin sewa pelaminan.""Oh ya udah atuh, Teteh transfer ke rekening kamu aja semua dulu ya, nanti baru kamu bagi-bagi ke adik-adikmu.""Ya buruan, bawel ah," ketus si Ratu.Tau dah, kenapa orang satu itu makin ketus aja sama Asmi sekarang."Udah, tuh udah Teteh
"K-kami ...." Si Dewi dan Si Putri gelagapan, wajahnya terlihat tegang dan panik."Nguping ya kalian?" desakku."Enggak, kata siapa?" jawab si Dewi cepat."Dewi, Putri, jadi kalian teh lagi ngapain di sini?" tanya Asmi."Kami ... emm ... Teteh ngapain di dalam? Kok ada lilin sama baskom isi daun di dalam kamar? Dan ...." Si Dewi melirik ke arahku dengan tatapan aneh."Kenapa?" tanyaku risih."A Hasan pake apa itu? Kalian beneran ....""Beneran apa?" desakku."Kalian beneran ... ngepet?""Hah?" Aku dan Asmi saling melirik dengan mata melongo."Ngepet?" Asmi mengulang."Ya ngepet, kalian ngepet biar bisa dapat duit banyak 'kan?" "Astagfirullah Dewi, apa-apaan kamu teh? Omongannya kenapa ngaco begitu atuh ah.""Tapi bener 'kan Teteh sama A Hasan ngepet? Buktinya itu di dalam ada lilin sama baskom isi daun terus A Hasan pake jubah hitam begini," timpal si Putri sambil terus menerus lirik-lirik ke dalam kamar."Astagfirullah." Asmi elus dada sambil geleng-geleng kepala. Sementara aku cek
"Neng, kalau malam ini nginep di rumah Ibu lagi saja gimana?" tanya Ibu mertua saat aku sampai di dekat Asmi."Iya Bu, Ibu teh tenang aja, Neng pasti nginep lagi di sini, oh ya, kalau si Papa teh kemana? Kenapa enggak kelihatan lagi?""Tadi teh pamit katanya mau nyari rempah sama dedaunan buat penurun tekanan darah.""Ck ck ck ai ai Papa teh ada-ada aja, meski berasal dari kota ternyata masih percaya pengobatan tradisional begitu.""Ya bagus dong Neng, itu namanya melestarikan kebudayaan leluhur," timpalku cengengesan.Asmi menjebik saja.-Sore hari selepas aku balik sebentar ngabarin Hasjun kalau kami mau menginap lagi, di desa hujan gede.Bahkan saking gedenya sampe aliran listrik di desa mati dan signal hape pun jadi darurat.Gak aneh sih, emang di desa sering banget mati lampu dan darurat signal begini saat hujan gede, tapi lama-lama jengkel juga karena mati listrik dan mati signal itu gak nyaman banget rasanya.Aku pikir ini salah satu yang bikin gak enaknya tinggal di desa Asm
"Oh saya jadi sungkan," kata Pak Mantri lagi."Ah Pak Mantri ini kayak sama siapa saja atuh.""Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu ya Teh Asmi, semoga ibunya cepat membaik.""Baik Pak, biar suami saya antar ke depan."Pak mantri mengangguk, gegas aku antar dia ke depan bareng si Ratu CS.Setelah mantri itu pergi, aku buru-buru kembali ke dalam, tapi belum sempat kaki ini melangkah ke kamar, kudengar si Ratu CS pada rumpi."Eh gak salah itu Teh Asmi ngasih lebihan duit ke mantri itu sampe 300 rebu?" bisik si Putri."Iya, kalau Teh Asmi gak punya duit harusnya duit 300 rebu gede loh, jangankan yang gak punya duit, kita aja yang duitnya banyak sayang banget rasanya kalau ngasih segitu banyak, gile aja, duit loh itu," balas si Dewi.Wah karena topiknya kayaknya seru, aku pun mundur lagi ke dekat jendela depan, kupasang telinga tegak-tegak, nguping kayaknya seru nih haha."Halah palingan pencitraan, biar dikata banyak duit, gak usah heran sama orang desa tuh, emang pada begitu kalau carm
Kudengar suara Asmi dan ibu mertua, ternyata mereka lagi ada di kamar ibu mertua."Ibu teh enggak apa-apa Neng, cuma sedikit pusing aja kepala Ibu, rebahan sebentar juga nanti sehat lagi."Kasihan, ibu mertua pasti pusing karena kelakuan anak-anaknya yang pada dableg itu."Ibu teh enggak usah banyak pikirian, udah biar acara hajatan Putri, Neng yang urus aja.""Iya Neng, Ibu teh percaya sama Neng, cuma Ibu teh pusing sama kelakuan adik-adikmu, udah pada dewasa kok bisa mereka teh sikapnya begitu sama kamu dan Papamu.""Gak apa-apa, mungkin mereka hanya belum paham aja bagaimana menerima, orang baru dalam kehidupan mereka Bu.""Semua ini salah Ibu, dulu Ibu terlalu memanjakan mereka dan selalu menanamkan rasa benci sama kamu di hati mereka.""Udah atuh Bu, yang dulu teh biarlah berlalu, enggak usah atuh dibahas lagi, mereka bersikap begitu mungkin karena mereka belum bisa menerima kenyataan aja.""Iya, Neng."Obrolan mereka terdengar makin lesu, aku sampe gak tega dengernya, karena saa