Jason tak tinggal diam, ia meraih tangan Yuna agar mendekap tubuhnya. Dokter cantik bagaikan orang linglung, tetapi tak melawan. Seharusnya ia mengartikan tindakan Jason tak sopan, ‘kan?Akan tetapi, kenapa ia tak menolak atau berontak. Yuna bahkan membalas pelukannya erat. Kedua bola matanya yang melotot karena terkejut tadi, kini terpejam merasakan hangatnya tubuh Jason.Yuna seolah menemukan jawaban dari tingkah pasiennya. Jason butuh dukungan dari orang terdekatnya. Lelaki itu baru saja bisa mengendalikan rasa depresinya, tak percaya dan takut serta merasa tertekan oleh orang terdekatnya.“Ya, ini adalah reaksi dalam alam bawah sadar Tuan Jason. Ia akan merasa bersemangat dengan dukungan orang terdekatnya ... berarti aku bukanlah orang lain dalam hidup Tuan Jason,”
“Apa ini? Kamu nggak percaya padaku? Padahal aku sengaja buatin buat kamu ... itu kopi dari pamanku yang baru dari Aceh.” Vina memasang wajah curiga untuk menutupi rasa paniknya. Tergambar jelas dari sorot matanya, dia sedang gugup. Yuna lantas tertawa kecil seraya meletakan cangkir di atas meja kerjanya. Ia berusaha agar tak terlihat jelas dirinya memang tak percaya pada wanita itu.“Vina, sepertinya kamu yang curiga padaku,” cicit Yuna sembari menghentikan tawanya.Yuna tersenyum sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. “Biasanya juga kamu selalu duluan nyobain setiap makanan milikku. Kok kamu kaya yang sensi sih?” sambungnya, kemudian Yuna menatap Vina penuh selidik.“Benar, kamu selalu mencicipinya terlebih dahulu semua hal yang kupunya, bukan tentang makanan saja. Saat itu aku tak pernah protes ... kamu selalu berdalil, cemas jika makanan yang masuk pada tubuhku mengandung racun dan kamu bertindak sebagai tester.” Yuna melanjutkan dalam hati, sembari memperhatikan wajah Vina yang
Yuna menyeruput kopinya bersamaan dengan Vina yang menelan obatnya. Lidahnya tak merasakan keanehan rasa kopi tersebut, tetapi ia mencoba menahannya agar tak tertelan. Kemudian Yuna melebarkan bibirnya tanpa perlu menunjukkan giginya. Dengan cara seperti ini, ia bisa bertahan agar kopinya tak tertelan. Wajahnya tampak puas, setelah yakin Vina menelan obat tersebut. Tentu saja, wanita di hadapannya meneguknya tanpa rasa curiga. Sama seperti dirinya dulu, tak pernah merasa curiga pada sahabat yang ia kira berhati malaikat.“Aduh, sepertinya aku kelamaan ninggalin meja kerjaku,” seru Vina dengan wajah sedikit panik saat indera penglihatannya menatap jam dinding di atas kulkas pantri.Wanita itu bergegas bangkit dari duduknya. “Yuna, aku lanjut kerja ya. Jangan lupa habiskan kopinya ... okeh!” seru Vina seraya merapikan pakaiannya.Yuna hanya berdeham sebisanya, seraya mempertahankan bibirnya yang melebar menggantikan senyuman. Setelah Vina berbalik dan berlari ia langsung bergegas menuj
Wajah Yuna meringis menahan malu dan sakit. Ia dapat merasakan kursi rodanya Jason mendekat. Tak ada yang bisa Yuna lakukan, selain menutupi wajahnya dengan rambutnya. Yuna berharap sedikit mengurangi rasa malu, sayangnya justru membuatnya semakin malu. Apalagi, saat Jason sudah berada di hadapannya. Dokter cantik itu berharap bisa menghilang atau menyusutkan tubuhnya.“Sepertinya kakimu terkilir, Dok?” tanya Jason menatapnya cemas. “Aku baik-baik saja, ini bukan hal perlu dicemaskan,” ucapnya seraya memaksa tubuhnya kembali bangkit. Yuna masih enggan menaikkan wajahnya menatap lelaki di atas kursi roda hadapannya. Petugas kebersihan yang sedari tadi bersamanya membantunya untuk berdiri. “Mari saya bantu, Bu,” ucapnya.Hati Yuna terus menggerutu kecerobohannya. Sebisa mungkin ia tak menunjukkan wajahnya pada Jason dan membiarkan rambutnya menjadi penghalang. Ia tak peduli pakaiannya basah dan kotor, Yuna harus segera menjauh.“Terima kasih,” ucap Yuna setelah berhasil berdiri denga
“T—tuan, turunkan aku!” pinta Yuna gagap, setelah pintu lift tertutup.Sungguh, Yuna tak nyaman dengan rasa canggungnya, walaupun hatinya merasa nyaman di atas pangkuan Jason. Bukan itu saja, sebelumnya ia mengumpati dirinya bodoh jika menerima tawaran Jason. Harga dirinya berontak.Yuna bahkan menghindari tatapan Jason dan terus makin merunduk, tetapi tangannya mencengkram erat jas belakangnya Jason. Lelaki itu menangkap dagu Yuna dan menaikkan wajahnya hingga kedua bola mata mereka bertemu. Wajah gugup Yuna terlihat jelas saat Jason menyingkirkan helaian rambut yang sejak tadi menghalangi wajah wanita tersebut.“Kenapa? Kamu takut nanti pacarmu melihat?” tanya Jason terdengar menggoda.Ya, setelah keluar dari lift mereka harus melewati ruangan karyawan staf untuk ke ruang kerjanya Jason. Sontak saja Yuna terkejut dan salah tingkah. Sungguh, ia tak peduli.“B—bukan itu, Tuan,” sahut Yuna cepat dan semakin gagap. “Apa Tuan nggak malu?” tanya bingung.Jason sepertinya teguh pada pendir
“Apa Anda tidak punya pekerjaan lain, Pak Ryan?” tanya Jason menatap dingin dan tegas pada Ryan. Sadar lelaki itu mengepalkan kedua tangannya, menunjukkan kemarahannya.“Tuan Jason sendiri?” Ryan berbalik tanya menunjukkan keberaniannya. “Apa Anda tidak lihat? Dokter pribadiku sedang terluka, jadi aku harus mengobatinya dulu. Aku bisa mengerjakan semua pekerjaanku dengan cepat,” sahut Jason semakin memberikan tatapan tak suka. Baru kali ini ia mendapatkan tatapan menantang dari karyawannya. “Sepertinya Anda begitu berani, Pak Ryan. Aku harap Anda mendengarkan peringatanku tadi ... jangan libatkan masalah pribadi dengan pekerjaan!” tegas Jason.Ryan refleks menundukkan tatapan menantangnya. Ryan menarik napasnya sebentar, mengendalikan rasa cemas dan amarahnya. Ia lantas menaikkan pandangannya setelah emosinya membaik.“Maafkan saya,” ucap Ryan datar. “Kalau Yuna ... maksudku Dokter Yuna karyawan Tuan Jason berarti dia juga teman, biarkan saya akan mengobatinya dulu sebelum melanjutk
Jason mengangguk senang. Ia lantas melanjutkan pijatannya dengan perlahan. Dokter cantik itu langsung menunduk sembari mengendalikan hatinya yang tengah bersorak riang.“Apa ini? Kenapa Tuan Jason selalu membuat hatiku berdebar? Bukankah aku sedang mengendalikan diri agar tak menyukainya?” Yuna mencecar dirinya dalam hati.Wajah cerianya tiba-tiba berubah murung. Yuna hampir lupa diri dengan tujuannya. Lupa, ucapan Jason memiliki makna seharusnya ia bisa menjaga diri agar bisa fokus pada kesembuhannya. Jika dirinya sakit seperti ini akan berdampak pada beberapa perawatan dan terapi yang harus dijalaninya.“Sadar, Yuna! Jangan menjadi wanita bodoh! Ini adalah kesempatan keduamu ... manfaatkan semua waktumu! Tak ada waktu untuk memikirkan rasa suka pada orang lain,” batin Yuna meyakinkan diri.“Ada apa? Pijatanku membuat kakimu makin sakit?” tanya Jason menyadarkan renungan Yuna.Sontak saja dokter cantik itu menaikkan pandangannya. “Ah, maaf Tuan. Pikiranku sedang tidak fokus,” jawabny
“Apa aku keterlaluan ya?” gumam Yuna seraya membawa bobot tubuhnya berlabuh di atas kursi kerjanya.Fokus mata dokter cantik itu terus tertuju pada Jason dari balik kaca bening pintu ruangan kerja lelaki itu. Jason sama sekali tak berniat melirik ke arahnya, ia fokus pada lembaran kertas di hadapannya. Yuna tak nyaman dengan perubahan lelaki itu.“Apa sebaiknya aku minta maaf padanya?” tanya Yuna semakin bingung. “Tidak perlu, Yuna! Sebaiknya jangan mengganggunya!”Dua sisi hatinya terus bertanya dan saling memberikan jawaban. Yuna bingung dan tak tenang. Seharusnya ia nyaman dan lagi canggung bukan. Fokus Yuna langsung tergantikan saat indera pendengarannya menangkap suara langkah kaki bergerak ke arahnya. Salah satu karyawan staf menghampirinya dan berhenti tepat di hadapannya.“Dokter Yuna, i—itu ... bu Vina terus mengeluh sakit perut, katanya tadi minum obat pemberian dari Dokter Yuna,” ucap karyawan itu seraya menunjuk ke arah belakangnya. Wajahnya panik dan nadanya terbata sert