Dua hari pun berlalu, seakan semuanya begitu lambat berjalan.Nada merasa ada yang berbeda, semenjak dua hari tak bertemu dengan Tama rasanya ada yang kurang.Tak ada lagi orang yang membuatnya kesal, hingga ingin sekali untuk bertemu kembali.Entah apa yang terjadi pada bocah itu, hingga hari-harinya juga seakan tak lagi berwarna semenjak itu.Nada pun menatap layar ponselnya, apa yang diharapkan oleh Nada?Tama menghubungi dirinya, tapi tidak. Dan membuatnya semakin lesu, hingga akhirnya pucuk di cinta ulan pun tiba.Ponsel Nada pun bergetar dan tertulis nama Tama di sana.Nada pun menggosok kedua matanya, memastikan tidak salah dalam membaca.Setelah itu barulah menjawab panggilan tersebut."Halo Om," jawab Nada dengan senyum yang berbinar, tetapi sungguh dirinya sangat merindukan Tama.Duda lapuk yang biasanya membuatnya terus saja kesal.Tama hanya diam saja, mendengar suara Nada sungguh membuatnya lebih baik.Namun bagaimana dengan Nada? Kesal.Tentu, sebab Tama hanya diam saja
Satu minggu pun sudah berlalu, artinya selama itu pula tidak ada komunikasi antara Nada dan juga Tama.Apakah Nada baik-baik saja? Tentu saja tidak, semuanya benar-benar begitu sulit untuk dimengerti oleh pikirannya.Rasa rindu itu bahkan semakin menjadi-jadi hingga benar-benar merusak suasana hati.Begitu juga dengan Sarah yang menjadi saksi saat-saat Nada melalui setiap harinya tanpa Tama."Nada, makan nasi goreng yuk. Aku laper nih.""Aku lagi males banget deh, serius," tolak Nada."Kamu belum makan dari pagi.""Iya sih, tapi aku nggak laper. Gimana dong?""Aku aja yang beli nasi gorengnya, kamu tunggu di sini. Nanti, kita makan sama-sama di rumah, gimana?" Sarah pun memberikan sebuah ide yang diangguki oleh Nada."Setuju deh.""Ya udah, aku naik motor aja biar lebih cepat. Kalau ibu pulang bilangin aku nggak lama.""Siip!"Nada pun duduk sendirian di teras, sambil menunggu Sarah kembali.Menikmati malam ini yang begitu menyedihkan, hari-hari yang berlalu tanpa Tama dan itu sangatl
Tama tidak tahu lagi harus berbicara seperti apa pada Nada.Semua yang keluar dari mulutnya hanya membuat amarah Nada semakin meninggi saja, dirinya benar-benar putus asa."Nada, aku sangat merindukanmu. Apa kau mengerti?" "Nggak! Bohong! Buktinya kau membeli ku dengan uang dan semua barang mahal itu, aku tidak butuh! Kalau cinta ya cinta saja, tidak usah membeli ku dengan benda dan uang!" "Membeli?" Tama terperangah mendengar apa yang dikatakan oleh Nada.Hingga akhirnya Nada pun berbalik badan dan langsung mendongkak menatap Tama penuh kemarahan."Ya sudah, mana semua barang-barang tadi. Berikan pada ku, kemudian tiduri aku seperti wanita yang kau temui di club'malam itu!""Nada!" Tama pun meninggikan nada bicaranya, sungguh apa yang dikatakan oleh Nada begitu membuat amarahnya membuncah.Bagaimana bisa wanita itu berpikir demikian, apakah tidak tampak cinta di matanya.Nada pun meneguk saliva, masih dengan amarahnya meskipun matanya mulai berkaca-kaca karena bentakan keras Tama b
Semuanya seakan begitu indah, bahkan sekelilingnya seakan dipenuhi dengan taburan bunga mawar merah seakan kian menambah kesan bahagia.Dan Sarah menyadari itu, matanya melihat sendiri saat Nada senyum-senyum sendiri seperti orang gila di pagi hari ini.Bahkan mengunyah sarapan dengan senyuman, membuat Sarah pun berinisiatif untuk mengerjai Nada.Menaburkan bubuk capai pada sarapan Nada, hingga akhirnya ter-batuk-batuk.Uhuk-uhuk.Nada pun cepat-cepat meneguk mineral, hingga membuatnya lebih baik.Sementara Sarah malah tertawa dengan terbahak-bahak melihat wajah Nada."Ahahahhaha......." Sarah sampai mengetuk meja, sebab akhirnya Nada bisa tersadar dari lamunanya.Hingga mata Nada pun melihat bubuk cabai di tangan Sarah.Kemudian melihat sarapannya dan menebak Sarah yang menambahkan bubuk cabai pada sarapannya."Kamu sengaja masukin bubuk cabai?" Mata Nada pun mengarah tajam pada Sarah, ingin rasanya mengunyah Sarah hidup-hidup detik ini juga."Ahahahhaha, iya." Sarah mengakuinya, bah
"Eeeee, hihi.....Maaf Om. Kelepasan," Nada pun menutup mulutnya dengan kedua tangannya.Rasanya sangat malu sekali saat tiba-tiba bersendawa setelah kekenyangan.Puas berbelanja Tama pun mengajaknya untuk makan terlebih dahulu, sebab Tama memang belum sarapan pagi sama sekali.Sedangkan Nada tentunya setuju saja, sampai akhirnya makan dengan lahapnya.Sementara Tama hanya tersenyum melihat kelakuan konyol Nada.Wanita yang memang bertingkah aneh dan membuatnya merasa nyaman.Di saat wanita di luar sana menunjukan sesuatu yang paling bagus dari dirinya, namun tidak dengan Nada yang malah bertingkah layaknya seperti anak kecil yang apa adanya.Dan jangan lupa panggilan Nada barusan, Om? Sungguh sangat lucu sekali.Tapi bagaimana lagi, sebab Tama pun mengerti akan Nada yang mungkin sudah terlanjur nyaman dengan panggilan tersebut.Meskipun demikian tetap saja perlahan harus di arahkan dengan baik, sebab Tama tak ingin orang lain menganggapnya membawa keponakannya sendiri."Om, Nada ke to
Kali ini Nada tidak marah saat Tama mengetuk kepalanya, melainkan tersenyum dan merasa malu."Nada salah ya, Om?"Tama hanya bisa diam saat Nada bertanya demikian, jika pun salah mungkin di mata seorang Tama Nada adalah wanita yang paling benar.Bahkan tidak boleh ada yang menyalahkan wanitanya tersebut diluar sana.Jika pun ada yang menyalahkan wanitanya itu tidak lain hanya dirinya sendiri saja yang berhak, namun tidak.Nada terlalu bersinar di matanya, melekat di hatinya dan begitu hangat didekapnya."Enggak sayang," Tama pun tersenyum, tetapi sesaat kemudian merasa ada yang aneh, "ini aroma apa?""Hihihi, Om! Nada, malu!""Hehe, dasar konyol!" Tama juga hanya tertawa melihat kekonyolan Nada."Wangi nasi goreng ini Om, enak kok," kata Nada di selingi tawa yang menggelegar."Dasar bocah tengil!" Tama pun lagi-lagi mengetuk kepala Nada, kelakuan wanita itu selalu saja aneh tanpa ada yang bisa menandinginya.Tapi bukankah mencintai itu adalah saat kita mampu menerima segala kekurangan
Setelah mengantarkan Nada pulang, Tama pun segera menuju cafe tempat dirinya dan Fikri membuat janji bertemu.Ada sebuah pekerjaan yang harus mereka bicarakan, seharusnya siang tadi. Tetapi, Tama membatalkan sepihak karena memilih bersama dengan Nada selama seharian ini."Lama sekali, lagi-lagi kau membuat Fikri Agatha Sanjaya menunggu!" Kata Fikri dengan wajah datarnya.Menemui Tama begitu sulit, beruntung Tama adalah seseorang yang cukup berjasa dalam perjalanan cintanya dengan Mentari.Sehingga, Fikri merasa memiliki hutang budi pada Tama.Pria duda yang selalu berganti-ganti wanita itu, bahkan sangat suka bermain dengan siapa saja."Maaf," Tama juga merasa tidak enak, namun bagaimana lagi.Sebab, Nada memang sangat berarti di hatinya saat ini dan selamanya."Wanita dan pekerjaan tidak ada hubungannya, cobalah untuk membaginya!" Terang Fikri, menebak Tama hari ini membatalkan rapat pasti untuk seorang wanita.Wanita dan entah seperti apa lagi wanita kali ini, sebab Fikri sudah terl
Keesokan harinya Nada pun sudah dengan pakaian rapinya, sebuah kemeja dan juga rok span yang cukup menambah kecantikannya semakin terpancar saja.Hari ini Nada ke sekolah bersama dengan Mira, namun seperti biasanya pula yang menjemputnya adalah Tama.Setelah menerima pesan, Nada pun langsung keluar dari rumah, kemudian melihat mobil Tama yang sudah terparkir di luar sana.Dengan tas kecil di tangannya Nada pun memasuki mobil Tama.Pagi yang cerah semakin membuat suasana kian cerah pula."Apa kabar sayang?" Tanya Tama."Baik Om," Nada pun tersenyum, wajahnya benar-benar berbinar dengan sempurna.Jatuh cinta membuatnya lupa dan berubah seketika, bahkan Nada sudah benar-benar tidak bisa kehilangan Tama."Ya ampun, calon istri ku cantik sekali," Tama semakin tidak bisa beralih pada yang lain, sungguh mencintai Nada adalah sebuah kebahagiaan yang tidak terkira."Emang dari kemarin-kemarin Nada nggak cantik?""Cantik, kamu selalu cantik," Tama pun mengelus kepala Nada dengan penuh kasih say
Hay semuanya.Semoga kita semua selalu ada dalam lindungan sang pencipta.Saya ucapkan terima kasih kepada semua para pembaca setia saya, dimana kalian sudah mengikuti cerita ini sampai selesai.Sedikit bercerita tentang buku ini.Saya tidak pernah menyangka bahwa novel ini bisa mendapatkan banyak pembaca.Menurut saya pribadi, pembaca sampai 3M itu tidak sedikit dan tidak semua orang bisa mendapatkannya.Di buku ini banyak kekurangannya, mulai dari tulisan dan juga mungkin isi yang kurang berkenan di hati pembaca setia saya ucapkan maaf kepada kalian semua.Namun, saya juga ingin mengatakan bahwa, saya bukan seorang penulis hebat.Saya pun tidak pernah hobi dalam menulis, begitu juga dengan membaca.Kedua hal ini sangat saya hindari sejak dulu.Tetapi, mendadak hati saya tertantang karena pernah membaca novel yang menurut saya tidak masuk akal.Hingga saya pun memutuskan untuk menuliskan sebuah buku.Dari sana saya mulai berpikir bahwa menulis tidak seburuk dan melelahkan seperti yan
Kinanti berdiri di balkon kamarnya, malam terasa semakin dingin. Namun, matanya engan terpejam, bayang-bayang luka penuh dengan nestapa membuatnya kembali pada masa lalu yang sudah lama terkubur dalam.Kejadian itu yang menyeretnya masuk pada kehidupan Adam, keinginan ingin pergi jauh dan melupakan apa yang terlah terjadi justru semua tidak sesuai dengan harapan.Nyatanya, semakin mencoba untuk menjauh, semakin banyak pula rintangan yang dia lalui.Hingga, akhirnya benar-benar tak bisa lepas dari jerat Adam.Semuanya tak sampai dengan baik-baik saja, nyatanya luka berbalut air mata begitu menusuknya hingga seperti tidak tahu lagi harus berbuat apa.Karena, kenyataan terus saja memaksa, meskipun luka yang tertusuk sudah tak mampu lagi untuk di tahan."Sayang."Kehadiran Adam membuat Kinanti pun tersadar dari lamunanya.Lamunan yang membuatnya hanyut dalam masa lalu untuk sejenak saja.Sejenak namun cukup membuat dirinya merasa kembali pada masa lalu itu."Mas, udah pulang?""Udah, dari
Bulir-bulir air mata pun jatuh dari pelupuk mata, Mentari begitu terharu saat dokter mengatakan dirinya tengah berbadan dua.Bahkan kehamilannya sudah memasuki 6 Minggu.Selama ini sering kali merasa tidak nyaman pada bagian perutnya, tapi Mentari memilih tidak perduli.Hingga akhirnya jatuh pingsan saat sedang memeriksa pasiennya.Bertapa dirinya begitu terkejut bercampur bahagia karena mendengarkan hasil pemeriksaan dokter.Di saat beneran bulan yang lalu program kehamilan yang telah di jalaninya gagal, membuat harapannya seakan berakhir pula dengan putus asa."Sayang, kamu baik-baik saja?"Fikri yang baru saja sampai di buat bingung karena melihat tingkah istrinya.Dirinya sengaja meninggalkan rapat karena mengetahui keadaan Mentari yang sempat tidak sadarkan diri."Abang, Tari hamil," Mentari langsung menghambur memeluk suaminya.Rasanya sungguh sangat luar biasa dan membuat bahagia tanpa bisa di tutupi sama sekali.Begitu pun juga dengan Fikri yang begitu terkejut mendengarnya."
"Tidak usah terbebani dengan yang saya katakan, ya sudahlah. Karena, kalian pun sudah menikah dan Mami minta hadiah aja dari kalian. Cepat berikan Mami cucu ya," ujar Zahra.Membuat Sarah terkejut mendengarnya, sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya tentang semua itu.Bahkan Zahra sendiri yang meminta padanya, Zahra menyadari keterkejutan yang dirasakan oleh Sarah.Tapi Zahra tidak perduli sama sekali, karena menantunya dan juga anaknya harus meminta maaf padanya."Kalian berdua harus berjuang keras untuk cucu, kalau tidak Mami pingsan lagi."Mata Sarah pun melebar mendengarnya, sungguh ini adalah sesuatu yang teramat sangat tidak pernah terlintas di benaknya."Tante, jangan pingsan lagi. Saya akan merasa bersalah nanti," kata Sarah dengan panik."Tante?"Zahra pun bertanya karena kesal Sarah memanggilnya dengan sebutan --Tante--Sarah yang terlalu panik, kini bercampur bingung hanya bisa diam karena tidak mengerti."Mami! Kamu panggil saya, Mami. Seperti suami mu!" Tegas Zahra.
Sarah pun melihat Dava dengan wajah cemas, perasaannya masih saja tidak tenang karena memikirkan keadaan Zahra.Merasa bersalah karena membuat Zahra sampai jatuh pingsan, bahkan kedua tangannya saling meremas.Bertambah lagi keringat dingin yang terus saja membanjiri tubuhnya."Mami, mau ketemu sama kamu."Dava pun memegang tangan Sarah, berniat untuk pergi bersama dengan dirinya menunju kamar kedua orang tuanya.Dimana Zahra sudah menunggu di sana, sungguh Sarah sangat tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini.Rasa bersalah terlalu besar di hatinya, hingga dirinya menjadi demikian."Kenapa?" Dava pun mengurungkan langkah kakinya saat akan melangkah.Karena, Sarah yang hanya tampak diam. Sepertinya tidak ingin untuk ikut dengan dirinya."Pak Dava, aku pulang aja, ya," kata Sarah dengan ragu."Kenapa? Mami, mau bertemu dengan kamu.""Sarah, nggak berani, Pak. Sarah, takut."Dava pun memilih untuk menatap wajah Sarah dengan serius, dirinya mengerti dengan keadaan Sarah saat ini."Kam
"Mami, abis mimpi. Mimpi aneh, dalam mimpinya kamu tiba-tiba pulang bawa istri," Zahra pun memijat kepalanya yang masih terasa pusing.Dirinya melihat Dava yang berdiri tak jauh dari ranjangnya.Seakan wanita itu benar-benar terbangun dari tidur dan juga mimpi buruknya yang cukup menyeramkan itu."Gimana bawa istri? Menikah juga belum, Mami pusing kenapa bisa bermimpi seperti itu? Mungkin, karena terlalu lelah. Mami, butuh istirahat, soalnya mimpinya seperti nyata," Zahra pun mengusap wajahnya hingga beberapa kali.Menenangkan diri setelah terbangun dari hal yang dia anggap adalah sebuah mimpi.Lantas bagaimana dengan Dava setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Zahra?Dava pun berjalan ke arah Zahra, kemudian duduk di sisi ranjang berdekatan dengan sang Mami.Dava ingin berbicara dengan serius, berharap pula tidak lagi pingsan. Bagaimana pun dirinya memang salah, menikah tanpa meminta izin kepada orang tuanya sama sekali. Sangat tidak dibenarkan.Maka dari itu Dava ingin dimaafkan
Sarah mendadak menghentikan langkah kakinya saat berada di depan pintu utama rumah milik kedua orang tua Dava.Membuat Dava pun ikut berhenti melangkah dan melihat Sarah."Ayo masuk.""Pak Dava, Sarah tunggu di luar aja, kali ya."Dava pun bingung mendengar keinginan Sarah, lagi pula tidak mungkin juga dirinya berada di luar bukan?"Kenapa?""Nggak papa, sih, Pak. Cuman, Sarah segan aja.""Segan?" alasan yang konyol menurut Dava, "kita akan menemui Mami, ayo masuk!" tanpa menunggu jawaban dari Sarah, Dava langsung menarik lengan Sarah.Hingga akhirnya Sarah pun harus mengikuti langkah kaki Dava.Sarah terus saja melihat sekitarnya, dirinya memang tidak asing melihat rumah mewah.Karena, rumah Nada juga tidak kalah mewah dari rumah Dava Hanya saja kali ini lain cerita, sebab Dava adalah suaminya.Tentunya ada rasa minder juga tidak nyaman untuk berinteraksi dengan keluarga Dava."Kamu duduk dulu," Dava pun menuntun Sarah untuk duduk di sofa.Tepatnya kini mereka berada di ruang keluar
Dava pun mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, mencari seseorang yang tak lain adalah istrinya.Pagi tadi wanita itu bersikap aneh, bahkan berangkat ke kampus dengan sangat terburu-buru.Bahkan alasannya karena ada kelas, takut tak diijinkan masuk jika dosennya sudah masuk duluan.Membuat Dava hanya terdiam mendengar penjelasan Sarah.Sehingga kini dirinya benar-benar mencari keberadaan wanita tersebut, sebab dirinya ingin memastikan apakah Sarah sudah sampai di kampus ataupun belum.Sarah kini sudah menjadi istrinya, sehingga tidak ada lagi kata tanya mengapa dan kenapa Dava mencari wanita tersebut.Jika pun tak ada alasan pastinya, tetap saja terbilang wajar.Mengingat status yang sudah memiliki sebuah ikatan yang sakral.Hingga akhirnya Dava pun melihat Sarah yang duduk berdekatan dengan seorang pria, sepertinya wanita itu belum sadar jika posisinya kini adalah istri dari dosennya sendiri."Kamu," Dava pun menunjuk Sarah yang sedang melihatnya juga."Saya, Pak?" tanya Sar
"Lho, kamu nggak sama Dava?" Tanya Nada saat melihat Sarah turun dari sepeda motornya."Nggak, aku buru-buru, aku langsung pergi aja tadi. Soalnya aku ada kelas."Nada pun menatap Sarah dengan penuh tanya, dirinya mungkin memikirkan sesuatu sehingga melakukan itu."Kamu ngapain ngeliatin aku gitu banget?""Terus, kalau kamu pergi duluan. Dia kamu tinggal, kamu bisa langsung masuk kelas?""Iya, aku takut telat."Nada mencubit lengan Sarah cukup kuat, bahkan hingga meringis menahan sakit."Sakit!""Berarti kamu nggak lagi tidur!" kesal Nada."Iya, iyalah. Kita udah di kampus. Jadi, ini nggak mimpi," gerutu Sarah yang tak kalah kesal.Sambil menggosok tangannya yang cukup sakit karena cubitan Nada."Dasar tolol! Dosennya masih di rumah kamu, ngapain kamu buru-buru ke kampus?" akhirnya Nada pun menyadarkan Sarah.Benar saja, seketika itu juga Sarah tersadar dari keanehannya."Oh, iya. Dosennya, Pak Dava, kan?"Sarah pun melihat Nada dengan bingung, karena kini dirinya tahu penyebab Nada