Setelah mengantarkan Nada pulang, Tama pun segera menuju cafe tempat dirinya dan Fikri membuat janji bertemu.Ada sebuah pekerjaan yang harus mereka bicarakan, seharusnya siang tadi. Tetapi, Tama membatalkan sepihak karena memilih bersama dengan Nada selama seharian ini."Lama sekali, lagi-lagi kau membuat Fikri Agatha Sanjaya menunggu!" Kata Fikri dengan wajah datarnya.Menemui Tama begitu sulit, beruntung Tama adalah seseorang yang cukup berjasa dalam perjalanan cintanya dengan Mentari.Sehingga, Fikri merasa memiliki hutang budi pada Tama.Pria duda yang selalu berganti-ganti wanita itu, bahkan sangat suka bermain dengan siapa saja."Maaf," Tama juga merasa tidak enak, namun bagaimana lagi.Sebab, Nada memang sangat berarti di hatinya saat ini dan selamanya."Wanita dan pekerjaan tidak ada hubungannya, cobalah untuk membaginya!" Terang Fikri, menebak Tama hari ini membatalkan rapat pasti untuk seorang wanita.Wanita dan entah seperti apa lagi wanita kali ini, sebab Fikri sudah terl
Keesokan harinya Nada pun sudah dengan pakaian rapinya, sebuah kemeja dan juga rok span yang cukup menambah kecantikannya semakin terpancar saja.Hari ini Nada ke sekolah bersama dengan Mira, namun seperti biasanya pula yang menjemputnya adalah Tama.Setelah menerima pesan, Nada pun langsung keluar dari rumah, kemudian melihat mobil Tama yang sudah terparkir di luar sana.Dengan tas kecil di tangannya Nada pun memasuki mobil Tama.Pagi yang cerah semakin membuat suasana kian cerah pula."Apa kabar sayang?" Tanya Tama."Baik Om," Nada pun tersenyum, wajahnya benar-benar berbinar dengan sempurna.Jatuh cinta membuatnya lupa dan berubah seketika, bahkan Nada sudah benar-benar tidak bisa kehilangan Tama."Ya ampun, calon istri ku cantik sekali," Tama semakin tidak bisa beralih pada yang lain, sungguh mencintai Nada adalah sebuah kebahagiaan yang tidak terkira."Emang dari kemarin-kemarin Nada nggak cantik?""Cantik, kamu selalu cantik," Tama pun mengelus kepala Nada dengan penuh kasih say
Sepulang dari sekolah kini Nada berada di kediaman Mira, sedang makan siang bersama.Semuanya tampak biasa saja, tanpa ada yang berbicara sama sekali."Kamu tidak ingin berenang?" Tanya Mira.Sebab, biasanya Nada akan selalu meminta ijin untuk berenang sepulang dari sekolah.Mungkin juga sudah cukup lama Nada tidak berenang.Apa lagi Mira tidak tahu mengapa Nada tak pernah datang ke rumahnya selama Tama berada di luar negeri.Tanpa diketahuinya jika bocah itu sempat dilanda kegalauan tingkat tinggi akibat rasa cemburu yang luar biasa."Lagi nggak pengen Ma, Nada lagi mager," jawab. sambil mengunyah makanannya."Begitu," Mira pun mengangguk mengerti."Tama ke kantor dulu ya Ma," Tama pun meneguk mineral, kemudian bangkit dari duduknya."Iya, tapi Nada belum boleh pulang. Mama sendirian di rumah, nggak punya temen," kata Mira."Ya Ma, Nada pulangnya setelah Om Tama pulang," jawab Nada.Tapi apa yang dikatakan oleh Nada malah membuat Mira tertawa."Om? Ahahahhaha......" Tawa Mira benar-
Hingga akhirnya napas Nada pun kembali normal, setelah yakin dengan pakaiannya yang sudah rapi segera Nada menuju kamar Mira yang memang hanya berada di lantai dasar.Tidak terlalu jauh melangkah menuju kamar Mira, hingga kini sudah berdiri di depan pintu kamar.Nada pun mengangkat tangannya dan mengetuk pintu.Tok tok tok.Pintu yang setengah terbuka tidak lantas membuat Nada masuk tanpa ijin, sebab bagaimana pun juga dirinya hanya orang asing di rumah tersebut.Lagi pula Nada sudah diajarkan kesopanan oleh kedua orang tuanya semenjak kecil.Sementara Mira tampak tersenyum saat melihat Nada di sana."Masuk sayang."Nada pun mengangguk kemudian masuk, sesuai dengan perintah Mira."Ada apa Tante?""Duduk," Mira pun menepuk ranjang kosong di sampingnya.Hingga akhirnya Nada pun duduk di sana, menantikan sesuatu yang akan dikatakan oleh Mira nantinya."Tante mau mengucapkan terima kasih," Mira memegang kedua tangan Nada, tampak hanya ada tatapan ketulusan yang terpancar dari matanya.Mem
Kini Nada duduk di gazebo kayu yang terletak di bagian belakang rumah benar milik keluarga besar Tama, tepatnya masih berada di kediaman Mira.Matanya terus saja memandangi cincin berlian yang melingkar di tangannya.Nada merasa itu mungkin sedikit berlebihan, tetapi Nada pun tidak enak untuk menolaknya.Melihat wajah Mira begitu tulus padanya, bahkan Nada takut Mira tersinggung jika terus bersikeras untuk menolak pemberian Mira.Sampai akhirnya tiba-tiba saja Tama muncul kembali di hadapannya.Wajah Nada pun kembali memerah, belum juga Tama berbicara karena Nada mengingat peristiwa siang tadi.Seharusnya Nada langsung pulang saja, mengapa masih di sana duduk dengan berdiam diri.Bahkan hari padahal sudah sore, lihatlah sekarang dirinya mendadak tidak memiliki muka di hadapan Tama.Padahal selama ini Nada tidak pernah perduli akan hal demikian, apa lagi untuk memikirkan orang lain, sangatlah tidak penting baginya.Lagi-lagi kini dan sebelumnya berbeda, jika dulu Tama hanya orang lain m
"Makasih ya Om, udah nganterin Nada pulang."Dulu dan kini benar-benar sudah berbeda, Nada dan Tama kini sudah terikat dalam sebuah jalinan cinta yang begitu luar biasa.Hingga saat ini keduanya sudah berada di depan kediaman Nada seperti apa yang diketahui oleh Tama.Tanpa tahu jika di tempat ini Nada hanya menumpang untuk sementara waktu saja."Aku juga mau turun, menemui orang tua mu. Untuk meminta restu," jawab Tama.Sebab beberapa saat yang lalu kepalanya sudah dibenturkan oleh Mira pada dinding.Karena apa?Karena sudah membuat tanda merah pada tengkuk Nada, sehingga dirinya dianggap sebagai seorang tersangka yang harus bertanggung jawab pada Nada.Bahkan Mira juga menuduhnya melakukan pelecehan, padahal sudah jelas Nada pun menerima tanpa menolak sama sekali.Tetapi bagaimana lagi, karena di mata Mira Nada sama sekali tidak bersalah.Karena di sini dirinya yang sudah dewasa dan dianggap sepantasnya membuat Nada menjadi lebih baik, bukan malah sebaliknya.Tidak masalah, lagi pula
Akhirnya Nada pun membulatkan tekat untuk menemui kedua orang tuanya, bahkan mengatakan bahwa dirinya ingin segera menikah.Bagaimana tanggapan kedua orang tuanya saat mendengar keinginan putrinya itu? Terutama Adam.Pagi ini Adam yang tengah duduk bersantai di ruang keluar dengan televisi yang menyala, tak lupa menikmati secangkir kopi buatan istri tercintanya.Begitu bahagia saat Nada kembali ke rumah dan langsung memeluk dirinya, hanya saja apa yang dikatakan oleh putrinya itu yang sedikit lucu."Ayah, Nada serius!" Nada pun kesal dan memilih untuk meneguk kopi milik Adam."Iya," Adam pun terkekeh melihat raut wajah putrinya.Tangannya merangkul pundak putri kesayangannya yang kini duduk di sampingnya dengan penuh kasih sayang."Ada apa ini?" Tanya Kinanti yang baru saja bergabung dengan Adam, tetapi bibirnya mendadak tersenyum melihat Nada yang duduk di samping Adam.Tetapi raut wajah anaknya itu terlihat tidak baik-baik saja."Anak mu ini meminta dinikahkan Bunda," kata Adam sambi
Siang harinya Kinanti pun kembali memasuki kamar putrinya, sebab ini sudah waktunya makan siang.Bahkan ada banyak masakan istimewa untuk menyambut kepulangan Nada."Sayang, bangun. Bunda, udah masak. Dan, semuanya masakan kesukaan kamu," kata Kinanti sambil menarik selimut yang menutupi putrinya tersebut.Sementara Nada langsung saja duduk, perutnya memang sudah keroncongan karena dari pagi tadi belum masuk sesuap nasi pun.Tapi tunggu dulu, bukankah saat ini Nada sedang dalam masa kemarahan.Benar sekali.Untuk semuanya butuh perjuangan? Dan, Nada ingin dihargai.Apa yang dikatanya tidak main-main, baiklah melanjutkan kembali kemarahan pagi tadi demi masa depan yang bahagia bersama sang pujaan hatinya."Nada, Bunda udah masak lho.""Nggak mau. Nada, nggak lapar!"Bersamaan dengan itu perut Nada pun berbunyi, bahkan begitu nyaringnya hingga terdengar di telinga Kinanti.Membuat ibu tiga orang anak itupun menahan tawa."Benarkah?" Kinanti semakin bersemangat untuk membuat anaknya seger
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada