Siapa bilang Nada baik-baik saja saat Tama berpamitan untuk pergi, karena pada kenyataannya dirinya merasa dadanya begitu sesak.Padahal sebenarnya itu tak boleh terjadi, karena bagaimana pun Tama bukan siapa-siapa lagi di hidupnya.Tama bebas pergi kemana saja, bahkan pergi dengan siapa saja. Tanpa harus berpamitan padanya.Sungguh Nada sangat tidak memiliki hak apapun terhadap Tama.Namun, pada kenyataannya dadanya tetap saja berdenyut nyeri karena tidak ingin berjauhan dengan Tama.Mengapa bisa demikian, bukankah ini adalah keputusan yang sudah diambilnya.Mengalah masih ada ketahuan yang tampak begitu menolehkan luka begitu dalam."Nada?" Sarah pun melambaikan tangan di depan wajah Nada, karena tidak mendengar dirinya yang sudah memanggil sejak membuka pintu barusan.Membuatnya yakin jika Nada sedang berada di alam lainya, apa lagi jika bukan alam lamunanya sendiri.Benarkah demikian?"Eh," akhirnya Nada terkejut juga saat melihat Sarah sudah berada di hadapannya, "kamu kebiasaan
Malam ini Tama memegang ponselnya, berniat untuk menghubungi Nada dan ingin bertanya akan keadaannya.Namun, lagi-lagi Tama mengurungkan niatnya karena tidak ingin Nada terganggu dengan dirinya.Hingga akhirnya Tama pun terdiam sambil bertanya-tanya dalam hatinya, apakah Nada sudah melihat setangkai bunga mawar merah dan juga sekotak coklat.Tama takut untuk memberikannya secara langsung, sebab dirinya takut jika Nada menolaknya mentah-mentah.Saat ini Tama takut jika saja Nada melempar bunga itu ke tempat sampah.Perasaan was-was pun bercampur penasaran begitu terasa."Huuuufff," akhirnya Tama hanya bisa menarik napas dengan beratnya.Karena tak juga menemukan solusi dari setiap sesuatu yang kini tengah menjadi beban di benaknya."Mungkin aku hubungi saja," kata Tama dan merasa itu adalah ide paling baik, "bagaimana pun juga dia sedang mengandung anak ku," Tama pun kembali menatap layar ponselnya, karena ingin menghubungi Nada."Tapi, waktu Indonesia ini sudah sangat larut malam. Aku
Setelah memastikan Nada baik-baik saja dan sedang tak membutuhkan bantuan, Adam dan Kinanti pun sejenak menuju kamar mereka.Semetara Nada hanya diam duduk ranjangnya, sesaat kemudian ponselnya pun berdering.Rasa bahagia pun begitu terasa, karena merasa yang menghubunginya adalah Tama.Namun, ternyata bukan. Sebab, tertulis nama Sarah di sana.Huuuufff.Apa yang di harapkan oleh Nada, bukankah dirinya yang sudah tegas menolak untuk tidak kembali pada Tama?Ayolah Nada jangan labil dan tidak mengakui semua itu, jika masih ingin bersama mengapa harus saling menyiksa diri.Ini sungguh sangat memalukan, karena terlalu munafik mengakui bahwa dirinya tak sanggup berjauhan dengan Tama.Pada kenyataannya bibir tak sesuai dengan perasaan yang tersimpan, karena jauh di lubuk hati yang paling dalam masih jelas terukir indah nama Tama serta kenangan indah saat bersama.Bersama memang lebih banyak menyimpan luka dari pada bahagia, namun percayalah bahwa dirinya juga tak dapat melupakan kebahagiaa
8 hari berlalu.Artinya selama itu pula Nada dan juga Tama tidak bertemu, sebenarnya Nada berharap jika di hari ke tujuh akan bertemu dengan Tama seperti apa yang dikatakan oleh Tama padanya sebelum berangkat ke luar negeri.Namun sampai hari ini pun Tama belum juga menemuinya, apakah Tama belum kembali juga.Atau mungkin sudah kembali tapi tidak menemuinya.Lagi-lagi Nada menatap layar ponselnya, di mana ada gambar janinnya di sana..Mengapa Nada menjadikan gambar janinnya hasil USG menjadi layar ponselnya, karena, itu adalah hasil dari cintanya terhadap Tama.Sesuatu yang terus saja membuatnya terjebak dalam perasaan yang teramat sangat mencintai Tama.Nada ingin menjalani semuanya dengan baik, karena berusaha melupakan pun hanya membuatnya menderita saja.Jadi jika pun melupakan biar terlupakan dengan sendirinya tanpa menyiksa diri dengan melupakan secara paksa."Hay," Sarah pun membawa mineral untuk Nada yang duduk di kursi taman.Mulai kemarin keduanya sudah kembali ke kampus, ka
"Gimana kuliahnya? Aman? Apa banyak tugas?""Lumayan Mas.""Mas, bisa bantu untuk menyelesaikan tugasnya.""Benarkah? Kita beda jurusan Mas," kata Nada sambil terkekeh."Iya juga ya, paling nggak Mas bisa bantu lewat doa," seloroh Tama."Hehe, Mas bisa aja," Nada pun terkekeh mendengar apa yang dikatakan oleh Tama barusan, "kayaknya Mas punya bakat dalam melawak.""Sedikit," Tama membenarkan apa yang dikatakan oleh Nada.Jika dirinya sendiri dianggap bisa melawak maka tidak bagi Tama, Nada yang jauh berbeda dari yang dulunya.Dalam hati Tama ingin sekali melihat Nada yang seperti dulu, cerewet, centil dan manja. Walaupun terkesan lebay tapi Tama menyukai gaya Nada yang manja saat bersama dengan dirinya.Tapi sayangnya itu semua hanyalah mimpi saja, sebab sepertinya Nada tidak akan bisa kembali seperti itu.Apa lagi Tama pun tak memiliki hak untuk mengatur Nada.***Hari-hari terus berlalu hari berganti hari, bulan berganti bulan, hari ini usia kandungan Nada genap 7 bulan.Sedangkan
Hari ini seperti janji kemarin hari, Nada dan Tama sibuk membeli peralatan bayi di salah satu mall.Seperti biasanya, Sarah juga ikut serta dalam berbelanja.Itulah keinginan Nada sendiri sebab tak ingin berduaan saja dengan Tama."Ya ampun ini gemes banget sih bajunya," Sarah melihat sebuah baju yang teramat lucu, membuatnya tersenyum bahagia."Baju apa itu?" tanya Nada melihat baju aneh yang di sukai oleh Sarah."Baguskan?" tanya Sarah penuh percaya diri."Itu baju badut Sarah, emang anak aku mau kamu jadikan badut setelah lahir?""Ini gemes tau, aku suka. Pokoknya aku mau ambil yang ini," dengan segera Sarah memasukan ke dalam barang belanjaan lainnya.Tidak perduli saat Nada menatapnya kesal."Suka-suka akulah, kan keponakan aku!" gerutu Sarah kemudian kembali melihat yang lainnya.Hingga dia menemukan baju renang yang tak kalah menggemaskan."Ya ampun, ini baju berenang. Dia bisa jadi mermaid ini," ujar Sarah dengan matanya yang berbinar.Semetara Nada hanya geleng-geleng kepala
"Dasar wanita itu, otaknya memang sudah miring!" umpat Nada.Hingga tiba-tiba saja ada anak kecil yang berlari pada Nada dan mendorongnya."Aaaa!" teriak Nada.Hampir saja Nada terjungkal ke belakang, tapi beruntung ada Tama yang berdiri di belakang Nada.Sehingga tubuh Nada di topang dengan cepat."Huuuufff," napas Nada begitu ngos-ngosan karena hampir saja dirinya terjatuh, bayangkan saja jika itu terjadi.Nada memang sedang tidak fokus karena kesal pada Sarah, hingga membuatnya demikian."Maaf ya Mbak, anak saya kalau ngambek begitu. Mbaknya baik-baik saja?" tanya Ibu dari anak itu merasa tidak enak hati, di tambah lagi anaknya menyenggol wanita hamil.Nada pun mengangguk dan bagaimana pun itu hanya anak kecil."Sekali lagi maaf Mbak, saya permisi.""Mas, tolong lepaskan aku," kata Nada karena Tama masih saja memegangnya."Maaf," kata Tama dengan tidak enak hati."Aku yang ucapin makasih.""Ya ampun, ada apa dengan dua orang ini? Aku nggak ngerti," umpat Sarah.Karena lagi-lagi tam
"Diva kenapa?""Nada, sakit banget. Tolong telpon Mas Kenan ya. Dia baru aja pergi ke kantor katanya."Nada yang baru saja sampai di rumah dan hendak menuju kamarnya. Tetapi, saat melewati kamar Diva yang tak jauh dari kamarnya malah melihat Kakak iparnya itu seperti menahan sakit."Bunda!" seru Nada dengan suara yang cukup nyaring agar terdengar oleh Kinanti.Benar saja dengan cepat Kinanti pun berlari menuju asal suara, dan yang dia takutkan terjadi sesuatu pada Nada.Sebab, yang berteriak adalah Nada. Lagi pula yang paling banyak menyimpan masalah adalah Nada juga.Namun, sesampainya di sana Kinanti melihat Nada baik-baik saja, hanya saja Diva yang terlihat menahan sakit."Diva kenapa?" "Sakit Bunda," kata Diva dengan suaranya yang hampir menghilang.Setelah itu Diva pun jatuh pingsan di sana, beruntung ada Nada dan Kinanti yang menahan tubuh Diva."Diva, bangun!" "Tolong!" teriak Kinanti.Sesaat kemudian Adam pun muncul karena mendengar teriakan Kinanti.Namun malah melihat Diva
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada