Lagi-lagi Tama merasa ada yang tumpah dari dalam matanya, apa lagi kalau bukan cairan bening membuatnya cepat-cepat mengusap dengan tangannya.Perkataan Nada tampak yang tampak sederhana dan tidak kasar, namun malah membuat Tama merasa terluka.Keinginannya hanya satu, Nada kembali padanya bukan hanya karena anak yang ada di rahim Nada.Jika pun anak itu tidak ada, Tama akan tetap memohon untuk Nada mau kembali padanya.Lantas bagaimana jika Nada lebih memilih sendiri tanpa dirinya."Kita bisa berteman, menjadi partner untuk membesarkan anak kita," tambah Nada."Kenapa? Kenapa kamu tidak mau kembali pada Mas, apakah karena kamu sudah sangat membenci Mas?" tanya Tama dengan suaranya yang parau karena menahan sesak di dada.Tak menyangka semuanya bisa menjadi seperti ini, impian bahagia bersama sepertinya hanya tinggal impian semata."Mas, tahu?" tanya Nada sambil tersenyum melihat Tama yang terus saja menatapnya.Sejenak menjeda ucapannya sambil melihat Tama di hadapannya yang terus sa
Mungkin saja saat Tama ada di dekatnya Nada masih bisa tersenyum seolah dirinya begitu kuat dan baik-baik saja.Bahkan meminta Tama untuk tersenyum padanya, menguatkan hati dengan status pertemanan mereka berdua.Namun, bagaimana dengan hati Nada yang sebenarnya?Apakah wanita itu benar-benar kuat dan tak ada luka sedikitpun di hatinya?Mungkinkah Nada menerima keadaan ini dengan berlapang dada tanpa beban sama sekali?Sebenarnya dirinya juga rindu saat-saat bersama dengan Tama, rindu dengan peluk hangat pria yang pernah bersamanya itu.Nada sangat merindukan saat-saat bercanda bersama dan tertawa dengan lepasnya.Tapi apa daya, Nada pun tak bisa berbuat apa. Karena, takut semuanya terulang kembali, mungkin dengan cara yang berbeda.Sehingga untuk saat mungkin keputusan tepatnya hanyalah sekedar berteman saja.Bahkan Nada melepaskan isak tangis yang sejak tadi di tahannya mati-matian itu.Saat merasa dirinya hanya sendirian saja, agar bisa mengurangi sedikit beban di hatinya."Nada, k
Sore harinya Tama pun kembali ke rumah sakit seperti apa yang diinginkan oleh Nada, membawa mangga muda yang mungkin sedang diinginkan oleh wanita tersebut.Tok tok tok.Tama mengetuk pintu terlebih dahulu, kemudian barulah masuk dan matanya melihat ada Sarah dan juga Dava yang bersama dengan Nada.Semetara Kinanti dan Adam sudah pulang beberapa menit yang lalu, keduanya pun akan kembali nanti malam. Bahkan, menginap di rumah sakit untuk menemani Nada yang harus menginap pula di rumah sakit."Hay," sapa Tama sambil berjalan masuk."Mas, bawa apa?" tanya Nada dengan senyuman manisnya.Mata Nada tertuju pada benda yang di bawa oleh Tama, harapannya itu adalah buah pesanannya."Mangga muda, maaf agak sore. Entah mengapa mendadak sulit mencari mangga muda," jelas Tama sambil memberikannya pada Nada.Nada pun menghirup aroma mangga muda yang teramat sangat membuatnya menjadi hampir lupa diri karena terlalu nikmat.Mungkin karena bawaan kehamilan yang membuatnya menjadi lebih suka dengan ma
Berulang kali Tama meneguk saliva saat melihat Nada memakan mangga muda yang di bawakan olehnya.Rasanya air liur Tama mendadak menjadi lebih banyak dari biasanya saat menyaksikannya."Apa tidak asam?" "Enak, Mas mau coba?"Nada pun memberikannya pada Tama, semakin membuat pria itu menatap buah mangga muda itu dengan horor."Sepertinya, tidak.""Yah, padahal enak banget ini," Nada pun kembali memakannya, tak ada kata asam sama sekali.Hingga membuat Tama kian semakin penasaran saja."Apa benar enak?""Cobain dong Mas."Tama pun sejenak mempertimbangkan apa yang diminta oleh Nada.Kemudian perlahan mengambil satu potong dan mencobanya.Rasanya benar-benar tidak bisa di mengerti, karena terlalu asam.Bagaimana bisa Nada memakannya dengan begitu nikmat, bahkan sampai tak bisa berhenti.Apakah lidah ibu hamil itu berbeda dari lidah orang lainnya."Enakan Mas, ayo makan. Makan bareng itu enak, kata orang-orang kalau kemauan seorang ibu hamil tidak dituruti anaknya bisa ileran," jelas Nada
Malam yang semakin larut membuat tidur Nada semakin terasa hangat saja, mungkin karena tidur di pelukan hangat Tama.Apa lagi hujan yang kian semakin deras, seakan pelukan hangat sangatlah memberikan kenyamanan yang luar biasa.Hingga akhirnya suara petir yang menggelegar membuat tidur Nada terusik, bahkan sampai terbangun dari mimpi indahnya.Nada pun melihat sekiranya, Kinanti yang tidur di sampingnya. Sedangkan Ayahnya tidur di ranjang yang sudah di sediakan untuk keluarga pasien yang berjaga."Nada, kamu terkejut?" tanya Kinanti.Nada pun mengangguk kemudian tersadar jika dirinya hanya sedang mimpi tidur di pelukan Tama.Membuatnya mengusap wajah dengan perasaan yang membingungkan."Kamu kenapa?" tanya Kinanti lagi yang menyadari keanehan putrinya.Nada pun kembali membaringkan tubuhnya di samping Kinanti.Pikirannya masih saja tertuju pada Tama.Rasa rindu ini begitu terasa, sayangnya tak dapat dilepaskan dengan sedikit saja pelukan hangat Tama.Sejenak Nada terdiam mempertimbang
Siapa bilang Nada baik-baik saja saat Tama berpamitan untuk pergi, karena pada kenyataannya dirinya merasa dadanya begitu sesak.Padahal sebenarnya itu tak boleh terjadi, karena bagaimana pun Tama bukan siapa-siapa lagi di hidupnya.Tama bebas pergi kemana saja, bahkan pergi dengan siapa saja. Tanpa harus berpamitan padanya.Sungguh Nada sangat tidak memiliki hak apapun terhadap Tama.Namun, pada kenyataannya dadanya tetap saja berdenyut nyeri karena tidak ingin berjauhan dengan Tama.Mengapa bisa demikian, bukankah ini adalah keputusan yang sudah diambilnya.Mengalah masih ada ketahuan yang tampak begitu menolehkan luka begitu dalam."Nada?" Sarah pun melambaikan tangan di depan wajah Nada, karena tidak mendengar dirinya yang sudah memanggil sejak membuka pintu barusan.Membuatnya yakin jika Nada sedang berada di alam lainya, apa lagi jika bukan alam lamunanya sendiri.Benarkah demikian?"Eh," akhirnya Nada terkejut juga saat melihat Sarah sudah berada di hadapannya, "kamu kebiasaan
Malam ini Tama memegang ponselnya, berniat untuk menghubungi Nada dan ingin bertanya akan keadaannya.Namun, lagi-lagi Tama mengurungkan niatnya karena tidak ingin Nada terganggu dengan dirinya.Hingga akhirnya Tama pun terdiam sambil bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Nada sudah melihat setangkai bunga mawar merah dan juga sekotak coklat.Tama takut untuk memberikannya secara langsung, sebab dirinya takut jika Nada menolaknya mentah-mentah.Saat ini Tama takut jika saja Nada melempar bunga itu ke tempat sampah.Perasaan was-was pun bercampur penasaran begitu terasa."Huuuufff," akhirnya Tama hanya bisa menarik napas dengan beratnya.Karena tak juga menemukan solusi dari setiap sesuatu yang kini tengah menjadi beban di benaknya."Mungkin aku hubungi saja," kata Tama dan merasa itu adalah ide paling baik, "bagaimana pun juga dia sedang mengandung anak ku," Tama pun kembali menatap layar ponselnya, karena ingin menghubungi Nada."Tapi, waktu Indonesia ini sudah sangat larut malam. Aku
Setelah memastikan Nada baik-baik saja dan sedang tak membutuhkan bantuan, Adam dan Kinanti pun sejenak menuju kamar mereka.Semetara Nada hanya diam duduk ranjangnya, sesaat kemudian ponselnya pun berdering.Rasa bahagia pun begitu terasa, karena merasa yang menghubunginya adalah Tama.Namun, ternyata bukan. Sebab, tertulis nama Sarah di sana.Huuuufff.Apa yang di harapkan oleh Nada, bukankah dirinya yang sudah tegas menolak untuk tidak kembali pada Tama?Ayolah Nada jangan labil dan tidak mengakui semua itu, jika masih ingin bersama mengapa harus saling menyiksa diri.Ini sungguh sangat memalukan, karena terlalu munafik mengakui bahwa dirinya tak sanggup berjauhan dengan Tama.Pada kenyataannya bibir tak sesuai dengan perasaan yang tersimpan, karena jauh di lubuk hati yang paling dalam masih jelas terukir indah nama Tama serta kenangan indah saat bersama.Bersama memang lebih banyak menyimpan luka dari pada bahagia, namun percayalah bahwa dirinya juga tak dapat melupakan kebahagiaa
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada